Selasa, 12 Januari 2010

CANDI WISNU

( Peninggalan Masa Akhir Majapahit )


Berlokasi di D
usun : Biting Desa : Selolimam Kecamatan : Trawas Kabupaten : Mojokerto Propinsi : JawaTimur
Candi Wisn
u

Teras IPanjang : 7,20m Lebar : 0,60m Tinggi : 0,90m Teras IIPanjang : 7,00m Lebar : 0,80m Tinggi : O,45m Teras IIIPanjang : 7,O5m Lebar: 0,60m Tinggi : 0,60m Teras IVPanjang: 7,05m Lebar: 1,50m Ting


Candi Wisnu terletak di lereng barat Gunung Penanggungan pada ketinggian 1150 meter DPL, menghadap ke arab barat. Bangunan Candi Wisnu'merupakan bangunan berteras lima.

Di depan candi terdapat tangga naik terbuat dari susunan batu gundul terdiri atas tujuh belas anak tangga. Di puncak bangunan ada altar pemujaan dengan ragam medalion. Keadaan bangunan candi sudab mengalarni kerusakan. Candi Wisnu dibangun pada masa akhir kerajaan Majapahit abad 14 -15 Masehi

GUNUNG LAWU

( Pertapaan Raja Brawijaya V )
Raja Majapahit Terakhir


Terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Lawu memiliki panorama alam yang indah. Banyak wisatawan minat khusus yang mendakinya. Gunung ini pun kerap disambangi para peziarah karena menyimpan obyek-obyek sakral bersejarah.

Di gunung berketin
ggian 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini memang menyimpan berbagai peninggalan sejarah kerajaan Majapahit seperti, Candi Ceto, Candi Sukuh yang Tempat sakral di sekitar Gunung Lawu terutama petilasan-petilasan Raden Brawijaya seperti Pertapaan Raden Brawijaya, dan Cengkup (rumah kecil yang ditengah-tengahnya terdapat kuburan).

Konon nisan yang ada di Cengkup itu adalah Petilasan Prabu Brawijaya, bekas Raja Majapahit yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Lawu. Cangkup dan tempat pertapaan Raden Brawijaya ini terletak di Hargo Dalem, puncak tertinggi kedua Gunung Lawu merupakan peninggalan Raden Brawijaya selama dalam pelariannya.

Gunung Lawu adalah gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar terutama penduduk yang tinggal di kaki gunung. Tidak heran bila pada bulan-bulan tertenu seperti bulan Syuro penanggalan Jawa, gunung ini ramai didatangi oleh para peziarah terutama yang datang dari daerah sekitar kaki Gunung Lawu seperti daerah Tawamangun, Karanganyar, Semarang, Madiun, Nganjuk, dan sebagainya.

Mereka sengaja datang dari jauh dengan maksud terutama meminta keselamatan dan serta kesejahteraan hidup di dunia. Lokasi yang dikunjungi para peziarah terutama tempat yang dianggap keramat seperti petilasan Raden Brawijaya yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Sunan Lawu. Selain itu Sendang Derajat, Telaga Kuning, dsb.

Peninggalan-peninggalan besejarah itu menjadi salah satu saksi sejarah bahwa bangsa kita sejak dahulu berbudaya tinggi oleh karenanya patut dilestarikan karena memberi nilai lebih pada gunung ini. Di puncak Gunung Lawu ini, menurut cerita yang berkembang di masyarakat yang tinggal di kaki, bahwa Raden Brawijaya lari ke Gunung lawu untuk menghindari kejaran pasukan Demak yang dipimpin oleh putranya yang bernama Raden Patah, serta dari kejaran pasukan Adipati Cepu yang menaruh dendam lama kepada Raden Brawijaya.

Konon Raden Brawijaya meninggal di puncak Gunung Lawu ini dibuktikan dengan adanya Cengkup serta petilasan-petilasannya di puncak Gunung Hargo Dalem dengan ketinggian

Menurut kisah, se
telah runtuhnya Kerajaan Majapahit, muncul kerajaan Islam yang berkembang cukup pesat yaitu Kerajaan Demak yang dipimpin oleh seorang raja bernama Raden Patah, masih merupakan putra Raden Brawijaya.

Beliau menjadikan Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar di Jawa. Pada saat itu Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya yaitu Raden Brawijaya memeluk agama Islam, akan tetapi Raden Brawijaya menolak ajakan anaknya untuk memeluk ajaran yang dianut Raden Patah.


Raden Brawijaya tidak ingin berperang dengan anaknya sendiri dan kemudian Raden Brawijaya melarikan diri. Penolakan ayahnya untuk memeluk agama Islam membuat Raden Brawijaya terus dikejar-kejar oleh pasukan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Untuk menghindari kejaran pasukan Demak, Raden Brawijaya melarikan diri ke daerah Karanganyar. Disini Raden Brawijaya sempat mendirikan sebuah candi yang diberi nama Candi Sukuh yang terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo Karanganyar. Tetapi belum juga merampungkan candinya, Raden Brawijaya keburu ketahuan oleh pasukan Demak, pasukan Demak dan pengikut-pengikut Raden Patah terus mengejarnya sehingga Raden Brawijaya harus meninggalkan Karanganyar dan meninggalkan sebuah candi yang belum rampung.

Kemudian Raden B
rawijaya melarikan diri menuju kearah timur dari Candi Sukuh. Di tempat persembunyiannya, Raden Brawijaya sempat pula mcndirikan sebuah Candi, tetapi sayang tempat persembunyian Raden Brawijaya akhirnya diketahui oleh Pasukan Demak.

Arca Babi di Candi Sukuh

Raden Brawijaya melar
ikan diri lagi dengan meninggalkan sebuah candi yang sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Candi Ceto. karena merasa dirinya telah aman dari kejaran Pasukan Demak, Raden Brawijaya sejenak beristirahat akan tetapi malapetaka selanjutnya datang lagi kali ini pengejaran bukan dilakukan oleh Pasukan Demak tetapi dilakukan oleh pasukan Cepu yang mendengar bahwa Raden Brawijaya yang merupakan Raja Majapahit bermusuhan dengan kerajaan Cepu masuk wilayahnya sehingga dendam lama pun timbul.

