Senin, 11 Januari 2010

CANDI MINAK JONGGO


Reruntuhan Candi minak Jinggo

Candi ini terletak di Dukuh Unggah-Unggahan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan. Dilokasi hanya tersisa batu-batu andesit yang merupakan reruntuhan candi tersebar di pelataran dan di gundukan tanah seluas 2370 m2.Candi ini juga disebut Sanggar Pamelengan karena dahulu di tempat ini terdapat sebuah arca seorang wanita yang berbadan seperti ikan dan sebuah arca bersayap yang dikenal dengan Arca Minakjingga. Arca itu kini ditempatkan di Gedung Arca Mojokerto (Museum). Di bulan Pebuari-Nopember 1977 diadakan penggalian dan diperoleh data adanya 3 lapisan fondasi lama.

Kisah Minak Jinggo dan Damar Wulan
Konon disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Minak Jinggo (Bhre Wirabumi). Pokok persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggo ingin memperistrikan Ratu Ayu Kencana Wungu tetapi ditolak karena wajah Minak Jinggo seperti raksasa.
Hampir saja Minak Jinggo memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki senjata yang disebut gada wesi kuning. Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Minak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa.

Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden Damarwulan yang memasuki arena sayembara. Dalam peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir. Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Minak Jinggo dapat dikalahkan. Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu dan bersama-sama memerintah di Majapahit.

Cerita Damarwulan-Minak Jinggo ini rupa-rupanya sangat populer di Jawa Tengah terlebih-lebih di Jawa Timur. Hingga sekarang kita masih dapat melihat peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang terletak di Desa Troloyo, Trowulan, Mojokerto. Di sana kita jumpai suatu kompleks makam yang oleh penduduk dianggap sebagai makam Ratu Ayu Kencana Wungu. Dewi Waita dan Dewi Puyengan serta beberapa orang pengikutnya. Makam tersebut menurut penelitian para ahli yang sebenarnya adalah makam-makam Islam yang awal. Dari angka tahunnya yang tertulis pada nisan-nisan menunjuk angka 1295 M - 1457 M.

Tidak jauh dari Troloyo, masih di Desa Trowulan juga kita jumpai sebuah candi yang oleh penduduk setempat dinamakan candi Minak Jinggo. Melihat berbagai hiasan serta peninggalan lain yang terdapat di sekitar candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi Minak Jinggo berasal dari zaman Majapahit.

CANDI JAWAR

( TEMPAT PERTAPAAN RADEN WIJAYA )


Candi Jawar yang di lereng selatan Gunung Semeru, Jawa Timur, merupakan peninggalan purbakala sebagai tempat yang sangat baik bagi siapa saja untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Hyang Pasupati. Menurut beberapa sumber, candi ini ditemukan o
leh penduduk setempat sekitar tahun 1982-1983.

Konon, tempat ini dulunya digunakan oleh para pandita, tokoh spiritual, raja-raja -- termasuk Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Di candi inilah konon pula Raden Wijaya memuja dan menodakan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keajegan Nusantara yang kemudian terwujud melalui kebesaran Majapahit.

Candi ini merupakan sebuah penemuan purbakala berupa bangunan yang bagian atasnya bertiang lima (soko limo). Jika diperhatikan lebih teliti, pada bagian terasnya atau bataran-nya kelihatan ada 12 pondasi tiang (soko). Pondasi tiang-tiang ini, menurut penduduk di sana, dulunya berisi ukiran patung gajah yang hampir kesemuanya telah hilang.

Candi Jawar diyakini dulunya berupa sebuah pendopo agung tempat para pandita maupun para raja tanah Jawa untuk membicarakan dan memohon kebesaran Nusantara di hadapan Hyang Pasupati yang diyakini bertahta di puncak Gunung Semeru. Keyakinan ini berkaitan juga dengan lokasi Candi Jawar di sebelah barat yang tepat menghadap ke arah matahari terbit dan arah barat daya menghadap puncak Gunung Semeru.

Di samping sebuah bataran candi, juga terdapat sebuah petilasan yang diyakini sebagai tempat penjaga candi yang bernama Mbah Wali dan sebuah petirtan atau sumber air ke arah timur yang jaraknya sekitar 1 km dari lokasi Candi Jawar.


Terkait Majapahit

Menurut Katiran, juru sapu dari Desa Mulio Asri dan beberapa penduduk di sana, Candi Jawar ditemukan pada sekitar tahun 1982-1983 oleh penduduk yang bermata pencarian di hutan. Penduduk setempat maupun beberapa pengunjung yang menekuni bidang spiritual, yang datang dari Desa Dampit maupun dari Kabupaten Jember, menemukan candi ini serangkaian penemuan uang kepeng, guci, dan patung-patung kuno di kawasan tersebut.

Benda-benda purbakala ini ada kaitannya dengan Kerajaan Majapahit. Penduduk setempat pun meyakini bahwa di Candi Jawar dan kawasan sekitarnya, secara niskala, masih Raden Wijaya pendiri mojopahit pernah melakukan laku untuk memohon kejayaan serta keajegan Nusantara yang akhirnya pernah terwujud pada saat kebesaran Majapahit.


Nuansa Spiritual

Dari mata Batin paranormal Mpu Beradah sering muncul di Jawa Tengah di mata orang-orang tertentu dan mengisyaratkan diri akan muncul kembali di dunia nyata dengan perwujudan manusia berumur berkisar 60-an tahun, untuk menata Nusantara ini.

tempat mencari air suci yang menurut beberapa orang yang sering ke sana dijaga oleh ular besar berwarna hitam. Setelah melakukan doa dan melakukan pembersihan diri dengan air di sana, pada saat mengambil air dengan jerigen dan botol-botol plastik, pemangku tiba-tiba kerasukan dan anehnya suara diucapkan seperti suara ular besar mendesis-desis.

Beberapa hal mengenai Candi Jawar

  1. Peninggalan purbakala yang disebut Candi Jawar merupakan tempat yang sangat baik bagi siapa saja untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Hyang Pasupati, ditemukan oleh penduduk setempat sekitar tahun 1982-1983.
  2. Tempat ini dulunya digunakan tidak saja oleh para pandita, tokoh spiritual, raja-raja -- termasuk Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Kehadiran Raden Wijaya diyakini secara niskala ada di sana, di saat memuja Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Widhi, sebutan saat itu) untuk membenahi Nusantara yang kemudian terwujud melalui kebesaran Majapahit.
  3. Lokasi pendopo soko limo tersebut tepat mengarah ke matahari tebit dan mengarah timur laut ke puncak Gunung Semeru.
  4. Terdapat pula sebuah petilasan (kuburan) bekas penjaga candi yang dipanggil Mbah Wali yang petilasan-nya diberi nama Padmo Nopo.
  5. Tempat yang seharusnya ditata kembali adalah soko limo itu sendiri, dimana tempat berlangsungnya pertemuan dan pemujaan dilakukan oleh para pandita dan raja-raja tanah Jawa pada khususnya termasuk para pandita yang sudah menetap di Pulau Bali.
  6. Berbekal pada keyakinan sekelompok orang, termasuk tim rombongan dari Bali, tempat tersebut adalah peninggalan purbakala/sejarah dan diyakini sebagai tempat yang sangat baik di saat memuja kebesaran Tuhan (Hyang Pasupati) untuk kebesaran bangsa dan negara Indionesia. Maka, tempat tersebut perlu penataan yang baik, menyangkut pawongan (penduduk Dukuh Kali Putih dan Desa Mulio Asri sebagai pengempon), palemahan (bercorak dan dengan bahan-bahan setempat yang sifatnya serasi dengan alam sekitarnya) dan parahyangan-nya (sebuah candi tempat persembahyangan semua umat).

CANDI SUROWONO

( Pedharmaan Raja Wengker )


Candi ini terletak di Pare, ± 28 km, ± 50 menit dari kota Kediri. Bangunan candi merupakan hasil karya peninggalan sejarah sebagai tempat penyucian Raja Wengker, salah satu raja pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Mojopahit. Wisatawan dapat juga mengunjungi bangunan terowongan / sungai bawah tanah dengan aliran air jernih dan bercabang cabang yang terletak ± 100 meter dari bangunan Candi


Kemudian di Kecamatan Pare ada wisata budaya Candi Surowono yang terletak lebih kurang 28 Km atau 50 menit perjalanan dari Kota Kediri. Bangunan candi merupakan hasil karya peninggalan sejarah sebagai tempat penyucian Raja Wengker, salah satu raja pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Mojopahit. Di dekat candi itu juga ada sungai bawah tanah dengan air jernih yang bercabang-cabang.

