( Tempat Pertemuan Raja Majapahit )
Pendopo Agung
Misteri juga menyelimuti Pendopo Majapahit yang berjarak tidak jauh dari Situs Kedaton di Desa Sentonorejo tersebut. Pendopo Majapahit itu diyakini merupakan pusat kerajaan Majapahit dengan dugaan luasnya yang mencapai besaran kilometer, terbentang ke barat, timur, selatan dan utara dari pendopo. Di belakang pendopo, ada batu miring yang merupakan tempat Gajahmada membaca ikrar "Sumpah Palapa", kemudian di belakangnya merupakan tempat pertapaan dan makam Raden Wijaya.
Tempat-tempat bersejarah di Trowulan menyimpan banyak misteri. Tak heran, jika penjaga candi dan juru kunci makam suka melontarkan nasehat ketat buat mereka yang berkunjung ke lokasi. Di belakang Pendopo Agung Trowulan, terdapat tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu kelahiran Majapahit. Tempat yang diyakini sebagai petilasan Raden Wijaya ini bernama Petilasan Panggung. Disinilah Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa, disaksikan Raden Wijaya dan para pengikutnya.
Masuk kompleks petilasan, pengunjung akan melihat bebatuan yang dibentuk layaknya makam. Ruangan itu dihiasi kelambu putih transparan dan beberapa lukisan yang menambah kesakralan Petilasan Panggung. Pada waktu tertentu, khususnya malam Jumat Legi, banyak orang datang untuk berdoa dan mengharap berkah. Tak tanggung-tanggung, mereka berdatangan dari Jakarta, Surabaya bahkan Bali. Pemugaran lokasi Petilasan Panggung dan Pendopo Agung yang dilakukan Ibu Sudarijah pada tahun 1964 dan mantan Pangdam V Brawijaya, Imam Utomo pada tahun 1995, tak mengurangi kekhusukan para pengunjung.
Tahun 1985 hingga 1995, Petilasan Panggung sempat tertutup untuk publik. Sejak dinyatakan dibuka kembali, pintu petilasan tidak lagi tertutup dan boleh dimasuki para tamu, kapan saja.
Masih di kompleks yang sama, pengunjung juga bisa melihat sebuah tonggak yang menancap di tanah dengan kemiringan kurang lebih 60 derajat. Konon, tonggak ini pernah digunakan sebagai tonggak tempat mengikat gajah dan kuda kendaraan Gajah Mada.
Sebuah sumber menyebut, tonggak ini tak bisa dicabut. Untuk meraba panjangnya juga sulit, karena saat digali, tonggak itu seperti tak berpangkal. kompleks bangunan utama berupa Pendopo berbentuk Joglo. Rumah adat Jawa Kuno ini dijaga oleh patung Gadjah Mada yang terletak di sebelah kiri gapura. Di pelataran pendopo, terdapat sejumlah pohon beringin. Daunnya yang lebat membuat halaman menjadi rindang dan berhawa sejuk.
Bahkan, di saat matahari terik pun pendingin alami ini membuat udara tetap sejuk, karena sinar matahari tidak mampu menerobos rimbunan daun. Di belakang pendopo, juga terdapat halaman luas. Pagar setinggi 1,5 meter mengitari halaman yang senyap tertutup rimbun pohon-pohon besar yang tumbuh liar. Sebuah makam panggung lengkap dengan batu nisannya terdapat di halaman yang ditumbuhi rumput liar tak terawat ini.
Makam ini berada di bangunan yang menyerupai pendopo dengan luas sekitar 300 meter persegi. Untuk bisa memasuki ruangan makam, kita harus melewati tirai kain warna putih. Wangi-wangian kembang melati dan kemenyan (dupa) segera tercium begitu kita berada di dalamnya. Tepat di tengah ruangan berukuran 5 x 6 meter, makam dengan pusara itu berada.
Di atas pusara terdapat dua payung bertangkai panjang. Sebuah lukisan yang menggambarkan kekuatan bumi, air, api, dan cahaya pun menghiasi dinding di sisi makam. Sosok laki-laki berbadan kekar mirip Gadjah Mada melambangkan bumi. Lukisan laki-laki berwarna hitam ini tengah memangku sosok putri.
Unsur api digenggam tangan kanan dan sosok putri -- perlambang air -- ada di tangan kiri. Kepala raksasa bumi ini menyangga putri -- perlambang cahaya -- yang membawai semua unsur di bawahnya. Ruangan ini hanya diterangi lampu warna kuning 10 watt, yang membuat kesan angker dan magis. Menurut jurumakam, Sajaduk, makam panggung ini bukanlah makam sungguhan dalam arti tempat persemayaman terakhir manusia. Namun, warga mempercayai tempat ini dulunya merupakan wilayah hutan Tarik sebagai tempat permulaan Raden Wijaya melakukan babad alas yang kemudian menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit. "Ada pula yang meyakininya sebagai tempat Gadjah Mada bersemedi,"