Candi Sukuh

Pasukan Cepu yang dipimpin oleh Adipati Cepu bermaksud menangkap Raden Brawijaya hidup atau mati. Kali ini Raden Brawijaya lari ke arah puncak Gunung Lawu menghindari kejaran Pasukan Cepu tapi tak satu pun dari pasukan Cepu yang berhasil menangkap Raden Brawijava yang lari ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.

Didalam persembunyian di Puncak Gunung Lawu, Raden Brawijaya merasa kesal dengan ulah Pasukan Cepu lalu ia mengeluarkan sumpatan kepada Adipati Cepu yang konon isinya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu.

Dan katanya bahwa sumpatan dari Raden Brawijaya ini sampai sekarang tuahnya masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu terutama keturunan Adipati Cepu yang ingin mendaki ke Gunung Lawu, mereka masih merasa takut jika melanggarnya
.


Sendang Panguripan & Drajat

Tempat yang sering didatangi oleh para peziarah selain tempat yang ada di puncak Hargo Dalem dan Hargo Dumilah adalah Sendang Panguripan dan Sendang Drajat. Konon di Sendang Panguripan memiliki kekuatan supernatural. Di Sendang Panguripan ini sumber airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah untuk mencari kehidupan.

Mereka percaya sumber air yang ada di sana, airnya pernah dimanfaatkan oleh Raden Brawijaya ketika mendaki Gunung Lawu dan sampai sekarang masyarakat percaya bahwa air yang digunakan oleh Raden Brawijaya di Sendang Panguripan sangat berkhasiat. Sama seperti Sendang Panguripan di Sendang Drajat pun airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah. Konon airnya memiliki kekuatan supernatural untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Disam
ping kaya dengan sejarah dan misteri Kerajaan Majapahit, Gunung Lawu juga kaya akan berbagai obyek wisata alam seperti objek wisata alam Tawangmangu dengan air terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan dengan keindahan danaunya yang begitu memesona, Candi Ceto dan Candi Sukuh yang merupakan Candi yang dibuat oleh Raden Brawijaya selama dalam pelarian, serta tidak kalah menariknya adalah wisata alam mendaki Gunung Lawu.

Arca candi Sukuh

Berbagai fasilitas menuju Puncak Gunung Lawu tersedia dengan baik. Untuk mendaki Gunung Lawu terdapat beberapa rute Pendakian seperti Cemoro kandang, Cemoro Sewu, Ceto, dan Jogorogo yang memasuki wilayah Ngawi Jawa Timur. Tetapi disarankan untuk melalui jalur Cemoro Kandang. Kalau melalui Cemoro Kandang waktu yang dibutuhkan sekitar 9 sampai 10 jam pe
rjalanan pendakian, dan untuk turun dibutuhkan waktu sekitar 5 sampai 6 jam.

Jika mele
wati Cemoro Kandang terlebih dahulu kita akan melewati beberapa rute pendakian seperti Pos pendakian Cemoro Kandang, Taman Sari Bawah, Taman Sari Atas, Parang Gupito, Jurang Pangarif-ngarif, Ondorante, Cokro Srengenge yang termasuk Pos IV serta Pos terakhir yaitu Pos V. Di sini terdapat pertigaan, kalau berbelok ke kanan kita akan menuju Puncak Hargo Dumilah yang merupakan puncak tertinggi dengan ketinggian 3.265 meter dpl, dan jika lurus kita akan menuju Puncak Hargo Dalem 3.148 meter dpl.

Dari puncak Gunung Lawu
kita akan disuguhi peristiwa alam matahari terbit yang indah. Bila memandang kearah Barat akan tampak terlihat puncak Gunung Merapi, Merbabu.

Umat Hindu Melaksanakan persembahyangan di Candi Ceto

Dan kalau melihat ke arah Timur akan terlihat keindahan Puncak Gunung Kelud, Butak, dan Gunung Wilis yang membentuk lukisan alam menawan. Jika ingin mendaki menuju Puncak Gunung Lawu tidak terlalu ramai sebaiknya pada hari Senin sampai Jumat.

Beberapa jenis burung bisa ditemui di kawasan Gunung Lawu, sepcrti Burung Anis, Perjak, Kaca Mata, dan Burung Kerak. Tumbuhannya antara lain Cemara gunung, Bunga Eidelweiss, Cantigi, pohon karet hutan, Beringin, Rustania, dan Puspa. Bunga Eidelweiss tumbuh subur terutama di lembah dan lereng Gunung Lawu, mulai dari jalur antara Pos IV dan Pos V.

Sampai sekarang ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup di kawasan Gunung Lawu masih terjaga dengan baik karena masyarakat yang tinggal di kaki Gunung merasa takut jika hutannya dirusak, maka penguasa Lawu yakni Sunan Lawu yang tak lain adalah Sang Prabu Brawijaya, akan marah besar. Warga yang berdiam di sekitar Gunung Lawu dominan pelakon utuh ajaran Kejawen .

Mereka amat menyucikan candi di kawasan berketinggian 1.400 meter dari atas permukaan laut ini. Tidak sembarang warga diizinkan masuk, lebih-lebih yang sedang datang bulan. Masyarakat tak hendak mengabaikan peringatan yang ada. Jika dilanggar, tentu akan ada akibat kurang baik bisa dialami.



Perjalanan Akhir Prabu Brawijaya V
( Pindahnya Keraton Majapahit Ke Gunung Lawu )

Perbedaan pendapat antara Raja Brawijaya V dengan anaknya Raden Patah menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang ayah untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.

Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa Raden Patah tidak mau menghadap ( marak sowan ) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan.

Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang ( batu )" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika " Rajamala " dengan mata yang tajam.

Masuk ke Demak dengan men
yusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil Raden Patah. Tetapi Raden Patah tidak mau menemui ayahnya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Para pengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.

Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa Raden Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena Raden Patah adalah anak kandungnya sendiri. Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat.

Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan ( susuh angin ). Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan
.
Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikir yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan " jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri.

Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya ".
Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang " lawe " ( bermakna laku gawe ) menjadi bahan lurik.

Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif " modang " ( bermakna ngemut kadang ). Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll.

Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan ( laku gawe ) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan " ki " ( singkatan dari kihembu ). Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara.


