Sabtu, 30 April 2011

WARGA AGENG PEMECUTAN

Kerajaan Puri Agung Pemecutan mengalami masa keemasannya pada Abad Ke 16 yaitu tahun 1697-1813 M pada jaman Pemerintahan I Gusti Agung Gde Ngurah Pemecutan yang merupakan Raja ke III Puri Agung Pemecutan. Beliau dikenal dengan Nama Ida Bhatara Sakti, gelar Sakti yang diperolehnya karena berhasil memukul mundur penyerangan yang dilakukan oleh Panji Sakti ke wilayah Badung.

Beliau merupakan cikal bakal Warga Ageng Pemecutan dan sentana para Arya di Puri Agung Pemecutan maupun Puri Agung Denpasar. sesuai dengan piteket Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan yang merupakan Raja ke X Puri Agung Pemecutan maka yang termasuk kedalam Warga Ageng pemecutan sebagai berikut :

  1. Para Semeton Agung Puri Agung Pemecutan yaitu para putra putra Raja Pemecutan
  2. Para Penyungsung Pura Prasanak Pura Tambangan Badung
  3. Para Penyungsung pelinggih paibon di Pura Tambangan Badung
  4. Para Warga Tambyak Panarajon
  5. Para Warga Islam Kampung Kepaon
  6. Para Warga Bugis di Desa Suwung dan Serangan
  7. Sekehe Prebekel
  8. Para Barahmana Geria Karang Tampak Gangsul
  9. Para Brahmana Geria Tegal
  10. Para Brahmana Geria Ujung Bindu/ Geria Cutan Pemecutan
  11. Sekehe Gede


PERNYATAAN BERSAMA WARGA AGENG PEMECUTAN


Menimbang

  • Bahwa dalam usaha mendemokratising dan mengkonsolidasikan warga Besar Puri Agung Pemecutan untuk memperoleh kesatuan yang kuat serta bulat
  • Bahwa Perlu diasakan usaha dan tindakan mengingat, mencatat serta mempersatukan semua warih Ida Bhatara Sakti dimanapun mereka berdiam

Mengingat :

  • Menyesuaikan diri dengan situasi Kenegaraan dewasa ini dengan terjaminnya keutuhan arga besar Puri Agung Agung Pemecutan.
  • Pembicaraan pembicaraan pada musyawarah musyawarah keluarga Besar Puri Agung pada masa masa lampau.

Memutuskan


  • Berusaha mengingat, mencatat serta mempersatukan semua warih Ida Bhatara Sakti yang merupakan warga besar Puri Agung Pemecutan
  • Wajib dan berhak bagi warih Ida Bhatara Sakti mempergunakan tambahan didepan nama pribadi dengan gelar Anak Agung (A.A)
  • Mewajibkan agar semua para warih Ida Bhatara Sakti mempergunakan dibelakan nama pribadi nama warga besar yaitu Pemecutan.

TTD.


IDA COKORDA NGURAH GDE PEMECUTAN

SEJARAH PURI GRENCENG

KIYAI ANGLURAH LANANG TANJUNG


Kerajaan Puri Agung Pemecutan mengalami masa keemasannya pada Abad Ke 16 yaitu tahun 1697-1813 M pada jaman Pemerintahan I Gusti Agung Gde Ngurah Pemecutan yang merupakan Raja ke III Puri Agung Pemecutan. Beliau dikenal dengan Nama Ida Bhatara Sakti, gelar Sakti yang diperolehnya karena berhasil memukul mundur penyerangan yang dilakukan oleh Panji Sakti ke wilayah Badung.

Beliau merupakan cikal bakal Warga Ageng Pemecutan dan sentana para Arya di Puri Agung Pemecutan maupun Puri Agung Denpasar. Kerajaan Pemecutan muncul sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di wilayah Badung setelah runtuhnya Puri Satria di jaman Pemerintahan Kiyai Jambe Satriya.

Ida Bhatara Sakti mempunyai istri lebih kurang 500 orang dan salah satu istrinya berasal dari warga Palasari dari Grenceng Badung yang menurunkan putra yang bernama Kiyai Agung Anglurah Nengah Tanjung setelah dewasa. Beliau ditepatkan disebelah selatan Bale Lantang (Tempat para Bangsawan makan pada saat ada Upacara).

Tempat beliau dinamakan Jero Delod Bale Lantang yang diperkirakan berdiri pada abad ke 16 yang sekarang disebut Puri Tanjung Pemecutan di Jl. Hasanudin. Adapun areal Puri jaman dahulu dibatasi oleh Jalan Hasanudin sekarang disebelah timur Pura Manik Makeplag serta saudaranya dari lain ibu yaitu Jero Lanang Cerancam dan disebelah selatan perumahan warga pengabih sedang disebalah barat Jalan Imam Bonjol terdapat bale Kulkul Kuno yaitu satu satunya bangunan puri kuno yang masih tersisa pada saat terjadinya Puputan Badung tahun 1906.

Kiyai Anglurah Nengah Tanjung mempunyai putra sebanyak 3 orang : Kiyai Anglurah Wayahan Grenceng Kiyai Anglurah Ngurah Rai Kiyai Agung Ketut Ketapian / Jero Bale Lantang Kiyai Anglurah Wayahan Grenceng setelah dewasa pernah ditempatkan di Puri Kanginan Pemecutan atau Puri Ukiran yang berlokasi disebelah Timur Puri Agung Pemecutan yang lama dimana ditempat tersebut berdiri bangunan bangunan tempat padi yag disebut Jineng padinya Puri Agung Pemecutan.

Menurut ceritanya bahwa Jero Ukiran adalah merupakan bangunan di Puri Agung Pemecutan yang dominan dengan nuansa ukiran sehingga disebut dengan Jero Ukiran disamping berfungsi ganda sebagai tempat menginap/ pesanggrahan tamu tamu kerajaan yang berkunjung ke Puri Agung pemecutan.

Kiyai Wayahan Grenceng setelah dewasa kemudian dibuatkan tempat tinggal yang baru di wilayah Grenceng yang dinamakan Jero Grenceng yang berada di Jalan Sutomo Sekarang. Areal Puri Grenceng dibatasi oleh Pura mekal Tinggi dibagian utaranya, Pura Majalangu di sebelah selatan kemudian Pura Maospahit.

Sepeningal Kiyai Agung Wayahan Grenceng maka di Puri Ukiran ditempati oleh Putra Ida Bhatara Sakti yang lannya yaitu Sang Arya Ngurah Mecutan Ukiran yang menggantikan kedudukan Ida Bhatara Sakti sebagai Raja Pemecutan yang ke IV. Beliau juga mendapat sebutan sebagai Bhatara Muring Ukiran yang artinya raja yang meninggal di Puri Ukiran.

Di Pura Grenceng terdapat Pura Melanting (Pura Syahbandar) sehingga besar kemungkinan beliau ditugaskan sebagai pengawas/ pengatur dan pemungut bea cukai bagi para pedangang pedangan dari luar wilayah Badung.


MENUNDUKKAN PURI SUKAWATI


Dikisahkan Manca Agung Puri Grenceng yang beranama Kiyayi Anglurah Wayahan Grenceng salah satu cucu Ida Bhatara Sakti Pemcutan yang merupakan putra tertua Kiyayi Anglurah Nengah Tanjung dari Jero Dlod Bale Lantang Pemecutan pernah mengalahkan Raja Sukawati yang bernama I Dewa Agung Gde Sukawati.

Berawal dari I Dewa Agung Jambe dari Puri Kelungkung yang beribu dari Putri Kyayi Anglurah Pemecutan I/ Kiyayi Jambe Pule mempunyai 3 putra :

  1. I Dewa Agung Made - menggantikan kedudukan I Dewa Agung Jambe sebagai raja di Kerajaan Kelungkung
  2. I Dewa Agung Anom - mendirikan Puri Sukawati
  3. I Dewa Agung Ketut Agung - kembali ke puri lama Gelgel
I Dewa Agung Anom raja Sukawati mempunyai 2 orang putra yang sulung I Dewa Agung Gde dan yang bungsu I Dewa Agung Made. Setelah dewasa kedua putranya kurang memperhatikan masalah pemerintahan dan jarang sekali berada di Puri sehingga membuat Raja Sukawati sangat khawatir akan kelanjutan pemerintahan di Puri Sukawati.

Pada sutu hari datanglah menghadap Dewa Manggis Api dari Desa Beng untuk mengabdi di Kerajaan Sukawati. Raja Sukawati menerima dengan baik permohonan Dewa Manggis Api dan setelah diterima mengabdi di Kerajaan Sukawati Dewa Manggis Api dapat menempatkan diri sebagai abdi yang setia dan sangat membantu kelangsungan pemerintahan Kerajaan Sukawati.

Oleh karena itu lambat-laun Dewa Manggis Api mendapat kepercayaan besar dari Raja Sukawati untuk mengurus jalannya pemerintahan karena kedua putranya kurang memperhatikan masalah pemerintahan Kerajaan Sukawati.

Pada suatu ketika Raja Sukawati menderita sakit yang sangat parah dan Dewa Manggis Api sebagai Abdi yang setia berusaha dengan segala cara untuk mencarikan pengobatan untuk Raja Sukawati, namun usahanya sia-sia sampai Akhirnya raja Sukawati kembali ke alam baka.

Setelah Raja Sukawati meninggal terjadilah perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Sukawati yaitu I Dewa Agung Gde dan I Dewa Agung Made, masing masing ingin menggantikan kedudukan ayahnya sebagai kepala pemerintahan di Kerajaan Sukawati. Perselisihan yang akhirnya menyulut perang saudara dan menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat Sukawati.

Didalam peperangan ini I Dewa Agung Made menderita kekalahan yang menyebabkan beliau menyingkir dari wilayah Sukawati menuju desa Peliatan dan mendirikan Puri baru yang bernama Puri Peliatan. Walaupun I Dewa Agung Gde sudah mendapat kemenangan hati beliau belum puas sebelum dapat menyingkirkan adik beliau selama lamanya, maka diseranglah kembali Puri Peliatan.

Dalam peperangan tersebut I Dewa Agung Made dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan I Dewa Agung Gde dan minta perlindungan ke Kerajaan Badung. Ida Bhatara Sakti sebagai penguasa di wilayah Badung menerima dengan baik I Dewa Agung Made yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Puri Agung Pemecutan. Sekian lama I Dewa Agung Made di Kerajaan Badung dan Puri Peliatan telah dikuasai oleh kakaknya yaitu I Dewa Angung Gde.

Kembali kepada Dewa Manggis api yang mengabdi di kerajaan Sukawati, beliau adalah keturunan Ida Dalem Segening (Raja Gelgel) yang beribu dari penawing (rakyat biasa). Ayah beliau bernama Dewa Manggis Bengkel yang mendirikan desa Beng. Ayahnya mempunyai 2 orang saudara dari lain ibu yaitu Dewa Ketut Pinatih dari Puri Serongga dan Dewa Gde Kesiman dari Puri Bitra.

Sesudah Raja Sukawati meninggal maka Dewa Manggis Api meninggalkan Kerajaan Sukawati kembali ke asalnya yaitu desa Beng. Kembalinya Dewa Manggis Api ke Desa Beng ternyata menimbulkan masalah dengan Cokorda Anom Bende yang merupakan saudara angkatnya dari Puri Pejeng. Perselihan tersebut menyebabkan Dewa Manggis api mengalah dan pergi dari Desa Beng menuju Desa Taman Bali untuk mengabdi kepada Raja Taman Bali yaitu I Dewa Gde Ngurah Pemecutan yang beribu dari keluarga Puri Agung Pemecutan.

Setelah beberapa lamanya Dewa Manggis Api mengabdi di Kerajaan Taman Bali, beliau dijemput oleh pamannya yaitu Dewa Ketut Pinatih dan Dewa Gde Kesiman yang mempunyai maksud untuk mendirikan kerajaan Baru sebab banyak rakyat Sukawati yang dulunya setia kepada Dewa Manggis Api apada waktu mengabdi di Kerajaan Sukawati yang pindah ke Puri Serongga,

Adapun Maksud kedua paman Dewa Manggis Api mendapat dukungan penuh dari I Dewa Gde Ngurah pemecutan asalkan kerajaan tersebut tidak dibangun di Desa Beng. Akhirnya diputuskan bahwa kerajaan baru tersebut akan dibangun agak keselatan di tempat Griya Ida Pedanda Tarukan.

Puri Gianyar

Untuk mendukung rencana tersebut maka I Dewa Gde Ngurah pemecutan menyediakan ahli bangunan dari Kerajaan Taman Bali diantaranya I Tarukan, I Karang dan I Gunung. Tidak berapa lama Kerajaan Baru telah selesai didirikan dan diberi nama Geriya Anyar karena didirikan diatas Geriya Ida Pedanda Tarukan. Lama kelamaan Geriya Anyar berubah menjadi Puri Agung Gianyar dan Dewa Manggis Api
dinobatkan sebagai Raja I Puri Gianyar dengan gelar I Dewa Manggis Sukawati tahun 1771 Masehi.

Kembali lagi kepada I Dewa Agung Made setelah sekian lama beliau berdiam di Kerajaan Badung minta perlindungan Ida Bhatara Sakti, beliau ingin mengembalikan kedudukannya sebagai raja di Puri Peliatan. Ida Bhatara Sakti dapat mengerti hal tersebut dan setelah dilakukan perundingan dengan putra putra beliau maka diputuskan untuk memberi tugas kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng untuk melaksanakan tugas tersebut.

Ida Bhatara Sakti memerintahkan untuk mengempur kerajaan Sukawati sampai bertekuk lutut, Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng mohon restu Ida Bhatara Sakti dan meninggalkan bale penangkilan puri Agung Pemecutan dan mempersiapkan laskar Badung untuk menggempur Kerajaan Sukawati dengan kekuatan inti warga Pulasari karena ibu beliau berasal dari warga Pulasari, maka Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng dianggap sebagai kewangen oleh warga Pulasari dan mereka akan membantu sampai titik darah penghabisan.

Diceritakan laskar Pemecutan dibawah pimpinan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng sudah berada di seberang sungai disebelah Barat Puri Sukawati, Rakyat Sukawati yang sudah mengetahui kedatangan musuh tersebut mengadakan perlawanan dengan hebat, korban berjatuhan diantara kedua belah pihak. Karena kewalahan menghadapi serangan tersebut laskar Sukawati yang ada di Puri Peliatan terpaksa ditarik untuk mempertahankan Puri Sukawati.

