Selasa, 29 Maret 2011

EKSPEDISI SINGOSARI



PEMERINTAHAN DI BALI SETELAH EKSPEDISI KERAJAAN SINGHASARI

Pulau Bali sebelum ditaklukan oleh kerajaan Singhasari adalah wilayah yang merdeka dan raja yang berkuasa di wilayah tersebut merupakan keturunan dari wangsa Warman. Kerajaan Singhasari pada jaman pemerintahan Kertanegara mencapai masa keemasannya. Diantara Raja-Raja Singhasari, Raja Kertanagara yang pertama tama melepaskan pandangan ke luar Jawa.

Raja Kertanagara ingin mendobrak politik tradisional yang hanya berkisar pada Janggala-Panjalu dan ingin mempunyai kerajaan yang lebih luas dan lebih besar dari kedua wilayah tersebut yang berupakan warisan dari Raja Erlangga. Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda Wilayah Bali yang berdekatan dengan kerajaan Singhasari menjadi salah satu wilayah yang harus dikuasai untuk mewujudkan cicta cita dari Raja Kertanegara.

Oleh karena itu setelah exspedisi pamalayu berhasil dengan gemilang maka ekspedisi ke Pulau Bali menjadi target berikutnya. Maka pada tahun 1284 Masehi dikirimlah sejumlah pasukan dibawah pimpinan :

  1. Ki Kebo Bungalan
  2. Ki Kebo Anabrang
  3. Ki Patih Nengah
  4. Jaran Waha
  5. Ki Arya Sidi
  6. Ki Amarajaya
Ekspedisi Raja Kerta Negara tersebut mendarat di pantai timur Buleleng, tepatnya di Desa Kubutambahan. Sehingga, ada Pura Pule Kerta Negara di tempat tersebut. Untuk menaklukkan Pulau Bali. Di Bali pasukan tersebut berhasil mengalahkan Raja Bali yang bergelar Paduka Batara Parameswara Seri Hyangning Hyang Adidewa Lancana dan dibawa ke Kerajaan Singhasari sebagai tawanan perang.

Berkat keberhasilan menundukkan Pulau Bali, Ki Kebo Bungalan yang pada tahun 1275 Masehi juga pernah diutus ke Jambi dalam Exspedisi Pamalayu, kini diangkat oleh Raja Kertanegara sebagai wakil pemerintahan Singhasari di Pulau Bali dengan gelar Rakrian Demung Sasabungalan. Ki Kebo Bungalan pada waktu memerintah Pulau Bali sudah lanjut usia sehingga untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari harinya diserahkan kepada Putranya yang bernama Ki Kebo Parud.

Keberadaan Kebo Parud sebagai penguasa di bali dibuktikan dengan sebuah prasasti yang dikeluarkan olek Kebo Parud yang berangka tahun caka 1218 Caka yang berisi persoalan tentang desa kedisan “ Mewang Ida Raja Patih meka kasir Kebo Parud “

Berdasarkan nama nama patih dan berdasarkan isi prasasti tersebut, ternyata patih itu adalah pegawai Negara yag berasal dari Jawa Timur, nama semacam itu sering dijumpai dalam kerajaan Singhasari. Ada kemungkinan bahwa patih yang dimaksud bertugas sebagai gubernur atau semacamnya yang mewakili pemerintahan Singhasari di Bali.

Selanjutnya terdapat prasasti lainnya yang menyebutkan nama “Ida Ken Kanuruhan” dan yang istimewa pula prasasti tersebut tidak memakai sapatha sebagaimana yang sering dijumpai dalam prasasti prasasti di Bali pada umumnya. Kebo Parud juga mengeluarkan prasasti yang berangka tahun Caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawana yang terletak diperbatasan Min Balingkang. Dalam prasasri tersebut terdapat kata-kata “Mpukwing Dharma Anjar, Mpukwing istana radja, Mpukwing dewa istana” Gelar para menteri diubah menjadi Jro atau diduga Arya sebagai contoh Ida Raja Sang Arya = Ida Sang Arya Aji Kara.

Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda Agama yang yang dianut oleh Kebo Parud adalah Wajrayana yaitu suatu aliran Tantrisme dari agama Budha.

Di Singhasari pada saat tersebut sedang berkembang dan malahan menjadi pusat aliran Wajrayana. Aliran ini sangat condong kle dalam ilmu sihir atau ilmu gaib yang sebagai pemimpinnya adalah rajanya sendiri yaitu Raja Kertanegara. Demikianlah di peseteran Singhasari ditemukan arca Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul, disamping itu juga terdapat arca Bhairawa, dimana Raja Kertanegra sering melakukan upacara upacara yang berakitan dengan aliran yang dianutnya.

Pada jaman pemerintahan Kebo Parud di Bali terdapat arca Bhairawa didaerah Pejeng yang bentuknya mirip dengan arca Bhairawa yang terdapat di Singhasari. Demikianlah ada kemungkinan besar bahwa latihan latihan Wajrayana juga dilakukan oleh wakil pemerintahan Singhasari di Pulau Bali. Para pendeta Budha kemudian mendirikan sebuah biara (asrama) di Bedaulu didekat biara Ratna Kunjarapada yang diketahui sebagai sebuah asrama bagi para pendeta Ciwa.

Hal tersebut sesuai yang terdapat dalam buku Nagarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca. “ Sang Budhadhyaksa muwing Bedaulu Bedaha luwing Gajah ran pramada wruh “ Artinya ada pendeta Budha besar yang berdiam di Bedaulu, di luwing Gajah yang tidak pernah pramada (angkara). Mungkin yang dimaksud dengan luwing Gajah adalah tempat disekitar air Gajah yang seperti diketahui daerah air Gajah adalah daerah disekitar sungai Patanu tempat didirikannya asrama asrama tersebut.

Dalam hal ini Goa Gajah termasuk dalam lingkungan Dharma Anta Kunjarapada. Para pendeta Ciwa tentu merasa tidak senang melihat perkembangan aliran Wajrayana di bali sehingga timbullah persaingan diantara mereka. Rakyat Bali pada umumnya memihak kepada pendeta Ciwa yang berarti mereka tetap memuja Maharesi Agatya Pemerintahan Ki Kebo Parud (1296-1324 M)

Pada tahun 1293 terjadi perubahan kekuasaan di Jawa Timur dimana Kerajaan Singhasari mengalami keruntuhan dan Raja Kertanegara tewas akibat pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Kertanegara berhasil menumpas pembrontakan tersebut dan mendirikan Kerajaan Majapahit.

Karena Kerajaan Singhasari telah mengalami keruntuhan maka Majapahit sebagai pengganti kerajaan Singhasari mengambil alih seluruh daerah kekuasaan kerajaan Singhasari termasuk Pulau Bali. Pada tahun 1296 M Sri Rajasa Jaya Wardana sebagai Raja Majapahit yang pertama, menunjuk Ki Kebo Parud sebagai wakil pemerintahannya di Pulau Bali dengan gelar Raja Patih.

Dalam melaksanakan pemerintahannya Ki Kebo Parud mengangkat beberapa senapati dan pejabat tinggi lainnya untuk membantunya dalam pemerintahanya dan mengganti beberapa pejabat penting pada waktu pemerintahan Raja Adidewa Lancana dengan pejabat baru yang berasal dari Jawa Timur. Pejabat penting yang diganti diantaranya :

  1. Senapati Weresanten
  2. Mpu Abdaraja
  3. Senapati Balembunut Dyaksa
  4. Mpu Tohujar diganti
  5. Senapati Danda
  6. Mpu Arusningrat
  7. Senapati Dinganga
  8. Mpu Suradikara
  9. Senapati Kuturan
  10. Mpu Angambara
  11. Para pendeta Siwa diantaranya Dang Acarya Harimurti, Pendeta di Sthanaraja, Dang Acarya Haridewa, Pendeta di Amurnaraja, Dang Acarya Madyagra, pendeta di Katubrih, Dang Acarya Satyangsa, Pendeta di Makarum
  12. dan Dang Acarya Karnikangsa sebagai samegat juru – wadwa ·
  13. Para Pendeta Budha diantaranya Dang Upadyaya Atmaja, pendeta di Nalanda dan Dang Upadyana Budhadnyana, pendeta Kutihanyar dan Tiramangsa sebagai Samegar Mangirengiren
  14. Samegat Juru Tulis kehakiman diantaranya Tarayaruhun, Niraweruh dan Namapinda
  15. Samegat Manyumbul : Nayalor
  16. Samegat Pituhanya : Werdeng Pramohab
  17. Samegat Caksukaranapuranya : Digaja
  18. Samegat Karanapuranya : Sidhamukti
Sebagai gantinya Ki Kebo Parud kemudian menunjuk beberapa pejabat penting diantaranya :

  1. Senapati Danda : Ki Gagak Semeningrat alias Ki Gagak Suluhingrat
  2. Senapati Sarbhwa : Ki Dangdang sangka
  3. Senapati Balembunut : Ku Kuda Makara
  4. Ken Demung : Ki Gajah Pamugeran
  5. Ken Rangga : Ki Dangdang Bangbungalan
Selain itu beliau juga mengakat beberapa Wadwa-haji yang ditempatkan di beberapa tempat di Bali diantaranya :

  1. Wadwa-haji di Panji :Ki Sangkarinsing dan Ki Ranggahwalik
  2. Wadwa-haji di Sarwa-patih Ki Jadang-mider, Ki Bimapaksa dan Ki Gajah Sereng
  3. Wadwa-haji di Kurtija : Ki Banyak Endah dan Ki Panggah-parya ·
  4. Wadwa-haji di Jingrana : Ki Kidang-semu ·
  5. Wadwa-haji di Guleng dan Perang : Ki Binajaga Beberapa kementrian atau kesenapatian yang belum ada pejabatnya dibentuk diantaranya Senapati Dinganga, Senapati Manyiringin dan Senapati Beladyaksa.
Perutusan Pendeta Siwa dan Budha pun dibentuk disesuaikan dengan peraturan yang terdahulu, namun pejabatnya belum diresmikan diantaranya pendeta Siwa di Dharmahanyar, di Astanaraja, di Dewastana dan di Binor sedangkan perutusan pendeta Budhanya di Burwan, di Puwanegara, di Kutrihanyar dan di Ajinegara, juga dilantik Tri-samegat atau tiga pejabat yang sangat berkuasa di Istana.


PEMERINTAHAN DIKEMBALIKAN KEPADA WANGSA WARMAN

Demikianlah pergantian pejabat tinggi kerajaan yang dilakukan oleh Ki Kebo Parud sebagai wakil pemerintahan Kerajaan Majapahit di Pulau Bali. Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di Bali hanya bersifat sementara saja. Beberapa tahun kemudian, oleh karena keadaan Bali sudah aman maka pada tahun 1324 Masehi, atas perintah Jayanegara sebagai Raja Majapahit yang kedua, pemerintahan Bali dikembalikan lagi kepada keturunan Wangsa Warma karena mengingat bahwa Pulau Bali sejak dari dulu diperintah oleh raja raja keturunan wangsa Warman.