Nama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Ditempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/ Pamungkas dengan ' Sabdo Palon ' dan ' Naya Genggong ' yang ada di dalam dirinya.

Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah


Benteng Pertahanan Brawijaya V

Bisa jadi tak ba
nyak yang tahu bahwa kemajuan peradaban Majapahit juga meninggalkan sisa di Jember, tepatnya di Dusun Beteng, Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, Jember. Seperti apa jejak sejarah kerajaan yang disebut-sebut pernah menyatukan Nusantara itu.

DI sebuah pela
taran luas itu, dua pohon beringin besar seolah tertancap kokoh. Di bawahnya, fondasi dengan batu bata besar membujur ke segala arah. Di ujung pelataran tersebut, terlihat sebuah rumah sederhana. Di bagian dinding rumah itu masih tegak berdiri batu bata dengan ukuran sangat besar. Siapa pun tentu mafhum bahwa pelataran itu merupakan komplek peninggalan sejarah
.
“Daerah ini disebut Beteng. Dan, dari sini nama Dusun Beteng, Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, berasal. kondisinya saat ini tidak menggambarkan sebuah bangunan benteng pertahanan. Di areal itu hanya terdapat pohon-pohon besar dari sebuah rumah yang ditempati seorang lelaki tua .

Menurut sang juru kunci, daerah itu disebut dengan Beteng. “Ini sisa kejayaan Kerajaan Majapahit. Beteng dalam bahasa Jawa atau benteng dalam bahasa Indonesia ini dibangun oleh Raja Kertabumi atau terkenal dengan sebutan Brawijaya V Konon kala itu Majapahit diserang oleh kerajaan Demak. Penyerangan itu dipimpin Raden Patah yang juga masih anak turun Raden Brawijaya V.

Setelah kerajaan M
ajapahit berhasil dikalahkan, Raja Brawijaya dan seluruh pasukannya lari ke Tengger. Raden patah belum puas dan nekat mengejar Brawijaya sampai ke Tengger. Terus terdesak, Brawijaya lari ke arah timur dan akhirnya masuk ke Jember dan menemukan daerah lapang di daerah ini.

Kemudian dia mendirikan benteng pertahanan. elama di tempat tersebut yang tidak lain adalah asal muasal Dusun Beteng, Brawijaya membangun peradababan baru.

Dia juga menciptakan sebuah kota yang akhirnya diberi nama Kedawung, yang sekarang menjadi nama sebuah dusun di sebelah utara Dusun Beteng. “Lokasinya tak jauh dari beteng ini. Dan dulunya berfungsi sebagai pasar. Keberadaan benteng ini kian ramai hingga terdengar oleh pasukan Raden Patah. Pengejaran dilakukan. Namun Brawijaya terus berlari hingga masuk ke Blambangan, Banyuwangi. “Seluruh peralatan dan beberapa benda pusaka pun ditinggal di sini. Termasuk bendera merah putih dan bangunan beteng ini.

Akibat kalah perang, lokasi ini ditinggal begitu saja. Banyak barang-barang warisan sejarah yang ditinggalkan rombongan Brawijaya V. “Saya berhasil mengamankan barang yang ada. Namun semua berbentuk batu yang gunanya untuk peralatan membuat ramuan jamu. Di tempat itu terdapat banyak peralatan dari batu. S

eperti lumpang (alat penumbuk), batu pipisan, gerusan, bengkok (alat pembuat jamu, ) dan serpihan keramik. “Sebetulnya banyak peninggalan. Sisa benteng pertahanan itu, sempat tidak terurus. Setelah itu, benteng kembali ditemukan pada 1908 seorang warga Pagerwojo . Kedatangannya ke lokasi itu sebetulnya bukan untuk mencari situs sejarah Majapahit. Namun nyantrik (berguru, ) ke Markonah, warga Semboro. “Saat itu Markonah tengah menikahkan anaknya. Dan Mat Salam di suruh mencari kayu bakar.

Karena di dalam hutan tidak ada kayu yang kering, Mat Salam pun mencari lebih jauh lagi. Sampai kemudian dia menemukan hamparan lahan seluas 2 hektare. Dan di tengah hamparan itu ada sebuah gundukan tanah setinggi 2,5 meter yang tidak lain adalah sisa benteng pertahanan tersebut.

Kemudian di dalam gundukan itu terdapat bangunan yang temboknya memiliki tebal 20 cm. Bahan yang digunakan sebagai tembok dari batu bata dengan ukuran 30-55 cm. “Dan batu bata itu masih banyak yang utuh. Lihat di dinding rumah itu,” katanya sambil menunjuk bukti batu bata sisa situs Majapahit.

Mat Salam pun akhirnya menjadikan tempat itu sebagai lokasi peristirahatan. Dan, masih cerita Ngadulgani, dia sering menjumpai peristiwa aneh di luar akal manusia. Kemudian setahun kemudian Mat Salam menjadikan lokasi itu sebagi tempat ritual larung sukerto (penyucian benda pusaka di situs Majapahit, Red). Seiring dengan perkembangan, lokasi itu dibersihkan. Dan sangat jelas bahwa lokasi itu merupakan benteng pertahanan. “Dahulu ada tembok keliling,” katanya.

Dari tempat itu, banyak ditemukan benda-benda bersejarah warisan dari Majapahit. Seperti tombak yang berdiri dengan sudut 45 derajat kemudian keris lekuk sembilan ditemukan Mat Salam pada 1958, batu lempeng yang ditemukan berjarak 500 meter dari lokasi pada 1961. Selain itu, lumpang ukuran besar ditemukan 150 meter dari pusat situs pada 1991, 1992, dan 1994. Dan, pada 1995 ditemukan batu akik warna merah. Selain itu beberapa kotak, uang logam mata uang China. Bahkan dari informasi di lokasi tersebut masih tersimpan beberapa senjata pusaka.

Di antaranya pedang Kongkam Pamor Kencono yang menjadi senjata Brawijaya V, bendera Merah Putih sebagai simbol kejayaan Majapahit, mahkota raja, Bokor Kencono, dan beberapa peti senjata. Itu terlihat ada kesamaan dari peningggalan yang ada di Trowulan, Mojokerto.