Namun usaha tersebut gagal karena kuatnya perlawanan dari laskar Badung maka Raja Sukawati I Dewa Agung Gde merintahkan kepada seluruh pasukannya untuk mundur dan menyingkir ke Tojan Blahbatuh. Namun karena di desa Blahbatuh dirasa masih kurang aman maka beliau memutuskan untuk minta perlindungan kepada I Dewa Manggis Sukewati yang baru dinobatkan sebagai Raja Gianyar.

Laskar Badung terus menyerbu kedalam Puri Sukawati dan berhasil menduduki Puri Sukawati. Sungai yang dipakai untuk medan pertempuran kemudian dinamakan sungai Gerenceng dan lama kelamaan disebut sungai Cengceng. Kembali kepada adik Raja Sukawati yaitu I Dewa Agung Made yang minta perlindungan kepada Raja Pemecutan, setelah mendengar kekalahan I Dewa Agung Gde, beliau kemudian mohon pamit kepada Ida Bhatara Sakti untuk kembali ke Purinya di Peliatan.

I Dewa Agung Gde yang minta perlindungan kepada Raja Gianyar I Dewa Manggis, disana beliau diterima dengan sangat baik karena I Dewa Manggis merasa berhutang budi kepada ayah beliau semasa I Dewa Manggis mengabdi di kerajaan Sukawati. Dibawah bimbingan raja Gianyar tersebut tingkah laku I Dewa Agung Gde banyak mengalami perubahan, dimana dulunya tidak hirau dengan ilmu kenegaraan maka sekarang beliau dapat belajar banyak dari I Dewa Manggis tentang bagamana seharusnya tingkah laku sebagai seorang Raja sehingga dicintai oleh rakyat.

Melihat perubahan sikap I Dewa Agung Gde tersebut timbul niat Raja Gianyar I Dewa Manggis untuk mengembalilan posisi I Dewa Agung Gde sebagai Raja Sukawati. Untuk maksud tersebut sebagai tahap awal I Dewa Manggis mengadakan kontak dengan I Dewa Agung Made Raja Peliatan untuk menjelaskan maksud beliau agar kedua Raja bersaudara tersebut bisa hidup rukun kembali.

I Dewa Manggis mengharapkan keiklasan I Dewa Agung Made untuk datang ke Kerajaan Badung mohon kepada Ida Bhatara Sakti untuk menarik laskar pemecutan dibawah pimpinan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng di Kerajaan Sukawati.

I Dewa Agung Made dapat menyetujui saran tersebut dan setelah melalui beberapa kali perundingan antara Raja Peliatan dengan Raja Badung maka akhirnya diputuskan untuk menarik laskar Badung dari Kerajaan Sukawati. Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng selama menjalankan pemerintahan di Kerajaan Sukawati pernah membangun Banjar Pemecutan dan peninggalan tersebut masih ada sampai sekarang.

Dan sebagai rasa terima kasih raja Gianyar I Dewa Manggis Sukawati kepada pimpinan laskar Badung Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng maka seorang gadis keturunan Meranggi putri pembesar kerajaan Gianyar diserahkan kepada Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng. Putri tersebut akhirnya diberikan kepada Putra beliau yaitu Kiyayi Agung Made Gerenceng sehingga melahirkan keturunan Kiyayi Agung Gde Meranggi.

Untuk menjamin suasana perdamaian tersebut maka Raja Gianyar I Dewa Manggis memberikan maklumat kepada kedua raja bersaudara tersebut bahwa bila ada salah satu dari Raja tersebut menyerang Raja lainnya maka Raja Gianyar akan memihak kepada Raja yang diserang. Maka mulai saat itu kedua kerajaan bersaudara tersebut ada dibawah kekuasaan Raja Gianyar.

I Dewa Agung Gde kemudian kembali memerintah kerajaan Sukawati dan menurukan pertisentana (keturunan) Cokorda Ubud, Cokorda Payangan dan Cokorda Singapadu. Demikianlah akhir dari ekspedisi Laskar Pemecutan ke daerah Sukawati dan Kiyayi Anglurah Wayahan Gerenceng kembali ke Puri Pemecutan.

Demikianlah sejarah Kiyai Angkurah Nengah Tanjung sebagai Putra Raja Pemecutan III Ida Bhatara Sakti yang sekarang menempati Puri Grenceng

Kamis, 28 April 2011

KYAI WAYAHAN CELUK

KYAI LANANG KETUT KEROBOKAN
LAHIRNYA JERO GEDE KEROBOKAN


Raja Pemecutan Ida Bhatara Sakti Pemecutan III sedang dihadap oleh para patih agung dan para sulinggih untuk membahas rencana diadakannya Karya Agung di Puri Pemecutan.

Yang menjadi pembicaraan adalah mengenai Ulam Suci (hewan kurban) yang akan digunakan untuk upacara tersebut, dimana memerlukan bermacam macam binatang hutan seperti landak, Selesih, Irengan, Rusa dan lain sebagainya sehingga untuk mendapatkan hewan hewan tersebut diperlukan sesorang yang mempunyai keahlian dan pengalaman dalam menjelejah hutan belantara.

Pada saat beliau sedang memikirkan siapa gerangan orang yang akan ditunjuk melaksanakan tugas tersebut, beliau teringat akan Gusti Gde Selat keturunan Gusti Pasek Gelgel yang baru beberapa minggu mengabdi Puri Agung Pemecutan. Maka dipanggillah Gusti Gde Selat untuk diminta kesediaannya melaksanakan tugas tersebut dan beliau menyanggupinya.

Setekah mohon restu Ida Bhatara Sakti maka Gusti Gde Selat dengan 20 orang pengiring berangkat ke daerah Jembrana karena disanalah terdapat hewan hewan yang dibutuhkan tersebut. Sebagian besar hewan yang dicari telah nampak disana, Gusti Gde Selat kemudian memerintahkan untuk memasang jaring dan perangkap sehingga tidak beberapa lama mereka berhasil mendapatkan Kijang dan Rusa.

Setelah 10 hari di hutan tersebut semua hewan yang dibutuhkan telah tertangkap semuanya dan rombongan segera kembali Ke Badung. Ida Bhatara Sakti sangat gembira hatinya mengetahui tugas yang dibrikan kepada Gusti Gde Selat telah dijalankan dengan baik dan semua hewan yang dibutuhkan semunya telah berada di Puri pemecutan.

Sebagai rasa terima kasih beliau kepada Gusti Gde Selat maka Ida Bhatara sakti mengangkat Gusti Gde Selat sebagai Kepala Desa Padang Lambih bagian Barat. Sedangkan Desa Padang Lambih bagian Timur sudah dikuasai oleh Kiyai Agung Lanang Dawan dimana sebelumnya daerah tersebut dibawah kekuasaan Gusti Ngurah Batu Lepang.

Gusti Gde Selat mempunyai 2 orang Putra yang sulung bernama Gusti Wayahan Bendesa Mas dan yang bungsu bernama Gusti Nengah Bendesa Mas. Karena Gusti Gde Selat sudah berusia lanjut maka kepala pemerintahan diserahkan kepada Gusti Wayanan Bendesa Mas namun keputusan tersebut tidak disetujui oleh adiknya yaitu Gusti Nengah Bendesa Mas yang menginnginkan Desa Padang Lambih Barat dibagi dua bagian.

Pertentangan tersebut semakin memuncak ketika Gusti Gde Selat meninggal dunia sampai akhirnya timbullah perang saudara memperebutkan daerah Padang Lambih Barat. Karena dahsyatnya perang saudara tersebut sehingga menimbulkan korban yang cukup banyak diantara kedua belah pihak, darah mengalir bagaikan air parit bersuara Ngerobok maka dari itu daerah tersebut kemudian diberi nama Desa Ngerobok atau sekarang disebut Kerobokan.

Kedua bersaudara tersebut tidak ada yang keluar sebagai pemenang karena sama sama kebal dan sakti tidak mampu ditembus oleh senjata. Karena perang yang sudah berlangsung lama maka Gusti Wayahan Bendesa Mas mengambil inisiatip untuk melaporkan permasalah tersebut kepada Ida Bhatara Sakti di Puri Pemecutan.

Singkat cerita rombongan Gusti Wayahan Bendesa Mas sudah berada dihadapan Ida Bhatara Sakti untuk menyampaikan permasalahan tersebut dan mengajukan permohonan agar salah satu Putra Ida Bhatara sakti ditempatkan di Desa Kerobokan untuk mendamaikan perselisihan tersebut.

Ida Bhatara sakti mengabulan permohonan tersebut kemudian menempatkan putranya yaitu Kiyai Ketut Kerobokan yang kemudian membangun Jero Kerobokan Kajanan sedangkan seluruh Keluarga Gusti Wayahan bendesa Mas membuat rumah sebagai Pekandelan Jero dan sebagai kepala pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Kiyai Ketut Kerobokan.

Karena Gusti Wayahan Bendesa Mas tidak lagi sebagai kepala pemerintahan di Desa Padang lambih Barat maka beliau tidak diperkenankan lagi memakai gelar Gusti maka beliau hanya dipanggil Ki Bendesa Mas. Melihat kenyataan tersebut Gusti Nengah bendesa Mas tidak bisa menerima kenyatan tersebut dan mendapat akal akan melakukan hal yang sama seperti kakanya kepada Kerajaan Mengwi.

Maka pada hari yang ditentukan berangkatlah Gusti Nengah Bendesa Mas Ke Puri Mengwi dan minta kepada Raja Mengwi untuk menempatkan salah seorang putranya untuk dijadikan penguasa di wilayah tersebut. Raja Mengwi tidak dapat mengabulkan permohonan tersebut karena akan memperburuk hubungan dengan Kerajaan Badung. Gusti Nengah Bendesa Mas akhirnya pulang dengan perasaan kecewa maka didalam lamunannya timbul niatnya untuk menghadap ke Puri Agung Pemecutan untuk meminta hal yang sama seperti kakanya kepada Ida Bhatara Sakti.

Diceritakan Gusti Nengah Bendesa Mas sudah berada dihadapan Ida Bhatara sakti dan menyampaikan keinginannya tersebut dan untuk tidak membeda bedakan maka Ida Bhatara Sakti mengambulkan permintaan tersebut dan memberikan putranya Kyai Lanang Celuk untuk ditempatkan didaerah tersebut.

Akan tetapi putra satu satunya yang masih ada di Puri tersebut saat itu sedang menuntut ilmu di Puri Klungkung sedangkan putra putra beliau yang lain sudah menempati wilayahnya masing masing yang dianggap rawan oleh penyerangan kerajaan lain.

Untuk itulah untuk sementara waktu Gusti Nengah Bendesa Mas harus bersabar dahulu sambil menunggu putra yang dijanjikan tersebut selesai menempuh ilmu di Puri Klungkung. Maka dari Itu Gusti Nengah Bendesa Mas memutuskan pulang kembali ke Desa Kerobokan namun didalam perjalanan beliau mendapat akal untuk mencari Kiyai Lanang Celuk ke Puri Klungkung untuk diboyong langsung ke Daerah Kerobokan.

Setelah menempuh perjalanan beberapa lama sampailah beliau di Puri Agung Klungkung dan dapat bertemu dengan Putra yang dimaksud. Gusti Nengah Bendesa Mas kemudian menyampaikan permintaannya untuk memboyong putra dimaksud ke daerah Kerobokan namun karena beliau masih belum menamatkan pelajarannya maka permintaan tersebut ditolak dan beliuu baru bersedia ke Krobokan setelah selesai menamatkan pelajarannya di Puri Klungkung.

Hari semakin larut dan pembicaraan antara kedua belah pihak tidak memenuhi sasaran, karena sudah kehabisan akal maka Gusti Nengah Bendesa Mas memerintahkan kepada pengawalnya untuk menangkap Kiyai Lanang Celuk dan dimasukkan kedalam karung lalu dipikul oleh pengiringnya ke Kerobokan.

Untunglah perbuatan nekad tersebut tidak diketahui oleh penjaga Puri karena semuanya berjalan dengan rapi. Dalam perjalanan tidak ada hambatan yang berarti sampai akhirnya tibalah rombogan tersebut di desa Kerobokan. Kiyai lanamg Celuk tidak bisa berbuat apa apa dan menuruti segala permintaan Gusti Nengah Bendesa Mas yang mengangkat beliau sebagai kepala pemerintahan di Desa Padang Lambih Barat.

Kiyai Lanang Celuk kemudian dibuatkan upacara penobatan dan dibuatkan tempat tinggal di sebelah barat pasar kerobokan dan diberi nama Jero kerobokan Kelodan. Seluruh pasukan yang berada dibawah Gusti Nengah Bendesa Mas kemudian diserahkan kepada Kiyai lanag Celuk dan sama seperti kakaknya Gusti Nengah Bendesa Mas tidak memakai gelar Gusti lagi dan menjadi Ki Nengah Bendesa Mas.

Dengan adanya pergantian tersebut maka suasana yang dulunya tegang berangsur angsur mulai kembali aman dimana dua bersaudara dari putera Raja Pemecutan menjadi kepala Pemerintahan di Desa Padang Lambih Barat yaitu Kerobokan bagian Utara dibawah kekuasaan Kiyai Ketut Kerobokan sedangkan Kyai Lanang Wayahan Celuk membawahi Kerobokan bagian Selatan.

Kedua putra tersebut mendapat tugas dari Raja Pemecutan Ida Bhatara sakti untuk mengawasi Desa Dalung yang merupakan basis terdepan dari Kerajaaan Mengwi. Sekarang keturunan Ki Wayahan Bendesa Mas dan Ki Nengah Bendesa Mas banyak menurunkan keturunan sampai ke desa Canggu.

Demikinalah sejarah berdirinya Jero Kerobokan Kajanan dan Kerobokan Kelodan dan sejarah keberadaan Kiyai Lanang Ketut Kerobokan dan Kiyai lanang Wayahan Celuk sebagai wakil pemerintahan Puri Agung Pemecutan di Desa Kerobokan

KIYAI ANGLURAH WAYAHAN LUMINTANG

SEJARAH JERO GDE PEGUYANGAN


Diceritakan Mpu Ketek mempunyai putra bernama Kiyai Agung Pasek Padang Subadra bertempat di lereng gunung Lempuyang Karangasem. Setelah beliau mediksa bergelar Ki Dukuh Sakti sehingga beliau sangat dihormati oleh penduduk setempat.

Beliau menurunkan putra sebnayak 5 orang :
  1. Ki Pasek SubrataKi Pasek Tegalwangi
  2. Ki Pasek Sadra Kusamba
  3. Ki Pasek Suladri
  4. Ki Pasek Kuru Badra
Ki Dukuh Suladri berpindah tempat ke sungai melangit sehingga lama kelamaan tempat beliau berubah nama menjadi Tirta Harum karena ditempat itu Ki Dukuh Suladri mengasuh anak kecil yang bernama Sang Anggatirta, selanjutnya anak ini akan menurunkan Kesatriya Taman Bali di Bangli.