Sebagai bagian dari wilayah kerajaan, Kabupaten Kediri memiliki banyak peninggalan bersejarah yang sangat penting. Seperti Candi Tegowangi, Candi Surowono, Candi Dorok, Prasasti Pohsarang, Arca Tothok Kerot, Arca Mbah Budho, Gereja Pohsarang, Situs Calon Arang, Situs Tondowongso serta beberapa peninggalan lainnya.


Candi Surowono sebagai salah satu materi budaya Kabupaten Kediri memiliki nilai sejarah yang tinggi. Peninggalan suci Kerajaan Majapahit dengan latar belakang agama Hindu ini terletak di Pare, kurang lebih 28 kilometer, atau sekitar 50 menit dari Kota Kediri. Dulu, candi ini menjadi tempat bersuci Raja Wengker, salah satu raja fatsal atau bawahan di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Majapahit. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan, Candi Surowono terletak di Visnubuvanapura, sebuah tempat pemujaan kepada Dewa Wisnu yang terletak di daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit.


Relief Candi Surowono

Dibangun pada abad ke 15, Candi Surowono memiliki banyak keunikan. Baik dari segi arsitektur maupun relief yang menggambarkan cerita Arjuna Wiwaha, Bubhuksah, Gagang Aking, dan Sri Tanjung. Sayang, bagian yang masih utuh dari candi ini hanya tinggal kaki dan tubuhnya. Bagian atap sudah rusak dan runtuh. Padahal, candi ini dibangun dengan menggunakan batu andesit berpori dan bagian pondasinya menggunakan batu merah dengan orientasi arah menghadap ke barat.


Relief Candi Surowono


Selain Surowono, candi lain yang layak dikunjungi adalah Candi Tegowangi. Candi yang terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan ini juga menjadi monumen agung peninggalan Kerajaan Majapahit. Sama dengan Surowono, candi ini juga dibangun dengan menggunakan batu andesit serta pondasi bata merah yang menghadap ke arah barat. Candi Tegowangi dibangun sekitar tahun 1400 masehi. Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, candi yang berjarak sekitar 45 menit dari tengah kota ini, merupakan monumen Kerajaan Majapahit pemerintahan Hayam Wuruk. Relief candi menceritakan Wayang Purwo dengan tokoh Sundamala atau kisah tentang ruwatan Durga.

Jika Candi Surowono telah hilang bagian atasnya, maka Candi Tegowangi masih memiliki Yoni pada bagian atas. Yoni ini dibuat dengan pahatan yang sangat indah serta dihiasi motif binatang dan naga. Selain itu terdapat pula batu pripih yaitu batu berbentuk bujursangkar yang memiliki sembilan buah lubang yang biasanya diletakkan pada sumuran candi. Pada batu pripih ini pula diletakkan beberapa unsur-unsur kehidupan diantaranya biji-bijian, unsur logam, dan relik abu jenasah seorang tokoh agama atau tokoh penting. Keistimewaan lain Candi Tegowangi adalah pada sudut tenggara candi induk atau berjarak sekitar 12 meter, dimana ditempat tersebut terdapat Candi Perwara dengan arah hadap yang sama dengan candi indukny

CANDI PARI

( PERSEMBAHAN UNTUK RAKYAT MAJAPAHIT )


Porong terkenal dengan kota lumpurnya, namun siapa sangka Porong menyimpan sebuah cagar budaya yang tak semua orang tahu. Sebagai suatu peninggalan sejarah ternyata Candi Pari kurang mendapatkan perhatian Pemerintah Daerah Sidoarjo. Dengan kondisi seadanya candi tetap dapat bertahan hingga kini. Namun keseriusan serta perhatian dari pemerintah daerah tetap diharapkan demi kelestarian cagar budaya.

Candi ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Majapahit. Ini dilihat dari cirinya yaitu batu bata yang digunakan berwarna merah. Candi Pari didirikan sebagai ungkapan terima kasih dan untuk mengenang suami-istri yang telah membantu Kerajaan Majapahit pada saat mereka mengalami musim panceklik. Candi Pari yang memiliki tinggi 13,80 meter, panjang 13,40 meter, lebar 13,40 meter ini terletak di Dusun Candi Pari. Meski memiliki nilai budaya, candi ini kurang mendapatkan perhatian dari Pemkab Sidoarjo.

Ini mengakibatkan tidak banyak orang yang tahu tentang candi ini bahkan sebagian orang yang tahu pun enggan untuk datang. Kurangnya promosi serta dana dari pemerintah menyebabkan Candi Pari jauh dari wisatawan. Badan candi ditumbuhi lumut yang menandakan candi ini tak terurus.

Sebenarnya candi yang didirikan pada 1371 M pernah dipugar yaitu pada tahun 1994 hingga 1999. Pemugaran dilakukan karena banyak batu bata yang terlepas dari badan candi sehingga harus diganti dengan batu bata yang baru dan yang lama ditanam di sekitar candi.

Candi pari berdiri diatas bidang tanah ukuran 13,55 X 13,40 meter, dengan ketinggian 13,80 meter. Candi Pari tidak memiliki bentuk seperti umumnya candi-candi jawa timur lainnya. Bentuknya yang agak tambun dan tampak kokoh seperti candi-candi di Jawa Tengah. Pengaruh Champa (salah satu wilayah di vietnam) nampak cukup kental mempengaruhi bentuk candi ini.

NJ Krom (Belanda) dalam bukunya "Inleiding tot de Hindoe", menyebutkan hubungan antara Indonesaia dan Champa sudah terjalin sejak jaman prasejarah, hal ini berdasarkan temuan nekara-nekara perunggu gaya Dong - Son di Jawa.

Pada masa klasik hubungan dagang ini semakin meningkat lagi. Sumber prasasti dari periode Jawa Timur abad 15 masehi, terdapat dalam Hikayat Hasanudin (Jan Edel 1983) dan kitab sejarah Melayu (Situmorang dan Tecuw 1952). Peristiwa tersebut terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Raja Pan Kubah akibat serangan Raja Koci, yaitu pengungsian orang-orang Campa ke Jawa karena stabilitas di negeri Campa tidak aman. Dalam hubungannya dengan Candi Pari, pengungsian orang-orang Campa ke Jawa tahun 1318 Masehi oleh penguasa Majapahit kedatangannya diterima dengan baik, konsekuensi logisnya disediakan tempat untuk Raja Campa dan pengikutnya dan akhirnya asimilasi tersebut tampak pada bangunan di Candi Pari, yakni bangunan suci berkarakter Jawa yang dipengaruhi kesenian Campa.

Candi pari didirikan pada tahun 1293 saka (1371 masehi), sesuai dengan apa yang dipahatkan diatas pintu masuk candi. Dengan demikian Candi Pari didirikan pada masa kejayaan Majapahit dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Adapun ciri-ciri Campa pada banguna Candi Pari justru menunjukkan tingginya toleransi dibidang kebudayaan di masa tersebut.

Bangunan Candi Pari didominasi oleh bata merah pada bagian badannya, sedangkan ambang atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu andesit. Bagian kaki candi memiliki ukuran 13,55 * 13,40 meter dn tinggi 1,50 meter, pada bagian ini terdapat dua buah jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk susunan/trap anak tangga dengan arah utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk seperti ini tidak ditemui dalam candi-candi lain dijawa timur. Pada bagian dalam bilik candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah dari sisi dinding timur ( diantara lubang angin ) terdapat sebuah tonjolan sebagai sandaran dinding arca. Dulu daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Budha yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Candi Pari tidak memiliki ornamen. Pada kaki candi terdapat hiasan berbentuk panel yang polos tanpa hiasan. Sedangkan dibagain tubuh candi terdapat pahatan semacam panel-panel besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas.

Pada bagian tengah dinding utara, timur dan selatan terdapat hiasan miniatur yang atapnya bertingkat lima dengan puncaknya berbentuk kubus, bagian atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai dan dipuncaknya ada hiasan (angka) atau Sangkha

Sebelum masuk ke dalam bilik candi terdapat sebuah tangga yang sedikit curam sehingga kita harus berhati-hati jika hendak menaiki tangga untuk masuk ke dalam bilik candi. Pada bagian pinggul candi ini menggunakan perbingkaian yang berbentuk bingkai leher (Jangga) yang juga tanpa hiasan. Pintu masuk candi sendiri berbentuk penampil, yaitu pengembangan dari bagian sisi-sisi candi tersebut.

Pada bagian dalam bilik candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah dari sisi dinding timur (diantara lubang angin) terdapat sebuah penampil sebagai sandaran dinding arca. Dahulu di daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Buddha yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Dengan adanya arca Siwa Mahadewa dan Buddha dalam satu candi tentu akan mengundang pertanyaan mengenai corak agama candi ini. Dapat dikatakan Candi Pari bercorak agama Siwa-Buddha. Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha.

Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda. Pembaharuan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta (Siddantatapaksa), kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajaran Siwasiddhanta adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit.

Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Sedangkan di bagian tubuh candi menggunakan perbingkaian berbentuk bingkai rata pada bagian bawah, bangian tengah berbentuk dinding rata, dan di bagian atasnya menggunakan bingkai penyangga, sehingga bentuk keseluruhannya seperti bingkai leher (Jangga).Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas. Ornamen yang ada pada dinding sisi utara, timur dan selatan candi berbentuk penampil berupa miniatur candi dengan atapnya berbentuk prasada, yaitu bentuk atap bertingkat-tingkat dengan puncaknya berbentuk kubus. Miniatur candi itu sendiri memiliki lima tingkat. Di sisi miniatur candi tersebut terdapat masing-masing sebuah lubang ventilasi. Di bagian atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai. Bagian atap candi diperkirakan berbentuk prasada, yaitu bentuk atap yang bertingkat-tingkat, berangsur mengecil dengan kubus di puncaknya.

Hal ini di dasarkan pada ornamen yang ada pada dinding sisi utara, timur dan selatan candi yang berbentuk penampil berupa miniatur candi. Meski memiliki nilai budaya, candi ini kurang mendapatkan perhatian dari Pemkab Sidoarjo. Ini mengakibatkan tidak banyak orang yang tahu tentang candi ini bahkan sebagian orang yang tahu pun enggan untuk datang. Kurangnya promosi serta dana dari pemerintah menyebabkan Candi Pari jauh dari wisatawan. Badan candi ditumbuhi lumut yang menandakan candi ini tak terurus. Candi Pari yang kita lihat saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur melalui dana Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.

Pemugaran dilakukan karena banyak batu bata yang terlepas dari badan candi sehingga harus diganti dengan batu bata yang baru dan yang lama ditanam di sekitar candi. Meskipun terlupakan oleh pemerintah daerah setempat, tetapi Candi Pari masih tetap diingat oleh Dinas Pendidikan Provinsi. Dibuktikan dengan upaya mereka menggandeng sekolah untuk datang mengunjungi Candi Pari.

CANDI NGETOS

( Pedharmaan Raja Hayam Wuruk )


Candi Ngetos adalah Candi Hindu yang berada di Ngetos, Nganjuk, Jawa Timur. Candi ini didirikan pada abad ke-15 pada zaman kerajaan Majapahit.
Letak Geografis dan Wujud Fisik

Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya Candi ini dibuat pada abad XV (kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit).
Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.
Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa-Hindu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut Raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu.



Menurut seorang ahli (HoepermaS), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk cincin.

Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut :
Relief Candi Ngetos
Panjang candi (9,1 m)
Tinggi Badan (5,43 m)
Tinggi keseluruhan (10 m)
Saubasemen (3,25 m)
Besar Tangga Luar (3,75 m)
Lebar Pintu Masuk (0,65 m)
Tinggi Undakan menuju Ruang Candi (2,47 m)
Ruang Dalam (2,4 m).

Relief pada Candi Ngetos terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal satu, yang tiga telah hancur. pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah tidak ada. Di bagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk banji. Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedankan tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornament daun.
Candi Ngetos


Di sebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang di atasnya terdapat ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih seksama, ternyata suatu bentuk spiral besar yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong, tidak terdapat relief yang penting, hanya di atasnya terdapat motif daun yang melengkung ke bawah dan horisontal, melingkari tubuh candi bagian atas.

Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x 1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal dari India, kemudian masuk Indonesia pada Jaman Hindu. Umumnya, di Indonesia motif semacam ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian.

Arca Candi

Di Candi Ngetos sekarang ini tidak didapati lagi satu arcapun. Namun menurut penuturan beberapa penduduk yang dapat dipercaa, bahwa didalam candi ini terdapat dua buah arca, paidon (tempat ludah) dan baki yang semuanya terbuat dari kuningan. Krom pernah mengatakan, bahwa di candi diketemukan sebuah arca Wisnu, yang kemudian disimpan di Kediri. Sedangkan yang lain tidak diketahui tempatnya. Meskipun demikian bisa dipastikan bahwa candi Ngetos bersifat Siwa-Wisnu, walaupun mungkin peranan arca Wisnu disini hanya sebagai arca pendamping. Sedangkan arca Siwa sebagai arca yang utama. Hal ini sama dengan arca Hari-Hara yang terdapat di Simping, Sumberjati yang berciri Wisnu.

Cerita Rakyat

Candi Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun atas prakarsa Raka Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan di situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap Gunung Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya diserahkan pada pamannya Raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang kemudian bergelar Raden ngabei Selopurwoto. Raja ini mempunyai seorang patih bernama Raden bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah barat Ngatas Angin, kira-kira berjarak 15 km.



Diceritakan, bahwa Raden ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk yang menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti ketika Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Konon ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama (kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih besar dibanding lainnya. Krom juga berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos ini terdapat sebuah Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Mengenai kata Tajum dapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf “ng” dapat berubah menjadi huruf “m” dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi Simha dan akhirnya Sima. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan di Tajung, daerah Berbek, Kediri.

Selanjutnya diceritakan, bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto mempunyai saudara di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang kelas digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di kompleks Ngatas Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian di Ngetos. Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak terlalu lama tugas tersebut dapat diselesaikan sesuai petunjuk.

CANDI GAYATRI/ BOYOLANGU

( Pedharmaan Putri Gayatri )

Candi Gayatri adalah reruntuhan candi Hindu yang berada ditengah pemukiman penduduk di dusun Boyolangu, kalurahan Boyolangu, kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.
Pada bagian tangga batu candi ini terdapat tulisan angka 1289 (1367 M) dan 1291 Çaka (1369 M), yang kemungkinan dipakai untuk menandai tahun pembuatan dari Candi Gayatri, yaitu pada zaman kerajaan Majapahit.

Candi ini merupakan makam Gayatri yang juga bergelar Sri Rajapatni, istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), dan merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang memerintah Kerajaan Majapahit di masa keemasannya. Nama Boyolangu itu sendiri tercantum dalam Kitab Nagarakertagama yang menyebutkan nama Bayalangu/Bhayalango (bhaya = bahaya, alang = penghalang) sebagai tempat untuk menyucikan beliau. Berikut ini adalah kutipan Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

Di Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, terdapat Candi Gayatri. Candi ini adalah tempat untuk mencandikan Gayatri (Sri Rajapatni), Prajnyaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangunArca Sri Padukapatni diberkati oleh Sang Pendeta JnyanawidiTelah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agamaLaksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda(Pupuh LXIX, Bait 1)

Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkati tanahnya Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun(Pupuh LXIX, Bait 2)

Makam rani: Kamal Padak, Segala, Simping Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir Bangunan baru Prajnyaparamitapuri Di Bayalangu yang baru saja dibangun (Pupuh LXXIV, Bait 1)

beliau adalah seorang putri Kertanegara, Raja terakhir Singosari. Keempat Tantri Kertanegara menikah dengan Raden Wijaya, Gayatri konon adalah yang termasur dan yang paling jelita. candi berbahan batu ini berdenah segi empat dengan tangga masuk dibagian barat. Di dalam kawasan candi ini terdapat satu candi induk dan dua candi perwara di sebelah selatan dan utaranya. Candi induk berukuran 11,40 m x 11,40 m, mempunyai arca Gayatri (arca wanita dari ratu Sri Rajapatni, nenek dari raja Hayam Wuruk)) dengan panjang 1,1 m, lebar 1 m dan tinggi 1,2 m.

Secara horizontal sisa bangunan itu terdiri atas sebuah Candi Induk dan dua Candi Perwara yang masing-masing berada dikiri kanannya ( utara dan selatan ). Candi tampak berpusat pada tokoh utama berupa arca wanita berukuran besar yang diletakkan pada candi induk. Arca tersebut berukuran tinggi 120 cm, lebar 112 cm dan tebal 100 cm. Tinggi lapik arca dengan lebar 168 cm dan tebal 140 cm. Saat ini arca tersebut di tempatkan di bawah naungan sebuah cungkup tanpa dinding. Pada dua umpak batu Candi induk terdapat tulisan angka tahun 1291 Ç ( 1369 M ) dan 1289 Ç ( 1367 M ).

Di Candi Perwara Utara terdapat dua Yoni yang masing ceratnya disangga oleh kepala naga, fragmen Arca Ganesa dan sebuah Jaladwara. Di Candi Perwara lainnya terdapat Arca Nandi ; Arca Dwarapala dan Arca Mahisasura Mandhini, kelengkapan candi tersebut berbahan batuan andesit, selain itu terdapat pula sumuran yang berada dibagian timur laut dari bangunan induk. Candi ini memiliki candi induk yang berukiran ruangan luas sekitar 10 x 10 meter, dan dua bangunan kecil disebelah kiri dan kanannya. Ada arca tanpa kepala, diperkirakan sebagai arca Sri Rajapatni yang diberkati oleh Pendeta Jnyanawidi.