Pemerintahan Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa (1324-1328 M) Adalah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa yang bergelar Sri Paduka Maharaja Bhatara Mahaguru yang ditunjuk oleh Raja Jayanegara sebagai wakil Kerajaan Majapahit di Pulau Bali. Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa adalah keturunan dari Bhatara Guru Sri Adi Kunti-Ketana yang memerintah Bali pada tahun 1204 M. Raja ini adalah keturunan dari raja dua sejoli Sri Gunapriya Dharmapatni dan suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah tahun 989 s/d 1001 M di Kerajaan Bedulu.

Kerajaan Bedulu diperkirakan terletak diantara desa Bedulu dan Pejeng (Gianyar) dan bekas pemandian Raja kini disebut sebagai Pura Arjuna Matapa. Pemerintahan Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa adalah wakil pemerintahan Kerajaan Majapahit di Bali sehingga untuk jabatan penting seperti Senapati beliau mengakat orang – orang dari Majapahit disamping orang orang dari Bali sendiri.

Senapati yang diangkat beliau diantaranya : ·
  1. Kidalang Camok diangkat menjadi Senapati Kuturan
  2. Ki Candi Lengis diangkat menjadi Senapati Sarbwa
  3. Ki Jagatrang diangkat menjadi Senapati Weresanten
  4. Ki Pindamacan diangkat menjadi Senapati Balem bunut
  5. Ki Gagak Sumeningrat diangkat menjadi Senapati Baladyaksa
  6. Ki Kuda Makara / Ki Kuda Langkat Langkat diangkat menjadi Senapati Danda ·
  7. Ki Lembu Lateng diangkat menjadi Senapati Manyiringan ·
  8. Ki Gagak Lepas diangkat menjadi Senapati Dinganga
  9. Mantri irah Prana diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman I
  10. Mantri Wadyawadana diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman II
  11. Ki Panji Singaraja diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman III
Perutusan pendeta Siwanya adalah :
  1. Paduka Raja Guru diangkat menjadi pendeta besar yang berkuasa di Dharmahanyar II.
  2. Paduka Rajadyaksa diangkat menjadi pendeta besar yang berkuasa di Air Gajah sekarang di Goa Gajah.
  3. Paduka Raja Manggala diangkat menjadi pendeta besar di Trinayana.

Perutusan pendeta Budhanya adalah :
  1. Dang Upadyaya Pujayanti diangkat menjadi pendeta besar di Biharanasi
  2. Dang Upadyaya Karmangga diangkat menjadi pendeta besar di Puranagara.
Demikianlah susunan pejabat kerajaan yang diangkat oleh beliau. Dalam pemerintahannya beliau juga membuat undang undang desa yang ditata diatas perunggu dan isinyapun kebanyakan disesuaikan dengan prasasti-prasasti yang telah ada. Segala keputusan beliau didasarkan atas permusyawaratan dan tempat pengambilan keputusan biasanya dilakukan di balai-pendapa yang ada di istana.

Para pendeta Siwa, Budha, Resi dan Mahabrahmana yang ada di desa desa sangat dihargai oleh beliau, bahkan mereka diikutsertakan dalam sidang disamping pejabat pejabat resmi di Kerajaan. Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dalam melaksanakan sehari hari tugas pemerintahannya telah mengangkat putranya sendiri yang bernama Sri Trunajaya sebagai raja muda. Akan tetapi entah mengapa raja muda ini belum bersedia untuk dicalonkan menjadi raja.

Sebagai raja Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa sangat bijaksana dalam menjalankan pemerintahan, Beliau sangat taat melakukan upacara di pura-pura, terlebih pemujaan terhadap leluhurnya. Dari itulah beliau membuat peraturan-peraturan adat untuk upacara Paduka Bhatara almarhum yang dicandikan di Candi Manik yang upacaranya jatuh pada setiap bulan purnama dalam bulan Cetra (Maret).

Bangunan bangunan suci banyak didirikan pada jaman pemerintahan beliau, sebuah taman yang sangat indah telah dibangun disebelah selatan desa Bangli. Kolamnya dihiasi patung “Makaradewi” sedangkan di sebelah selatannya dibuat bangunan suci (Pemerajan) untuk pemujaan beluiau yang disebut Gua Merku. Kini komplek taman tersebut disebut Taman Bali.

Pemerintahan Sri Walajaya Kertaningrat (1328-1337 M) Pada tahun 1328 Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa mangkat dimana perisitiwa tersebut tahunnya bersamaan dengan terbunuhnya Jayanegara raja Majapahit yang ke dua oleh tabib Ra Tanca. Setelah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa wafat maka putranya yang bernama Trunajaya menggantikan kedudukan beliau sebagai raja dengan memakai gelar Sri Walajaya Kertaningrat hal tersebut tercantum dalam prasasti yang tersimpan di desa Selembung (Karangasem).

Dalam prasasti itu juga disebutkan Pura Hyang Api atau Agni Sala tertulis nama Maharesi Agastya yang menyelesaikan perkara desa Selembung. Adapun pejabat pejabat pemerintahan pada masa pemerintahan ayah beliau masih tetap dipertahankan kecuali jabatan untuk Senapati Balembunut diganti sebanyak 2 kali.

Pada tahun 1324 M jabatan tersebut dipegang oleh Ki Pinda Macan sedangkan tahun 1325 diganti oleh Ki Gentur sampai akhirnya dipegang oleh Ki Bondantuhed. Pada pemerintahan beliau, desa Selumbung dibebaskan dari pembayaran pajak dan rodi karena desa ini memelihara sebuah candi yang ada di Linggabawana. kemungkinan candi tersebut adalah merupakan tempat abu ayahanda beliau yaitu Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dimakamkan.

Keadaan pulau Bali pada masa pemerintahan belia sangat tenang dan aman. Pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten (1337- Pada tahun 1337 M raja Sri Walajaya Kertaningrat mangkat, sehingga untuk menggantikan kedudukan beliau adalah saudaranya sendiri yang bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten hal tersebut tercantum dalam prasasti di desa Langgahan.

Mengenai Raja tersebut ada berbagai pendapat, ada yang berpendapat bahwa raja itulah yang dimaksud dengan nama Mayadanawa yang dikalahkan oleh Batara Indra, kemudian ada pendapat lainnya yang mengatakan bahwa raja tersebut seorang raja yang berbudi jahat.

Berdasarkan arti kata Sri Astasura Ratna Bumi Banten mengandung makna seorang putra para dewa yang menjelma di pulau Bali. · Asta = delapan · Sura = dewa · Ratna = permata · Bumi Banten = tanah Bali/ wilayah Bali

Dengan kata lain permata dari delapan dewa yang ada di Pulau Bali Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten menganut agama Ciwa seperti yang tercantum dalam prasasti “ Sapatha indah ta kita bhatara punta hyang Angasti Maharesi, purwa, daksina, pascima, uttara, agneya, neriti, byawya, aisanya, urdha-adha, rawi, caci, ksiti jalapawana, ahoratri, hutasana, sandyadwaya, yaksa basawa saca, pretasura garuda gandharwa, graham naksatra, kinnara-raksasa pigana, catwari lokapala, Indra Yama waruna kuwera, mwang putradwata, nandiswara mahakala, kita prasidha rumaksa bhumi hyang tara Bali “

Dalam menjalankan pemerintahannya beliau membentuk beberapa kesenapatian yang baru. Beliau mengangkat seorang mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki Pasunggrigis, yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura bersemayam.

Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh. Para menterinya di sebutkan antara laian :
  1. Krian Girikmana tinggal di Desa Loring Giri Ularan (Buleleng)
  2. Krian Tambiak tinggal di desa Jimbaran
  3. Krian Tunjung Tutur tinggal di desa Tenganan
  4. Krian Buahan tinggal di desa Batur
  5. Krian Tunjung Biru di desa Tianyar
  6. Krian Kopang tinggal di desa Seraya dan Walungsari tinggal di desa Taro. 7
  7. Krian Kalagemet di Desa Tangkas
  8. Krian Buahan di Batur
  9. Krian Walung Singkal di Desa Taro
Dikisahkan di Bali adalah raja bernama Sri Gajah Waktera yang dikatakan sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. Disebabkan karena merasa diri sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali merasa takut kepada siapapun, walau kepada para dewa sekalipun.

Sri Gajah Waktera mempunyai sejumlah pendamping yang semuanya memiliki kesaktian, kebal serta juga bijaksana yakni : Mahapatih Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di Tengkulak, Patih Kebo Iwa bertempat di Blahbatuh, keturunan Kyai Karang Buncing, Demung I Udug Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana - Ularan berdiam di Denbukit, Ki Tunjung Tutur di Tianyar, Ki Tunjung Biru berdiam di Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak berdiam di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya, Ki Kalung Singkal bertempat tinggal di Taro.


ARTI KATA BEDAHULU

Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten ternyata tidak mau kalah wibawa dan menyatakan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Majapahit, meskipun beliau adalah keturunan Majapahit. Karena itu beliau dijuluki Raja Bedahulu, “Beda” artinya berbeda (pendapat) dan “Hulu” berarti atasan. Tegasnya raja ini melepaskan diri dan tidak mau tunduk dibawah kekuasaan Majapahit sebagai atasan yang dulu mengangkatnya.

Sikap dan prilaku Raja ini didengar oleh Ratu Majapahit karena itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi menjadi marah besar sehingga beliau merencanakan untuk mengirim pasukan besar ke Bali dibawah pimpinan Patih Gajah Mada.

Untuk lebih jelasnya bahwa Raja Bali diangkat oleh Singhasari dan Majapahit dapat diuraikan sebagai berikut : Setelah akhir pemerintahan Raja Kembar Mahasora dan Mahasori atau yang lebih dikenal dengan Raja Masula Masuli yang menjadi Raja Bali adalah Sri Hyang Ning Hyang Adidewa Lencana (tahun 1260 -1286 M)

Pada masa pemerintahan raja ini Bali diserang dan dikuasai oleh Kerajaan Singhasari dibawah kepemimpinan Raja Kertanagara. Raja Adidewa Lancana kemudian ditangkap dan dibawa ke Singhasari tahun 1286 M. Sejak itulah Bali menjadi keuasaan kerajaan Singhasari. Dengan dikuasainya Bali oleh Singhasari maka pengangkatan raja raja Bali selanjutnya dilakukan oleh Raja Singhasari.

Namun Demikian karena Kerajaan Singhasari runtuh akibat Penyerangan dari Prabu Jayakatwang yang menyebabkan Prabu Kertanagara Gugur maka selanjutnya pengangkatan raja Bali dilakukan oleh Majapahit yang merupakan penerus dari kerajaan Singhasari. Raja Bali pertama yang diangkat oleh Prabu Kertanagara adalah Ki Kryan Demung yang berasal dari Jawa timur yang kemudian digantikan oleh putranya Ki Kebo Parud.