Ki Dukuh Suladri banyak menurunkan para sentana dan ada para sentana beliau yang berpindah ke Badung yaitu didaerah Kesiman, Pahang Penatih dan Desa Intaran Sanur. Yang bertempat tinggal di daerah Kesiman banyak menurunkan Sentana sehingga ada yang berpindah ke Serangan, Pecatu, Ungasan, Kedonganan dan Kelan.

Yang tinggal di kedonganan mempunyai putra 2 orang :
  1. I Wayan Kedonganan
  2. I Made Klan
Kedua Putra ini dididik dengan baik oelh kedua orang tuannya untuk menjadi petani yang ulet. Tidak berapa lama I Wayan Kedonganan memutuskan pindah ke Desa Pedungan. I Wayan Kedonganan menurunkan 2 orang Putra yaitu :

  1. I Wayan Tektek
  2. I Made Pitik
Karena sudah kehendak dari yang Maha Kuasa maka I Wayan Kedonganan dan istrinya meninggal dunia ketika anaknya baru umur 4 tahun dan 2 tahun. Untunglah ada orang yang berbaik hati mau mengasuh kedua anak tersebut. Oleh karena itulah maka anaknya yang sulung dinamakan Tektek yang artinya tiwas sedangkan yang bungsu bernama pitik yang artinya anak ayam kehilangan induknya. Sehingga lama kelamaan termpat tersebut dinamakan Desa Pitik di daerah Pedungan.

Setelah keduanya meningkat dewasa kedua anak tersebut dikagumi oleh penduduk setempat karena tingkah lakunya yang hormat dan suka menolong. Karena tekatnya untuk maju dan merubah nasibnya maka kedua anak ini meninggalkan desa Pitik menuju kearah utara sampai akhirnya menjumpai suatu tegalan yang tidak ada penghuninya.

Tepat yang baru dujumpai tersebut menarik hati mereka sehingga bermaksud membuat tegalan di daerah tersebut. Dimana mana ditempat tersebut dilihat ada ada bekas kubangan kerbau, sapi dan kuda dan banyak kotoran hewan. Maka I Wayan Tektek mengambil kesimpulan bahwa pasti tanah ini subur.

Keduanya mulai membuka lahan berkebunan dan persawahan ditempat tersebut sehingga lama kelamaan tempat tersebut menjadi sangat makmur sehingga pendatang pendatang baru mulai berdatangan ke tempat tersebut sehingga lama kelamaan tempat tersebut menjadi suatu perkampungan.

Untuk menjaga ketertiban kampung tersebut maka dibangunlah Bale Banjar Tektekan yang keberadaanya sekarang disebelah selatan desa Peguyangan. Karena I Wayan Tektekan yang pertama kali membuka lahan tersebut maka oleh penduduk setepat beliau dpanggil Ki Dukuh Tektek. Demikian pula tempat kubangan kerbau tersebut kemudian menjadi perkampungan sehingga diberi nama Peguyangan .

Desa Tektek, Peguyangan dan Peraupan adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan badung Memburuknya hubungan antara Kerajaan Badung dan Mengwi ternyata mempunyai pengaruh terhadap daerah yang baru dibuka tersebut. Desa Peraupan yang berada disebalah timur peguyangan merupakan daerah kekuasaan Kiyai lanang Karang Putra Kiyai lanang Cempaka Jero Tegal Denpasar.

Sebelumnya Desa Peraupan berada dibawah kekuasaan I Gusti Pinatih Kiyai Lanang Karang tidak sanggup menjaga keamanan daerah tersebut sampai Desa Peguyangan sehingga sering terjadi pelanggaran didaerah perbatasan oleh Kerajaan mengwi. Diceritakan Ki Dukuh tektek sudah berada di Puri Pemecutan menghadap Ida Bhatara Sakti Raja Pemecutan III untuk melaporkan permasalahan tersebut minta salah seorang putra Raja agar ditempatkan diwilayah tersebut untuk menjamin keamanan di wilayah tersebut.

Daerah peguyangan merupakan daerah yang sangat rawan karena merupakan perbatasan wilayah Kerajaan Badung dn Kerajaan Mengwi dan wilayah Sibanang adalah merupakan basis pertahanan Kerajaan Mengwi. Setelah melalui pertimbangan yang matang maka Ida Bhatara Sakti kemudian memerintahkan kepada salah satu putranya yaitu Kiyai Lanang Wayahan Lumintang untuk pindah ke Desa Peguyangan dan mendirikan Jero di tempat tersebut.

Ikut seta mengiringi Kayai Wayahan Lumintang 5o orang pilihan yang dianggap mempunyai kemampuan untuk beradaptasi di tempat tersebut. Jero tersebut kemudan dibangun disebelah timur jalan dengan Kuri Agung Menghadap ke barat dan diberi nama Jero Gde Peguyangan.

Pada waktu pecah perang anatara Badung dan Kerajaan mengwi, Putra putra Kyai Wayahan Lumintang ikut serta mempertahankan wilayah Badung sampai akhirnya Jero Sibang dapat direbut dan sebagian lainnya membantu Laskar Dawan bertempur dengan laskar Mengwi di Sempidi.

Demikianlah sejarah Keberadaan Kyai Lanang Wayahan Lumintang di Desa Penguyangan dan berdirinya Jero Gde Peguyangan.

Selasa, 26 April 2011

SEJARAH PURI DENPASAR



Setelah runtuhnya Puri Agung Satriya dengan wafatnya Kiyai Jambe Haeng maka Kiyai Ngurah Made dinobatkan menjadi Raja I di Puri Agung Denpasar pada tahun 1889 dengan gelar Kiyai Ngurah Made Pemecutan.

Puri Denpasar terletak disebelah utara lapangan Puputan Badung persisnya dirumah kediaman Gubernur Bali sekarang dengan pintu gerbang menghadap ke Barat. Dibencingah Puri terdapat wantilan agung tempat megadakan keramaian dan sabungan ayam. Jero Tegal Denpasar dibangun disebelah barat disebut juga Jero Kawan persisnya di Kodam Udayana sekarang.

Jero Oka dibangun disebelah timur Lapangan puputan pe
rsisnya di Musium Bali sekarang sedangkan ditengah lapangan dibangun Jero Anom kediaman putra angkat dari Jero Serongga Gianyar ,setelah puputan Badung membuat Jero disebelah barat bale kulkul di Pemecutan.

Susunan Pemerintahan
  • Raja : Kiyai Ngurah Made Pemecutan
  • Manca Agung : Kayai Jambe Jero Kuta, Kiyai Gde Gelogor di Puri Oka dan Putra Kiyai Made Tegal Cempaka Oka.


MASA PEMERINTAHAN

I GUSTI NGURAH MADE PEMECUTAN
RAJA PURI DENPASAR I (1788 – 1810)

Setelah krisis di kerajaan Badung yang disebabkan oleh perseteruan antara Puri Kaleran Pemecutan dan Puri Ksatrya berakhir dengan wafatnya Kyai Anglurah Jambe Ksatrya, maka kekuasaan beralih kepada keluarga Sub Dinasti Pemecutan.

I Gusti Ngurah Made Pemecutan menjadi raja Puri Denpasar I , beliau adalah adik dari I Gusti Ngurah Rai yang membunuh raja Jambe Kyai Anglurah Jambe Ksatrya. Pada masa pemerintahannya, tahun 1805 beliau memperluas kekuasaannya dengan menyerang kerajaan Jembrana yang diperintah oleh I Gusti Ngurah Gde Jembrana. Beliau dapat menaklukkan Jembrana dan mempercayakan Kapten Patini orang Bugis sebagai penguasa daerah tersebut. Namun tahun 1808 Buleleng merebut kembali daerah itu. Kapten Patini beserta orang-orang Bugis banyak mati terbunuh.

Pada tahun 1808 Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan menanda-tangani kontrak dengan utusan Pemerintahan Hindia – Belanda bernama Van den Wahl. Isi kontrak adalah persahabatan antara kedua belah pihak. Belanda akan melindungi wilayah Badung, untuk itu pasukan Belanda diijinkan membangun rumah-rumah, benteng – benteng dan gudang – gudang persenjataan. Perjanjian ini dinilai oleh pengamat politik merugikan pihak Badung.

Kiyai Ngurah Made Pemecutan (Raja Puri Denpasar I) mengambil istri dari Puri Agung pemecutan mempunyai 4 orang Putra dan putri :
  1. Kiyai Agung Gde Ngurah Pemecutan ( Putra Mahkota )
  2. Seorang Putri tidak disebutkan diambil oleh Puri Agung Pemecutan
  3. Seorang Putri tidak disebutkan diambil oleh Puri Agung Karangasem
  4. Seorang Putri tidak disebutkan diambil oleh Puri Agung Mengwi
Istri dari Jero Peken Badung mempunyai 2 orang putra
  1. Kiyai Ketut Ngurah – Puri Kesiman Dauh Tukad (Cokorda Inggas Kesiman
  2. Kiyai Ngurah Jambe – Jero jambe Denpasar
Beberapa putra dari Selir diantaranya
  1. Kiyai Gde Banjar - Jero Titih
  2. Kiyai Ketut banjar - Jero Titih
  3. Kiyai Agung Dauh - Jero Belaluan
  4. Kiyai Agung Dangin - Jero dangin Gemeh
  5. Kiyai Agung Gde Samba - Jero Puwangung Gelogor
  6. Kiyai Made Samba - Jero puwangung Gelogor
Kiyai Ketut Ngurah disebut juga Kiyai Ketut Ngurah Kesiman beliau terkenal sebagai penasehat agung, tiap tiap ada perjanjian dengan orang asing maka beliaulah yang diberikan tugas untuk menanganinya.

Silsilah Puri Denpasar





MASA PEMERINTAHAN
.
I GUSTI GDE NGURAH PEMECUTAN
RAJA PURI DENPASAR II (1810 – 1818)


I Gusti Gde Ngurah Pemecutan menjadi raja Badung tetap beristana di Puri Denpasar. Beliau memerintah Kerajaan Badung dalam waktu yang singkat. Pada masa pemerintahannya, tahun 1817 Kerajaan Mengwi pernah menyerang Badung, akan tetapi serangan dapat digagalkan. Sebelum mengakhiri jabatannya pernah disodori kontrak baru oleh pihak Pemerintah Hindia – Belanda yang diwakili oleh Van den Broek.

Kontrak ini tidak mau ditanda – tangani karena pihak Belanda tidak mau membantu Badung dalam menyerang kerajaan Lombok. Pada tahun 1818 beliau meninggal, dan sebagai pengantinya diangkat puteranya yang tertua bernama: I Gusti Ngurah Denpasar.

Kiyai Agung Gde Ngurah pemecutan mengambil istri dari Puri Agung Pemecutan mempunyai seorang putra bernama Kiyai Agung Gde Pemecutan dinobatkan menjadi Raja III di Puri Agung Denpasar.
Dari selir lahir putra putra sebagaio berikut :
  1. Kiyai Gde Raka - Jero tampaksiring
  2. Kiyai gde Rai - Jero Ayar
  3. Kiyai Ketut Ngurah - Jero Suniyanegara
  4. Kiyai Ketut Oka - Jero Suniyanegara
  5. Kiyai Gde Ngurah - Jero kesiman
  6. Kiyai Gde Jambe - Jero jambe
  7. Kiyai Gde Oka - Jero Muring dirana
  8. Kiyai Made Oka - Jero Muring dirana



MASA PEMERINTAHAN
I GUSTI NGURAH DENPASAR
RAJA PURI DENPASAR III (1818 – 1829)


I Gusti Ngurah Denpasar menggantikan ayahnya sebagai Raja Badung tetap beristana di Puri Agung Denpasar. Beliau sering menderita sakit sehingga urusan pemerintah lebih banyak ditangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan yang beristana di Puri Agung Pemecutan.

Kontrak pada tahun 1826 ditanda tangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan, sedangkan di pihak Belanda diwakili oleh J.S. Wetters. Kontrak ini sangat merugikan Kerajaan Badung, yang antara lain menyatakan bahwa Kerajaan Badung adalah daerah taklukan Pemerintah Hindia – Belanda.

Pada tahun 1829 Raja I Gusti Ngurah Denpasar meninggal. Oleh karena beliau tidak mempunyai putera maka diselenggarakan Pesamuhan Agung Kerajaan. Hasil Pesamuhan tersebut memutuskan I Gusti Made Pemecutan yang berkedudukan di Puri Agung Kesiman menjadi Raja Badung berikutnya. Beliau kemudian bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman.


MASA PEMERINTAHAN
I GUSTI GDE NGURAH KESIMAN
RAJA PURI DENPASAR IV (1830 – 1861)


Pada masa pemerintahannya Kerajaan Badung mengalami kemajuan yang pesat terutama di bidang perdagangan. Ini berkat kecerdasan beliau memerintah Badung dibanding dengan pendahulunya. Tidak jarang beliau berhubungan minta nasihat kepada Dewa Manggis Raja di Puri Gianyar.

Dalam bidang perdagangan, beliau melakukan perbaikan-perbaikan jalan ruas Kesiman – Kuta, melalui desa – desa seperti: Pagan – Tatasan – Tonja – Denpasar – Titih – Suci – Alangkajeng – Celagigendong – Tegal – Buagan – Abian Timbul – dan Meregaya. Barang – barang yang menjadi komoditi adalah: kapas, pakaian, beras, barang-barang hasil kerajinan tangan, kacang tanah, buah mentimun, buah kelapa, jagung dan ketela, diperdagangkan dari kerajaan tetangganya seperti: Tabanan, Mengwi, Gianyar, Klungkung.

Sebaliknya barang – barang yang diperdagangkan Badung adalah: alat – alat rumah tangga, senjata, candu, peluru dan lain-lain. Beliau juga memaksimal dua pelabuhan, yakni: Kuta dan Tuban, disamping pelabuhan lainnya seperti: Benoa, Serangan, Sanur, dan Seseh.

Ramainya perdagangan di pelabuhan Kuta yang menguntungkan Badung, berkat usaha beliau mengadakan hubungan persahabatan yang akrab dengan saudagar berkebangsaan Denmark tetapi berkewarganegaraan Belanda bernama Mads Johann Lange.

Demikian antara lain usaha – usaha yang dilakukan Raja I Gusti Ngurah Gde Kesiman untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Badung. Di bidang politik, atas usaha keras diplomatik beliau bersama sahabat karibnya Mads Lange, Belanda mengurungkan niat menyerang Dewa Agung Klungkung pada waktu itu. Sehingga dapat dipandang pada masa pemerintahan I Gusti Gde Ngurah Kesiman kerajaan Badung mengalami masa kejayaan.