CANDI GENTONG

Dibangun Minak Jinggo
Untuk Ratu Kencana Wungu

Candi Gentong merupakan satu kesatuan dengan Candi Tengah dan Candi Gedong. Karena dianggap punya peran besar dalam rekonstruksi peninggalan Majapahit, pemerintah melalui proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bekas Kota Kerajaan Majapahit berusaha untuk melakukan penggalian. Hasilnya, ditemukan stupa dan arca-arca Buddha., Di luar itu, ditemukan fakta denah sebuah candi yang organisasi ruangnya unik, bahkan boleh dibilang paling unik di Indonesia.


Denah Candi Gentong tersusun dari tiga bangunan bujur sangkar yang memusat. Bujursangkar pertama atau yang paling kecil, meiliki panjang dan lebar 9,25 meter. Lalu bangunan kedua, berukuran 11,40 dan bangunan ketiga berukuran 23,5X23,5 meter.

Candi Gentong
Kenyataan yang ada di Candi Tikus, Gapura Wringin Lawang dan Candi Bajang Ratu, sangat berbeda dengan realitas yang ada di Candi Menakjinggo, Candi Gentong, Candi Sumur Upas, Candi Kedaton, dan Situs Sentonorejo atau Situs Lantai Segi Enam.

Misalnya di Candi Menakjinggo yang terletak di Dukuh Unggah-Unggahan, Desa Trowulan. Pengunjung hanya disuguhi puing-puing dan pondasi candi yang berhias lumut dan berserakan. Meski begitu, Menakjinggo tetap menyimpan pesona. Misal, di sisi batu-batuan andesit itu ada serpihan relief yang diam-diam menyimpan banyak cerita. Diantaranya kisah petualangan Si Kancil yang dengan cerdik berhasil menaklukkan buaya.

Selebihnya, ada beberapa bagian candi dipindah ke Balai Penyelamatan Arca Trowulan. Misalnya, dua relief berukuran besar yang menggambarkan seorang wanita berbadan ikan dan raksasa bersayap yang dikenal dengan sebutan Arca Menakjinggo. Sedangkan sejumlah arkeolog mengatakan, arca ini bernama Arca Garuda.

Di kalangan masyarakat sekitar, candi ini dikenal dengan sebutan Sanggar Pamelengan. Konon, candi ini dibangun Menakjinggo, Bupati Blambangan, sebagai bentuk pemujaan atau pamelengan pada Ratu Kenconowungu.

Sama dengan Candi Menakjinggo, di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, terdapat sebuah candi yang diawal penemuannya sempat mengejutkan masyarakat. Mengutip catatan Edi Pion, Arkeolog yang tinggal di Mojokerto, candi berukuran 23,5X23,5 meter dan tinggi 2,45 meter ini relatif lebih besar dibanding Candi Brahu, Wringin Lawang, bahkan Bajangratu. Berdasar beberapa catatan jaman Belanda, bangunan ini dikenal sebagai Candi Gentong.



Misalnya dalam Rapporten Oudheidkundige Commisie disebutkan, tahun 1907, di Desa Trowulan terdapat Candi Gentong yang tinggal puing-puing. Fakta ini diperkuat dengan tulisan NJ Krom di Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kuns pada tahun 1923 dan pernyataan Maclaine Pont, pendiri Museum Trowulan.

Berdasar analisa carbon dating yang diteliti di Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi Bandung, diketahui, candi ini dibangun pada tahun 1370. Artinya, Candi Gentong berasal dari zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Dari data denah bangunan didukung temuan-temuan arkeologis lain, Candi Gentong dulu merupakan bangunan stupa yang relatif besar di bagian pusat, kemudian dikelilingi oleh stupa-stupa yang lebih kecil.
Candi Gentong

CANDI JEDONG

( Peninggalan Mataram Kuno- Majapahit )


Gapura Jedong adalah bangunan gapura dengan tipe paduraksa. Bangunan dari abad keempat belas masehin ini terletak di lerang utara Gunung Gajah Mungkur. Gunung ini adalah salah satu puncak dari Gunung Penanggungan yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Pada bagian atas ambang pintu terdapat hiasan kala sebagaimana layaknya bangunan-bangunan dari masa klasik.



Begitu juga pada sisi kiri-kanan bangunan, bagian yang terlihat menyambung kepada suatu pagar atau benteng. Jika Anda pernah berkunjung ke Mojokerto, Jawa Timur, tak ada salahnya jika sejenak singgah ke Jedong. Di sana, tak hanya bisa menikmati eloknya pesona alam pegunungan. Tetapi, Anda juga dapat mengunjungi sebuah situs tua yang sudah ada sejak jaman ke jaman.


Situs Jedong terletak di Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto. Dari Kota Mojokerto sekitar 30 kilometer ke arah timur. Objek ini berada sekitar 2 kilometer sebelah selatan Kawasan Industri Ngoro, yang terletak di kaki Gunung Penanggungan sebelah utara. Daya tarik situs Jedong adalah keberadaan dua bangunan tua berbentuk gapura. Kedua bangunan ini juga populer disebut sebagai Candi Jedong.
Masing-masing bangunan berbentuk gapura paduraksa, yakni gapura yang bagian atasnya terdapat atap. Masyarakat setempat juga memberi nama sebagai Candi Lanang (laki) untuk Gapura Jedong I dan Candi Wadon (bini) untuk Gapura Jedong II.


Kedua bangunan terbuat dari batu andesit. Bangunan satu dengan lainnya berjarak 80 meter. Keduanya dihubungkan dengan talut (pagar) dari bahan batu bata. Gapura Jedong I berukuran panjang 12,51 meter, lebar 5,19 meter dan tinggi 9,75 meter. Pintu candi menghadap ke timur dan barat. Bangunan terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Bagian kaki dan tubuh polos. Sedang pada atap dihiasi kala, di atas pintu barat maupun timur. Hiasan kala juga terdapat pada atap, menempel di sisi utara dan selatan.


Tiap sudut dihiasi relief motif gunung. Pada ambang pintu terdapat angka tahun yang menunjukkan candi ini dibangun tahun 1307 Saka atau 1385 Masehi.Sedang pada Candi Jedong II (Gapura II) lebih kecil dari Gapura I. Gapura II berukuran panjang 6,86 meter, lebar 3,40 meter dan tinggi 7,19 meter. Perbedaan lainnya terletak pada hiasan kala. Pada Gapura II, hiasan kala hanya terdapat atas pintu timur dan barat. Sedang di sisi utara dan selatan polos.

Gapura II juga tidak ditemukan adanya angka tahun pada ambang pintu. Tetapi ditemukan batu bekas bangunan dengan angka tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi. Fungsi kedua gapura diperkirakan sebagai pintu masuk ke Desa Perdikan (Sima). Desa Perdikan merupakan daerah yang dibebaskan dari kewajiban pajak. Sengkalan (simbol) angka tahun pada ambang pintu Gapura Jedong I diperkirakan sebagai peresmian gapura, sebagai pintu masuk ke desa Perdikan itu. Situs Jedong sendiri sebenarnya merupakan wilayah yang keberadaannya diperkirakan sudah ada lebih dari seribu tahun yang lalu.


Keberadaan wilayah ini, sudah disebut-sebut sejak jaman Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah sampai periode Kerajaan Majapahit yang berpusat di Mojokerto. Hal itu berdasarkan sejumlah prasasti yang ditemukan di sejumlah tempat.


Penemuan Prasati Tulangan (Jedong I) berbahan perunggu, berhurup dan bahasa Jawa Kuno (Brandes 1913, Naersen 1938) menyebutkan bahwa situs Jedong telah ada sejak tahun 832 Saka (910 Masehi). Waktu itu, Jedong telah menjadi desa Perdikan Tulangan. Maka, nama Tulangan merupakan istilah awal dari Jedong. Masa ini bersamaan dengan pemerintahan Raja Balitung (898-913 M) yang berkuasa di Mataram kuno, di Jawa Tengah.


Prasasti Jedong II (Kambang Sri) dengan hurup dan bahasa Jawa Kuno tahun 848 S atau 929 M. Isinya memuat Raja Rakai Layang Dyah Tulodong yang memerintah Mataram Kuno (920-928 M). Dengan prasasti ini memberi petunjuk, bahwa Jedong pada masa ini bernama Kambang Sri.
Prasasti Jedong III (Kambang Sri II) berbahan dari batu, berhurup dan berbahasa Jawa Kuno tahun 850 S atau 928 M (Verbeek 1891). Masa itu bersamaan deengan Empu Sindok, raja Mataram Kuno yang memindahkan pusat kekuasaan ke Jawa Timur.