Berikutnya yang menjadi raja Bali adalah Sri Paduka Maharaja Batara Mahaguru ( 1324-1328 M). Beliau diangkat oleh Raja Majapahit yaitu Prabu Jayanegara/ Kalagemet. Yang menggantikan beliau adalah putranya sendiri yaitu Sri Tarunajaya dengan gelar Sri Walajaya Kertaningrat (1328-1337 M). Sesudah beliau meninggal dunia, maka digantikan oleh adiknya yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang berarti Raja yang berkuasa (1337-1343 M)

SEJARAH BERDIRINYA MAJAPAHIT


Majapahit adalah Kerajaan yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Didahului oleh kerajaan Sriwijaya, yang beribukotakan Palembang di pulau Sumatra. Kerajaan ini dirintis oleh Raden Wijaya yang merupakan keturunan keempat dari Ken Arok dan Ken Dedes.

Sebelum kerajaan M
ajapahit lahir, telah berdiri terlebih dahulu pada tahun 1222 Masehi kerajaan Singosari yang pendirinya adalah Ken Arok yang berpusat di. Malang (Tumapel).

Lambang Kerajaan Majapahit

Penelusuran terhadap lahirnya kerajaan Majapahit tidak terlepas dari keberadaan kerajaan Singosari Tumapel. Begitupun kalau kita menelusuri awal bersatunya nusantara, tidak bisa terlepas dari kiprah Majapahit. Artinya keberadaan Singosari, Majapahit, dan Nusantara adalah sesuatu yang bersifat integral dan tidak terpisahkan satu sama lain.

Dalam sejarah bangsa Indonesia Majapahit memanglah ‘hanya’ satu di antara banyak kerajaan yang pernah berkembang di dalam tubuh bangsa persatuan yang kini disebut “Indonesia” ini. Walaupun demikian sejarahnya patut disimak dengan cermat karena kelebihannya: cakupan teritorialnya yang paling ekstensif, durasinya yang cukup panjang, serta pancapaian-pencapaian budayanya yang cukup bermakna.

Diawali dengan rintisan di masa Singhasari, yaitu masa Pra Majapahit yang mempunyai kesinambungan dinastik dengan masa Majapahit, Perluasan wilayah dilanjutkan dengan mencakup daerah-daerah yang lebih luas. Pada masa Singhasari negara-negara yang disatukan di bawah koordinasi kewenangan Singhasari adalah: Madhura, Lamajang, Kadiri, Wurawan, Morono, Hring, dan Lwa, semua mengacu pada daerah-daerah di pulau Jawa (timur ) dan Madura.

Untuk lebih jelasnya sebelum mengerti sejarah Majapahit akan diuraikan terlebih dahulu sejarah berdirinya kerajaan Singhasari yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit.

Sejarah berdirinya Majapahit dimulai dari Perintah dari Raja Singhasari yaitu Kertanagara yang memerintahkan Raden Wijaya untuk menghalau serangan tentara Kadiri di desa Memeling. Raden Wijaya di desa Mameling berhasil menumpas musuh.

Candi Waringin Lawang
diperkirakan sebagai Gapura Majapahit


Dengan puas tentara Singosari kembali menuju ibukota, Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di perbatasan sorak sorai tentara musuh yang telah berhasil merusak keraton Singhasari. Raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Raden Wijaya berusaha menyelamatkan apa yang masih mungkin bisa diselamatkan, mereka dengan gagah berani menyerbu kedalam istana, namun karena jumlah tentara kediri yang begitu banyak maka usaha tersebut tidak berhasil.

Raden Wijaya kemudian dikepung oleh patih Daha Kebo Mundarang sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Raden wijaya dengan pengikutnya Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangli, Malusa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kepetengan, Wirota Wiragati dan Pamandana lari melintasi sawah yang baru habis dibajak. Ketika hampir tertangkap oleh Patih Mundarang, Raden Wijaya memancal tanah bajakan sehingga jatuh didada dan dahi ki Patih ,Raden Wijaya pun berhasil lolos dari kejaran musuh.

Wilayah Kekuasaan Majapahit.

Setelah beristirahat sejenak Raden Wijaya kemudian membagi-bagikan celana gringsing kepada pengikut-pengikutnya tiap orang sehelai dan diperintahkan ngamuk, Pada waktu menjelang malam ketika tentara Kediri sedang berpesta pora Raden Wijaya dan para pengikutnya kembali lagi masuk kedalam keraton Singhasari.

Putri Kertanegara yang bungsu yaitu Gayatri ditawan oleh muduh dan dibawa ke Kediri sedangkan putri yang sulung yaitu Tribuaneswari berhasil diselamatkan oleh Raden Wijaya. Atas nasehat Lembu Sora, Raden Wijaya bersama Putri dan para pengikutnya kemudian mundur ke luar kota menuju arah utara karena tidak ada gunanya melanjutkan perang yang pasti akan membawa kekalahan karena jumlah tentara Kediri jauh lebih besar.

Candi Kedaton
Reruntuhan Istana Majapahit

Masih ada kira kira 600 orang pengikut Raden Wijaya. Paginya ia bertemu lagi dengan musuh, banyak prajurit yang putus asa dan meninggalkannya, hingga pengikutnya tinggal sedikit. Maka Wijaya bermaksud meneruskan perjalanan menuju ke Terung untuk minta bantuan kepada Akuwu Terung, Wuru Agraja yang diangkat sebagai akuwu oleh Mendiang Sri Kertanegara., dengan harapan memperoleh bantuan untuk mengumpulkan orang di sebelah timur dan timur laut Terung.

Maka pengikut Wijaya menjadi gembira dan pada malam harinya mereka berangkat ke barat melalui Kulawan yang telah dijadikan benteng oleh musuh, di mana ia menjumpai musuh yang besar jumlahnya.

Arca Pertapa Hindu Jaman Kerajaan Majapahit.

Raden Wijaya dikejar oleh musuh dan lari ke utara menuju Kembangsri (Bangsri), di mana ia berjumpa lagi dengan musuh, hingga ia terpaksa bergegas mencebur ke Bengawan dan menyeberanginya. Di sungai ini banyak prajuritnya yang tewas terkena tumbak musuh. Banyak yang lari mencari hidup sendiri-sendiri.

Sesampainya di seberang sungai pengikut Wijaya tinggal duabelas orang. Pada pagi hari rombongan Wijaya diketemukan oleh rakyat Kudadu. Disana Raden Wijaya diterima dan dijamu ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan kelapa muda dan nasi putih. Raden wijaya sangat terharu atas sambutan tersebut . Gajah Pagon yang menderita luka cukup parah di pahanya akhirnya ditinggal di Dusun pandak, disembunyikan di tengah ladang.

Raden Wijaya kemudian melanjutkan perjalanan Ke Pulau Madura diantar sampai di daerah Rembang. Dalam Pararaton dusun Pandak tidak disebut yang disebut ialah datar. Lempengan tembaga yang terdapat di Gunung Butak di daerah Mojokerto yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah menjadi Raja Majapahit terkenal dengan Piagam Kudadu sebagai ungkapan terima kasih Raden Wijaya kepada ketua dusun kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah sebelum melanjukan perjalanan ke Madura.

Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberangi laut menuju Madura untuk meminta perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang Bupati Singhasari yang ditempatkan di didaerah tersebut.. Raden Wijaya Tiba di Madura Setibanya di Pulau Madura, Raden Wijaya dan pengikutnya segera menemui Arya Wiraraja.

Sikap Arya Wiraraja sebagai Bupati Singhasari tidak berubah meskipun tahu Kerajaan Singhasari telah runtuh. Sambutan yang demikian membuat Raden Wijaya terharu sehingga menjanjikan apabila berhasil mengembalikan kekuasaan yang telah direbut Jayakatwang maka wilayah kerajaan setengahnya akan diberikan kepada Arya Wiraraja. Arya Wiraraja sangat senang mendengar janji Raden Wijaya dan akan berupaya mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginan Raden Wijaya tersebut.

Prajurit Majapahit

Arya Wiraraja juga memberi nasehat agar Raden Wijaya menyerah dan mengabdi kepada Prabu Jayakatwang di Kediri dan selama tinggal di istana, Raden Wijaya diminta menyelidiki sampai dimana kekuatan tentara Kadiri. Setelah itu Raden Wijaya diminta mengajukan permohonan kepada Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan dan tanah tandus di daerah Tarik dan Arya Wiraraja akan mengirimkan orang-orang Madura untuk membantunya.

Buah Maja

Konon, buah maja ditemukan pada saat Raden Wijaya diijinkan membuka hutan Tarik Demikianlah Arya Wiraraja kemudian mengirimkan utusan ke Kadiri untuk menyampaikan bahwa Raden Wijaya menyerah dan bermaksud untuk mengabdi kepada Prabu Jayakatwang. Permohonan tersebut disetujui oleh Prabu Jayakatwang.

Raden Wijaya kemudian berangkat ke Kadiri dengan diantar oleh Arya Wiraraja sampai di daerah Terung dan Raden Wijaya kemudian dijemput oleh patih kadiri yaitu Sagara Winotan dan Yangkung Angilo di daerah Jung Biru. Adapun Tribhuwaneswari yang turut serta dalam perjalanan Raden Wijaya ke Madura dititipkan ke pada Arya Wiraraja.

Kedatangan Raden Wijaya dan para pengikutnya di Kadiri bertepatan dengan perayaan hari raya Galungan. Setelah cukup lama mengabdi di Kadiri Raden Wijaya kemudian mengusulkan untuk membuka daerah tarik (daerah Sidoarjo) menjadi hutan perburuan bagi Prabu Jayakatwang yang suka berburu. Usul tersebut segera disetujui tanpa curiga. Daerah Tarik terletak di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu yang sekarang terletak di sebelah Timur Mojokerto.

Raden Wijaya Segera mengirim Wirondaya ke Sumenep Madura untuk melaporkan persetujuan tersebut kepada Bupati Madura Arya Wiraraja. Arya Wiraraja kemudian mengerahkan orang Madura untuk membuka Hutan tarik Dalam waktu singkat hutan tarik berhasil dibuka dan orang Madura yang membantu pembukaan hutan tersebut kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut kemudian dinamakan Majapahit atau Wilwatikta.

Konon pada saat itu, seorang tentara yang haus mencoba memakan buah maja yang banyak terdapat pada tempat itu dan menemukan bahwa ternyata rasanya pahit sehingga daerah itu dinamai demikian. Wilwa artinya buah Maja, Tikta artinya pahit. Setelah Hutan Tarik berhasil dibuka, Raden Wijaya kemudian minta izin kepada Prabu Jayakatwang untuk menengok daerah tersebut.