MASA PEMERINTAHAN
I GUSTI ALIT NGURAH PEMECUTAN
RAJA PURI DENPASAR V (1861 – 1902)


Pada Tahun 1861 kerajaan Badung kehilangan tokoh karismatik I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang meninggal dalam usia 70 tahun. Beliau diganti oleh I Gusti Alit Ngurah Pemecutan atau nama lainnya I Gusti Gde Ngurah Denpasar, yang beristana di Puri Agung Denpasar.

Satu peristiwa penting dalam masa pemerintahannya adalah keberhasilan Badung menamatkan Kerajaan Mengwi, yang secara resmi dinyatakan takluk pada tanggal 20 Juni 1891. Laskar koalisi Badung, Tabanan, Bangli, Gianyar, dan Klungkung berhasil menghancurkan perlawanan laskar Mengwi. Rajanya yang terakhir Cokorda Ngurah Made Agung diberi gelar Bhatara Mantuk Ring Rana.

Menurut babad Mengwi Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung gugur di tengah persawahan di sebelah Barat desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya Ida Pedanda Made Bang dari Gerya Liligundi Buleleng. Sementara keluarga dan sahabatnya yang masih hidup ditawan di Badung, diantaranya Ida Pedanda Gde Kekeran ditawan dan ditempatkan di Puri Tegal.

Sebab – sebab terjadinya peristiwa Badung menyerang Mengwi, diantara babad berbeda versi, diantaranya adalah: pada masa – masa itu Dewa Agung Klungkung berseteru dengan Karangasem, merebutkan wilayah Lombok. Sedangkan Kerajaan Mengwi dan Karangasem adalah satu keturunan (satu treh: Nararya Kepakisan). Pertimbangan Dewa Agung, kalau Karangasem diserang, maka Mengwi sudah pasti akan membantu Karangasem. Oleh karena itu Mengwi perlu dihabisi dulu.

Sementara Badung sangat setia kepada Dewa Agung, karena Raja I Klungkung Dewa Agung Jambe beribu dari Badung. Apapun perintah yang diberikan Dewa Agung, Badung pasti siap melaksanakan, dan terbukti perintah dilaksanakan dengan baik. Jadi penyerbuan Badung ke Mengwi hanya semata – mata demi kepentingan Dewa Agung Klungkung, dan Kerajaan Mengwi adalah korban dari permusuhan Dewa Agung Klungkung dengan Karangasem.

Versi lainnya: untuk mengairi sawah – sawah yang ada di Badung, sumber air sebagian besar dari Tukad Ayung yang berhulu di Kerajaan Mengwi. Faktor pengairan atau irigasi sering membuat ke dua kerajaan berperang hingga puncaknya pada bulan Juni 1891.

Versi lainnya lagi: akibat pencaplokan Mengwi terhadap daerah – daerah milik kerajaan Gianyar seperti: Kuramas, Blahbatuh, Ubud, dan Payangan. I Gusti Ngurah Made Agung Raja Badung X Terakhir (1902 – 1906) Pada tahun 1902 Raja I Gusti Alit Ngurah Pemecutan meninggal. Oleh karena putera mahkota yang bernama I Gusti Alit Ngurah (Cokorda Alit Ngurah) masih belia sekitar 6 tahun, maka kedudukan beliau dijabat oleh adiknya I Gusti Ngurah Made Agung, yang beristana di Puri Agung Denpasar, yang kemudian bergelar Bhatara Mantuk Ring Rana.

Beliau tekun belajar sastra dan berguru kepada Ida Bagus Made Sidemen dari Gerya Taman Sanur, yang kemudian mediksa bernama Ida Pedanda Made Sidemen. Sementara di Puri Agung Pemecutan bertahta Kyai Anglurah Pemecutan IX yang sudah lanjut usia dan sakit – sakitan. Kedua tokoh (Cokorda kalih) inilah yang memimpin perlawanan rakyat Badung dalam Puputan Badung, dengan pusat perlawanan di Puri Agung Denpasar. Kedua Puri baik Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan dihancurkan oleh Belanda.

Ada 3 peristiwa atau kejadian alam penting yang dipercaya sebagai tanda atau ciri akan datangnya pralaya di bumi Badung. Ke tiga peristiwa itu adalah:

  1. Meletusnya Gunung Batur pada bulan Maret 1905. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Gunung Batur yang diyakini tempat bersemayamnya Bhatari Dewi Danu adalah tempat yang memberikan anugrah kekuasaan kepada Dinasti Pucangan di daerah Badung. 2.
  2. Pada tahun yang sama rakyat melihat bintang berekor dalam ukuran yang besar dan bercahaya terang di langit.
  3. Pada akhir tahun 1905, terjadinya peristiwa yang menakutkan rakyat Badung, adalah runtuhnya tanah tebing ke laut di Pura Uluwatu. Pura Uluwatu dipandang keramat sebagai tempat pemujaan raja – raja Badung
Belanda menuntut agar Raja Badung membayar ganti rugi sebesar f 7.500 atas perampasan kapal tersebut, yang dinilai melanggar kontrak perjanjian sebelumnya. Namun Raja Badung I Gusti Ngurah Agung menolak tuntutan tersebut karena tidak ada bukti – bukti perampasan oleh rakyat Sanur terhadap kapal yang karam itu.

Hal ini dibuktikan dengan sumpah 2800 orang penduduk desa Sanur. Pasukan Belanda mendarat di Pabean Sanur, naik ke darat bergerak dari Utara, melalui Puri Kesiman – desa Sumerta – Puri Denpasar – Puri Suci – dan terkahir Puri Pemecutan. Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung, dan raja Pemecutan Cokorda Pemecutan IX gugur bersama rakyatnya.

Jumlah korban tewas di pihak Badung sedikitnya 2.000 orang. Dengan demikian berakhir sudah kerajaan Badung, dan Belanda pada tahun 1908 berhasil menguasai Pulau Bali dengan menghancurkan Kerajaan Klungkung melalui Puputan Klungkung. Diselesaikan pada Anggara – Kliwon – Medangsya Penanggal ping 5 Purnama Ke Dasa Isaka 1927 Tanggal: 29 Maret 2005 Ida Bagus Wirahaji, S.Ag

Perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906 terjadi karena ambisi Pemerintah Hindia – Belanda untuk menguasai daerah Nusantara, sementara peristiwa karamnya kapal Wangkang Sri Komala pada tanggal 25 Mei 1904 hanyalah peristiwa kecil yang dibesar – besarkan yang dipakai sebagai dalih untuk menyerang Badung.

Denah Puri Denpasar

Senin, 25 April 2011

SEJARAH PURI SATRIYA

BADUNG PADA JAMAN SUB DINASTI JAMBE
(1750 – 1788 M)


Sejarah keberadaan Puri Satria berkaitan dengan ekspedisi Majapahit ke Bali tahun Çaka 1256 (sastining Bhuta manon janma) atau 1334 Masehi untuk menaklukan kerajaan Bedulu dibawah pimpinan Panglima Arya Damar/ Adityawarman.

Dal
am ekspedisi Majapahit ke Pulau Bali dapat diuraikan bahwa pasukan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gajah Mada dan Arya Damar mengalahkan musuh musuhnya dengan caranya sendiri sendiri. Patih Gajah Mada dengan “Wiweka”nya (akal) sedangkan Arya Damar dengan mengandalkan “Kawisesan”nya atau ilmu magic yang dimilikinya sebagai pengikut setia aliran Bajrayana-Amoghapasa yang menyebabkan pahlawan dan prajurit Bali ketakutan dan menyerah.

Pemerajan Puri Satriya

Setelah Kerajaan Bedulu berhasil ditaklukkan maka sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan Pulau Bali, semua Arya dikumpulkan untuk diberikan pengarahan tentang pengaturan pemerintahan, ilmu kepemimpinan sampai pada ilmu politik “ Raja Sesana dan Nitipraja” yang mana tujuannya agar para Arya tersebut nantinya dapat mempersatukan dan mempertahankan Pulau Bali sebagai daerah kekuasaan Majapahit.

Penempatan para arya diatur sebagai berikut :

  1. Arya Kenceng diberikan kekuasaan di daerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang
  2. Arya Kutawaringin diberikan kekuasaan di Gelgel dengan rakyat sebanyak 5.000 orang
  3. Arya Sentong diberikan kekuasaan di Pacung dengan rakyat sebanyak 10.000 orang
  4. Arya Belog diberikan kekuasaan di Kaba Kaba dengan rakyat sebanyak 5000 orang
  5. Arya Beleteng diberikan kekusaan di Pinatih
  6. Arya Kepakisan diberikan keuasaan di daerah Abiansemal
  7. Arya Binculuk diberikan kekauasaan di daerah Tangkas

Demikianlah penempatan para Arya di Bali, setelah itu Patih Gajah Mada, Arya Damar dan Pasung Grigis kembali ke Majapahit dengan disertai 30.000 orang prajurit.

Arya Damar telah meninggalkan Pulau Bali namun putra putra beliau yaitu Arya Kenceng, Arya Delancang dan Arya Tan Wikan (purana Bali dwipa lembar 11a) ditinggalkan di Bali untuk mengawasi Pulau Bali dari kemungkinan timbulnya pemberontakan dari orang orang Bali Aga.


PEMERINTAHAN ARYA KENCENG DI TABANAN

Dalam lontar Purana Bali Dwipa dinyatakan bahwa Arya kenceng adalah anak dari Arya Damar, sebab Arya Damar ketika menyerang Bali bukan pemuda lagi, diperkirakan usia beliau pada waktu diperkirakan 45 tahun. Hal yang sama juga dinyatakan dalam Kitab Usana Jawa yang menyatakan “ Arya Damar Kenceng Pwa sira “ yang artinya dalam diri Arya Kenceng terdapat darah daging Arya Damar”. Dan hal ini hanya dimungkinkan kalau Arya Kenceng adalah anak kandung Arya Damar yang berhak menerima kedudukan di dalam pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan sebagai ahli waris Arya Damar.

Tempat Pemujaan Arya Kenceng
di Desa Buahan Tabanan


Arya Kenceng , beliau adalah penguasa daerah Tabanan, berkedudukan di desa Pucangan atau Buwahan. Satu uraian sejarah yang menguatkan dugaan bahwa Arya Kenceng adalah Anak Arya Damar dinyatakan dalam buku sejarah berjudul Pulau Bali Dalam masa Masa yang Lampau tentang adanya suatu tradisi untuk memberikan suatu jabatan atau kedudukan tertentu dalam pemerintahan kepada anak anaknya untuk menggantikan kedudukan orang tuanya, setelah orang tuanya meninggal atau karena jasa jasa orang tuanya.

Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir di Gelgel Tahun 1380 – 1460. yang menjadi menteri menteri adalah anak anak dari para Arya yang datang ke Bali pada ekspedisi Majapahit untuk menggantikan kedudukan orang tuanya.

Arya Kenceng mengambil istri putri keturunan brahmana yang bertempat tinggal di Ketepeng Renges yaitu suatu daerah di Pasuruan yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Arya Kenceng memperistri putri kedua dari brahmana tersebut sedangkan putri yang sulung diperistri oleh Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan dari Puri Samprangan dan putri yang bungsu diperistri oleh Arya Sentong.

Dari perkawinan dengan putri brahmana tersebut Beliau berputra :

  1. Shri Megada Parabhu / Dewa Raka ( tidak tertarik akan kekuasaan, beliau senang melakukan tapa yoga semadi, mencari kesunyian, mendekatkan diri pada alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa untuk mecari ketenangan dan kedamaian, membangun pesraman di Kubon Tingguh ), mempunyai putri yang dijadikan istri oleh Kepala Desa Pucangan dan mempunyai anak lima orang : Ki Bendesa Beng, Ki Guliang di Rejasa,Ki Telabah di Tuakilang, Ki Bendesa di Tajen, Ki Tegehen di Buahan
  2. Shri Megada Natha / Dewa Made / Arya Yasan / Sri Arya Ngurah Tabanan Sri Maganata (Sirarya Ngurah Tabanan I ) memangku jabatan raja menggantikan ayahnya, beliau memerintah dengan bejaksana dan berwibawa sehingga terjaminlah keamanan wilayah Tabanan. Sri Maganata dalam sejarah Pemecutan disebut juga dengan Nama Arya Yasan.
Dari Istrinya yang lain, beliau berputra :
  1. Kyayi Ngurah Tegeh Kori menjadi raja Badung berkedudukan di sebelah kuburan umum. Merupakan Putra kandung dari Arya Kenceng yang beribu dari desa Tegeh di Tabanan ( bukan putra Dalem yang diberikan kepada Arya Kenceng, menurut babad versi Benculuk Tegeh Kori / Beliau membangun Kerajaan di Badung, diselatan kuburan Badung ( Tegal ) dengan nama Puri Tegeh Kori ( sekarang bernama Gria Jro Agung Tegal ), karena ada konflik di intern keluarga maka beliau meninggalkan Puri di Tegal dan pindah ke Kapal. Di Kapal sempat membuat Pemerajan dengan nama "Mrajan Mayun " yang sama dengan nama Pemerajan sewaktu di Tegal, dan odalannya sama yaitu pada saat "Pagerwesi". Dari sana para putra berpencar mencari tempat. Kini pretisentananya ( keturunannya ) berada di Puri Agung Tegal Tamu, Batubulan, Gianyar dan Jero Gelgel di Mengwitani ( Badung), Jro Tegeh di Malkangin Tabanan. Di Puri Tegeh Kori beliau berkuasa sampai generasi ke empat. Beliau berhasil membuat bendungan di Pegat dan melahirkan golongan Gusti Di Tegeh
  2. Seorang putri bertempat tinggal di Istana di Buwahan diambil istri oleh Kyayi Asak Pakisan di desa Kapal, tetapi tidak memperoleh keturunan..
Arya Kenceng sebagai kepala pemerintahan di daerah Tabanan bergelar Nararya Anglurah Tabanan, sangat pandai membawa diri sehingga sangat disayang oleh kakak iparnya Dalem Samprangan. Dalam mengatur pemerintahan beliau sangat bijaksana sehingga oleh Dalem Samprangan beliau diangkat menjadi Menteri Utama.

Karena posisi beliau sebagai Menteri Utama, maka hampir setiap waktu beliau selalu berada disamping Dalem Samprangan. Arya Kenceng sangat diandalkan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Dalem Samprangan, karena jasanya tersebut maka Dalem Samprangan bermaksud mengadakan pertemuan dengan semua Arya di Bali. Dalam pertemuan tersebut Dalem Samprangan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan tersebut tiada lain untuk memberikan penghargaan kepada Arya Kenceng atas pengabdiannya selama ini.