Selain prasasti-prasaasti tadi, juga ditemukan sejumlah prasasti pendek, yang juga berkaitan dengan keberadaan situs Jedong. Situs ini juga disebut-sebut dalam Kitab Negarakertagama, seebuah karya ‘jurnalistik’ pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Dalam pupuh LXXVIXI, disebut beberapa nama desa kuno, seperti Kapulungan dan Wwatan. Jika dikaitkan dengan perkembangan sekarang, Kapulungan diperkirakan adalah nama desa yang kini berada di wilayah Kecamatan Gempol, Pasuruan, seperti disebut pula dalam Prasasti Kudadu (Brandes 1906). Sedang Wwatan adalah Desa Wotanmas Jedong, tempat Candi Jedong sekarang.











CANDI TAWANGALUN

(Persembahan Untuk selir Raja Majapahit )

Candi Tawangalun, sebuah peninggalan sejarah yang sangat bernilai, berlokasi di Desa Buncitan, Kecamatan Sedati. Candi ini paling tidak terawat dibandingkan candi-candi lain di Kabupaten Sidoarjo.

Benar-benar tak ada sosok candi yang tersisa dari Candi Tawangalun. Kondisi ini, tentu saja, sangat berbeda dengan Candi Pari atau Candi Sumur di Kecamatan Porong. Bangunannya masih cukup meyakinkan, masih terlihat sosok aslinya, sebagai candi.

Candi Tawangalun di sedati

Sama dengan candi-candi lain di Sidoarjo, Candi Tawangalun pun merupakan warisan Majapahit. Model batu bata merah, konstruksi bangunan, lokasi... semuanya khas Majapahit. Candi Tawangalun didirikan pada 1292 pada masa Raja Brawijaya II (Resi Tawangalun). Sang raja punya selir bernama Putri Alun. Candi Tawangalun ini sengaja dibangun sebagai persembahan dan tanda cinta kasih kepada sang selir. Candi Tawangalun ini dibangun dengan penuh pengabdian dan cinta oleh warga atas perintah Raja. Bahan bangunan dicari yang terbaik, penggarapannya pun sungguh-sungguh.

Meski dipersembahkan untuk Putri Alun, Candi Tawangalun sejak dulu dianggap sebagai monumen milik warga asli Buncitan. Mereka percaya bahwa cikal-bakal dusun di tengah tambak itu tak lain didirikan oleh Putri Alun. Karena itu, setiap 1 Syuro warga ramai-ramai melakukan bancakan di kompleks Candi Tawangalun. “Tanggal 1 Syuro sekarang juga ada bancakan.

Pokoknya, sudah jadi tradisi setiap tahun,” Kata orang-orang ‘pintar’, candi sederhana yang terkesan berantakan itu sangat sakral dan cocok untuk meditasi, semedhi, atau bertapa. Banyak kejadian menarik yang pernah disaksikan warga Buncitan, termasuk Syaiful ketika masih anak-anak.

Suatu hari ada seorang bapak mengambil beberapa batu bata dari Candi Tawangalun untuk dipasang di rumahnya. Dia tidak tahu kalau batu candi tidak boleh diganggu gugat karena dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya serta punya nilai mistik yang luar biasa. Bapak itu nekat saja. Batu candi dipasang di rumahnya. Apa yang terjadi? “Malam hari dia melihat orang datang menggebuk dia. Badannya sakit nggak karuan.
Akhirnya, batu yang sudah ditembok itu dibongkar, dikembalikan ke kompleks candi,” tutur Syaiful. Bukan itu saja. Beberapa waktu kemudian, si bapak meninggal dunia.

Penduduk asli Buncitan, kini, tinggal 30 persen; sisanya pendatang baru. Toh, acara bancakan dan persembahan kepada pendiri Desa Buncitan tidak pernah hilang. Bahkan, warga pendatang yang 70 persen ini pun tak ketinggalan dalam bancakan 1 Syuro di Candi Tawangalun.

Bancakan dan ritual-ritual tradisi, lanjut dia, sangat penting karena Candi Tawangalun ternyata punya nilai mistik tersendiri. Kata orang-orang 'pintar', candi sederhana yang terkesan berantakan itu sangat sakral dan cocok untuk meditasi, semedhi, atau bertapa. Banyak kejadian menarik yang pernah disaksikan warga Buncitan, termasuk Syaiful ketika masih anak-anak.





CANDI TIGOWANGI

( Pedarmaan Bre Matahun )

Menurut Kitab Pararaton candi ini merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun. Sedangkan dalam kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal tahun 1388 M. Maka diperkirakan candi ini dibuat pada tahun 1400 M dimasa Majapahit karena pendharmaan seorang raja dilakukan 12 tahun setelah raja meninggal dengan upacara srada.

Menurut kitab negara kertagama dan Pararaton, candi ini merupakan monumen Kerajaan Mojopahit pemerintahan Hayam Wuruk. Relief candi menceritakan wayang purwo dengan tokoh Sundamala. Candi ini terbuat dari batu andesit Candi ini terletak di Pare, ± 28 km, ± 50 menit dari kota Kediri.

Berlokasi di Desa Tigowangi Kecamatan Plemahan± 25 km, ± 45 menit dari Kota Kediri.. Dari Pare, sebuah kota kecil di timur Kota Kediri, sekitar 4 kilometer ke arah barat. Reruntuhan balok-balok batu andesit di Komplek Candi Tigowangi teronggok di sekeliling halaman bangunan utama. Keberadaannya masih misteri. Bangunan ini sekaligus menjadi saksi bisu masa-masa kejayaan Majapahit.

Candi Tegowangi yang berlokasi di sebuah areal luas dan bersih
Candi ini terbuat dari bahan batu andesit dengan fondasi dari bata. Candi Tigowangi berukuran lebar 11,20 meter, panjang 16,25 meter dan tinggi 4,29 meter. Sayangnya, keindahan candi ini tak bisa dilihat secara utuh, karena sebagian sudah runtuh. Yang masih tersisa hingga sekarang adalah bagian batur, kaki dan sebagian kecil tubuh candi. Sedang batu-batu atap candi sebagian berserakan di sekitarnya.

Pada batur candi memiliki hiasan geometris yang dihiasi dengan suluran, bunga dan gana (jenis makhluk berbentuk raksasa). Secara umum candi ini berdenah bujursangkar menghadap ke barat dengan memiliki ukuran 11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 m. Pondasinya terbuat dari bata sedangkan batu kaki dan sebagian tubuh yang masih tersisa terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi berlipit dan berhias. Tiap sisi kaki candi ditemukan tiga panel tegak yang dihiasi raksasa (gana) duduk jongkok; kedua tangan diangkat ketas seperti mendukung bangunan candi. Di atasnya terdapat tonjolan - tonjolan berukir melingkari candi diatas tonjolan terdapat sisi genta yang berhias.

Candi TegowangiPilar-pilar polos yang menghubungkan badan dan kaki candi dan diperkirakan seharunya berisi relief yang belum selesai dikerjakan
Pada bagian tubuh candi ditengah-tengah pada setiap sisinya terdapat pilar polos yang menghubungkan badan dan kaki candi. Pilar-pilar itu tampak belum selesai dikerjakan. Di sekeliling tubuh candi dihiasi relief cerita sudamala yang berjumlah 14 panil yaitu 3 panil disisi utara, 8 panil disisi barat dan 3 panil sisi selatan. Cerita ini berisi tentang pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa. Sedangkan pada bilik tubuh candi terdapat Yoni dengan cerat (pancuran) berbentuk naga.

Kaki candi dihiasi suluran dan bungaan. Terdapat beberapa pelipit yang melingkari kaki candi, ada yang berukir dan ada yang halus. Tiap-tiap sisi kaki candi terdapat tiga tiang panil tegak. Panil tersebut diberi hiasan gana (raksana) dengan posisi duduk dan tangan ke atas, seperti menyangga sesuatu. Di atasnya terdapat tonjolan-tonjolan berhias melingkar kaki candi. Di atas tonjolan berhias terdapat sisi genta yang berhias juga. Hiasan-hiasan ini dikombinasikan sedemikian rupa, sehingga secara keseluruhan menunjukkan hiasan yang serasi.

Di sekeliling tubuh candi, tiap-tiap sisi terdapat dua figura besar dihiasi relief. Relief yang terdapat di figura-figura ini menggambarkan kisah Sudhamala. Sudamala merupakan sepenggal cerita dalam pewayangan yang mengisahkan ruwatan terhadap. Dalam kisah ini, yang diruwat adalah Dewi Durga, isteri Bathara Guru, yang dikutuk jadi raksasa karena selingkuh. Sedang yang meruwat Sadewa, salah satu anggota Keluarga Pendawa Lima.
Kisah Sudamala ini juga bisa dijumpai pada relief di Candi Sukuh di lereng barat Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk membaca relief tersebut, pengunjung harus berprasawya. Artinya, mengelilingi candi dari sisi kiri orang yang membaca relief atau kebalikan dari arah jarum jam. Di tengah-tengah sisi utara, timur dan selatan terdapat pilar yang menghubungkan kaki sampai tubuh candi. Pilar-pilar ini tampak belum selesai dikerjakan.