Prabu Jayakatwang mengizinkan asal tidak lama tinggal didaerah tersebut. Demikianlah akhirnya Raden wijaya berangkat bersama pengiringnya pada hari mertamasa. Pada hari ke tujuh Raden Wijaya akhirnya sampai di daerah Tarik dan tinggal di Pesanggrahan yang terbuat dari bambu yang dikelilingi kolam. Panji Wijayakrama memberikan uraian yang sangat jelas tentang keberadaan daerah Majapahit sebagai berikut :

  • Kota yang dibangun menghadap ke sungai yang besar yaitu sungai brantas yang mengalir dari Kediri sampai ke laut.
  • Sungai kecil yang mengalir dari selatan yaitu kali mas yang pada jaman tersebut disebut kali Kancana.
  • Perahu dagang hilir mudik silih berganti dikemudikan oleh orang Madura. · Orang Madura mengalir tak putus putusnya ke Majapahit, mereka menetap di Majapahit bagian utara yang dinamakan Wirasabha. ·
  • Disebelah tenggara kota adalah jembatan.
  • Daerah yang dibuka sebagian besar berupa sawah dan perkebunan yang ditanami bunga, pucang, pinang , kelapa dan pisang ·
  • Telah tersedia tahta dari batu putih tempat duduk Raden Wijaya yang dinakaman Wijil Pindo yang artinya pintu kedua.
Raden Wijaya pandai mengambil hati rakyat Majapahit yang baru saja menetap di daerah Tarik, orang orang dari Daha dan Tumapel kemudian banyak yang menetap di daerah Majaphit. Di desa ini Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap mendiang Prabu Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel.

Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupanya ia pun kurang menyukai Raja Jayakatwang. Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal yang diutus oleh Raden Wijaya ke sumenep Madura telah sampai. Semua pesan Raden Wijaya telah disampaikan kepada Arya Wiraraja.

Ketika mereka akan kembali putra Arya Wiraraja yang bertempat di dusun Tanjung di sebelah Barat Madura dikirim ke Majapahit membawa pesan ayahnya bahwa Arya Wiraraja belum bisa datang ke Majapahit dan Arya Wiraraja akan secepatnya mengirim utusan ke Tiongkok untuk minta bantuan tentara Tartar. Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal akhirnya pulang ke majapahit mengiringi Putri Tribhuwaneswari dan Putra Arya Wiraraja yaitu Ranggalawe.

Nama Ranggalawe adalah pemberian Raden Wijaya kepada putra Arya Wiraraja tersebut karena ketegasan tindak tanduknya pada saat pertama kali bertemu Raden Wijaya. Lawe artinya benang / wenang karena dia diberikan wewenang untuk memerintah seluruh rakyat Madura dan diberi pangkat Rangga.

Keesokan harinya Raden Wijaya bersama Ranggalawe, Ken Sora dan para Wreddha Menteri lainnya menyusun siasat untuk menyerang kerajaan kediri. Namun sebelum penyerangan dilaksanakan Ranggalawe minta ijin pulang ke Madura untuk mengambil kuda ayahnya yang berasal dari daerah Bima dan kuda kuda lainnya untuk tunggangan para panglima pasukan. Usul tersebut disetujui akhirnya Ranggalawe pulang ke Madura.

Raden Wijaya telah lama meninggalkan kediri, akhirnya pada bulan Waisaka datang utusan dari Prabu Jayakatwang yang bernama Sagara Winotan yang meminta kepada Raden Wijaya untuk balik ke Kediri karena Prabu Jayakatwang akan melaksanakan perburuan di daerah baru tersebut. Pada saat Sagara Winotan ada di Majapahit datanglah Ranggalawe dengan kuda kuda perangnya dari Madura. Kuda kuda tersebut kemudian diturunkan dari atas Kapal.

Arca Raden Wijaya


Segara Wionotan terheran heran melihatnya. Untuk menghindari kecurigaan dari utusan kediri tersebut, Raden wijaya kemudian menjelaskan bahwa kuda kuda tersebut akan dipergunakan untuk persiapan berburu Prabu Jayakatwang. Segara Winotan percaya akan maksud baik Raden Wijaya dan ingin segera melihat sepak terjang orang orang Madura dalam melaksanakan perburuan. Namun perkataan Segara Winotan tanpa disadari telah menyinggung hati Ranggalawe sehingga menyahut “ apa bedanya tindak landuk petani Madura dengan orang Daha, segera engkau akan mengetahui kemampuan orang Madura “. Raden Wijaya terkejut mendengar teriakan lantang Ranggalawe.

Kalau hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi perselisihan diantara kedua orang tersebut dan apa yang telah dirahasiakan selama ini akan terbongkar. Untuk menenangkan suasana Ken Sora kemudian mengajak Ranggalawe untuk mengawasi penurunan kuda kuda dari kapal. Segara Winotan yang terkejut dengan teriakan Ranggalawe segera menanyakan siapakan gerangan orang tersebut.

Raden Wijaya menjelaskan bahwa orang tersebut adalah Kemenakan Ken Sora dari Tanjung sebelah barat Madura. Ucapannya kasar karena dia adalah petani bentil, karena itu janganlah terlalu diambil hati. Segera Winota kemudian kembali ke Daha. Kuda yang dibawa oleh Ranggalawe dari Madura berjumah 27 ekor kemudian dibagikan kepada para pemimpin pasukan. Segara Winotan telah kembali ke Kerajaan Kediri kemudian melaporkan ke hadapan Prabu Jayakatwang persiapan berburu yang telah dilakukan oleh Raden Wijaya, tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maklumlah selama di daerah Tarik Segara Winotan hanya diterima di daerah Warasaba dan tidak diberi kesempatan untuk melihat keadaan kota.

Raden Wijaya sangat pintar untuk menerima tamunya sedemikian rupa sehingga Segara Winotan tidak mengetahui persiapan perang yang sedang direncanakan oleh Raden Wijaya. Arya Wiraraja telah bersiap siap untuk berangkat ke Majapahit diiringi Bala tentaranya dari Madura. Kedatangannya dengan perahu sampai di Canggu disambut oleh Raden Wijaya dan ditempatkan di Pesanggarahan yang telah dipersiapkan untuknya.

Arya Wiraraja minta maaf kepada Raden Wijaya karena telah mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Raden Wijaya yang menjanjikan 2 orang putri dari Tumapel akan diserahkan kepada Kaisar Tartar bila mampu menundukkan kerajaan Kediri dibawah pimpinan Prabu Jayakatwang. Kaisar Tartar berjanji bahwa pasukan Tartar akan datang pada bulan Waisaka.

Dalam menyusun siasat untuk menyerang Kerajaan Kediri, Ranggalawe mengusulkan agar pasukan majapahit dipecah menjadi 2 yaitu ·

  • Arya Wiraraja memimpin pasukan yang bergerak melalui jalan raja, lewat Linggasana.
  • Raden Wijaya memimpin pasukan yang melalui Singhasari. Ranggalawe akan ikut dalam pasukan pimpinan Raden Wijaya, kedua pasukan akan bertemu di daerah Barebeg.
Dalam Kidung Harsa Wijaya Pupuh IV diuraikan tentang peperangan Majapahit dengan Kerajaan Kediri. Ranggalawe berpendapat tidaklah mungkin terjadinya perang tanpa ada penyebabnya, karena hal tersebut akan menimbulkan tuduhan bahwa Raden Wijaya tidak tahu berterima kasih akan kebaikan Prabu Jayakatwang yang telah menerima Raden Wijaya dan pengikutnya dengan baik selama mengabdi di kerajaan Kediri.

Oleh karena itu Ranggalawe mengusulkan agar Raden Wijaya mengirimkan utusan ke Prabu Jayakatwang untuk meminta putri Puspawati dan Gayatri yaitu putri Prabu Kertanagara yang ditawan oleh Kerajaan Kadiri. Jika permintaan tersebut tidak dikabulkan maka alasan tersebutlah yang akan dipakai dasar untuk menyerang Kerajaan Kediri. Ken Sora, Gajah Pagon dan Lembu Peteng lebih cendrung untuk memberontak begitu saja, karena bukan tidak mungkin prabu Jayakatwang akan meluluskan permintaan Raden Wijaya tersebut.

Nambi mengusulkan agar tentara Majapahit berusaha memikat Menteri Menteri kerajaan Daha sehingga ikut membantu pemberontakan terhadap pemerintahan prabu Jayakatwang. Usul tersebut ditolak oleh Podang yang mendapat dukungan dari Panji Amarajaya, Jaran Waha, Kebo Bungalan dan Ranggalawe. Karena pandapat yang berbeda beda tersebut akhirnya mereka semua minta pendapat dari Arya Wiraraja, karena telah terbukti Arya Wiraraja pandai memberi nasehat kepada Raden Wijaya. Arya Wiraraja memberi nasehat agar Raden Wijaya bersabar menunggu kedatangan Pasukan dari Tartar sebulan lagi.
Pasukan Berkuda Mongol
Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1293, 20.000 pasukan Mongol mendarat di Jawa. disebelah barat Canggu dan langsung membuat benteng pertahanan di lembah Janggala. Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal.

Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293.

Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan. Kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar. Untuk mendapatkan gambaran betapa besar kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar ke Jawa kami mencoba membuat analisa data yang disebut dalam buku W.P.Groeneveldt. Analisa ini juga untuk mendapatkan gambaran susunan dari Satuan Tugas ini.

Armada tugas berkekuatan 1000 kapal dengan perbekalan cukup untuk satu tahun. Gubernur Fukien diperintahkan oleh Kubilai Khan untuk menghimpun pasukan berkekuatan 20.000 dari propinsi-propinsi Fukien, Kiang-si dan Hukuang. Tiga propinsi ini berada di Cina Selatan. Fukien berbatasan dengan laut selat Taiwan. Pasukan ini dikumpulkan di pelabuhan propinsi Fukien bernama Chuan-chau dari mana armada diberangkatkan.

Jadi pasukan yang dikumpulkan dari tiga propinsi adalah terdiri dari orang Cina. Sebagai pemimpin umum ditunjuk Shih-pi dan Ike Mese dan Kau Hsing sebagai pembantu-pembantunya. Dari namanya dapat diperkirakan, Shih-pi dan Ike Mese adalah berasal dari Mongolia (Tartar asli) sedang Kau Hsing adalah Cina. Pasukan Tartar yang menyerbu ke Eropa terkenal karena pasukan kudanya.

Jadi dapat diperkirakan pasukan kavaleri yang ikut ke Jawa ini terdiri atas orang-orang Tartar. Selain dari tiga propinsi di atas disebut pula adanya beberapa kesatuan yang dikumpulkan di Ching-yuan (sekarang Ning-po) di sebelah selatan Syang-hai. Shih-pi dan Ike Mese lewat daratan dengan pasukan itu berjalan dari sini menuju Chuan-chou, sedang Kau Hsing mengangkut perbekalan dengan kapal.

Jadi diperkirakan pasukan yang berkumpul di Ning-po ini adalah kesatuan-kesatuan berkuda (kavaleri) yang disebut dalam laporan Shih-pi berkekuatan 5000 orang, kiranya terdiri dari orang-orang Tartar. Maka dapat diperkirakan, expedisi yang berkekuatan 20.000 orang ini terbagi dalam infanteri 15.000 orang. Dalam kronik Cina itu tidak disebut berapa besar jumlah awak kapal yang 1000 buah itu. Kalau tiap kapal berawak kapal 10 orang maka seluruhnya akan berjumlah 10.000 orang pelaut.

Jadi seluruh expedisi ini berkekuatan 1000 kapal, kira-kira 30.000 prajurit dan 5000 kuda. Sesampainya di Tuban expedisi tersebut, seperdua dari kekuatan tempur didaratkan di sini dan menuju Pacekan lewat darat. Bagian yang lewat darat ini dipimpin oleh Kau Hsing terdiri atas kavaleri dan infanteri sedang seorang “Commander of Ten Thousand” (Pangleksa) meminpin pasukan pelopor.