  • Wajai dinda Arya Kenceng, demikian besar kepercayaanku kepadamu, aku sangat yakin akan pengabdianmu yang tulus dan ikhlas dan sebagai tanda terima kasihku, kini aku sampaikan wasiat utama kepada dinda dari sekarang sampai seterusnya dari anak cucu sampai buyut dinda supaya tetap saling cinta mencintai dengan keturunanku juga sampai anak cucu dan buyut.
  • Dinda saya berikan hak untuk mengatur tinggi rendahnya kedudukan derajat kebangsawanan (catur jadma) , berat ringannya denda dan hukuman yang harus diberikan pada para durjana.
  • Dinda juga saya berikan hak untuk mengatur para Arya di Bali , siapapun tidak boleh menentang perintah dinda dan para Arya harus tunduk pada perintah dinda.
  • Dalam tatacara pengabenan atau pembakaran jenasah (atiwatiwa) ada 3 upacara yang utama yaitu Bandhusa, Nagabanda dan wadah atau Bade bertingkat sebelas. Dinda saya ijinkan menggunakan Bade bertingkat sebelas. Selain dari pada itu sebanyak banyaknya upacara adinda berhak memakainya sebab dinda adalah keturunan kesatriya, bagaikan para dewata dibawah pengaturan Hyang Pramesti Guru.


Demikianlah penghargaan yang kanda berikan kepada adinda karena pengadian dinda yang tulus sebagai Mentri utama “. Arya Kenceng karena telah lanjut usia, akhirnya beliau wafat dan dibuatkan upacara pengabenan (palebon) susai dengan anugrah Dalem Samprangan yaitu boleh menggunakan bade bertingkat sebelas yang diwariskan hingga saat ini. Adapun roh sucinya (Sang Hyang Dewa Pitara) dibuatkan tugu penghormatan (Padharman) yag disebut batur dan disungsung oleh keturunan beliau hingga saat ini dan selanjutnya.


MASA PEMERINTAHAN SHRI MEGADA NATHA/ DEWA MADE / ARYA YASAN/ SRI ARYA NGURAH TABANAN/ RAJA TABANAN II

Karena Sri Megadaprabu tidak bersedia memegang kekuasaan di Tabanan, maka yang menjadi Raja menggantikan Bhetara Arya Kenceng adalah
Sri Megadanata, dengan nama yang lain Sri Ngurah Tabanan. Beliau tidak lupa dengan hubungan baik dengan Dalem yang pada waktu itu adalah Dalem Ketut Ngulesir, yang lebih dikenal dengan Sri Kepakisan yang beristana di Swecapura atau Linggarsapura Sukasada atau Gelgel.

Peninggalan Puri Agung Satriya

Beliau putra dari Sri Kresna Kepakisan ( cucu dari Dalem Wawu Rawuh ) yang mempunyai istana di Samprangan dan merupakan adik dari Dalem Ile.
Beliau Arya Ngurah Tabanan mempunyai tiga orang istri dari keturunan kesatria dan memberikan 8 orang putra Istri Pertama (Warga para Sanghyang) lahir 4 orang putra (menetap di Tabanan):

  1. Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang (Putra Mahkota)
  2. Kiyai Madhyattara/ Made Kaler – menurunkan Pragusti Subamia
  3. Kiyai Nyoman Pascima / Nyoman Dawuh – menurunkan pragusti Jambe (Pamregan) ·
  4. Kiyai Ketut Wetaning Pangkung – menurunkan pragusti Lodrurung, Ksimpar dan Serampingan
Istri kedua (Warga para Sanghyang) lahir 3 orang putra menetap di Badung) :

  1. Kiyai Nengah Samping Boni – menurunkan pragusti Samping
  2. Kiyai Nyoman Ancak – menurunkan pragusti Ancak dan Angligan
  3. Kiyai Ketut Lebah – tidak memberikan keturunan karena kesua anaknya perempuan.
Istri ketiga (Putri bendesa Pucangan) lahir 1 orang putra (menetap di Badung):

  1. Kiyai Ketut Bendesa/ Kiyai Pucangan/ Nararya Bandhana

Pura Satriya

Tiga orang saudara dari Kiyayi Pucangan Tabanan yaitu Kyayi Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, Kyayi Ketut Lebah, atas perintah Dalem agar menetap di Badung sebagai pendamping Raja Badung. seperti ayah beliau menjalin hubungan yang baik dengan Dalem Ketut di Gelgel (Anak dari Sri Kresna Kepakisan) sebagai sesuhunan Pulau Bali dan karena masih bersaudara sepupu. Karena demikian akrabnya hubungan tersebut ternyata membawa suatu petaka.

Prasasti Mpu Aji Tusan Lembar 7a transkrip halaman 9 menyebutkan Pada suatu ketika Putra Mahkota Dalem Ketut minta tolong kepada Sri Maganata yang masih merupakan pamannya untuk memotong rambutnya yang sudah panjang. Beliau karena demikian akrabnya maka dipototonglah rambut putra mahkota tersebut sampai gundul tanpa persetujuan dari ayahnya.

Memang sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, ketika Dalem Ketut melihat anaknya dalam keadaan gundul, beliau sangat terkejut dan mencari tahu siapa gerangan yang melakukan hal tersebut tanpa seijin dirinya.

Hatinya merasa berang setelah mengetahui bahwa Sri Maganatalah yang melakukan hal tersebut, namun beliau berupaya menyembunyikan kemarahannya tersebut serta menanyakan hal tersebut kepada Sri Maganata Setelah mendengar penjelasan dari Sri Maganata hati beliau tetap tidak senang akan hal tersebut dan mengusir Sri Maganata secara halus ke Majapahit untuk menengok keluarganya disana. Mengetahui kemarahan Dalem tersebut tanpa membantah lagi maka berangkatlah Sri Maganata ke Majapahit .

Arya Yasan tinggal di Kerajaan Majapahit kurang lebih 8 tahun, disana beliau berusaha untuk mencari dan menanyakan keluarganya dari keturunan Arya Damar/ Adityawarman, namun pencarian tersebut tidak membuahkan hasil karena Majapahit sudah runtuh tahun 1478 sehingga beliau memutuskan untuk pulang kembali ke Bali.

Setibanya di Bali beliau kemudian mengembara ke gunung gunung untuk menjadi serang pendeta kemudian bertapa. Arya Yasan tidak diperkenankan menyandang kedudukan dan tidak berhak memiliki rakyat demikian pula kedua putra beliau juga mengalami hal yang sama dengan ayahnya. Diceritakan bahwa adik beliau yang paling kecil tinggal diistana yang bernama Bibi Kyahi Tegeh Kori yang diperistri oleh Dalem Gelgel dan diserahkan kepada putra Si Arya Wongaya Kepakisan yang bernama Kyahi Asak yang tinggal di Kapal.
Peninggalan Puri Satriya

Hal tersebut membuat beliau marah terhadap Dalem, lalu mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pada putranya Sri Arya Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan sebagai Raja Tabanan III.
Setelah meletakkan jabatan Arya Ngurah Tabanan meninggalkan keraton dan mendirikan sebuah pondok di tengah hutan yang disebut Kubon Tingguh.

Kubon Tinggoh adalah tempat berduka cita. Karena perbuatan Dalem yang sewenang-wenang tersebut Arya Yasan menjadi marah dan mengutuk Dalem dan para patih agar selama lamanya terkutuk karena Dalem tidak mematuhi petuah dimasa lampau (antara Arya Kenceng dengan Dalem Kresna Kepakisan ).

Akibat kutukan tersebut Dalem mendapat serangan burung gagak yang senantiasa mengusik hidangan Dalem sehingga beliau menjadi sangat kesal. Beliau Arya Yasan/ Sri Megadanata kemudian menjalani kehidupan suci serta membuat pesraman yang dilengkapi tetamanan dan telaga didaerah Kebon Tingguh yang terletak dibarat daya dari Istana di Pucangan. Pesraman tersebut sekarang sudah menjadi sebuah pura besar yang dinamakan Pura Mentingguh Tabanan yang sekarang disungsung oleh rakyat Tabanan dan Badung.

Diceritakan bendesa Pucangan mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Sang Ayu Mendesa, diberikan tugas oleh bendesa pucangan untuk melayani kebutuhan sehari hari Arya Yasan/ Sri Megadanata sehingga lama kelamaan tumbuh benih benih cinta kasih diantara keduanya yang dilanjutkan dengan upacara perkawinan.

Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan. Beliau menerima pusaka demon dan pahleng yaitu supit atau tulup tanpa lubang. Setelah besar beliau diserahkan kepada kakaknya Sri Arya Ngurah Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan dean tetap tinggal di Istana. Tidak berapa lama karena lanjut usia wafatlah beliau dan diadakan upacara sebagaimana mestinya.


KYAYI KETUT BENDESA/ KYAYI PUCANGAN/ SANG ARYA BAGUS ALIT

Kembali lagi ke peristiwa yang menimpa ayah dari Arya Notor Wandira / Arya Notor Waringin yaitu Arya Yasan, Karena perbuatan Dalem yang sewenang-wenang tersebut Arya Yasan menjadi marah dan mengutuk Dalem dan para patih agar selama lamanya terkutuk karena Dalem tidak mematuhi petuah dimasa lampau (antara Arya Kenceng dengan Dalem Kresna Kepakisan ).

Akibat kutukan tersebut Dalem mendapat serangan burung gagak yang senantiasa mengusik hidangan Dalem sehingga beliau menjadi sangat kesal. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengusir keberadaan burung gagak tersebut, namun selalu saja tidak membuahkan hasil.

Peninggalan Puri Satriya

Terdengar berita bahwa cucu Arya Kenceng di Tambangan yang bernama Sang Arya Bagus Alit / Arya Pucangan mempunyai keahlian nyumpit atau nulup, maka Dalem mengundang Sang Arya Bagus Alit ke Ibukota Kerajaan. Keberhasilan Sang Arya Bagus Alit mengalahkan burung gagak tersebut membuat Dalem menjadi tersadar dan ingat kembali kepada Sang Arya Yasan ayah dari Sang Arya Bagus Alit yang masih merupakan sepupunya untuk datang ke Puri Gelgel.

Dalam transkrip lontar Museum Bali dalam Pamancangah Badung Mwang Tabanan dan dalam lontar Babad Badung milik Anak Agung Oka Manek dari Jero Grenceng demikian pula prasasti Mpu Tusan diceritakan bahwa dari pertemuan Dalem dengan Arya Yasan tersebut Dalem menyampaikan permohonan maafnya dan mengembalikan kedudukan Arya Yasan sebagai penguasa daerah Tabanan bersama putra sulungnya. Sedangkan Sang Arya Bagus Alit disuruh menetap di Tambangan (Badung) oleh Dalem Gelgel semenjak itu Sang Arya Bagus Alit terkenal dengan nama Dewa Hyang Anulup.

Setelah sekian lama Dewa Hyang Anulup mempunyai seorang putra, beliau kemudian kembali ke daerah Tabanan untuk menetap di daerah Pucangan sehingga diberi nama Bhatara Pucangan. Beliau wafat dan meninggalkan seorang putra yang bernama Bhatara Notor Wandira atau Bhatara Notor Waringin


SANG ARYA KETUT NOTOR WANDIRA/ ARYA NOTOR WARINGIN

Setelah dewasa Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan meninggalkan pesraman dan mengabdi Ke Puri Tabanan yaitu Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang yang diangkat menjadi Raja Tabanan ke III. Di puri Tabanan beliau tidak diberikan kedudukan yang wajar, beliau hanya diberi tugas sebagai tukang kurung ayam istana. Begitupun untuk tempat tinggal beliau tidak diberikan tempat tinggal di Puri sehingga pada malam hari beliau tidur dirumah-rumah penduduk, pasar ataupun balai banjar.

Pada suatu malam rakyat Tabanan dibuat kaget karena melihat adanya cahaya yang terang benderang namun setelah didekati ternyata berasal dari cahaya ubun kepala Sang Arya Ketut Notor Wandira yang sedang tidur. Berita tersebut akhirnya terdengar oleh Raja Tabanan, dalam hati beliau sangat murung mendengar kesaktian Sang Arya Ketut Notor Wandira tersebut dan khawatir sewaktu waktu akan merebut tahta kerajaan Tabanan, maka dicarilah jalan untuk menyingkirkan beliau.

Peninggalan Puri Satriya

Di bencingah Puri Tabanan tumbuh pohon beringin yang sangat besar dan sangat angker dimana sebelumnya 10 orang yang diberi tugas untuk memotong pohon beringin tersebut telah tewas dalam menjalankan tugasnya. Timbulah muslihat dari Raja Tabanan bahwa untuk melaksankan tugas berat tersebut akan diserahkan kepada Sang Arya Ketut Notor Wandira. Maka dipanggilah adiknya untuk menghadap dan minta kesanggupan adiknya untuk melaksanakan tugas tersebut.

Arya Ketut Notor Wandira menerima tugas tersebut dan minta waktu beberapa hari untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka sebelum melaksankan tugas tersebut beliau kemudian ngaturang pakeling di temat tersebut dan selanjutnya bertapa semedi di Pura Batukaru Tabanan mohon keselamatan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Karena ketekunannya oleh Bethara di Pura Batukaru beliau mendapat anugrah senjata sakti berupa kapak yang bernama I Cekle.

Maka pagi pagi sekali Arya Ketut Notor Wandira sudah berada di bencingah Puri Tabanan untuk mulai melaksanakan tugas memotong pohon beringin tersebut. Beliau naik sampai ke puncak pohon beringin dan mulai memotong dahan pohon tersebut satu persatu sampai yang tersisa hanya batangnya saja. Diatas pohon tersebut Arya Ketut Notor Wandira bertolak pinggang dan menari nari. Rakyat Tabanan beserta Raja sangat heran dan kagum atas kesaktian Arya Ketut Notor Wandira sehingga mulai saat itu Arya Ketut Notor Wandira diberi gelar Arya Notor Waringin oleh Raja Tabanan karena keberhasilannya memotong pohon beringin yang angker tersebut.