Pilar di utara dan selatan masih polos, sedang pilar di sisi timur terdapat pahatan arca yang menggambarkan seorang pria dan wanita. Tetapi, kedua pahatan ini masih kasar, juga terkesan belum selesai. Di dalam bekas bilik tubuh candi terdapat yoni dengan pancuran berbentuk naga.

Candi Tegowangi Relief cerita Sudamala yang berisi tentang pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik yang dilakukan oleh Sadewa

Candi Tigowangi menghadap ke barat. Dibagian depan terdapat tangga. Tetapi, karena kondisi candi sebagian runtuh, pengunjung dilarang naik tangga sampai di atas. Pada pipi candi terdapat relief yang meenggambarkan pemain genderang. Sekitar 10 meter di sebelah tenggara candi Tigowangi terdapat candi Perwara, bangunan kecil yang juga biasa terdapat di komplek candi-candi di Jawa.

Di halaman candi terdapat arca Parwati, Ardahanari dan Garuda berbadan manusia. Berdasarkan arca-arca dan cerita pada relief, Candi Tigowangi memiliki latar belakang Hindu. Nama Tigowangi sendiri sudah muncul pada jaman Kerajaan Majapahit. Daerah itu disebut-sebut dalam Kitab Pararaton dan Kitab Negarakertagama. Keduanya merupakan karya ‘jurnalistik’ pada jaman Singosari dan Majapahit.

Berdasarkan kedua kitab tersebut, Candi Tigowangi merupakan bangunan memorial untuk Bre Matahun, saudara Hayam Wuruk, raja Majapahit yang tersohor. Bre Matahun meninggal tahun 1310 Saka bertepatan tahun 1388 Masehi. Dua belas tahun setelah meninggal kemudian dilakukan upacara Srada dan dibangunkan candi. Dengan demikian, Candi Tigowangi diperkirakan didirikan tahun 1400 M atau 12 tahun setelah Bre Matahun meninggal.

Menurut Nasokah (44), juru pelihara Candi Tigowangi, candi ini sekarang sudah tidak lagi digunakan warga untuk ritual keagamaan. Kecuali oleh beberapa orang Bali yang datang ke tempat. Itu pun jarang sekali. Pengunjung yang datang, pada umumnya sekadar untuk melihat lebih dekat bangunan berumur sekitar 600 tahun itu.

Mengunjungi objek wisata ini sebenarnya tidak terlalu susah. Dari Surabaya, perjalanan bisa ditempuh menggunakan bus umum jurusan Kediri via Pare. Jarak Surabaya - Pare sekitar 100 kilometer.. Desa Tigowangi berada sekitar 4 kilometer sebelah barat Pare. Dari jalan Pare - Papar, menuju Candi Tigowangi, masuk kampung sekitar 1 kilometer.

Sebagai daerah bekas kerajaan, Kediri juga memiliki beberapa objek wisata sejarah lainnya. Diantaranya, situs kerajaan Raja Jayabayo di Desa Mamenang Kecamatan Pagu. Daerah bisa dijangkau sekitar 15 menit ke arah barat daya dari Candi Tigowangi. Di kawasan itu juga ditemukan sebuah arca besar berwajah menyeramkan di Desa Bulusari. Arca ini lebih dikenal dengan nama Totok Kerot, berada di tepi jalan yang menghubungkan Mamenang dengan Kota Kediri. Menurut cerita rakyat di sana, keberadaan arca ini ada hubungannya dengan Raja Kediri, Jayabaya. candi ini merupakan monumen Kerajaan Mojopahit pemerintahan Hayam Wuruk.

CANDI RIMBI

( Pedharmaan Tribhuwana Wijaya Tunggadewi Ratu ) Majapahit ke III


Candi Rimbi berlokasi di Desa Pulosari, Kec. Bareng, Kab. Jombang dan berada di kaki barat Gunung Anjasmoro.

Situs ini berada pada areal seluas 896.56 meter persegi, berdiri diatas tanah agak tinggi dari sekitarnya. Bangunan terbuat dari batu andesit, sedang pondasinya dari batu bata. Bangunan yang masih ada sekarang memiliki ukuran panjang 13,24 meter, lebar 9,10 meter dan tinggi 12 meter. Sekitar 1 meter di sekeliling candi terdapat satu lapis batu bata yang ditata miring.


Hampir sebagian besar bagian atasnya sudah hancur tetapi bagian bawahnya masih dalam kondisi baik dan dihias oleh gambar yang menyambung mengartikan sesuatu mengelilingi dinding luar. Patung Ratu Tribhuwana yang digambarkan sebagai patung Dewi Parwati, saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta dan satu lagi di Museum Tromulan. Runtuhan Candi Rimbi ditemukan oleh orang Inggris yang bernama Alfred Wallace, ketika melewati tempat itu saat mengoleksi tanaman di Wonosalam sekitar akhir abad 19. Daerah ini terletak dikaki gunung Anjasmoro dan hutan lebat disekelilingnya serta pemandangan yang indah.

Candi Rimbi menghadap ke barat. Secara vertikal terdiri dari kaki dan tubuh candi. Namun, bagian tubuh candi tinggal separoh, karena mengalami kerusakan. Begitu juga dengan atapnya, sudah runtuh.

Daya tarik Candi Rimbi adalah adanya panil-panil relief yang menghiasi dinding kaki. Panil-panil ini berisi cerita tentang binatang dan keagamaan. Namun, belum diketahui apa isi cerita relief tersebut.Di dinding kaki sebelah utara terdapat terdapat 17 bidang relief. Salah satunya, relief sepasang pengantin yang berada di dalam tempayan (gentong). Ada pula relief sepasang pria dan wanita. Sang pria sedang mencangkul, sedang yang wanita membawa payung. Di kaki sisi timur, juga dihiasi 17 bidang relief cerita binatang dan kegiatan keagamaan. Sedang di sisi selatan terdapat 8 buah bidang.


Berdasarkan seni arsitektur bangunan, Candi Rimbi berlatar belakang Hindu. Hal ini, ditandai penemuan arca Dewi Parwati (isteri Dewa Siwa) yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Arca Parwati ditemukan di ruang utama candi. Tetapi, ruangan ini sudah tidak ada lagi, karena separoh dari badan candi sudah runtuh.

Arca Dewi Parwati/Dewi Uma ini, dalam perwujudan Durga Mahisasuramardhini dimana dilukiskan sedang berjuang mengalahkan Asura dalam wujud raksasa, dikisahkan Kahyangan tempat para Dewa tinggal, mengalami kekacauan akibat ulah seekor kerbau (Mahisa). Prajurit para Dewa tidak mampu mencegah, berkat kesaktiannya Dewi Parwati (Sakti/istri) Dewa Siwa, berubah wujud menjadi Dewi Durga, yaitu seorang Reksasi, dengan gagah berani dihadapi Mahisa yang sedang mengamuk tersebut.

Arca Parwati (Durga) yang ditemukan di Candi Rimbi melukiskan Tribhuwana Wiajaya Tunggadewi, ratu Majapahit yang memperintah pada 1328 - 1350 M. Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani adalah penguasa ketiga Majapahit. Sewaktu gadis ia bernama Sri Gitarja, dan ia adalah puteri Raden Wijaya dari Gayatri.

Arca-arca Hindu juga ditemukan di halaman candi. Tetapi, arca-arca itu sudah tidak ada di lokasi candi. Di halaman candi terdapat reruntuhan batu.Nama Candi Rimbi juga sering disebut juga Cungkup Pulo.

Nama Rimbi dikaitkan dengan nama tokoh pewayangan bernama Arimbi, isteri Wrekudoro (Bima). Berdasarkan cerita rakyat, di sebelah barat Desa Ngrimbi (sekitar 1 kilometer dari candi), terdapat kuburan Dewi Arimbi yang ada di Cungkup Pulo. Bangunan purbakala peninggalan Kerajaan Majapahit ini sangat sepi pengunjung.


Tipe patung Dewi Durga Mahesasuramardhini yang ada di Candi Rimbi boleh dikatakan adalah tipe kecantikan yang serba kaku, keras kepala, menunjukkan ke-aku-an yang menonjol, bahkan dalam gerakannya terlihat keinginan untuk diperhatikan. Tipe ini juga nampak garang dan terkesan tidak bisa menyembunyikan apa yang tengah dialami, dan justru inilah daya tariknya.

Durga paling sering digambarkan dalam adegan mengalahkan Asura, namun di Jawa (atau Indonesia umumnya) sangat jarang ditemukan wajah Durga yang menunjukkan dirinya sebagai seorang raksasi, sebaliknya Durga selalu digambarkan dengan penuh kelembutan seorang wanita.