Selain itu dari bentuk prakiraan bangunan, semua mirip dengan arsitek khas Majapahit. Di dalam beteng itu, terdapat tempat pemujaan, podium, gapura, dan kebun kelapa. Dan ciri yang tidak bisa hilang adalah kelapa bercabang dua dan tiga. “Jika dijumlah, hasilnya lima dan itu merupakan Bhineka Tunggal Ika yang disimbolkan dengan Pancasila. Ini sudah ada sejak zaman Majapahit. Meski hanya sebatas pelataran, namun sampai saat ini daerah tersebut masih banyak dikunjungi orang.

Penemuan benda peninggalan purbakala di Dusun Jegles, Desa Wonojoyo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri menggemparkan warga sekitar. Pasalnya, warga meyakini benda tersebut merupakan Lingga Yoni peninggalan Kerajaan Majapahit dan merupakan lambang kesuburan. enda bersejarah tersebut berbentuk batu yang menyerupai lesung dengan lubang di tengahnya.

Tak jauh dari benda tersebut, juga ditemukan sebuah alat penumbuk yang telah terpecah. edua benda itu ditemukan warga desa setempat saat melakukan penggalian tanah sebagai bahan baku pembuatan batu bata. Bukan hanya lesung dengan alat tumbuk yang ditemukan, namun sebuah benda menyerupai tempayan tumpuk yang ditemukan tak jauh dari lokasi penemuan pertama. Namun sayang, benda menyerupai tempayan tumpuk tersebut sudah dalam kondisi pecah sehingga sulit untuk dikenali.

PENDOPO AGUNG TRUWULAN

( Tempat Pertemuan Raja Majapahit )


Pendopo Agung

Misteri juga menyelimuti Pendopo Majapahit yang berjarak tidak jauh dari Situs Kedaton di Desa Sentonorejo tersebut. Pendopo Majapahit itu diyakini merupakan pusat kerajaan Majapahit dengan dugaan luasnya yang mencapai besaran kilometer, terbentang ke barat, timur, selatan dan utara dari pendopo. Di belakang pendopo, ada batu miring yang merupakan tempat Gajahmada membaca ikrar "Sumpah Palapa", kemudian di belakangnya merupakan tempat pertapaan dan makam Raden Wijaya.

Tempat-tempat bersejarah di Trowulan menyimpan banyak misteri. Tak heran, jika penjaga candi dan juru kunci makam suka melontarkan nasehat ketat buat mereka yang berkunjung ke lokasi. Di belakang Pendopo Agung Trowulan, terdapat tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu kelahiran Majapahit. Tempat yang diyakini sebagai petilasan Raden Wijaya ini bernama Petilasan Panggung. Disinilah Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa, disaksikan Raden Wijaya dan para pengikutnya.


Masuk kompleks petilasan, pengunjung akan melihat bebatuan yang dibentuk layaknya makam. Ruangan itu dihiasi kelambu putih transparan dan beberapa lukisan yang menambah kesakralan Petilasan Panggung. Pada waktu tertentu, khususnya malam Jumat Legi, banyak orang datang untuk berdoa dan mengharap berkah. Tak tanggung-tanggung, mereka berdatangan dari Jakarta, Surabaya bahkan Bali. Pemugaran lokasi Petilasan Panggung dan Pendopo Agung yang dilakukan Ibu Sudarijah pada tahun 1964 dan mantan Pangdam V Brawijaya, Imam Utomo pada tahun 1995, tak mengurangi kekhusukan para pengunjung.

Tahun 1985 hingga 1995, Petilasan Panggung sempat tertutup untuk publik. Sejak dinyatakan dibuka kembali, pintu petilasan tidak lagi tertutup dan boleh dimasuki para tamu, kapan saja.

Masih di kompleks yang sama, pengunjung juga bisa melihat sebuah tonggak yang menancap di tanah dengan kemiringan kurang lebih 60 derajat. Konon, tonggak ini pernah digunakan sebagai tonggak tempat mengikat gajah dan kuda kendaraan Gajah Mada.

Sebuah sumber menyebut, tonggak ini tak bisa dicabut. Untuk meraba panjangnya juga sulit, karena saat digali, tonggak itu seperti tak berpangkal. kompleks bangunan utama berupa Pendopo berbentuk Joglo. Rumah adat Jawa Kuno ini dijaga oleh patung Gadjah Mada yang terletak di sebelah kiri gapura. Di pelataran pendopo, terdapat sejumlah pohon beringin. Daunnya yang lebat membuat halaman menjadi rindang dan berhawa sejuk.

Bahkan, di saat matahari terik pun pendingin alami ini membuat udara tetap sejuk, karena sinar matahari tidak mampu menerobos rimbunan daun. Di belakang pendopo, juga terdapat halaman luas. Pagar setinggi 1,5 meter mengitari halaman yang senyap tertutup rimbun pohon-pohon besar yang tumbuh liar. Sebuah makam panggung lengkap dengan batu nisannya terdapat di halaman yang ditumbuhi rumput liar tak terawat ini.

Makam ini berada di bangunan yang menyerupai pendopo dengan luas sekitar 300 meter persegi. Untuk bisa memasuki ruangan makam, kita harus melewati tirai kain warna putih. Wangi-wangian kembang melati dan kemenyan (dupa) segera tercium begitu kita berada di dalamnya. Tepat di tengah ruangan berukuran 5 x 6 meter, makam dengan pusara itu berada.

Di atas pusara terdapat dua payung bertangkai panjang. Sebuah lukisan yang menggambarkan kekuatan bumi, air, api, dan cahaya pun menghiasi dinding di sisi makam. Sosok laki-laki berbadan kekar mirip Gadjah Mada melambangkan bumi. Lukisan laki-laki berwarna hitam ini tengah memangku sosok putri.