Shih-pi dengan seperdua bagian lainnya menuju Ujunggaluh lewat laut membawa perbekalan armada dipimpin oleh Ike Mese. Kiranya bagian yang dengan kapal ini adalah kesatuan-kesatuan bantuan dan senjata bantuan, kesatuan perbekalan dan kesatuan senjata berat, pelempar peluru (batu?). Mengingat keadaan medan di Jawa diperkirakan banyak terdiri dari rawa-rawa maka senjata berat ini akan selalu disiapkan di kapal saja.

Bagian terbesar dari expedisi ini adalah kesatuan infanteri. Maka dapat diperkirakan seluruh kekuatan expedisi terbagi atas kesatuan kavaleri 5000 orang, kesatuan infanteri kira-kira 10.000 orang dan kesatuan bantuan kira-kira 5000 orang yang dapat dipakai sebagai bantuan cadangan. Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar.

Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh. Penyerangan Kerajaan Kadiri Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi.

Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari. Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja

Singhasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol. Ike Mese mengetahui kalau Kertanegara memiliki ahli waris bernama Raden Wijaya.

Ia pun mengirim utusan menemui Raden Wijaya yang berkampung di Majapahit. Raden Wijaya bersedia menyerah dan tunduk kepada Mongol asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang raja Kadiri. Ike Mese kemudian diundang ke desa Majapahit. Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama.

Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang. Kisah serangan Mongol terhadap Jawa tersebut tercantum dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya, Notes on The Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources (1880).

Menurut cerita Pararaton Permohonan Arya Wiraraja kepada Kaisar Tiongkok untuk memperoleh bantuan dalam usahanya menyerang kerajaan Kediri dengan janji dua orang putri dari Tumapel dan seorang Putri dari Kerajaan Kediri yaitu Ratna Kesari pada hakikatnya adalah bumbu romantis dari pengiriman tentara tersebut. Tanpa permohonan bantuan dan janji tersebut tentara Tartar pasti datang ke Jawa untuk menuntut balas atas penghinaan utusannya yang bernama Meng ki oleh Prabu Kertanegara.

Di muka telah diuraikan bagaimana watak Kaisar Kubilai Khan yang sangat ambisius untuk memperluas daerah kekuasaannya, namun hal tersebut berbenturan dengan Prabu kertanagara yang sadar akan keagungannya sebagai raja yang berdaulat sehingga tidak mau tunduk begitu saja akan keinginan kaisar Kubilai Khan. Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat.

Kubilai Khan

Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari.

Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang. Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji. Berita pendaratan pasukan dari Tartar telah tersiar sampai di kerajaan Kediri, berita pendaratan tersebut ditambah dengan pemberontakan rakyat Majapahit dan penduduk di sebelah timur Tegal bobot sari dipimpin oleh Arya Wiraraja.

Berita tersebut menimbulkan keributan antara rakyat dan tentara Kediri, Segara Winotan dituduh berkhianat kepada raja karena memberikan laporan yang tidak sebenarnya, segala kesalahan ditumpahkan kepadanya. Puncak keributan tersebut berupa penghunusan keris oleh Kebo Rubuh yang siap ditikamkan kepada Segara Wonotan tetapi dengan cepat berhasil dicegah oleh Prabu Jayakatwang. Pada saat itu datang akuwu di Tuban yang memberikan laporan bahwa tentara Tartar telah mendarat di daerah tersebut.

Mereka merusak Kota Tuban, rakyat banyak yang lari mengungsi. Prabu Jayakatwang menyadari bahwa negara benar benar dalam keadaan terancam. Pasukan harus segera dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang akan datang. Untuk membendung tentara Tartar dan majapahit akhirnya diputuskan tentara Kediri akan dibagi dalam 3 pertahanan yaitu :

  • Mahisa Antaka dan Bowong memimpin pertahanan di bagian Utara , Prabu Jayakatwang ikut dalam pertahanan ini.
  • Sagara Winotan dan Senapati Rangga Janur memimpin pertahanan di bagian Timur.
  • Kebo Mudarang dan senapati Pangelet memimpin pertahaan bagian selatan
Prabu Jayakatwang sangat marah kepada Raden Wijaya sehingga memutuskan menyerang musuh yang sedang bergerak. Tentara Kadiri menyerang Majapahit dari tiga jurusan yaitu fron utara dipimpin oleh para adipati dan anjuru, fron selatan dipimpin oleh Menteri Araraman dan fron timur dipimpin oleh prajurit yang langsung berhadapan dengan pasukan dari Majapahit. Namun semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Majapahit dan Mongol.

Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke kerajaan Kediri mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan Kediri di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.

Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Kadiri.

Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Kadiri. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Kadiri Ike Mese menyerang dari timur, Kau Hsing dari barat, Shih Pi menyusuri sungai, sedangkan pasukan Raden Wijaya sebagai barisan belakang.

Perang meletus tanggal 20 Maret 1293 pagi. Kota Daha digempur tiga kali meskipun sudah dijaga 100.000 orang prajurit. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dalam Kidung Panji Wijayakrama pupuh VII Segara Winotan berhadapan dengan Ranggalawe di pertahanan bagian Timur. Ranggalawe mengendarai kuda Anda Wesi berhasil melompat kedalam kereta Segara Winotan.

Dalam pertempuran diatas kereta tersebut Ranggalawe berhasil memotong leher Segara Winotan sampai tewas. Di bagian selatan Ken Sora berhasil menangkap kebo Mundarang di lurah Trini Panti. Kebo Mundarang yang sudah tidak berdaya berjanji untuk menyerahkan anak perempuannya kepada Ken Sora namun Ken Sora tidak sudi mendengarnya.

Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia. Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Kadiri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit.

Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi di Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan di benteng pertahan ujung galuh.

Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Ujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman. Setelah Raja Jayakatwang kalah, Raden Wijaya mohon diri kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Kerajaan Kediri telah jatuh, Putri Gayatri kemudian diboyong kembali ke Majapahit.

Agaknya timbul perselisihan antara panglima Cina ini dengan panglima-panglima Tartar. Shih-pi dan Ike Mese, karena kedua orang panglima ini telah mengijinkan Wijaya kembali ke Majapahit. Kau Hsing tidak mempercayai Wijaya, maka ia mengejar dan meninggalkan Kediri dengan divisi dan pasukan pelopor yang di bawah pimpinannya.

Majapahit menghalau Tentara Tartar Sebelum dimulai uraian tentang gerakan-gerakan operasi militer oleh Raden Wijaya terhadap kesatuan-kesatuan Tartar, lebih dahulu kita berusaha mendapatkan gambaran mengenai keadaan yaitu medan di mana kesatuan-kesatuan baik dari Majapahit maupun dari Tartar. Keuntungan Majapahit adalah, bahwa prajurit Majapahit lebih mengenal keadaan medan yang bagi orang Tartar masih sangat asing.

Medan berbukit-bukit dan sebagian besar tersusun oleh tanah keras atau bongkah-bongkah karang. Di sebelah timur sungai diperkirakan keadaan tanahnya masih lunak, bahkan banyak yang merupakan rawa-rawa dan di dekat desa di sana-sini berupa tanah persawahan. Kalau ada jalan tentu jalan-jalan ini tidak dikeraskan dengan diberi dasar batu. Baik di barat maupun di timur sungai masih terdapat banyak hutan-hutan lebat. Betapa sukarnya daerah ini dilalui, apa lagi oleh suatu kesatuan militer yang besar, dapat kita perkirakan dari waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak antara Pacekan sampai Kediri.

Dalam kronik Cina laporan Shih-pi menyebut, ia harus bertempur sepanjang kurang-lebih 300 li dari Kediri sampai ke kapal-kapalnya. Memang jarak antara Surabaya dan Kediri adalah kira-kira 130 kilometer lewat jalan berbelok-belok, kalau ditarik garis lempang dari Surabaya sampai Kediri kira-kira jarak itu adalah kurang-lebih 100 kilometer.

Jarak Majapahit-Kediri yang kira-kira tujuhpuluh kilometer itu oleh kesatuan Tartar ditempuh dalam waktu 4 hari (tanggal 15 sampai 19) berjalan. Jadi tiap harinya hanya dapat menyelesaikan jarak kira-kira 17 kilometer. Kalau sehari selama 2 hari masih terang mereka dapat berjalan kira-kira 9 jam, maka tiap jam kiranya dapat diselesaikan 2 km.

Maka dari sini kita dapat membuat perkiraan, betapa beratnya keadaan medan pada waktu itu. Kronik Cina menyebut, Wijaya pada hari ke dua bulan ke empat diizinkan kembali ke Majapahit dengan pasukannya disertai oleh dua orang perwira Tartar dan 200 orang prajurit untuk menyiapkan persembahan bagi kaisar Tartar, jadi 13 hari setelah Kediri menyerah.

Tanggal 9 Mei ia berangkat, sampai di Majapahit tanggal 13 Mei. Dengan diam-diam Wijaya menyiapkan pasukan dan rakyatnya. Dalam Kronik cina disebutkan bahwa Kau Hsing yang sejak tanggal dikalahkannya Kediri mengejar seorang pangeran yang lari ke pegunungan sekembalinya ke Kediri baru mengetahui, bahwa Wijaya telah berangkat dengan ijin Shih-pi dan Ike Mese. Tindakan rekan-rekannya ini tidak disetujui oleh Kau Hsing, agaknya timbullah perselisihan antara para pembesar ini. Diperkirakan Kau Hsing berada di pegunungan selama dua minggu lebih, kita buat 16 hari. Maka ia diperkirakan kembali pada tanggal 14 Mei.

Setelah mengumpulkan divisinya ia segera mengejar Wijaya yang telah sempat menyiapkan pasukan di tempat-tempat pengadangan. Didalam Istana Majapahit sekarang timbul kesulitan yang harus dihadapi Majapahit terhadap pasukan Tartar. Dalam Kidung Wijayakrama dikisahkan bagaimana sikap yang harus diambil jika tentara Tartar menagih janji 2 orang putri Tumapel sebagai hadiah kepada Kaisar Tartar.

Ketika Arya Wiaraja menanyakan hal tersebut semuanya terdiam, tidak berani menjawab. Ken Sora mengemukakan pendapat bahwa tidak baik memungkiri janji yang telah disepakati. Kemudian Ranggalawe bersuara lantang sesuai dengan wataknya “ Jangan takut sang prabu, itu hanyalah soal kecil. Jika kita harus melawan kami bersedia mati sebagai pahlawan.

Jika paduka takut berperang tidaklah masih layak hidup di dunia. Ucapan Ranggalawe yang lantang tersebut membangkitkan semangat dan tekat semua yang hadir, semua setuju dan bersedia mati untuk sang Raja. Akhirnya utusan Tartar telah datang dengan 200 orang pengiring lengkap dengan senjata dan menyerahkan surat untuk menagih janji. Setelah surat dibaca Ken Sora memberitahukan bahwa orang Majapahit tidak akan mengingkari janji yang telah disepakati tersebut.