Setelah dewasa Arya Notor Wandira / Arya Notor Waringin mengambil istri dari desa Buwahan yaitu Ni Gusti Ayu Pucangan dan berputra 2 orang yaitu

  1. Kyahi Gde Raka
  2. Kyahi Gde Rai (membuat puri di Kerambitan)

KYAHI GDE RAKA/ KYAHI BEBED/ KYAHI JAMBE POLE / KIYAYI NGURAH PAPAK

Kyahi Gde Raka / Kyahi Bebed mempunyai 2 orang istri. Istri pertama dari buahan mempunyai seorang putra bernama Kyahi Jambe sedangkan istri kedua dari Tumbakbayuh lahir seorang putra bernama Kyahi Tumbakbayuh. Kyahi Gde Raka / Kyahi Bebed sangat senang bertapa beliau ingin mendapatkan kesucian dan kewibawaan sebagai seorang raja, Kyahi Bebed kemudian pergi secara diam diam pada waktu malam hari dari Puri Tabanan, berjalan terlunta lunta sehingga sampailah beliau di Gunung Giri di Beratan yang bernama gunung Batukaru.


Beliau kemudian memusatkan pikiran dan bersemedi untuk memohon berkah. Disana beliau memperoleh petunjuk agar melanjutkan perjalanan ke Gunung Batur untuk menghadap Bhatari Dhanu untuk memohon kejayaan. Lama beliau terlunta lunta dalam perjalanan sampai akhirnya tibalah beliau di daerah Pura Panarajon. Disana beliau kemudian memusatkan pikiran bersemedi mohon petunjuk dari yang maha kuasa.

Peninggalan Puri Satriya

isana beliau mendapat petunjuk Sanghyang Panrajon untuk melanjutkan perjalanan ke puncak gunung Batur. Di Pura tersebut beliau bertemu dengan seorang anak kecil hitam kulitnya, gigi putih di Pura Tambyak. Kyahi Gde Raka / Kyahi Bebed kemudian memberi nama itu Ki Tambyak Tudelaga / Ki Andhagala . Tudelaga adalah namanya yang pertama. setelah mendapat petunjuk tersebut, Kiyai Bebed melanjutkan perjalanan ke Gunung Batur dengan diiringi oleh Ki Andhagala dari keturunan Tambyak.

Sampai di puncak Gunung Batur kembali beliau bersemedi dan kelurlah Bhatari Danu yang akan mengabulkan apa yang menjadi keinginan Kiyai Bebed. Namun sebelumnya Bhatari Danu minta kepada Kiyai Bebed untuk menggendongnya ke tengah danau. Kiyai Bebed menyanggupi permintaan tersebut sehingga digendonglah Bhatari Danu ke tengah danau.

Namun sungguh ajaib beliau tidak tenggelam beliau seperti berjalan diatas tanah saja, air hanya sampai dipergelangan kaki saja. Ketika sampai di pinggir danau bersabdalah Bhatari Danu bahwa beliau akan mengabulkan permohonan Kiyai Bebed untuk memperoleh kejayaan di daerah Badung. Akhirnya apa yang menjadi cita cita beliau melalu tapa semadi terkabul dan kelak akan menjadi raja di daerah Badung. Bahkan Bhatari Danu menganugrahkan dua buah senjata yang sangat ampuh berupa pecut dan tulupan, tetapi tiap tiap hari piodalan di Pura Batur senjata ini harus dibawa untuk dibuatkan upakara.

Setelah mendapat anugrah beliau melanjutkan perjalanan ke daerah Badung. Setelah mendapat anugrah tersebut beliau akhirnya pulang ke Buwahan. Diceritakan Nararya Gde Raka meninggalkan Tabanan menuju Badung dan dalam rombongan tersebut ikut serta kedua istrinya dan pengawal yang paling setia yaitu I Negala (Tambiyak).

Setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh sampailah rombongan tersebut di perbatasan utara kerajaan Badung yaitu Desa Lumintang. Pada waktu itu ada seorang yang datang menyapa bernama I Kaki Lumintang. Nararya Gde Raka mengajukan permohonan agar diperbolehkan untuk menginap semalam. Karena kasihan melihat rombongan yang sudah kelelahan tersebut I Kaki Lumintang menerima permohonan tersebut, namun I Kaki Lumintang ingin mengetahui terlebih dahulu dari mana kedatangan rombongan ini dan apa maksud dan tujuannya datang ke Badung.

Nararya Gde Raka kemudian menjelaskan maksud kedatangannya ke Badung untuk mengabdi kepada ramanda Gusti Ngurah Tengeh Kuri di Kerajaan Badung dan mereka adalah keturunan Nararya Notor Waringin dan juga pernah cucu dari Cokorde Mukules dari Puri Mentingguh Tabanan.

Mengetahui hal tersebut I Kaki Lumintang menundukkan diri memberi penghormatan untuk seorang putra raja. Keesokan harinya rombongan melanjutkan perjalanan untuk menuju Puri Tegah Kuri di Tegal dengan diantar oleh I Kaki Lumintang. Pertemuan ini sangat mengharukan kedua pihak, karena antara Kyai Tegeh Kori dan Arya Notor Wandira ada hubungan Paman – Ponakan.

Nararya Gde Raka menyatakan hasratnya untuk menghamba (mekandelin) pamannya di bumi Badung. Nararya Gde Raka diterima dengan tangan terbuka oleh Gusti Tegeh Kuri dan diperkenankan mengabdi di Badung dan diangkat sebagai putra ke tiga dan diberi nama Kiyai Nyoman Tegeh, karena Gusti Ngurah Tegeh Kuri sudah mempunyai 2 orang putra yaitu Kiyai Wayan Tegeh dan Kiyai Made Tegeh.


Untuk tempat tinggalnya, Kiyai Nyoman Tegeh dan semua keluarga serta I Tambyak dititipkan sementara di rumah I Mekel Tegal yang letaknya sekarang di sebelah barat Br Tegal Gede (pewarisnya I Nyoman Yasa).

Pada suatu hari tiba tiba Gusti Ngurah Tegeh Kuri diserang penyakit lumpuh, seluruh anggota badannya sukar bergerak sehingga seluruh kegiatan pemerintahan mengalami gangguan. Kedua orang putra beliau yaitu Kiyai Wayan Tegeh dan Kiyai Made Tegeh tidak mampu menggantikan ayahnya sebagai kepala pemerintahan di Badung.

Jiwa kepemimpinan serta kewibawaan masih sangat kurang, karena memiliki sifat pemalu dan rendah diri. Tidak diduga dari Puri Gelgel mendadak ada perintah supaya Raja Badung segera menghadap ke Puri Gelgel karena adanya persoalan yang sangat penting yang menyangkut keamanan Pulau Bali. Bila Raja berhalangan hadir maka seorang Putra Raja diperbolehkan mewakili.

Oleh karena Gusti Ngurah Tegeh Kuri dalam keadaan sakit maka beliau memerintahkan salah satu dari putranya untuk mewakilinya ke Puri Gelgel, namun kedua putranya menolak dengan alas n belum memiliki cukup pengalaman untuk melaksanakan tugas tersebut. Mendengar hal tersebut Gusti Ngurah Tegeh Kuri menjadi sangat murung memikirkan bagaimana nantinya kerajaan Badung di kemudian hari tanpa dirinya.

Dalam renungannya, timbul pikiran beliau untuk mengutus Kiyai Nyoman Tegeh sebagai wakil Kerajaan Badung untuk menghadap ke Puri Gelgel. Segera Kiyai Nyoman Tegeh dipanggil untuk menghadap dan setelah dijelaskan, Kiyai Nyoman Tegeh menerima dengan senang hati tugas yang diberikan kepadanya dan berjanji tugas tersebut akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Diceritakan Kiyai Nyoman Tegeh sudah berangkat menuju Puri Gelgel dengan diiringi Ki Tambyak.

Didalam perjalanan sesampainya di Desa Sumerta Ki Tambyak dihina oleh penduduk setempat sambil bernyanyi dan tertawa tawa melihat penampilan Ki Tambyak yang serba hitam hanya giginya saja yang kelihatan putih. Mendengar penghinaan tersebut Ki Tambyak menjadi sangat marah, ia mengamuk bagaikan benteng kedaton, memukul dan menendang ke kanan dan kekiri.

Akhirnya kentongan dibunyikan oleh penduduk desa Sumerta yang menandakan bahwa ada orang yang mengamuk. Raja Sumerta Gusti Pasek Sumerta keluar dari purinya untuk menghadapi Ki Tambyak. Perkelahian terjadi dengan serunya namun akhirnya Gusti Pasek Sumerta tidak mampu menandingi Ki Tambyak sehingga beliau menyatakan menyerah dan tunduk kepada Kerajaan Badung. Mulai saat itu Desa Sumerta menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Badung.

Peninggalan Puri Satriya

Setelah peristiwa tersebut Kyai Nyoman Tegeh kemudian melanjutkan perjalanan ke Puri Gelgel dan sesampainya beliau disana langsung menghadap Ida Dalem Waturenggong di bale penangkilan. Kyai Nyoman Tegeh diterima dengan baik oleh Ida Dalem Waturenggong dan Dalem menanyakan prihal keamanan di Kerajaan Badung, perbaikan pura pura dan hal lainnya yang kesemuanya dijawab dengan baik sehingga memuaskan hati Dalem Waturengong.

Karena sikapnya yang santun serta mempunyai wawasan yang luas tentang ilmu pemerintah Kyai Nyoman Tegeh dapat menarik simpati dari Dalem waturenggong sehingga beliau diminta lebih lama tinggal di Puri Gelgel mendampingi Dalem Waturenggong. Karena mempunyai kesan yang baik kepada Kiyai Nyoman Tegeh maka Dalem Waturenggong memberikan anugrah untuk bersama sama Gusti Ngurah Tegeh menjalankan pemerintahan di wilayah Badung, karena mengingat kondisi kesehatan Gusti Ngurah Tegeh yang tidak memungkinkan menjalankan pemerintahan kembali.

Setelah beberapa bulannya Kyai Nyoman Tegeh tinggal di Puri Gelgel, maka beliau pamit ulang kembali ke Badung. Singkat cerita sesampainya di Badung Kiyai Nyoman Tegeh menghadap Gusti Ngurah Tegeh Kuri untuk melaporkan hasil pertemuannya dengan Dalem Waturenggong dan menyampaikan titipan surat dari Ida Dalem Waturenggong untuk Gusti Ngurah Tegeh Kuri.

Dalem surat itu Dalem menyampaikan rasa puasnya kepada Kiyayi Nyoman Tegeh sebagai utusan dari Kerajaan Badung yang mempunyai wawasan yang luas tentang ilmu pemerintahan sehingga sangat menawan hati Dalem Waturenggong. Kemudian mengingat kondisi kesehatan Gusti Ngurah Tegeh Kuri sebagai kepala pemeritahan di Badung mengalami suatu hambatan, maka untuk melaksanakan tugas tugas pemerintahan di wilayah Badung agar diberikan kepada Kiyai Nyoman Tegeh. Arya Gde Raka di diberikan fasilitas tinggal di Badung dengan dibuatkan kediaman di dusun Kerandan.


PERANG TANDING DENGAN KIYAYI PLASA

Pada saat bertahta, Kyayi Nyoman Tegeh, pernah dikirim bertempur oleh Dalem , bersama Kyayi Ngurah Telabah di Kuta, dan Kyayi Ngurah Tabanan, menyerang I Kebo Mundar di Sasak. Kyayi Telabah melarikan diri karena dikalahkan oleh Kebo Mundar, kemudian digantikan oleh Kyayi Anglurah Tabanan dan Badung, hingga Ki Kebo Mundar takut dan takluk.

Dalem menghukum Kyayi Telabah, dengan menyerahkan rakyat kekuasaannya kepada Raja Badung. Namun Kyayi Telabah tidak mentaati, maka timbul bentrokan antara Badung dengan Kuta. Seorang utusan melaporkan bahwa Kyai Wayan Tegeh putra tertua Gusti Ngurah Tegeh Kuri terlibat perkelahian dengan Kiyai Plasa di Mergaya Abiantimbul.

Perkelahian tersebut sudah dari sejak pagi, karena sama sama kebal dan sakti maka tidak seorangpun keluar sebagai pemenang, akhirnya perkelahian dihentikan karena hari sudah menjelang malam. Kyai Nyoman Tegeh memberikan nasehat kepada kakaknya Kyai Wayan Tegeh Kuri, bila besok kembali berhadapan dengan Kiyai Plasa maka Kiyai Wayan Tegeh jangan sekali kali mandi di sungai Kuta sebab air sungai tersebut dapat menghilangkan kekebalan.

Dan sesuai dengan yang sudah dijanjikan esok harinya perang tanding kembali di mulai, Kiyai Plasa nampak dibantu oleh Kyai Petiles dari Pekambingan. Perang tanding menjadi tidak seimbang satu melawan dua sehingga menyebabkan Kyai Wayan Tegeh kehabisan nafas dan dihinggapi rasa haus yang tak tertahankan. Beliau kemudian terjun ke sungai Kuta, membasahi tubuhnya untuk menghilangkan rasa lelah dan haus, beliau lupa akan pesan adiknya yang melarangnya untuk mandi di sungai kuta selama perang tanding berlangsung.

Setelah matahari condong ke Barat perang tanding di mulai lagi dengan serunya, kedua belah pihak berusaha saling menjatuhkan lawannya. Tiba tiba dalam satu kesempatan Kiyai Plasa berhasil menghunus keris langsung ke perut Kyai Wayan Tegeh. Karena sudah hilang kekabalannya maka keris tersebut langsung menancap di perut Kyai Wayan Tegeh sehingga beliau terpelanting dan mengembuskan nafasnya yang terakhir.

Perang tanding dihentikan dan kemenangan berada di pihak Raja Plasa. Berita kematian Kyai Wayan Tegeh, menimbulkan kemarahan dari Kyai Nyoman Tegeh dan berjanji akan menuntut balas atas kematian kakaknya. Kyai Nyoman tegeh kemudian mengambil keris sakti untuk menandingi Kyai Plasa. Singkat cerita ditengah jalan beliau dihadang oleh Kiyai Plasa dan Kiyai petiles yang sudah siap berperang dengan keris terhunus.

Kiyayi Nyoman Tegeh menghadapi kedua musuhnya dengan tenang dan waspada. Pergulatan dimulai saling tindih dan tusuk untuk mengadu kekabalan. Dan pada suatu kesempatan yang baik Kyai Nyoman Tegeh berhasil menusuk perut Kiyai Plasa sehingga menghembuskan napasnya terakhir.

Kiyayi Petiles kemudian ganti menghadapi Kiyai Nyoman Tegeh, namun seperti Kiyai Plasa yang telah tewas, nasib Kiyai Petilespun sama, dadanya tertikam oleh keris Kiyai Nyoman Tegeh sehingga terkapar tak berdaya. Namun sebelum Kiyai Petiles menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung dan semua daerah yang menjadi kekuasaannya diserahkan kepada Kerajaan Badung. Karena kekalahan tersebut maka semua keluarga Kiyai Petiles diturunkan wangsanya menjadi rakyat biasa. Setelah kekalahan Kiyai Petiles maka seluruh rakyatnya menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung.