Unsur api digenggam tangan kanan dan sosok putri -- perlambang air -- ada di tangan kiri. Kepala raksasa bumi ini menyangga putri -- perlambang cahaya -- yang membawai semua unsur di bawahnya. Ruangan ini hanya diterangi lampu warna kuning 10 watt, yang membuat kesan angker dan magis. Menurut jurumakam, Sajaduk, makam panggung ini bukanlah makam sungguhan dalam arti tempat persemayaman terakhir manusia. Namun, warga mempercayai tempat ini dulunya merupakan wilayah hutan Tarik sebagai tempat permulaan Raden Wijaya melakukan babad alas yang kemudian menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit. "Ada pula yang meyakininya sebagai tempat Gadjah Mada bersemedi,"

ARCA HARIHARA

( Perwujudan Raden Wijaya )


Selain seni bangunan, peninggalan Majapahit juga ada yang berupa seni patung yaitu seperti patung perwujudan Raden Wijaya sebagai Harihara atau sebagai Syiwa dan Wisnu dalam satu arca, patung putri Suhita dan patung Tribhuwana sebagai Parwati

Arca Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit yang bergelar Krtarajasa. Harihara adalah perwujudan Siwa dalam persatuan Siwa-Wisnu.

Arca Inilah yang disebut dalam Nagarakrtagama sebagai arca "Saiwa" dari Candi Simping (candi Sumberjati), Blitar, Jawa Timur, yang didirikan untuk memperngati raja Krtarajasa








API BEKUCUK


Menurut legenda yang beredar pada sebagian masyarakat, konon Api ajaib bekucuk sudah terkenal pada masa kerajaan Majapahit Api yang mengagumkan tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk berbagai kepentingan Api Bekucuk pernah menjadi perhatian masyarakat pada tahun 1933 yaitu bermunculan sumber api kecil di pekarangan dan rumah penduduk sehingga Pemerintah Kabupaten Mojokerto mengadakan peninjauan atau penelitian dan sejak itu Api Bekucuk banyak menarik perhatian masyarakat.
Lokasi terletak di dusun Bekucuk desa tempuran kecamatan Sooko yang berjarak sekitar 3 Km dari Kota Mojokertoyang dapat ditempuh dengan kondisi jalan yang cukup baik.

RECO LANANG

( Arca Peninggalan Majapahit )


Arca Reco Lanang

Arca yang terbuat dari batu andesip dengan ukuran tinggi 5,7 meter ini merupakan gambaran dari perwujudan salah satu Dhani Budha yang disebut Aksobnya yang menguasai arah mata angin sebelah timur. Agama Budha Mahayana mengenal adanya beberapa bentuk kebudhaan yaitu Dhyani Bodhisatwa dan manusi Budhi. Dhyani Budha digambarkan dalam perwujudan B
udha yang selalu bertafakur dan berada di langit. Dengan kekuatannya ia memancarkan seorang manusi Budha yang bertugas mengajarkan dharma di dunia.


Tugas manusi budha berakhir setelah wafat dan kembali ke Nirwana. Demi kelangsungan ajaran dharma, Dhyani Budha memancarkan dirinya lagi ke dunia yaitu ke Dhyani Boddhisatwa. Setiap jaman mempunyai rangkaian Dhyani Budha, Boddhisatwa dan Manusi Budha. Di wilayah Trowulan sekarang sudah banyak pemahat-pemahat yang membuat arca seperti peninggalan kerajaan Majapahit,sehingga tidak sedikit orang dari luar daerah bahkan luar negeri yang memesan patung-patung seperti patung peninggalan dari kerajaan Majapahit.
Lokasi : Desa Kemloko Kecamatan Trawas 40 km dari Kota Mojokerto.





ARCA TODOWONGSO

Arca Hindu yang dipindahkan ke Trowulan, antara lain, arca Brahma, Syiwa, Durga, Lingga, Yoni, dan Lembu Andini. Materi arca dari batu andesit yang sangat berat membuat proses pengangkutan cukup melelahkan. Tim BP3 Trowulan harus mengerahkan 10 orang untuk mengangkatnya.

Arca dan situs Tondowongso yang ditemukan pad 2007 ini amat penting. Tim ekspedisi BP3 memastikan situs Tondowongso sebagai peninggalan zaman Kerajaan Kadhiri (Kediri) awal karena candi dibangun pada abad XI. "Situs Tondowongso merupakan kompleks candi besar yang dibangun pada abad XI, zaman Kerajaan Kadhiri awal," kata I Made Kusumajaya, Kepala BP3 Trowulan, Mojokerto. "Karya seni transisi perpindahan kerajaan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Masterpiece yang luar biasa."

Ketika kerajaan pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, penduduknya ikut pindah sehingga banyak candi dibangun di kawasan Jawa Timur. Proses perpindahan itu terjadi sejak 929 Masehi. Kerajaan Kadhiri merupakan kerajaan tertua di Jawa Timur. Setelah masa Kerajaan Kadhiri berakhir, muncul Kerajaan Singosari kemudian Majapahit. Ketiga kerajaan itu memiliki keterkaitan dari sisi historis dan arsitektur.

Sejumlah ciri-ciri yang menjadi patokan bahwa situs Tondowongso merupakan peninggalan zaman Kerajaan Kadhiri awal adalah jenis arca yang ditemukan memiliki tekstur amat halus. "Kehalusan arca Tondowongso lebih halus dibanding arca Pradnya Paramita, yang kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta,"

"Detail dan pahatannya sangat halus dan sempurna." Tiap arca ditempatkan pada ruang-ruang tersendiri dalam kompleks candi. "Dengan banyaknya arca yang ditemukan, ini jelas kompleks candi yang besar. Setidaknya ada 4 candi," kata Kusumajaya. "Saat ini baru terlihat gapura besar di sebelah utara dan gapura kecil di sebelah selatan."

Penemuan ini, menurut Kusumajaya, sekaligus menjadi pembuktian prediksi Profesor Sukmono, guru besar Arkeologi Yogyakarta, yang melakukan penelitian di Kediri pada 1957. Pada saat itu, Profesor Sukmono mengatakan di kawasan Kediri ada situs besar yang merupakan peninggalan Kerajaan Kadhiri. Kompleks candi Tondowongso memiliki luas lebih dari 1 hektare. Panjang sudut timur hingga barat sepanjang 80 meter. Panjang utara hingga selatan 120 meter. Lebar (ketebalan) pagar 130 sentimeter. "Sebagai penggambaran, ukuran candi ini seperti Candi Prambanan, tapi agak kecil sedikit.

KOMPLEK MAKAM TROLOYO

( Makam Komunitas Muslim Majapahit )

Lokasi : Di Dukuh Sidodadi, Desa Sentonorejo, kecamatan Trowulan. Kira-kira 750 m di sebelah selatan Candi Kedaton dan Sumur Upas.