Yang nampak lain adalah patung Durga dari candi Rimbi ini. Patung Durga dari candi Rimbi ini digambarkan berdiri dengan kedua kaki terbentang (pada umumnya Durga digambarkan dalam sikap tribhangga), menyeringai sehingga memperlihatkan gigi taringnya yang tajam, mata melotot dan rambut terurai tak beraturan.


Hal ini tentu saja disebabkan karena pengaruh dari aliran keagamaan yang melatar belakangi pembuatan patung tersebut, yaitu aliran Tantrayana. Tantrayana adalah salah satu aliran dalam agama Hindu yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan raja Kertanegara, yaitu akhir dari kerajaan Singosari, walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa agama Hindu yang masuk di Indonesia sudah menunjukkan adanya pengaruh Tantris tersebut

CANDI JABUNG


( Pedharmaan Bre Gundul Keluarga Majapahit )

Candi Jabung adalah candi peninggalan dari kerajaan Majapahit yang terletak di desa Jabung, kecamatan Probolinggo, Kabupaten Probolinggo. Berjarak hanya sekitar 5 km dari Kraksaan dan 500 meter sebelah tenggara kolam renang Jabung Tirta yang berada di pinggir jalan raya Suranaya-Situbondo.

Situs terdiri dari dua bangunan utama yang terdiri atas satu bangunan besar dan yang satu bangunan kecil dan biasa disebut Cabdi Sudut. Yang menarik adalah material bangunan candi yang berupa batu bata merah berkualitas tinggi yang kemudian diukir dalam bentuk relief. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun.

Candi Jabung terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Bahan Bangunan terbuat dari batu bata dan ukuran candi Jabung adalah panjang 13,13 meter, lebar 9,60 meter dan tinggi 16,20 meter. Candi Jabung berdiri di sebidang tanah berukuran 35 meter x 40 meter. Pemugaran secara fisik pada tahun 1983-1987, penataan lingkungan luasnya bertambah 20,042 M2 dan terletak pada ketinggian 8M diatas permukaan air laut.

Candi Jabung menghadap ke arah Barat, pada sisi barat menjorok ke depan, merupakan bekas susunan tangga naik memasuki Candi. Disebelah Barat Daya halaman candi terdapat bangunan candi. Menara sudut di perkirakan penjuru pagar, fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk Candi Jabung. Candi Menara sudut terbuat dari bahan batu bata, bangunan candi tersebut berukuran tiap-tiap sisi 2.55 meter, tinggi 6 meter.
Relief Candi Jabung

Arsitektur Candi Jabung sangat menarik, mempunyai komponen berupa batur, kaki, tubuh dan atap, pada bagian tubuh bentuknya bulat (silinder segi delapan ) berdiri diatas bagian kaki candi yang betingkat tiga berbentuk persegi. Sedangkan pada bagian atapnya dagoda (stupa) tetapi pada bagian puncak sudah runtuh dan atapnya berhias motif sulur-suluran. Di dalam bidik candi terdapat lapik area, berdasarkan inskripsi pada pintu masuk candi Jabung didirikan pada tahun 1276 c (saka) = 1354 Masehi masa kebesaran kerajaan Majapahit.

Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagara Kertagama dan Pararaton Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagara Kertagama candi Jabung di kunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada tahun 1359 Masehi pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhra Gundul salah seorang keluarga raja. Candi Jabung terdiri dari bagian : batur, kaki, tubuh dan atap.

Bagian batur candi:
Batur candi berukuran panjang 13,11 meter, lebar 9,58 meter diatas batur terdapat selasar keliling yang sempit dan terdapat beberapa panil relief yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.

1. Seorang pertapa memakai surban berhadapan dengan muridnya.
2. Dua orang lelaki yang sedang berada di dekat sumur, salah seorang
memegangi tali timba.
3. Diantara panil-panil terdapat panil berbentuk bulat menonjol semacam
medallion dan relifnya di dalam medallion sudah aus.
4. Singa yang saling berhadapan.

Bagian kaki candi:

Pada dasarnya bentuknya segi empat, bagian barat atau depan terdapat bagian yang menjorok keluar atau bagian konstruksi yang mendukung tangga naik. Candi Jabung terdapat sebuah bilik segi empat dengan ukuran 1.30 x 1.30 meter tanpa terdapat pintu masuk untuk memasukinya.

Bagian kaki candi dibagi dibagi 2 (dua) bagian kaki candi.
a. Bagian kaki candi tingkat pertama
Dimulai dari lis diatas batur yang berbentuk agief (3.51 genta) dengan hiasan daun padina, kemudian lis datar dengan kitinggian kurang lebih 60 cm, di atas lis-lis terdapat bidang panil yang teridiri dari 30 lapis bata merah atau setinggi 12 meter pada bidang panil dipahatkan motif medallion. Bidang tegak dari ornamen daun-daunan yang kesemuanya sudah tidak begitu jelas karena aus. Pada bagian tegak umumnya di pahatkan lukisan manusa, binatang dan pohon-pohonan.
b. Bagian kaki candi tingkat dua:
Bentuknya hampir sama dengan bagian kaki candi tingkat pertama, dimulai hiasan daun padma dan lis datar. Dibeberapa bagian terdapat bidang vertical selebar 50 cm berisi ukiran kala dan ornamen daun-daunan.

· Bagian Tubuh Candi
Bagian tubuh candi terdapat relief manusia, rumah dan pohon-pohonan, pada sudut tenggara terdapat relief yang menggambarkan wanita naik dipunggung seekor ikan, relief ini dalam agama hindu menceritakan cerita Sri Tanjung pelepasan jiwa. Relif Sri Tanjung juga terdapat di candi penataran Blitar, candi Surowono Kediri dan Gapura Bajangratu Mojokerto. Pada bagian tengah tubuh candi melalui pintu tersebut dapat melihat bilik candi yang berukuran 2,60 x 2,58 meter dan tinggi 5,52 meter dan pada bagian atasnya terdapat butu penutup cungkup yang berukir.

Setelah bagian duduk tubuh candi diteruskan dengan tubuh candi berbentuk bulat (silinder) kelihatan kuat/cukup stabil dihias relief dan ukiran yang indah dan halus pahatannya. Diatas pintu semua di pahatkan bentuk kala di bagian bawah ambang pintu bentuknya segi empat menonjol keluar yang tengahnya dipahatkan kepala naga.

Pada atas bingkai pintu ada balok batu kali terdapat pahatan roset ditengahnya bertuliskan angka tahun saka 1276 atau 1354 masehi merupakan bukti masa pembangunan candi Jabung.
Bagian atap candi
Gerbang Pintu Masuk Candi Jabung
Bagian atap candi sudah hilang, sisa-sisanya kemungkinan besar puncaknya berbentuk stupa dan atapnya berhias motif sulur-suluran.Kegiatan pemugaran candi Jabung didesa candi Jabung kecamatan Paiton, kabupaten Probolinggo sebagai penghargaan terhadap hasil karya para leluhur bangsa untuk melestarikan bangunan merupakan bukti sejarah dan warisan keagungan bangsa juga sebagai sarana pengembangan wisata budaya.
Pemugaran candi Jabung dilaksanakan oleh proyek pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala Jawa Timur yang bekerjasama dengan direktorat perlindungan dan pembinaan peninggalan sejarah dan purbakala Jakarta, bidang permusiuman dan kepurbakalaan kantor wilayah departemen pendidikan dan kebudayaan Propinsi Jawa Timur, suaka peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa tImur dan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Probolinggo serta tidak kecil pula bantuan pemerintah Daerah tingkat II Kabupaten Probolinggo.
Candi Jabung terletak di Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Candi yang ditahbiskan sebagai bangunan suci dengan nama Bajrajinaparamitapura ini merupakan bangunan untuk tempat pemujaan bagi tokoh wanita keluarga Hayam Wuruk, bernama Brha Gundal. Candi ini dalam Kitab Nagarakrtagama disebut Candi Kalayu, sedangkan dalam Kitab Pararaton disebut Candi Sajabung. Dalam kitab Nagarakrtagama, nama Candi Kalayu disebut khususnya pada bagian yang memaparkan perjalanan raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M).

Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat. Nagarakrtagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya, bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.

Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping. Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya), memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M), menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Padi di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.