Kyayi Jambe Pule mempunyai putra yang bernama Kiyai Anglurah Pemedilan dan Anak Agung Istri Jambe. Kedua anak beliau lahir di Pemedilan di rumah Ki Tanjung Gunung (sebelah utara Pura Tambangan Badung) Nararya Gde Raka mendirikan Puri Pemecutan Setelah mendapat anugrah dari Dalem Waturenggong untuk menjalankan pemerintahan di Badung, maka beliau mulai memperluas wilayah kerajaan Badung.

Puri Sumerta berhasil ditaklukkan terbukti salah satu Pura Khayangan di Sumerta setiap hari purnama kedasa selalu datang hadir ke Pura Tambangan Badung sebagai prasanak pura Kerajaan Badung. Beliau diberi gelar Kiyai Jambe Pole, Pole berasal dari kata polih yang artinya mendapatkan kekuasaan. Dan untuk melaksanakan pemerintahan, beliau mendapat panjak (rakyat) sebanyak 500 orang dari Gusti Ngurah Tegeh Kuri dan dinobatkan menjadi Raja Badung. Karena beliau mendapat anugrah dari Bhatari danu Batur berupa senjata sakti Pecut dan Tulupan
Beliau sebagai cikal bakal pendiri kerajaan di Badung


ANUGRAH RAJA BADUNG UNTUK KI TAMBYAK

Seperti yang telah diceritakan diatas bahwa Ki Tambyak sangat berjasa mengiringi Kiyayi Jambe Pule dari sejak di pura Ulun Danu sampai beliau menjadi Raja di Badung, maka untuk membalas budi kepada Ki Tambyak/ Ki Handagala maka Raja Badung mengeluarkan amanat bahwa Ki Tambyak dan Keturunannya tidak boleh dihukum mati sebesar apapun kesalahannya dan amanat ini berlaku seterusnya bagi Raja selanjutnya yang berkuasa di wilayah Badung.

Kiyayi Arya Bebed/ Kiyayi Jambe Pule merupakan tonggak awal berdirinya dinasti Pemecutan di Badung. Beliau membangun Puri Agung Nambangan sebelum diganti menjadi Puri Agung Pemecutan. Puri yang dulunya berlokasi disebelah barat jl. Thamrin sekarang berbatasan dengan Jl. Gunung Batur, Jalan Gunung Merapi dan Jl. Gunung Semeru sebagai pusat pemerintahan.

Kiyayi Arya Bebed/ Kiyayi Jambe Pule sebagai Raja Badung pernah berperang melawan Kiyayi Arya Made Janggaran atau Kiyayi Agung Badeng yaitu Raja yang memerintah kerajaan Karangasem. Perang tersebut dipicu oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Patih Agung Kerajaan Gelgel yaitu I Gusti Agung Maruti terhadap kekuasaan Raja Bali yaitu Dalem Dimade yang memerintah Kerajaan Gelgel tahun 1621 - 1651. Dalem Di Made adalah merupakan menantu dari Kiyai Jambe Pule.

Perang yang berlangsung sangat hebat dan berlangsung lama merupakan pemberontakan yang pertama kali dilakukan oleh I Gusti Agung Maruti tanpa ada pihak yang kalah maupun menang sehingga akhirnya masing masing pihak kembali Purinya masing masing. Kiyai Bebed karena menderita luka yang sangat banyak disekujur tubuhnya sehingga tubuhnya menjadi berwarna merah menyala, karena itu beliau mendapat julukan Kiyayi Jambe Pule.

Kiyai Jambe Pule mengambil istri 3 orang

  • Jero Kame / Jero Tameng dari Tumbakbayuh mempunyai putra Kiyai Anglurah Gelogor - beristana di Gelogor merupakan cikal bakal Arya Gelogor.
  • Kiyayi Rara Pucangan ( anak dari Kiyai Arya Pucangan Tabanan) mempunyai putra Kiyai Anglurah Jambe Merik - beristana di Puri Alang Badung Suci merupakan cikal bakal Puri Satriya
  • Putri Kiyai Penataran dari Bebandem Karangasem mempunyai putra Kiyai macan Gading/ Kiyai Anglurah Ketut Pemedilan / Kiyai Anglurah Nambangan – Cokorde Pemecutan II yang mewarisi Puri Pemecutan.
Selain mempunyai 3 orang putra, Kiyai Jambe Pule juga mempunyai 3 orang putri

  • Putri pertama diambil oleh Kiyai Badeng dari keturunan Kiyai Agung yang menguasai daerah Kapal (keturunan Arya Dhalancang)
  • Putri Kedua diambil oleh kesatria Kesiman
  • Putri ketiga diambil oleh Dalem Di Made / Sri Maharaja Bali dari Puri Gelgel yang merupakan cikal bakal keturunan kesatria Klungkung


BERAKHIRNYA KEKUASAAN PURI TEGEH KORI TEGAL


Pada tahun 1750 ada sebuah konflik internal di dalam kerajaan Arya Tegeh Kori yang berujung dengan berakhirnya kekuasaan beliau. Masalahnya adalah perebutan seorang gadis putri dari Arya Tegeh Kori XI yang bernama I Gusti Ayu Mimba Sundari (Ratu Istri Tegeh). Persiapan upacara pernikahan antara putri raja dengan Kyai Jambe Merik putera dari Kyai Jambe Pule sudah dilakukan oleh keluarga raja dan rakyat.

Tiba-tiba ada permintaan dari raja Mengwi I Gusti Agung Made Agung Alang Kajeng, agar sang putri diserahkan ke Mengwi. Oleh karena kerajaan Mengwi pada waktu itu sedang mengalami masa kejayaan dengan reputasi laskarnya yang hebat. Arya Tegeh Kori tidak berani menolak permintaan tersebut, sang putripun diserahkan ke kerajaan Mengwi

Penyerahan gadis ini menimbulkan amarah yang besar dari pihak keluarga Kyai Jambe Pule karena dinilai sebagai penghinaan. Dengan mendapat dukungan dari rakyat pihak keluarga Jambe Pule memberontak terhadap kekuasaan Arya Tegeh Kori XI. Terjadilah perang di intern kerajaan Arya Tegeh Kori. Laskar yang masih setia dengan raja terdesak sampai ke desa Kaliungu, kemudian terdesak lagi sampai di sebelah Barat Banjar Taensiat, yang disebut dusun Tegal Tebuk.

Sementara raja Arya Tegeh Kori XI bertahan di desa Tanguntiti sambil menunggu datangnya bala bantuan dari menantunya I Gusti Agung Made Agung Alang Kajeng. Setelah lama menunggu, datang bala bantuan dari Mengwi. Raja Arya Tegeh Kori sangat kecewa, karena jumlah anggota laskar yang didatangkan amat sedikit, dan itupun dimasudkan hanya untuk mengawal sang menantu.

Raja Arya Tegeh Kori XI akhirnya menyerah dan meminta peperangan di hentikan agar tidak menimbulkan korban lebih banyak. Demikianlah perang dihentikan dengan kekalahan pada keluarga raja.

Atas usulan dari raja Mengwi, permasalahan diselesaikan dengan pertemuan keluarga yang dilaksanakan di desa Kapal wilayah kerajaan Mengwi. Pertemuan keluarga ini melahirkan beberapa kesepakatan, diantaranya Arya Tegeh Kori XI menyerahkan kekuasaan. Laskar dan pengikut Arya Tegeh Kori diampuni dan dibebaskan memilih tempat tinggal.

Sedangkan Kyai Tegeh Kori XI beserta keluarga menuju suatu desa yang kemudian disebut desa Tegaltamu (wilayah Gianyar), karena ada tamu dari Tegal .Jero Tegeh Kuri kemudian dibangun disebelah barat jalan tikungan menuju Desa Celuk . Akhirnya para pimpinan laskar dan putra-putranya memilih jalan sesuai dengan keinginan masing-masing, seperti:

  • Ki Gusti Tegeh Gara, Ki Gusti Tegeh Kebek, Ki Gusti Tegeh Tegal dan keluarga menuju ke Jimbaran, Klungkung dan Jembrana.
  • Ki Gusti Tegeh Dawuh, Ki Gusti Tegeh Tengah, Ki Gusti Tegeh Tambun beserta keluarga menuju Penarungan, Carangsari, Petang, Pelaga, Tinggan, dam Penulisan.
  • Ki Gusti Tegeh Kandil, Ki Gusti Tengah Dogol, Ki Gusti Tegeh Jero, Ki Gusti Tegeh Degeng beserta keluarga menuju desa Beratan, Candikuning dan seterusnya.
  • Rombongan ke empat mengambil jalan yang paling singkat menuju kota Tabanan, dipimpin oleh Kyai Gusti Tegeh Wayahan, Kyai Gusti Tegeh Made Segara beserta keluarganya. Dua orang saudaranya Ki Gusti Tegal Agung dan Ki Gusti Tegal Dawuh gugur dalam menghadapi laskar Ki Pucangan. Sebagian rombongan ini menuju dan menetap di desa Bongan sekarang, sambil mundut pasasti dengan busana keraton yang lengkap.

Dengan demikian usai sudah kekuasaan Ksatrya Dhalem dinasti Kyai Arya Tegeh Kori di Badung yang berlangsung selama 350 tahun. Kemudian Badung memasuki jaman Kejambean.


SUSUNAN PEMERINTAHAN DI KERAJAAN BADUNG


Setelah jatuhnya pemerintahan Puri Tegeh Kori di Kerajaan Badung maka kekuasaan untuk wilayah Badung diambil alih oleh putra putra dari Kyayi Jambe Pole dengan susunan pemerintahan sebagai berikut :

  1. Kyayi Jambe Merik menjadi Raja di Kerajaan Badung dengan pusat pemerintahan di Puri Alang Badung
  2. Kyayi Anglurah Pemedilan/ Kiyayi Macan Gading sebagai Wakil Raja Badung beristana di Puri Agung Pemecutan
  3. Kiyayi Anglurah Gelogor sebagai Adipati Agung beristana di Puri Agung Gelogor

KIYAI JAMBE MERIK
RAJA BADUNG I


Setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Arya Tegeh Kori Kyai Anglurah Jambe Merik menjadi raja di Badung beristana di Alang Badung (daerah Suci sekarang), dengan Pemerajannya bernama Pura Suci, istananya bernama Puri Peken Badung.

Kyai Jambe Merik dapat dikatakan sebagai pendiri kerajaan Badung. Pada jamannya beliau mengirim adiknya Kyai Ngurah Pemecutan I untuk membebaskan kota Gelgel dari pendudukan I Gusti Agung Maruti sejak tahun 1686. Kyai Ngurah Pemecutan II gugur dalam pertempuran di desa Batu Klotok.

Sebagaimana diketahui salah seorang isteri Dhalem Di Made adalah saudara dari Kyai Jambe Merik, yang menurunkan Dewa Agung Jambe Raja Klungkung I
. Selanjutnya yang mengemuka dalam sejarah Badung adalah: Kyai Jambe Merik menurunkan Sub Dinasti Jambe, dan Kyai Ngurah Pemecutan I menurunkan Sub Dinasti Pemecutan. Kyai Anglurah Jambe Merik Raja Badung I .


KYAI JAMBE KETEWEL

RAJA BADUNG II

Setelah Kyai Jambe Merik meninggal, digantikan oleh puteranya Kyai Anglurah Jambe Ketewel. Beliau masih menempati kediaman ayahnya di Puri Peken Badung. Pada jamannya dibangun bendungan (DAM) raksasa di tukad Sagsag, di mana sepasang suami-istri dari abdi menyerahkan nyawanya (jadi caru) menjadi dasar bendungan tersebut. Suami-istri tersebut menceburkan diri di tempat sekitar 75 meter ke Utara dari lokasi bendungan sekarang, disaksikan oleh raja Badung, pejabat-pejabat kerajaan, dan rakyat. Oleh karena itu bendungan tersebut diberi nama Oongan.

Sekitar akhir abad 18 kerajaan Badung diserang oleh laskar Taruna Gowak Panji Sakti dari kerajaan Buleleng, yang dipimpin langsung oleh rajanya Kyai Anglurah Panji Sakti. Pada saat kritis tersebut raja Badung menunjuk Kyai Anglurah Pemecutan III yang beristana di Puri Pemecutan menjadi pemimpin laskar Alang Badung untuk membendung serangan tersebut.

Laskar Alang Badung berhasil mendesak mundur laskar musuh dan banyak yang jatuh korban di pihak Buleleng. Sisa anggota laskar melarikan diri ke desa Tanguntiti. Karena reputasinya ini setelah wafat Kyai Anglurah Pemecutan III disebut Bhatara Sakti. Tempat terjadinya pertempuran tersebut kemudian diberi nama Taensiat.

Pada jamannya, Dewa Agung Jambe dari Klungkung melakukan kunjungan ke Badung untuk mengucapkan rasa terimakasihnya atas dukungan Badung dalam mengakhiri pendudukan Patih Agung I Gusti Agung Maruti di istana Gelgel. Dewa Agung Jambe menghadiahkan desa Batu Bulan sebagai wilayah kekuasaan Badung.


KYAI ANGLURAH JAMBE TANGKEBAN
RAJA BADUNG III

Dalam masa pemerintahannya tidak terjadi hal-hal penting yang menyangkut masalah eksternal kerajaan. Menurut Babad Timbul, pada jamannya datanglah seorang bangsawan keturunan Dhalem Sukawati yang bernama Dewa Agung Made bersama adik-adiknya seperti: Dewa Agung Karang, Cokorda Anom, dan Cokorda Ketut Segara, beserta putera – puteri beliau. Kedatangan Dewa Agung Made ini adalah karena perselisihannya dengan kakaknya Dewa Agung Gede yang memerintah kerajaan Dhalem Sukawati.

Mengetahui Dewa Agung Made dalam keadaan sedih, Kyai Anglurah Jambe Tangkeban menjamu tamunya dengan baik. Sampai salah seorang putri keluarga Puri hamil akibat hubungannya dengan Dewa Agung Made. Setelah diperistri oleh Dewa Agung Made, gadis yang sedang hamil itu diberikan kepada Kyai Jambe Tangkeban dengan syarat jangan dicampuri sebelum anak itu lahir. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian menurunkan parati sentana di Puri Jero Kuta. Bayi yang kemudian menjadi cikal bakal Puri Jero Kuta ini, putera kandung dari Dhalem Sukawati dan putera tiri dari Kyai Jambe Tangkeban dari Sub Dinasti Jambe (bukan Sub Dinasti Pemecutan).