Sangat toleransinya Majapahit terhadap agama Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.

Petilasan Walisongo
Menurut cerita rakyat, Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum niagawan muslim dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan Troloyo tersebut kemudian dibuat petilasan untuk menandai peristiwa itu. Tralaya berasal dari kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat pembuangan bangkai (mayat), sedangkan berarti rusak/mati/kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai ralaya.

Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur.

Ketenaran Makam Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.

Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.

Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan Pakis yang terletak lebih kurang 2 Km di sebelah selatannya. Peneliti pertama kali P.J. Veth, hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Java II yang diterbitkan dalam tahun 1878. Kemudian L.C. Damais seorang sarjana berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam “Etudes Javanaises I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO (Bulletin de Ecole francaise D’extrement-Orient). Tome XLVII Fas. 2. 1957. Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.

Kepurbakalaan yang ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit. Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai - Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M. Dalam buku The Malay Annals of Semarang and Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah kemudian mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.

Pada masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya (Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan orang-orang pribumi.

Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi kurun waktu antara 1368–1611 M.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam Troloyo, yaitu Zainudin. Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari kepercayaan masyarakat.

Kesimpulannya bahwa ketika Majapahit masih berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di sekitar ibu kota. Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah komplek terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian belakang (barat laut). Komplek makam yang terletak di sebuah bagian depan berturut-turut sebagai berikut :
  1. Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya berangka tahun dalam huruf Jawa Kuno 1397 Saka (= 1457 M) ada tulisan arab dan lambang ‘surya Majapahit”.
  2. Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349 Saka (1427 M) bertuliskan Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
  3. Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada yang membaca 1377 Saka tapi ada yang membaca 1389 Saka, hampir sama dengan atasnya.
  4. Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah aus, pembacaan ada dua kemungkinan : tahun 1319 Saka atau tahun 1329 Saka serta terpahat tulisan Arab kutipan dari surah Ali Imran 182 (menurut Damais 1850).
  5. Makam yang dikenal sebagai Sabdo palon, berangka tahun 1302 Saka dengan pahatan tulisan Arab kutipan surah Ali Imran ayat 18.
  6. Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya tidak berhias. Dahulu pada nisan kepala bagian luar menurut Damais berisi angka tahun 1298 Saka.
  7. Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan. Menurut Damais pada nisan kepala dahulu terdapat angka tahun 1340 Saka pada bagian luar dan tulisan Arab yang diambil dari hadist Qudsi terpahat pada bagian dalamnya.

Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama unsur-unsur pendatang (Islam) nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam. Sedangkan apabila diperhatikan adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah thoyyibah dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan nampaknya masih pemula dalam mengenal Islam.

Dengan banyaknya peziarah yang datang ke kompleks makam ini mempunyai nilai positif bagi masyarakat sekitar situs. Dampak posistif itu dapat dilihat dari segi ekonomi, di mana pendapatan masyarakat sekitar menjadi bertambah.

Hal ini menjadi perhatian dari pemerintah daerah untuk membangun sarana dan prasarana yang ditujukan untuk menarik pengunjung. Namun demikian terdapat juga sisi negatifnya, yaitu pembangunan yang mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian.Dari keadaan sekarang yang ada di situs Makam Troloyo diketahui bahwa sarana-sarana bangunan yang ada menyimpang dari penataan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Pasal 27 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa

pemugaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarahnya. Pengrusakan situs Troloyo dalam arti luas telah merubah bentuk secara keseluruhan, antara lain denah halaman makam, serta benda cagar budayanya itu sendiri. Denah halaman yang dimaksud adalah tambahan bangunan baru berbentuk lorong beratap, serta jirat dan nisan diganti bahan keramik baru warna putih sehingga sangat terlihat tidak asli. Perubahan tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian benda cagar budaya.

Kasus pengembangan Makam Troloyo ini dapat menjadi pelajaran bagi kita, agar dikelak kemudian hari tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa pada situs yang lain, mengingat dewasa ini semakin maraknya perhatian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap situs-situs kepurbakalaan yang bersifat living monument

Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali Sanga, Kemudian di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi: Bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah permodo, Naya Genggong, Sabdo palon, Emban Kinasih dan Polo Putro

MAKAM PUTRI CAMPA

( Istri Raja Brawijaya V )

Terletak di desa Trowulan, kecamatan Trowulan, dapat dicapai dari peremapatan Trowulan ke arah selatan sekitar 500 m, kemudian pada sebuah simpang tiga belok ke timur sejauh lebih kurang 250m. tepatnya bangunan Makam Putri Cempa di sebelah timur Laut Kolam Segara.

Makam Putri Cempa dikeramatkan terutama pada hari-hari tertentu yaitu pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Legi ramai dipenuhi oleh para wisatawan dalam berbagai keperluan. Nama “Putri Cempa” adalah nama yang diberikan berdasarkan cerita rakyat.


Obyek yang mempunyai nilai kepurbakalaan adalah batu nisan berangka tahun 1370 Saka (1448 M) dalam huruf Jawa Kuno. Nisan berangka tahun tersebut sebanyak dua buah, yang satu terletak di makam utama yaitu di halaman paling belakang di tempat yang letaknya agak tinggi dan sebuah lagi di halaman tengah dalam ukuran lebih kecil.

Yang pertama berukuran, tinggi : 62 cm, lebar ; 43 cm, dan tebal : 13 cm. sedangkan yang kedua, tinggi : 32 cm, lebar : 22 cm, dan tebal : 11 cm. peristiwa apa yang ditandai dengan tahun 1370 Saka tersebut belum dapat dipecahkan. Kemungkinan komplek makam Putri

Cempa adalah makam-makam bangsawan atau Keluarga majapahit yang telah masuk agama islam. kubur panjang dan makam putri Cempa. Keduanya diyakini sebagai makam putri Cempo, yang menurut kisah yang ada, memang sengaja dibuatkan makam palsu karena masalah pertikaian agama saat itu, seperti diketahui dalam buku Dharmo Gandhul, Majapahit dibawah pemerintahan Brawijaya V diserbu oleh anaknya sendiri, Raden Patah dari Demak.