Namun demikian putri Singhasari tersebut sangat miris kalau melihat senjata karenanya putri bisa pingsan. Oleh karena itu simpanlah baik baik senjata kalian dalam bilik yang terkunci dan beritahukan kepada pasukan pengawal yang akan menjemput tuan Putri untuk tidak membawa senjata. Utusan kemudian kembali membawa pesan Ken Sora kepada kepala Pasukan. 300 orang Tartar kemudian datang menjemput tuan Putri, para pengawal dibawa masuk ke balai panjang untuk di jamu, para wanitanya dibawa oleh Arya Wiraraja kedalam istana.

Ketika mereka sedang berpesta dengan serta merta pasukan Majapahit menyerang mereka. Banyak diantara mereka yang terbunuh, yang selamat kemudian ditawan. Pada tanggal 19 April 1293 Raden Wijaya kemudian menyerang tentara Mongol yang sedang berpesta di Daha dan Canggu. Penyerangan tersebut dari arah utara dan selatan. Kota Kediri telah dikepung, sambil menangkis serangan dari arah selatan mereka bergerak menuju arah utara mendekati pantai tempat armadanya. Namun dari arah utarapun diserang juga sehingga tentara Tartar yang terdesak kemudian berbelok kearah barat .

Pasukan Tartar yang masih tersisa tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian Ike Mese memutuskan mundur setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya. Betapa hebatnya serangan Wijaya ini dapat kita perkirakan dari laporan lain yang menyebutkan, bahwa Shih-pi sampai terputus dari pasukan yang lain. Ini berarti bahwa daerah sepanjang jalan antara Kediri dan Ujunggaluh benar-benar dikuasai oleh pasukan dan rakyat Desa Majapahit. Shih-pi yang meninggalkan Kediri beberapa hari kemudian dan terputus dari pasukan yang lain terpaksa harus dengan bertempur membuka jalan menuju Pacekan dan Ujunggaluh yang dicapainya dengan susah-payah.

Untuk mencapai kapal-kapalnya di muara sungai ia harus bertempur sepanjang jalan kira-kira 300 li, kira-kira 100 km. Ia kehilangan lebih dari 3000 orang tewas dalam pertempuran ini. Ini dapat dibayangkan, bagaimana jalan pertempuran dan mengapa Shih-pi terpaksa harus menelan kekalahan. Kalau Kau Hsing yang memimpin divisi infanteri dengan pasukan perintisnya yang terlatih dapat mematahkan serangan Wijaya, maka pasukan berkuda Tartar yang berada dalam devisi Shih-pi merupakan makanan empuk bagi pasukan panah Majapahit, belum lagi kalau kuda-kuda ini dipancing masuk rawa-rawa maka orang-orang di atas kuda ini merupakan sasaran yang baik bagi anak panah Majapahit.

Tiga ribu orang yang tewas ini kira-kira sabagian besar adalah dari kavaleri. Shih-pi rupa-rupanya dengan tergesa-gesa masuk kapal, karena ia dikejar oleh pasukan Wijaya sampai dekat Pacekan, di Tegal Bobot Sari. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou. Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia.

Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya. Expedisi Tartar meninggalkan Pulau Jawa.

Setelah para panglima kembali berkumpul di Ujunggaluh, maka dalam perundingan diputuskan untuk kembali saja, karena tugas menghukum raja Jawa telah selesai, dan tidak ada gunanya untuk meneruskan pertempuran, karena mereka tak mengenal keadaan medan, mereka dapat terrpancing masuk rawa-rawa, di mana mereka tak bisa bergerak dan dengan mudah diserang oleh orang-orang Majapahit. Kiranya selain itu mereka juga memperhitungkan keadaan angin yang pada akhir bulan Mei biasanya sudah mulai meniup ke Barat (angin timur) dengan tetap.

Selama kira-kira tiga bulan. Untuk bisa cepat sampai di Cina mereka harus segera berangkat, kalau mereka tidak ingin menjumpai rintangan berupa taifun atau angin yang tidak menentu. Maka mereka dapat sampai di Chuang Chou setelah 68 hari meninggalkan Jawa. Juga kemungkinan kejangkitan wabah mereka perhitungkan. Kalau mereka lebih lama berada di rawa-rawa di muara sungai ini, dikuatirkan akan bertambahnya korban disebabkan oleh malaria dan penyakit lain.

Maka diputuskan lebih baik kembali daripada menderita lebih banyak kerugian, untuk menghindari kegagalan total, karena tidak mengenal medan, penyakit dan kehancuran oleh tifun di laut. Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar.

Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Kadiri berhasil dihancurkan.

Demikianlah tentara tartar tidak sempat mengatur siasat dan kehilangan begitu banyak tentaranya akhirnya meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000 tahil perak. Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya.

Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut. Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi.

Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.

Tentara Tartar meninggalkan jawa setelah diserang oleh tentara Majapahit Setelah kekalahan tentara mongol di Jawa karena siasat Raden Wijaya, Kubilai Khan tidak mengirimkan pasukan lagi ke AsiaTenggara. Hal tersebut dikarenakan dinasti Yuan sedang konsentrasi di dalam Negeri termasuk membangun ibukota khanbalik. pembangunan ibukota Khan balik ini yang membuat Mongol menjadi berunbah ada yang mengatakan menjadi lemah karena asalnya Mongol adalah suku pengembara.

pada tahun 1297 Raden Wijaya mengirim utusan ke Beijing untuk berdamai. Kublai Khan senang dan tidak lagi menuntut raja Jawa datang ke Beijing. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara Tartar.

Raden Wijaya kemudian memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit.


RAJA RAJA MAJAPAHIT

Raden Wijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293 setelah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri dan berhasil memukul mundur pasukan Mongol dari tanah Jawa.

Untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.







  1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
  2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanegara (1309 - 1328)
  3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
  4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
  5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
  6. Suhita (1429 - 1447)
  7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
  8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
  9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
  10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
  11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
  12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
  13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)

Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
>

SEJARAH PURI KEDATON KESIMAN

Pada Zaman Pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan tahun 1350 dari Kerajaan Gelgel maka salah satu patih beliau yang bernama Kirarya Wang Bang Pinatih Mantra atau Arya Demung Wang bang Pinatih mendirikan Puri kertalangu yang berlokasi sekarang di Kantor Bappeda – Balitex. Kertalangu mengandung arti sempurna dan indah.


Pada lokasi yang sama juga dibangun sebuah pura disebelah selatan puri yang sekarang menjadi pura Dalem Kesiman yang terletak di sebelah barat Tukad Ayung. Asal usul Kesiman berawal dari ajaran mendesa dimana Kesiman berasal dari kata Sima yang artinya adat-istiadat. Wilayah yang menjadi kekuasaan Puri Kertalangu adalah Batan Buah, Kedaton sebelah timur, Kebon Kuri dan wilayah sekitarnya termasuk Kehen.

Runtuhnya Puri Kertangu berawal dari perselisihan antara Raja Kertalangu I Gusti Ngurah Agung Pinatih dengan metuanya I Dukuh Pahang. Dalam perselisihannya Raja Kertalangfu tidak percaya bahwa I Dukuh Pahang apabila nantinya meninggal tidak dengan jalan moksah sehingga Raja Kertalangu mengatakan kalau itu benar terjadi maka beliau tidak akan menjadi Raja lagi di Puri kertalangu.

Karena ucapannya tersebut I Dukuh Pahang merasa tersinggung dan mengeluarkan kata kata “ Dumadak I Ratu Kakawonang antuk semut, agelis Ratu Kesah saking panegara Badung, kerebut dening semut ( Semoga raja diserang oleh semut dan segera meninggalkan wilayah Badung ). Semenjak saat itu Puri Kertalangu mengalami kemunduran dan terbukti Puri Kertalangu diserang oleh beribu ribu semut sehingga menyebabkan Raja Kertalangu I Gusti Ngurah Agung Pinatih dengan diiringi oleh rakyatnya yang masih setia meninggalkan Puri Kertangu menuju kearah selatan menuju pantai dan berakhir di desa Tulikup dan Desa Sulang.

Adanya kekosongan kepemimpinan di wilayah Kertangu menyebabkan suasana menjadi kacau balau dan ketidak hadiran seorang pemimpin sangat dirasakan pada saat upacara keagamaan dimana banyak pelinggih pelingih yang rusak karena tidak ada lagi yang bertanggung jawab untuk hal tersebut. Kehancuran Puri kertalangu diperkirakan terjadi pada tahun saka 1527 atau tahun 1604 Masehi.

Melihat kedaan yang demikian maka Raja Badung Ida Bhatara Sakti kemudian memerintahkan salah satu Putra beliau yang bernama Kiyayi Agung Pemayun adik seibu dari Kiyayi Anglurah Pemecutan IV untuk membangun puri di wilayah Kesiman untuk meredakan kekacauan tersebut.

Kiyayi Anglurah Pemayun kemudian mendirikan Puri di Kesiman bertempat disebelah barat Pura Pengerebongan yang disebut Puri Kedaton kesiman. Puri menghadap kesebelah Barat di jalan menuju bukit Buwung dan beliau juga membangun tempat suci untuk persembahyangan di aeral puri di bagian utara-tumur (Kaja Kangin).

Dalam Babad Kiyayi Agung Lanang Dawan disebutkan bahwa Ida Bhatara Sakti pemecutan menugaskan Kiyayi Agung Pemayun untuk mengamankan Desa Petilan Pengerebongan Kesiman karena desa tersebut baru saja dikalahkan oleh Raja Badung karena itu untuk membangun pertahanan di bagian timur sangat penting keberadaanya untuk mengantisipasi serangan dari wilayah Batubulan. Puri kesiman didirikan tahun saka 1539 atau tahun 1617 kurang lebih sekitar 12 tahun sejak terjadinya kekosongan di wilayah kertalangu karena runruhnya Puri kertalangu.

Kiyayi Anglurah Pemayun setelah menempati Puri Kesiman mengambil istri dari warga Pande di Wangaya Kaja dan melahirkan keturunan Anak Agung Lanang Wangaya / A.A Lanang Wayahan Pemayun. Kemudian beliau juga m3ngambil istri kedua dari Puri Gelogor menurunkan 2 orang putra yaitu A.A. Pemayun Putra dan A.A. Ngurah Made dan dari itri ke 3 beliau mempunyai seorang putra yang bernama A.A. Ketut Pagan.

Setelah putra beliau berempat dewasa maka dibuatkan tempat tinggal masing masing

  1. Anak Agung Ngurah Pemayun dan adiknya Anak Agung Ngurah Made mewarisi Puri Kedaton Kesiman
  2. Anak Agung Lanang Wangaya/ A.A. Lanang Wayahan Pemayun dibuatkan puri disebelah barat sungai yang bernama Puri Abiantubuh Kesiman
  3. Anak Agung. Ketut Pagan dibuatkan puri disebelah utara Puri Kedaton Kesiman yang bernama Puri Kajanan Batan Buah.