KYAI JAMBE AJI/ KIYAI JAMBE SATRIA
RAJA BADUNG IV
PENDIRI KERAJAAN SATRIYA


Kyai Jambe Aji menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah tua. Beliau mendirikan istana baru bernama Puri Ksatria sekaligus memindahkan pusat pemerintahannya. Komplek Puri di Utara berbatasan dengan dusun Taensiat, sebelah Timur dusun Kaliungu, Selatan dusun Belaluan, dan Barat dusun Tampak Gangsul.

Dalam komplek Puri terdapat Gerya yang dinamakan Gerya Ksatrya, dan pasar yang dinamakan Pasar Ksatrya. Karena megahnya keadaan Puri Ksatrya itu beliau disebut juga Kyai Jambe Haeng. Salah seorang isteri dari Kyai Anglurah Jambe Aji adalah puteri dari Kyai Pemecutan III melahirkan putera mahkota yang bernama Kyai Jambe Ksatrya. Kyai Anglurah Jambe Ksatrya adalah raja Badung terakhir dari Sub Dinasti Jambe.




RUNTUHNYA PURI SATRIA
BERAKHIRNYA DINASTI KEJAMBEAN



Kiyai Agung Gde Oka di Jero Kaleran Kawan mempunyai 2 orang putra yaitu Kyai Ngurah Rai dan Kyai Ngurah Made. Setelah keduanya meningkat dewasa, Kiyai Ngurah Rai mengabdi di Puri Agung Satria

Diceritakan Kyai Jambe Ksatrya mempunyai kesenangan berjudi sabung ayam. Beliau mempercayakan ayam – ayamnya dipelihara oleh I Gusti Ngurah Rai karena Kiyai Ngurah Rai mempunyai bakat membina ayam kurungan, beliau terkenal sebagai pekembar yang bijaksana.

Denah Pura Satriya

Akibat seringnya I Gusti Ngurah Rai ke kediaman Kyai Jambe Haeng untuk mengurus ayam sang Raja, terjadi hubungan gelap antara I Gusti Ngurah Rai dengan salah satu istri raja yang masih muda. Pada suatu hari kebetulan ada sabungan ayam di bencingah Puri Agung Satriya. Kiyai Ngurah Rai sedang berada di kalangan Tajen sebagai pekembar. Kedua belah tangannya memegang ayam yang sedang diikat dengan taji. Nampak jelas ditangan kirinya memakai sebuah cincin bermata berlian, cincin yang mana sering dipakai oleh selir Kiyai Jambe Haeng Raja Satriya. Seorang pengawal istana segera melaporkan kepada Kiyai Jambe Haeng apa yang telah dilihatnya perihal cincin yang dikenakan Kiyai Ngurah Rai.

Menerima laporan tersebut Kiyai Jambe Haeng menjadi sangat marah dan memberikan perintah untuk menangkap Kiyai Ngurah Rai, namun Kiyai Ngurah Rai sudah tidak berada di kalangan tajen tersebut. Kiyai Ngurah Rai mendapat firasat yang tidak baik sehingga terlebih dahulu meninggalkan kalangan tajen dan pulang ke Jero Kaler Kawan. Di rumahnya beliau merebahkan diri untuk menghilangkan rasa letih dan memikirkan apa gerangan yang akan terjadi.

Tiba tiba datanglah Kiyai Made Tegal Cempaka Oka dengan sangat tergesa- gesa dan menyampaikan berita yang didengarnya dibencingah Puri Agung Satria kepada Kiyai Ngurah Rai. Berita tersebut adalah perintah untuk menangkap Kiyai Ngurah Rai hidup atau mati karena dianggap telah berani berbuat serong di dalam Puri Agung Satria.

Tanpa berpikir panjang lagi Kiyai Ngurah Rai segera meninggalkan Jero Kaler Kawan untuk menuju Desa Jimbaran. Tidak diceritakan dalam perjalanan menuju Desa Jimbaran bertemulah beliau dengan I Gde Mekel Jimbaran dan mohon perlindungan. Kebetulan pada waktu itu Kiyai Lanang Jimbaran putra Kiyai Agung Lanang Dawan sedang berada di rumah ibunya di desa Jimbaran.

Kedatangan Kiyai Ngurah Rai kemudian mendapat perlindungan dari kiyai Lanang Jimbaran dan minta kepada I Gde Mekel Jimbaran supaya menjaga dengan baik Kiyai Ngurah Rai dari pengejaran prajurit Puri Satriya. Diceritakan Laskar Puri Satriya sudah menyeberang Tukad Badung dan terus menuju Jero kaler Kawan untuk mengkap Kiyai Ngurah Rai. Akan tetapi orang yang dicarinya sudah tidak ada lagi dan akhirnya penggeledahan tersebut sampai juga ke Desa Jimbaran di rumahnya I Gde Mekel Jimbaran.

Kebetulan pada waktu itu semua keluarga I Gde Mekel Jimbaran sedang menumbuk padi di halaman rumahnya. Mereka tidak menghiraukan sama sekali kedatangan laskar Puri satriya yang mencari Kiyai Ngurah Rai. Matahari sudah hampir terbenam, Laskar Puri Satria belum juga menemukan orang yang dicari. Karena hari sudah gelap maka kepala pasukan memerintahkan menghentikan pencaharian dan memerintahkan untuk kembali. Ke Puri Satriya.

Sebenarnya waktu penggeledahan di rumah I Gde Mekel Jimbaran Kiyai Ngurah Rai sedang berada di dalam sumur yang ditutup dengan beberapa ikat padi yang baru di ketam. Dari luar memang nampak seperti tumpukan padi sehingga laskar Puri Satriya tidak menyangka sama sekali kalau Kiyai Ngurah Rai bersembunyi disana.

Akhirnya Kiyai Ngurah Rai selamat dari maut dan untuk mengenang kejadian tersebut Kiyai Ngurah Rai membuat pelinggih ditempat tersebut dan samapai sekarang masih dipelihara oleh keturunan Jero Kaler Kawan. Ditempat itu juga dibuat pelinggih Kiyai Agung Lanang Dawan yang berjasa menyembuhkan penduduk Desa Jimbaran dari wabah penyakit yang menyerang Desa Jimbaran yang sampai sekarang masih dipelihara oleh keturunan I Gede Mekel Jimbaran.

Entah berapa lamanya Kiyai Ngurah Rai berada di desa Jimbaran kemudian atas prakarsa I Gde Mekel Jimbaran, Kiyai Ngurah Rai berhasil diseberangkan ke Pulau Lobok dengan prahu Bugis. Atas Jasanya I Gde Mekel Jimbaran diberi penghargaan diganti namanya menjadi I Gde Mekel Perahu (Pewarisnya sekarang bernama Ni Luh Gerinding).

I Gusti Ngurah Rai diterima baik oleh raja Sasak, dan diperlakukan seperti keluarga sendiri. Di sana beliau dapat pelajaran dan pengalaman lain yang menambah kematangannya dalam urusan politik dan ketata-negaraan. Sementara itu pihak keluarga Kaleran mengatur siasat untuk menghadapi kekuasaan. Kiyai Ngurah Rai mengadakan kontak dengan Kiyai Tegal Cempaka Oka, dari Jero Tegal, Kiyai Jero Kuta, Kiyai Agung Belaluan, Kiyai Gde Gelogor dan I Gde Bandem di Pemedilan yang menjadi tulang punggung kekuatan laskar gerak cepat di Gerenceng. Gerenceng berarti gerak cepat.

Kontak Rahasia yang dibuat Kiyai Made Cempaka Oka semuanya berjalan dengan baik dan sepakat untuk membatu Kiyai Ngurah Rai untuk menggulingkan kekuasaan Kiyai Jambe Haeng dari Puri Satriya. Kemelut yang berkepanjangan antara Puri Kaleran dari Sub Dinasti Pemecutan dengan Puri Alang Badung yang berkuasa, sangat mengganggu aktifitas sehari-hari kerajaan dan rakyat Badung. Sementara itu Puri Pemecutan mengambil sikap netral tidak memihak manapun, karena yang berseteru ini adalah keluarga sendiri. Ada seorang puteri dari Puri Agung Pemecutan kawin dinikahi oleh Kyai Anglurah Jambe Ksatrya. Oleh karena itu Puri Pemecutan tidak banyak berperan dalam penggulingan kekuasaan Sub Dinasti Jambe.

Setelah semua persiapan disusun rapi dan sangat rahasia maka Kiyai Made Tegal Cempaka Oka memberikan isyarat kepada Kiyai Ngurah Rai untuk segera pulang ke Bali. I Gusti Ngurah Rai setelah pulang dari Lombok, mencari dukungan ke kerajaan Gianyar, yang waktu itu diperintah oleh Dewa Manggis Api. Beliau juga mencari dukungan ke Gerya Jro Gede Sanur, karena salah seorang puteri dari Sub Dinasti Pemecutan ada yang kawin ke Gerya Jero. Demikian juga I Gusti Ngurah Rai mengadakan kunjungan ke Puri Jro Kuta untuk mencari dukungan. Diplomasi di Jro Kuta memang berat dan riskan, karena Puri Jro Kuta adalah bagian dari keluarga Sub Dinasti Jambe.

Pada hari yang ditentukan datanglah utusan dari Kiyai Jambe Jero Kuta ke Puri Satria yang mengabarkan bahwa beliau sedang sakit dan kalau Kiyai Jambe Haeng tidak berhalangan supaya menengok sebentar ke Jero Kuta. Kiyai Jambe Haeng memenuhi permintaan tersebut dan segera bergegas meninggalkan Puri Satrya untuk pergi menuju Jero Kuta. Kiyai Ngurah Rai yang sudah kembali dari Lombok bersama Kiyai Made Tegal Cempaka Oka sekarang sudah berada di tepi Sungai Badung (Tukad Badung) di daerah Wangaya untuk menunggu kedatangan Kiyai Jambe Haeng. Tidak beberapa lama datanglah rombongan Kiyai Jambe Haeng yang menuruni tepi sungai Badung sebelah timur kemudian menyeberangi sungai badung secara perlahan lahan.

Setibanya beliau di tepi sungai, secara tiba tiba Kiyai Ngurah Rai melakukan serangan mendadak yang menyebabkan Kiyai Jambe Aeng tidak sempat mempersiapkan diri terlebih dahulu sehingga beliau terkena tikaman keris sakti dari Kiyai Ngurah Rai. Kiyai Jambe Haeng kemudian tersungkur dengan luka yang sangat parah, Namun beliau masih sempat berbicara.

  • Sesungguhnya matiku ini tidak wajar, sebagai seorang kesatria utama sebenarnya kamu harus menantang perang terlebih dahulu. Karena perbuatanmu yang melanggar hukum perang maka sebelum aku mati aku akan memberikan kutukan kepada kalian berdua supaya selama 7 keturunan kalian berdua tidak menemukan kerahayuan.
Tiba tiba Kiyai Ngurah Made adik dari Kiyai Ngurah Rai datang menyusul dan terkejut melihat apa yang terjadi. Darah terus mengalir dari luka yang diakibatkan tusukan kiyai Ngurah Rai terus meleleh. Dengan secepat kilat Kiyai Ngurah Made membopong tubuh Kiyai Jambe Haeng dan membawanya ke Jero Kuta. Kiyai Ngurah Made tidak dapat menahan kesedihannya melihat kondisi Kyai Jambe Haeng.

Di Jero Kuta Kiyai Ngurah Made terus mendampingi Kiyai Jambe Haeng yang sedang menunggu saat saat terakhirnya. Namun sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir Kiyai Jambe Haeng sempat menyampaikan pesan kepada Kiyai Ngurah Made

  • Adikku Kiyai Ngurah Made dengarlah baik baik apa yang kukatakan, karena adikku yang memberikan pertolongan kepadaku maka kepada adiklah saya serahkan tahta Puri Satriya dan sebagai bakal adinda menduduki tahta Puri Satria terimalah Keris Singapraga ini.
Setelah beliau menyampaikan amanat yang terakhir maka wafatlah Kiyai Jambe Haeng Raja Puri Agung Satriya yang terakhir dan berakhirlah pula masa Dynasti Kejambean di wilayah Badung. Apa yang menjadi pesan terakhir dari Kiyai Jambe Aeng semuanya didengar oleh yang hadir pada saat itu.

Kembali ke keadaan di Puri Agung Satriya, setelah mendengar Wafatnya Kiyai Jambe Haeng seluruh Laskar Puri Agung Satriya disiagakan. Patih Agung Kalanganyar mempersiapkan laskar Puri Agung Satriya untuk menyerbu Jero Kaler Kawan. Namun secara tiba tiba laskar Jero Taensiat yang berada disebelah Utara Puri Satria menyerbu Jero kalanganyar sehingga pertempuran tidak bisa dihindari lagi. Benar bernar peperangan yang sangat dahsyat di sore hari itu sehingga sukar membedakan siapa kawan siapa lawan, sampai akhirnya patih Agung Kalanganyar tewas dalam peperangan tersebut.

Tabeng Dada atau Tameng Puri Satriya yang berada di Tampakgangsul bersiap untuk memberikan bantuan ke Puri Satriya namun ditengah jalan dicegat oleh laskar Taensiat sehingga peperangan tidak terhindarkan dan menimbulkan korban dikedua belah pihak. Namun bantuan dari Puri Satria tersebut dapat dipukul mundur sampai kearah barat Tukad Badung dan selanjutnya membuat perkemahan di Panti dan Blong.

Setelah itu Laskar Taensiat kemudian menyerbu ke dalam Puri Agung Satriya dan memporak porandakan bangunan yang ada didalamnya. Dalam keadaan yang kacau balau tersebut seorang bayi berhasil diselamatkan oleh pengasuhnya dan setelah dewasa dibuatkan Jero di Celagi Gendong.


Puri Satriya sudah porak poranda akibat peperangan tersebut, Bekas Jero Karanganyar dijadikan Jero Kaliungu Kaja, Bekas Tameng Jambe Merik dijadikan Jero Tampakgangsul. Semenjak peristiwa tersebut Kiyai Agung Belaluan dirubah namanya menjadi Kiyai Agung Taensiat , Tampakgangsul sebelumnya bernama Satriya semenjak perang tersebut dirubah menjadi Tampakgangsul, Tampak berarti Kelihatan, Gangsul artinya membantu.

Demikianlah akhir kekuasaan Puri Agung Satriya, dan sesuai pesan terakhir Kiyai Jambe Haeng sebelum wafat maka Kiyai Ngurah Made Dinobatkan sebagai Raja di Puri Denpasar pada tahun 1788 dengan gelar Kiyai Ngurah Made Pemecutan untuk meneruskan kekuasaan dari Puri Satriya.