CANDI PASENTRAN

(Peninggalan Masa Akhir Majapahit )


Candi Pasetran di Desa Wotanmas Kecamatan Ngoro. Dari lokasi itu, ke selatan sekitar kilometer. Candi Pasetran terletak sekitar 300 utara Candi Jedong. Tak ada yang istimewa dari candi ini. Tapi, bagi orang yang berkecimpung dengan dunia olah kebatinan, boleh jadi tempat ini cocok.

Candi Pasetran terbuat dari batu bata, yang tersusun setinggi sekitar 1,5 meter. Bangunan seperti tembok keliling, dengan pintu di utara dan atap terbuka. Di dalam ruangan itu terdapat sejumlah batu. Bangunan ini berada dekat kuburan kampung. Memasuki komplek ini terkesan magis. Di sana sepi dan tidak ada penjaga. Di luar candi di kelilingi pagar kawat berdiri. Diperkirakan, bangunan ini sebagai tempat untuk pemujaan.

Di Desa Pamotan Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo, sebuah monumen tua, juga bisa Anda temukan di sana. Bangunan ini populer disebut sebagai Candi Pamotan Kini, bangunan itu tinggal pondasinya saja. Masih di Kecamatan Porong,

Majapahit juga memiliki peninggalan Candi Sumur di Desa Candi Pari. Kondisi Candi Sumur semula sudah runtuh, dan berhasil direkonstruksi sebagian. Candi Sumur diperkirakan seumur dengan Candi Pari (1371 M) yang berdiri sekitar 100 meter dari bangunan tersebut. Candi Sumur berbetuk bujur sangkar 8 x8 meter dan tinggi 10 meter. Candi menghadap ke barat.


CANDI PENAMPEHAN

Peninggalan Majapahit


Candi ini berada ditengah areal Perkebunan Teh, jarak dari Ibu kota Kecamatan Sendang sekitar 8 km. Secara administratif situs Candi Penampehan masuk dalam wilayah Dusun Turi, Desa Geger, Kecamatan Sendang. Areal Perkebunan The ini berada dilereng Tenggara Gunung Wilis.


Situs ini merupakan sebuah candi berundak teras yang membujur barat - timur. Pada teras pertama, yakni bagian paling bawah terdapat bangunan semacam altar yang disusun dari batuan andesit berdenah lonjong dengan ukuran panjang 5 m, lebar 2,5 m dan tinggi 1,5 m.

Dibagian atas altar berbentuk lojong itu terdapat sebuah prasasti bahan dari batuan andesit berbentuk persegi dengan anka tahun 820 Ç .Selain itu terdapat dua buah arca laki-laki yang di gambarkan seperti wayang sebuah arca Ganesa ; dua buah arca wanita dan sebuah bola batu.

Pada teras kedua dibatasi oleh semacam pagar batuan andesit.Selanjutnya melalu sebuah tangga masuk di tengah teras terdapat teras ketiga yakni teras yang paling tinggi,disini terdapat tiga buah bangunan. Bangunan pertama yang berada ditengah teras,tepat didepan tangga masuk,merupaka bagian berbentuk persegi panjang,bahan andesit dan batu bata sebagai isiannya dengan ukurang panjang 9,70 m,lebar 4,90 m dan tinggi 1,10 m.

Bangunan ini terbentuk kura-kura raksasa,bahan yang digunakan andesit. Dibagian atas kura-kura raksasa ditemukan sebuah prasasti berangkat tahun 1382 Ç dan sebuah arca tokoh wanita dengan angka tahun 1116 Ç. Disisi kiri teras utama ini terdapat sebuah bangunan berbentuk bujur sangkar.

Bangunan perwara berbatua bata yang sudah tidak lengkap namun masih terlihat di bagian kakinya terdapat panil2 berisi relief yang menggambarkan cerita berlakon Binatang, serta relief 2 ekor gajah sedang membajak di sawah. Saat ini candi penampihan digunakan sebagai obyek wisata baik wisatawan dari dalam maupun dari luar kabupaten tulungagung
.

CANDI RANDU AGUNG

( Peninggalan Majapahit )

di kawasan Kabupaten Lumajang sebagian bekas kerajaan Lamaja di zaman Majapahit juga mempunyai cukup banyak situs kuno bersejarah. Salah satunya adalah Candi Randu Agung di Desa Randu Agung, Kabupaten Lumajang Utara. Saat ini, sejumlah candi Randu Agung yang merupakan peninggalan kerajaan hindu Majapahit kondisinya mulai hancur akibat kurang terawat.

Bentuk banguna
n candi yang semula menjulang kini telah hancur bahkan nyaris rata dengan tanah. Akibat minimnya perhatian dari pemerintah setempat, candi Randu Agung kini hanya menyisakan reruntuhan bangunan yang sudah tidak terbentuk.

Kondisi ini makin parah dengan hilangnya sejumlah artefak dan arca kuno yang terdapat
di dalam bangunan candi.

Dengan terjadinya aksi pencurian itu, pengelola candi bersama warga telah berupaya maksimal untuk
menemukan kembali arca yang hilang. Namun meski telah dilakukan pencarian hingga kawasan Jawa Tengah arca yang hilang tetap belum bisa ditemukan.

Di diduga arca berupa patung gajah tersebut telah dijual oleh kelompok pencuri arca kepada para kolektor seni kuno yang berada di luar negeri. "Kemungkinan besar arca itu sudah dijual ke
kolektor di luar negeri," katanya.

CANDI DERMO


Candi Dermo, terletak di Dusun Dermo Desa Candi Negoro Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Candi Dermo berukuran tinggi 13,5 meter, panjang 6 meter dan lebar 6 meter. Secara arsitektur, Candi Dermo berbentuk gapura paduraksa, yakni gapura yang bagian atasnya terdapat atap. Bangunan terbuat dari batu bata.