Kamis, 10 Maret 2011

RAJA PEMECUTAN X

IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN /
KIYAYI ANGLURAH PEMECUTAN X


Pada tanggal 28
Oktober 1939 Purnama kelima Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan abiseka Ratu menggantikan Raja Pemecutan IX yang gugur pada peristiwa heroik Puputan Badung pada hari kamis kliwon wara ukir tanggal 20 September 1906 jam 16.00 wita.

Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan sebagai penguasa wilayah Badung tahun 1947

Kisah B
ayi Dalam Perang Puputan Badung


Raja
Pemecutan IX mempunyai 3 orang saudara dari lain ibu yaitu :
  1. Kyahi Ngurah Putu (Menjabat sebagai Patih Agung)
  2. Kyahi Ngurah Made
  3. Kyahi Ngurah Rai
  4. Kyai Ngurah Ketut/ Bima
Dalam perang puputan tersebut semua Saudara beliau gugur sebagai seorang kesatria demi membela tanah Badung agar tidak jatuh ketangan Belanda. Salah seorang Saudara beliau yaitu Kyahi Ngurah Rai mengambil istri dari Jero Grenceng yaitu Anak Agung Ayu Oka yang merupakan anak kandung dari Kyahi Agung Putu Gde lahir seorang bayi yang baru berumur 3 bulan.

Bayi te
rsebut ditemukan terbaring dan menangis disamping jenazah ibunya yaitu Kyahi Agung Ayu Oka yang turut serta gugur mendampingi suaminya Kyahi Ngurah Rai dalam perang puputan tersebut. Bayi yang masih berusia 3 bulan tersebut diselamatkan oleh bibinya yaitu Anak Agung Kompyang Raka untuk dibawa ke Geria Tegeh Bindu Kesiman.

Adapun pertimbangannya dibawa kesana karena disana ada keluarga dekatnya yaitu Anak
Agung Made Oka yang merupakan putri dari Anak Agung Made Banjar dari Jero Grenceng juga sedang menyusui . Bayi ini dipelihara dan diasuh oleh Ida Putu Grodog hingga berusia lima tahun.

Setelah keadaan dirasa sudah aman maka bayi tersebut dikembalikan lagi untuk selanjutnya diasuh oleh kakek dan pamannya di Jero Grenceng. Bayi tersebut kemu
dian diberi nama Kyahi Ngurah Gde Pemecutan. Menurut sesepuh Jero Grenceng, Kyahi Ngurah Gde Pemecutan setelah berumur 20 tahun pindah dari Jero Grenceng ke Jero Kanginan.



PENOBATAN COKORDA PEMECUTAN X


Setelah Perang puputan Badung terjadi kekosongan pemerintahan selama beberapa tahun di Puri Pemecutan, kemudian atas prakarsa keluarga besar Puri Agung Pemecutan dan Warga Ageng Pemecutan dan untuk melestarikan budaya leluhur terdahulu maka dicarilah kandidat untuk diangkat sebagai Cokorda Pemecutan ke X.

Kyahi Ngurah Gde Pemecutan
merupakan keponakan dari Cokorda Pemecutan IX , dalam Perkembangannya karena Raja Pemecutan IX hanya meninggalan seorang Putri yaitu Anak Agung Sagung Ibu maka berdasarkan hasil Musyawarah Keluarga Puri Agung Pemecutan kemudian memutuskan untuk mengangkat Kyahi Ngurah Gde Pemecutan sebagai Keluarga terdekat dari Raja Pemecutan IX dari Jero Kanginan sebagai Raja Pemecutan X dengan gelar Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan.

Sebagai wakil beliau ditetapkan kakak belaiu dari lain ibu yang berasal dari Desa Munggu yang bernama Kiyayi Agung Gede Lanang Pemecutan/ Anak Agung Gede Lanang Pemecutan. Beliau sebagai kakak beradik menampakkan kehidupan yang rukun dan selalu merundingkan berbagai permasalahan untuk dicarikan jalan pemecahannya sehingga masyarakat sangat segan dan hormat kepada beliau.



PEMBANGUNAN PURI AGUNG PEMECUTAN YANG BARU

Karena Puri Pemecutan yang lama telah hancur dan yang tersisa hanya bale kulkul di sebelah selatan puri maka Jero Kanginan yang berlokasi tepat di depan Puri Pemecutan yang lama (disebelah Timur) direhab untuk dijadikan Puri Agung Pemecutan yang baru.

Bangunan bangunan di Puri Yang lama seperti Pemerajan Agung dipindahkan ke puri yang baru dan dibuatkan upacara Ngeteg Linggih pada tahun 1966. Sebagai Arsitek pembangunan puri tersebut yaitu Anak Agung Made Gde dari Jero Grenceng.

Pada Mandala puri baik saren daje maupun saren kelod juga dibangun (pawongan) puri seperti saren daje, saren delod, saren dangin, saren dauh, bale bali tradisional, begitu pula bale lantang sama seperti di Jero Grenceng.

Pada (palemahan) Puri Agung Pemecutan bagian dari Tri Mandala dibangun Kori Agung dan bhetelan sebagai bagian dari bangunan puri untuk keluar masuk sehari hari. Begitu pula candi bentar menghadap ke barat sebagai gerbang utama Puri Agung Pemecutan yang baru.


KETURUNAN IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN X


  • Istri ke I ( A.A Biyang Putu Raka ) Putri dari Kiyahi Lanang Kepaon - Jero Batanmoning tidak mempunyai keturunan
  • Istri ke II ( A.A. Biyang Raka ) dari Jero Kelodan Peken Pasah tidak mempunyai keturunan
  • Istri ke III ( A.A. Sagung Ibu ) Putri dari Raja Pemecutan IX yang merupakan misan kepurusa tidak mempunyai keturunan namun mengangkat anak dari Istri ke V yaitu
  1. A.A Ngurah Mayun Parwaka
  • Istri ke IV ( A.A. Biyang Made Rai ) putri dari Kiyahi Lanang Tanjung mempunyai anak 4 orang :
  1. A.A. Ngurah Manik Parasara (Dinobatkan sebagai Raja Pemecutan XI)
  2. A.A. Sagung Parasari
  3. A.A. Sagung Mirah Pranyadari
  4. A.A. Sagung Putri Paraniti
  • Istri ke V ( A.A. Biyang Ketut Adi ) Putri Kiyahi Lanang Ketut Meregan dari Jero Pasah Pemedilan mempunyai 8 orang putra :
  1. A.A. Ngurah Gede Parasurama
  2. A.A. Ngurah Rai Parwata
  3. A,A, Sagung Bintang Paranawati
  4. A.A. Ngurah Putra Pranayama
  5. A.A. Ngurah Ketut Parwa
  6. A.A. Ngurah Putu Pranacita
  7. A.A. Ngurah Agung Gde Parmadi
  8. A.A. Ngurah Alit Parasuwanta
  • Istri ke VI ( A.A. Biyang Ketut Rai ) Putri Kiyahi Lanang Kedisan dari Jero Pemedilan mempunyai 4 orang putra :
  1. A.A. Ngurah Alit Partiwa
  2. A.A. Ngurah Oka Partayadnya
  3. A.A. Sagung Bulan Partiwi
  4. A.A. Ngurah Parikesit
  • Istri Ke VII ( A.A Biyang Oka ) Putri Kiyahi Lanang Kerobokan dari Jero Kerobokan Kajanan mempunyai putra 5 orang :
  1. A.A. Ngurah Bagus Paramarta
  2. A.A. Sagung Putra Paramawati
  3. A.A. Sagung Alit Parmita
  4. A.A. Ngurah Made Parwata
  5. A.A. Sagung Istri Parcinti
  • Istri ke VIII ( A.A. Sagung Oka ) Putri Kiyahi Made Tegal dari Jero Ukiran mempunyai putra 1 orang :
  1. A.A. Ngurah Agung Paranaraga


IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN DALAM PERANG KEMERDEKAAN
  • Tanggal 30 September 1927 Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan Magang di Kantor Asisten Residen di Denpasar, kemudian diangkat menjadi juru tulis Pembantu di Kantor yang sama.
  • Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengadakan pertemuan dengan I Gusti Ngurah Rai, I Made Wijayakusuma dan I Gusti Putu Merta membahas kesewenang wenangan Jepang
  • Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan dan I Gusti Putu Merta memperkenalkan I Gusti Ngurah Rai dan I Made Wijayakusuma kepada Letnan Hera Uei wakil serei Angkatan Laut Jepang Sunda Kecil di Denpasar
  • Tanggal 23 Agustus 1945, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama Ida Cokorda Alit Ngurah Raja Badung mendukung terbentuknya Republik Indonesia dan pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pimpinan pasukan Letkol I Gusti Ngurah Rai.
  • Tanggal 14 Desember 1945 bertempat di Puri Kesiman, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama Ida Cokorda Alit Ngurah Raja Badung, I Gusti Ngurah Rai, Ngurah Wisnu, Sudiaryo Joko, I Gusti Ngurah Pidha, Ida Bagus Anom Ngurah, Tiaga, Pugeg, Punggawa Kesiman, Guru Reta, Les Subroto Aryo Mataram dikurung tentara Jepang. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan berkata bahwa penyerangan terhadap Ringsitai Jepang sedikit sekali hasilnya berupa senjata, sekarang kita harus perang habis habisan dengan tentara Jepang.
  • Tanggal 8 April 1946 bertempat di desa Pagutan, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta dan I Gusti Ngurah Rai mengadakan rapat untuk pelaksanaan Serangan Umum di Kota Denpasar.
  • Tanggal 10 April 1946 Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama pengiring beliau ikut serta dalam serangan Umum Kota Denpasar. Ida Bagus Japa (Kakak Prof Dr Ida Bagus Mantra Gubernur Bali) gugur dalam pertempuran.
  • Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan ditangkap pasukan Nika dibawah pimpinan Letnan Jon Yoseph. beliau diintograsi selama 3 jam di penjara Pekambingan Denpasar untuk selanjutnya ditahan selama 8 hari sebagai tahanan politik, namun atas desakan masyarakat beliau dibebaskan kembali.
  • Juli 1946 I Gusti Ngurah Rai menitipkan istrinya yaitu Desak Putu Kari dan 3 putranya kepada Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan untuk tinggal di Puri Pemecutan. Adapun Tiga putra I Gusti Ngurah Rai yaitu I Gusti Ngurah Gde Yudana (4 Th) I Gusti Ngurah Tantera (2 Th) dan I Gusti Ngurah Alit Yudha (2 bln). Upacara 3 bulanan dan Otonan (6 bln) I Gusti Ngurah Alit Yudha dilaksanakan di Puri Pemecutan.
  • Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengutus orang kepercayaan beliau yaitu A.A. Kompyang Candri untuk memberi bantuan logistik kepada I Gusti Ngurah Rai.
  • Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengutus Ketut Tugir untuk mengadakan hubungan dengan I Gusti Ngurah Rai, namun utusan ini tertangkap di daerah sengkidu sehingga komunikasi antara Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan dengan I Gusti Ngurah Rai menjadi terputus.
  • Tanggal 21 Nopember 1946 pagi harinya ajudan Sibler dari paskan Nica memberitahukan Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bahwa I Gusti Ngurah Rai sudah gugur pada perang puputan Margarana tanggal 20 Nopember 1946.
  • Tanggal 21 Nopember 1946, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama A.A. Kompyang Candri dan para pejuang lainnya menuju desa Behe untuk menjemput jenazah pahlawan kemerdekaan I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Bagus Sugianyar.
  • Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta bertemu dengan Menteri dalam Negeri N.I.T yaitu A.A. Gde Agung mendesak agar segera diadakan aksi untuk keluar dari cengraman pengaruh Belanda dan mendukung berdirinya Negara Republik Indonesia.
  • Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta mengecam kepergian A.A. Gde Agung ke PBB mewakili pemerintah Belanda melawan Indonesia, namun dibantah oleh A.A. Gde Agung bahwa kepergiannya hanya sebagai tourist dan tidak turut dalam perdebatan dan pembicaraan di PBB mengenai Indonesia.
  • Tanggal 1 Mei 1947 Cokorda Alit Ngurah dari Puri Satria pensiun sebagai Raja Badung dan digantikan oleh Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan sebagai Raja Badung