Setelah dipugar oleh Raja Hayam Wuruk pada 1353 Masehi, untuk lebih dari 500 tahun, Candi Jabung seakan terlupakan. Candi yang secara tipologis memiliki kesamaan bentuk dengan Candi Muara Takus (Riau) dan Biaro Bahal (Padang Sidempuan) tersebut baru dipugar kembali pada tahun 1983 oleh pemerintah dan sekaligus dijadikan sebagai benda cagar budaya.
Data Bangunan
Candi Jabung terbuat dari batu merah dengan ukuran, panjang 13,11 meter, lebar 9,58 meter dan tinggi 15,58 meter. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat dengan luas 20.042 meter persegi. Sebelum dipugar areal candi hanya seluas 35x40 meter. Seperti bangunan candi umumnya, Candi Jabung terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Kaki bangunan bertingkat tiga, berbentuk persegi, dan disekelilingnya terdapat relief bermotif sulur-suluran dan medalion. Di sisi barat masih terlihat bagian yang menjorok ke depan yang merupakan bekas susunan tangga naik memasuki candi.

Badan candi berbentuk bulat (silender segi delapan). Badan candi ini bersifat Siwaistik karena sekelilingnya dipahatkan adegan-adegan cerita Sri Tanjung. Legenda Sri Tanjung pada dasarnya mengisahkan fitnahan terhadap Sri Tanjung, seorang dewi yang sangat cantik, isteri Raden Sidapaksa, yang berakhir dengan kematian/pembunuhan Sri Tanjung.

Karena tidak bersalah, maka Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh para dewa dan bertempat tinggal di kediamannya semula sebelum kawin. Singkat Cerita, Raden Sidapaksa disuruh oleh Betari Durga untuk pergi ke kediaman Sri Tanjung. Namun isteri yang teraniaya ini menolak untuk rujuk kembali, kecuali apabila Raden Sidapaksa dapat membunuh dan membawa rambut si pemfitnah untuk dijadikan kesed (pembersih kaki) Sri Tanjung. Setelah permintaan tersebut terlaksana, suami-isteri itu kembali hidup bersama-sama.

Pada ambang relung-relung candi terdapat hiasan kepala kala motif Jawa Timur, serta sebuah relief rosetta dengan angka tahun 1276 Caka (1354 M). Dalam bilik candi masih terdapat lapik arca, sedangkan pada atap candi bersifat Buddhistik dengan bentuk pagoda (stupa) dan berhias sulur-suluran.

Angka tahun 1276 Caka/1354 Masehi, boleh jadi bukanlah angka tahun pembangunan candi karena, baik menurut kitab Nagarakrtagama maupun Pararaton, angka tersebut menunjuk pada pertanggalan perjalanan Hayam Wuruk ke candi tersebut dan sekaligus memperbaiki/memugar candi pemujaan untuk Raden Wijaya itu.

Di sebelah barat daya halaman candi terdapat bangunan Candi Menara Sudut yang diperkirakan fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk. Candi Menara Sudut terbuat dari bahan batu bata, yang ukuran tiap-tiap sisinya 2,55 meter dan tinggi 6 meter. (pepeng) Angka tahun 1276 Caka/1354 Masehi, menurut Nagarakrtagama maupun Pararaton, angka tersebut menunjuk pada pertanggalan perjalanan Hayam Wuruk ke candi tersebut dan sekaligus memperbaiki/memugar candi pemujaan untuk Raden Wijaya itu. Dalam catatan sejarah, Hayam Wuruk-lah raja pertama Nusantara, yang disebut-sebut melakukan perjalanan ke berbagai bangunan/monumen arkeologis dan melaksanakan pemugaran-pemugaran pertama di berbagai candi.

CANDI BANGKAL

( Peninggalan Majapahit abad Ke 13-14 )


Berada diantara sawah/kebun milik penduduk, lokasi Candi Bangkal ini masih mudah dikunjungi dikarenakan letaknya tidak jauh berada dari jalan desa yang masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Sebuah jalan dari semen menghubungkan antara pintu masuk objek candi Bangkal dengan jalan desa tersebut.

Sempat salah ambil jalan ketika mencoba mencari letak dari candi ini, dikarenakan peta umum yang ada/dijual di toko buku, tidak memberikan gambaran lokasinya secara tepat. Untunglah bentuknya yang unik dan tinggi dengan dominasi warna merah menjadikannya terlihat cukup jelas diantara warna hijau sawah dan peohonan dari kejauhan.

Kondisi candi yang terletak di Desa Kambangsari, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto ini sudah rusak cukup parah. Batu bata merah yang merupakan bahan utama penyusun candi ini nampak mulai banyak yang terkikis/terpotong/cuil di beberapa sudutnya.

Meskipun demikian secara keseluruhan bentuk candi ini masih terlihat cukup jelas hanya saja pada bagian atasnya, sepertinya tidak utuh lagi mungkin pernah runtuh sebelumnya. Relief-relief yang berada pada dinding kaki candi masih bisa terlihat cukup jelas, dan juga beberapa arca banaspati yang ada pada dinding badan candi masih terlihat menempel pada tempatnya. Total terdapat enam arca banaspati dengan 3 pada bagian pintu masuk (barat), dan masing-masing satu buah pada sisi-sisi lainnya.

Pada bagian dalam candi, yakni dibagian tengah atasnya masih terpampang relief Batara Surya yang mengendarai seekor kuda. Relief ini mengingatkan pada relief serupa pada Candi Jawi dan Candi Badut. Suatu hal yang menarik mengingat Candi Jawi dan Candi Badut tersusun dari batuan andesit, berbeda dengan Candi Bangkal yang tersusun dari bata merah, tapi kedua candi ini memiliki "tema" yang sama pada bagian atas-tengah-dalam candi.

Candi Bangkal Candi Bangka yang berada diantara sawah dan kebun penduduk

Sebelah muka atau bagian barat dari candi ini masih terdapat setumpuk batu bata yang diperkirakan dulunya merupakan bagian pintu gerbang dari Candi Bangkal.

Sedangkan disisi utara dari candi ini masih terdapat sejumlah batuan andesit yang berserakan dengan bentuk-bentuk khusus. Kemungkinan batuan andesit ini diperkirakan merupakan bagian hiasan dan atas candi.

Sebelah muka atau bagian barat dari candi ini masih terdapat setumpuk batu bata yang diperkirakan dulunya merupakan bagian pintu gerbang dari Candi Bangkal. Sedangkan disisi utara dari candi ini masih terdapat sejumlah batuan andesit yang berserakan dengan bentuk-bentuk khusus. Kemungkinan batuan andesit ini diperkirakan merupakan bagian hiasan dan atas candi.

Candi Bangkal Salah satu sudut kaki candi dengan relief yang masih cukup jelas untuk dinikmati Candi Bangkal diperkirakan dibangun antara abad ke 13 dan 14 Masehi, dimana pada masa tersebut terjadi pergeseran kekuasaan dari wilayah tengah jawa ke bagian timur jawa, seiring dengan dominasi kekuasaan Majapahit pada abad itu. Seperti umumnya candi-candi lain, Candi Bangkal memiliki pola simetris pada arsitekturnya.

Bentuknya yang ramping dan menjulang tinggi merupakan ciri khas dari candi-candi di Jawa Timur, berbeda dengan candi yang di Jawa Tengah yang meskipun sama-sama memiliki pola simetris namun memiliki bentuk yang lebih tambun. Bentuk yang tinggi dan ramping ini menyebabkan candi-candi di Jawa Timur sangat rentan dari runtuh bila terjadi gempa bumi. Candi Bangkal dan juga candi-candi lain (Candi Ngetos, Sawentar dan Sumberjati) diperkirakan memiliki bagian atap yang tinggi namun telah runtuh akibat gempa bumi.

Berada di antara sawah/kebun punduduk, nampak menjadikan objek arkeologi ini sepi dari kunjungan. Beberapa ekor kambing nampak asik merumput tak jauh dari sisi candi, sementara bagian dasar candi yang becek karena tergenang air semakin mengurangi keinginan untuk mencoba mendekati candi. Sebuah sarang tawon pada bagian atas pintu masuk candi ini semakin mempertegas bahwa candi ini memang relatif jarang di kunjungi oleh wisatawan.

Candi Bangkal Bagian badan candi dimana pada masing-masing sisinya terdapat arca banaspati. Meski kondisinya kurang terawat, candi ini masih berdiri kokoh. Menurut penuturan juru pelihara candi, di wilayah ini pernah terjadi gempa bumi. Akibatnya, beberapa rumah penduduk roboh. Namun, Candi Bangkal tetap berdiri kukuh, tak ada yang retak sedikit pun.

Secara arsitektur, Candi Bangkal mirip dengan Candi Pari di Porong, Sidoarjo. Candi ini menghadap ke barat. Di atas pintu terdapat hiasan kala.
Pada waktu tertentu, warga sekitar menggelar acara sedekah bumi di samping candi. Di sana, warga menggelar selamatan dan pentas wayang kulit. Tradisi ini dilakukan warga setempat setiap usai masa panen.

Candi Bangkal Candi Bangkal tampak secara keseluruhan. Bagian atas candi ini diperkirakan lebih tinggi dari yang tampak sekarang