Candi menghadap ke barat dan timur. Pipi tangga dalam kondisi hancur. Di sisi utara dan selatan terdapat penampil berbentuk seperti sayap, tetapi sudah hancur. Hiasan yang masih ada hiasan wajik pada kaki candi. Ada relief sulur-suluran yang terdapat antara badan dan atap candi. Di sekitar kaki candi, terdapat empat buah batu berbentuk kala yang distilir. Namun, batu yang masih ada sana kini tinggal tiga buah.
Kondisi batu masih baik, terdapat relief setengah badan dengan keadaan bagian muka hancur, buah dada menonjol, sikap tangan ditekuk di bawah buah dada dengan membawa kuncup padma. Pada telinga terdapat hiasan anting-anting dan fragmen relief garuda. Batu pertama, berada di kaki sisi timur sebelah kanan pintu masuk. Batu ini berukuran panjang 85 cm, lebar 30 cm dan tebal 43 cm. Batu ini merupakan motif pinggir awan, berbebtuk tiga formasi melengkung dengan bagian tengah berukuran paling besar.

Batu kedua, merupakan fragmen Garuda. Batu ini terletak di kaki sisi timur sebelah kiri pintu masuk. Benda tersebut berukuran panjang 62 cm, lebar 49 cm dan tebal 23 cm. Kondisi batu sudah sangat aus, namun bagian sayap yang tersisa menggambarkan tokoh burung Garuda. Batu ketiga, terletak di kaki sisi barat sebelah kanan pintu masuk. Batu ini memiliki ukuran panjang 44 cm, lebar 34 cm dan tebal 16 cm.

Benda tersebut merupakan fragmen arca burung Garuda. Fragmen ini sebagian sudah patah. Tetapi, dilihat dari bagian kepala dan sedikit bahu serta sayap kanan dan kiri, batu itu menggambarkan sebagai Garuda dengan julut terbuka dan di atasnya terdapat guci Amerta. Candi ini berada di tengah-tengah perkampungan penduduk dan berdampingan dengan kuburan kampung. Beberapa bagian batu pada candi ini tampak keropos, karena proses alam. Namun, di balik kerusakan itu, Candi Dermo masih menampilkan sisa-sisa keindahannya.

Candi Dermo sedang dalam perencanaan akan di renovasi. Beberapa potongan kertas dengan kode-kode angka tampak tertempel dibeberapa bagian candi. Sebenarnya candi ini sudah pernah direnovasi pada jaman penjajahan belanda, namun renovasi yang dilakukan nampaknya merubah wajah candi, karena lebih bersifat mempertahankan candi dari keruntuhan daripada upaya menyusun ulang badan candi.

CANDI NAGA

( Peninggalan Masa Akhir Majapahit )


Berlokasi di Dusun Balekambang, desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur

Teras I : Panjang 7,00m, Lebar 1,00 m; Teras II : Panjang 7,00m, Lebar 0,70 m Tinggi 0,90 m; Teras III : Panjang 6,30m, Lebar 1,20 m Tinggi 0,70 m; Teras IV : Panjang 4,00m, Lebar 0,70 m Tinggi 0,35 m;

Candi Niaga I merupakan bangunan berteras empat terletak dilereng Gunung Bekel, menghadap ke timur dengan ketinggian 1060 m DPL. Bangunan candi ini berdenah bujur sangkar, berukuran 8m x 8m. Tangga masuk ke halaman candi menempel pada lereng yang curam. Antara teras satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh anak tangga dengan pipi tangga yang sudah tidak utuh lagi. Teras I mempunyai lima anak buah tangga dan berpenampil dengan ukuran tinggi 1,00 m, lebar 1,50 , tebal 1,10 m, lebar pintu 0,60 m. Teras II mempunyai empat buah anak tangga. Dinding teras I dan II struktur batunya relatif masih utuh dan keadaan polos tanpa hiasan. Pintu masuk dan anak tangga dari teras II ke arah teras III sudah rusak dan pada dinding teras terdapat hiasan bentuk be;ah ketupat sebanyak delapan buah. Pada teras tertinggi yaitu teras ke IV tampak adanya sisa-sisa bangunan pemujaan yang sudah rusak berat. Ragam hias pada candi Naga I antara lain pelipit hirisontal, hiasan tumpal, relief taring dan lidah. Secara keseluruhan keadaan candi Naga I dibangun pada masa akhir kerajaan Majapahit abad 14-15 Masehi.

Yang dimaksud Candi Naga ialah candi yang bagian tubuh candinya dibelit oleh ular besar atau naga. Ini sangat unik karena di seluruh Indonesia candi ini merupakan satu-satunya bangunan candi yang dihias ular naga dengan bentuk yang sangat mencook.

Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik atau mutiara.

Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Dari tiga peran naga yang dicontohkan di atas fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan

.

CANDI SAWENTAR


Berlokasi di Garum sebelah timur Blitar, Candi Sawentar sangat mirip dengan candi Kidal dan dibangun sekitar abad 13. Dasar candi terletak beberapa meter dibawah permukaan tanah karena timbunan lava gunung Kelud dan baru digali awal abad 20. Adanya "yoni" ditengah candi dan figure Garuda menunjukan bahwa candi ini diperuntukan untuk Dewa Wisnu.

CANDI ANGKA TAHUN



Disebut demikian karena di atas ambang pintu masuk bangunan terdapat angka tahun: 1291 Saka (=1369 Masehi). Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meteran. Di kalangan masyarakat lebih di kenal dengan nama Candi Browijoyo karena model bangunan ini dipergunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya.

Kadang-kadang ada yang menyebut Candi Ganesa karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca ganesa. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar (voluta) dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki.

Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain terdiri dari bagian - bagian yang disebut: Kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi dimana terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota nampak hiasan yang meriah. Pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang dibagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan.

Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kalayang di Jawa Timur sering disebut banaspati yang berarti raja hutan yang bisa berupa singa atau harimau. Penempatan kepala kala diatas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke komplek percandian. Bangunan candi Angka Tahun cukup terkenal seakan-akan bangunan inilah yang mewakili komplek percandian Panataran.

Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda.


Bale Agung

Bangunan seluruhnya terbuat dari batu dindingnya masih dalam keadan Polos. Pada dinding sisi selatan dan sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa undak-undakan sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua bagian. Begitu pula pada dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan bale agung dililiti oleh ular atau naga, kepala ular tersembul pada bagian sudut bangunan.

Di sebelah kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca mahakala. Arca-arca Mahakala yang teletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding sisi timur nampaknya tidak lengkap lagi.

Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Sejumlah umpak batu yang berada di lantai atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau Pedanda.