KESALAH PAMAHAN DENGAN PEJUANG KEMERDEKAAN

Satu hal yang kadangkala membingungkan masyarakat apakah beliau sorang penghianat bangsa ataukah seorang pejuang kemerdekaan. Hanya orang yang terkait langsung dengan beliau yang dapat memahami pribadi beliau pada saat perjuangan kemerdekaan di Bali yang dapat membantah dan membenarkan. Berikut kronoli sehingga timbulnya permasalahan tersebut :

Dewan Raja-Raja di Bali pada tanggal 26 Maret 1947 bersama Residen Bali dan Lombok dan Komandan Tentara Belanda yaitu A.A. Panji Tisna, Dr. M Boon dan Kapten Konig bersama sama menandatangani surat selebaran berupa seruan ditujukan kepada para pemuda pejuang agar segera menyerahkan diri karena adanya perjanjian Linggarjati yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda.

Persetujuan Linggarjati tersebut menempatkan Pulau Bali bukan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu para pejuan diminta agar turut serta dalam pembangunan di Negara Indonesia Timur. Bagi Para Pejuang yang tidak mau menyerah akan dianggap sebagi pengacau, perusuh dan perampok dan akan ditindak tegas.

Adanya Persetujuan Renville yang ditandatangani oleh wakil wakil Pemerintah Negaa Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Januari 1948 yang disaksikan lleh komisi Tiga Negara antara lain berisi pengakuan Republik Indonesia terhadap Negara Indonesia Timur.

Presiden Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya secara tegas menyatakan bahwa perjuangan sekarang bukan lagi perjuangan bersenjata tetapi perjuangan di tingkat diplomasi atu perundingan. Oleh karena itu mak dilakukan gencatan senjata dan perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda. Ditegaskan lagi bahwa di Jawa tidak ada lagi perjuangan bersenjata untuk mencapai tujuan tetapi hanya ada perjuangan diplomasi sehingga dengan demikian para pejuang di daerah harus mengikuti cara cara perjuangan di Jawa.

Perdana Menteri Amir Syarifuddin menegaskan bahwa angkatan bersenjata yang sah adalah TNI (Tentara Nasional Indonesia), diluar ketentuan itu adalah pengacau, perusuh dan perampok. Para Pejuang Bali belum masuk Tentara Nasional Indonesia sehingga para pejuang Bali dilanda kebingungan.

Terdapat jaminan tertulis dari Residen Bali dan Lombok bersama Komandan Tentara Belanda di Bali dan Ketua Dewan Raja-Raja bahwa para pejuang yang menyerahkan diri secara sukarela akan mendapat perlakuan yang sebaik baiknya dan yang tidak melakukan pelanggaran kriminal akan dibebaskan dan dikembalikan kepada keluarganya. Tetapi yang melakukan pelanggaran kriminal akan diajukan ke pengadilan sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Indonesia Timur.

Pada mulanya para pejuang tidak mau menyerahkan diri bahkan melalui Pucuk Pimpinan MBU DPRI Sunda Kecil I Made Wijakusuma mengirim surat kepada Bung Karno, Presiden Republik Indonesia tanggal 14 Maret 1948 minta agar Pemerintah RI mendesak Negara Indonesia Timur mengakui DPRI Sunda Kecil, dengan harapan kalau terjadi pengakuan negara Indonesia Timur terhadap DPRI subda Kecil maka para pejuang tidak harus menyerahkan diri tetapi langsung menjadi Tenatara Negara Indonesia Timur.

Sayang sekali surat tersebut tidak pernah mendapat balasan sehingga nasib para pejuang menjadi terombang ambing karena bantuan logistik dari rakyat sangat sulit didapat karena ancaman dari Belanda akan membakar kampung kampung yang memberi bantuan kepada para pejuang.

Atas Kesepakatan Pimpinan MBU DPRI Sunda Kecil maka setelah berunding dengan Ketua Dewan Raja-Raja yaitu A.A. Panji Tisna maka diberikan jaminan keamanan bagi para pejuang yang akan menyerahkan diri oleh Komandan Belanda.

Maka sejak tanggal 24 Mei 1948 para pemuda pejuang secara berabgsur angsur menyerahkan diri kepada Raja-Raja setempat. Bagi para pejuang yang berasal dari wilayah Badung menyerahkan diri kepada Raja Badung yaitu Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan.

Setelah para pejuang berada dalam perlindungan Raja Raja maka negara Indonesia Timur merintahkan agar para tahanan agar segera dipindahkan ketempat tahanan milik Pemerintah, agar pemuda pejuang lebih mudah diseleksi tingkat pelanggarannya.

Oleh karena Dewan Raja Raja merupakan bagian dari aparat Pemerintah Negara Indonesia Timur, maka dengan berat hati Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan tunduk kepada putusan atasan Beliau yaitu Pemerintah Negara Indonesia Timur sehingga para pemuda pejuang yang berada dalam lindungan beliau terpaksa dipindahkan dari Puri Pemecutan ke tangsi tangsi milik Pemerintah di seluruh Bali.

Dengan demikian tidak benar adanya tuduhan bahwa Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan dengan sengaja atas kemauan beliau sendiri menyerahkan para pejuang ketangan serdadu Nica Belanda. Bahkan Beliau sangat marah kepada Mayor Polak, asisten Residen atas keputusan yang merugikan pejuang. Demikianlah kesalahanpahaman yang terjadi antara Pejuang kemerdekaan dengan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan sebagai Raja Badung.

Kedudukan terakhir beliau dalam pemerintahan yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai Bupati Badung sampai beliau pensiun tahun 1959


PITEKET (IMBAUAN) IDA COKORDA PEMECUTAN X
UNTUK KETURUNAN ARYA DAMAR


Dinyatakan bahwa yang berkuasa di Tabanan dan Badung adalah keturunan Arya Damar, ungkapan ini memberi ketegasan bahwa Arya Kenceng dan keturunannya yang berkuasa di Tabanan dan Badung leluhurnya adalah Arya Damar. Mungkin adanya gunanya ditinjau pura pura pedarman yang ada di pura Besakih yang menjadi sungsungan para warga yang ada di Bali dan dibuatkan pada masa pemerintahan Raja Raja Bali dahulu yang mungkin ada hubungannya dengan Arya Damar.

Setelah diadakan penyelidikan secara langsung pada tahun 1963 pada saat berlangsungnya upacara Eka Dasa Ludra ternyata pedarman yang memuliakan Arya Damar tidak ada. Walaupun demikian masih perlu diadakan penelitian dari sumber sumber kepustakaan yang ada dari penelitian dari buku buku tentang sejarah pura yang dilaksanakan Institut Hindhu Darma Denpasar pada tahun 1980 tentang Pura Besakih ternyata tidak menyinggung masalah pendirian Pura Pedharman.

Demikian pula Dr.A.J. Bernet Kempers dalam bukunya Bali Purbakala yang berisi tentang petunjuk peninggalan purbakala di Bali tahun 1956 dan Dr. R Goris dalam tulisannya tentang arti Pura Besakih namun tidak menyinggung tentang pendirian Pura-Pura Pedharman.

Demikian pula kitab Raja Purana teks dan terjemahannya yang tidak menyinggung sama sekali tentang pura pura Pedharman, walaupun purana ini berkaitan erat dengan Pura Besakih. Raja Purana hanya menyinggung tentang ketentuan dan kewajiban di Pura Besakih yang tercatum dalam Piagam Raja (Dalem) Angurah Kebayan di Besakih dan Sedahan Lor di Selat, mempunyai tugas yang sama untuk memelihara dan menegakkan piagam ini.

Buku Sejarah Bali menyinggung pula perbaikan pura pura secara besar besaran yaitu Pura Dasar Gelgel, Pura Ketel Bumi di Banjar Angkan dan Pura Besakih pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong Raka Gelgel tahun 1460-1550, namun tidak ada menyentuh masalah pembangunan pura pura Pedharman di Besakih, demikian pula tidak ada yang menyinggung Pura Pedharman untuk Arya Damar maupun Arya Kenceng.

Namun suatu kenyataan disekitar Pura Besakih terdapat Pura Pura Pedharman. Tidak ada keterangan yang jelan tentang pendirian Pura pura Pedharma tersebut sehingga ada kemungkinan bahwa tidak semua pemeluk Agama Hindhu di Bali mempunyai Pura Pedharman di pura Besakih. Sekarang sering terdengar di masyarakat bahwa ada warganya yang tidak menemukan pedharmannya di Pura Besakih khususnya warga keturunan Arya Damar. Akhirnya berpegang kepada apa yang telah diwariskan turun temurun secara tradisional dari penglingsir terdahulu, maka Ida Cokorda Pemecutan X menyatakan

  • bahwa di Pura Besakih tidak ada Pura Pedharman untuk Warga Keturunan Arya Damar dan warih Arya Damar hanya bersembahyang di Padma tiga Brahma, Wisnu Siwa di Pura Besakih di Penataran Agung Pura Besakih.
Ida Cokorda Pemecutan X secara tegas menyatakan bahwa leluhur beliau yang beliau yakini sebagai bhatara Kawitannya adalah Arya Damar.

Demikian salinan pernyataan Ida Cokorda Pemecutan X dalam buku sejarah Puri Pemecutan Badung tahun 1993 dan telah disahkan oleh penglingsir Agung Puri Agung Pemecutan Ida Cokorda Pemecutan XI.



IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN X WAFAT


Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X wafat pada tanggal 17 Maret 1986 namun sebelumnya kakak beliau Anak Agung Gde Lanang Pemecutan mendahului beliau wafat pada tahun 1962.

Setelah Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan wafat maka dibuatkan upacara pelebon pada tanggal 27 April 1986, untuk mengisi kekosongan pengelingsir (yang dituakan) maka sesuai rapat para semeton keluarga Puri Agung Pemecutan kemudian memutuskan untuk mengangkat A.A. Ngurah Manik Parasara sebagai Raja Pemecutan XI, abiseka ratu tanggal 16 Juli 1989 dengan gelar Ida Cokorda Pemecutan ke XI dan sebagai wakilnya dipilih A.A. Ngurah Made Darmawijaya dengan gelar Anak Agung Ngurah Gde Lanang Pemecutan.