Jumat, 18 Februari 2011

UNTUNG SURAPATI

Pulau Bali jatuh ke tangan Majapahit pada tahun 1343. Kaum Bali Aga yang merasa telah dicurangi sebelum dan sewaktu perang, terus memberontak sehingga Sri Kresna Kepakisan yang ditunjuk Tribuwana Tunggadewi sebagai raja vassal ingin pulang ke Jawa dan berniat menyerahkan kembali mandat yang diterimanya.

Sebagai seorang
yang berasal dari keluarga Brahmana Kediri, hatinya tidak tahan dengan pertumpahan darah yang dahsyat. Tribuwana Tunggadewi memilihnya karena leluhur sang mantan Brahmana masih ada hubungan darah dengan wangsa Warmadewa, penguasa lama Bali.

Kresna Kepakisan disemangati Gajah Mada untuk tetap bertahta di Bali. Ia menyuruhnya untuk merangkul orang Aga dengan mempelajari kebudayaan mereka.

Setelah mengadakan riset budaya, ia menemukan kesalahan-kesalahannya dan melakukan tindakan yang patut dipuji sejarah.

  • Pertama-tama, ia sembahyang ke pura Besakih, pura yang dimuliakan orang Aga, di mana ia tak pernah sembahyang sebelumnya.
  • Kemudian ia mengadakan upacara kremasi yang megah untuk menghormati raja dan para bangsawan Bali yang gugur dalam invasi Majapahit dan memuliakan juga mereka sebagai leluhur, dan merekrut orang Aga dalam pemerintahan.
Sejak itu, pulau Bali berangsur-angsur aman dan terjadilah pernikahan campuran antara orang Aga dan orang Bali Majapahit. Bali menjadi pulau yang aman, bersatu, dan relatif sejahtera. Kejatuhan Majapahit ke tangan Demak pada abad ke-15 yang diiringi oleh migrasi sebagian orang Majapahit ke Bali, membuat Bali mencapai kejayaan.

Ia menjadi pulau merdeka yang bersatu dan mendapat limpahan kekayaan ide dan seni budaya yang dibawa para imigran. Dan tokoh-tokoh besar muncul, diantaranya raja Dalem Waturenggong. Di balik semua legenda tentang Dalem Watu Renggong , ia adalah seorang raja yang mementingkan persatuan. Panglima tertingginya adalah mahapatih Ularan seorang Aga yang masih keturunan mahapatih Bali jaman dinasti lama; Ki Pasung Grigis.

Kekuasaan kerajan Bali Gelgel meliputi Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dengan wafatnya Waturenggong, Bali melemah. Para keturunannya tak secakap sang raja bijak. Daerah koloni melepaskan diri satu persatu, bahkan Bali sempat diserang Mataram, era Sultan Agung, pada 1639. Namun invasi bisa dipukul Patih Jelantik Bogol secara dini di pantai Kuta.

Pada akhirnya pada akhir abad ke -17, karena sebab yang kompleks, Bali terpecah menjadi beberapa kerajaan. Kerajaan terbesar adalah Buleleng yang beribu kota di Singaraja, dengan raja legendaris Ki Barak Panji Sakti keturunan Patih Jelantik. Untuk mencegah serangan Mataram ke Bali, ia yang mewarisi cita-cita besar raja-raja Bali sebelumnya, menginvasi Blambangan.

Pasukan Truna Goak -nya berhasil menaklukkan Blambangan di ujung timur Jawa. Kerajaan Mataram yang sedang berekspansi ke barat memandang musuh dari timur membuat posisinya terjepit, memutuskan memberi tanda perdamaian. Ki Barak dihadiahi seekor gajah Sumatra sebagai hewan tunggangan dan kesayangan. Sesungguhnya, ia yang kehilangan putra kesayangannya dalam pertempuran Blambangan, telah kehilangan semangat.

Kesedihan membuatnya menarik diri dari kehidupan duniawi dan kemudian hidup bagai seorang pertapa. Ambisi dan harapannya diwariskannya kepada iparnya yang cakap, Anak Agung Putu, raja Mengwi yang kerajaannya kedua terbesar setelah Buleleng. Ia menjalin persahabatan dengan bangsawan-bangsawan Blambangan yang pro Bali, tidak menjalankan pendudukan.

Pada akhirnya “Lelanang Jagat” di pulau Jawa adalah Belanda. Dan disinilah terjadi hubungan unik antara Belanda dan Bali. Masa terpecahnya Bali adalah lembar suram dalam sejarah Bali. Kerajaan-kerajaan saling bersaing secara militer. Perang tak hanya terjadi antara kerajaan, tapi bisa terjadi antara kerajaan dengan sebuah desa yang kuat yang bisa jadi akan menjadi kerajaan jika bertumbuh.

Raja-raja Bali mengekspor orang-orang yang tak mampu membayar hutang kepada raja, para pemberontak taklukkan, dan para prajurit musuh yang tertangkap sebagai budak. Budak adalah ekspor utama Bali selain beras. Bali menjadi pusat penyuplai budak belian, Sebagian budak belian Bali itu sebenarnya bukan orang Bali saja tapi juga orang-orang dari dari pulau-pulau di timurnya, yang dijual dengan perantara lanun dan orang bahari Bugis.

Karena berpengalaman militer, budak asal Bali banyak yang direkrut sebagai tentara kolonial dalam politik ekspansinya. Pemerintahan kolonial Belanda mendatangkan banyak buruh Tionghoa untuk bertambang di Sumatra, bekerja di Batavia, dan tempat-tempat lainnya. Mula-mula yang datang hanya kaum prianya sehingga mereka terpaksa menikahi budak-budak belian.

Mereka cenderung memilih budak dari Bali dan Nias dengan pertimbangan bahwa mereka mau memasak daging babi. Sebagian lelaki dan perempuan Bali di masa ini jatuh bagai pariah dan mereka ada yang diekspor hingga jauh ke Afrika, ke Bourbon (sekarang disebut l’ile de RĂ©union ), pulau koloni Perancis. Batavia jaman dulu adalah tempat bertemunya berbagai ras dan suku.

Orang dan budaya Betawi modern adalah hasil perpaduan berbagai suku, ras, dan budaya. Pengaruh kebudayaan Bali pada kebudayaan Betawi antara lain tari Ondel-Ondel yang diinspirasikan oleh tari “Barong Landung” (patung tinggi besar dari kertas dan bambu berbentuk manusia yang ditarikan) serta pemakaian akhiran –in dalam bahasa Betawi. Misalnya main(-in), dimandi(-in), dikadal(-in).

Pada akhirnya orang Belanda berhenti mengekspor budak Bali karena mereka kerap berontak. Dan pemberontakan terbesar adalah pemberontakan Untung Suropati. Menurut Babad Tanah Jawa, sejak muda ia telah menjadi budak belian. Pertama-tama, ia diperbudak oleh van Beber yang kemudian melegonya kembali kepada Moor. Majikan kedua ini merasa kehidupan dan karirnya membaik sejak memiliki si budak, untuk itu ia menamainya Untung.

Tapi Untung kemudian menjalin cinta dengan Suzane, anak majikannya dan ketahuan . Ia lalu dipenjara, namun berhasil meloloskan diri beserta kawan-kawannya. Bagai Spartacus di jaman Romawi, ia mengumpulkan para budak dan gelandangan Bali untuk membentuk gerombolan yang kerap menyerang patroli dan kepentingan-kepentingan Belanda.

Ia diburu oleh kapten Ruys namun perwira ini malah menawarinya menjadi serdadu Belanda seperti banyak budak Bali lainnya. Saat itu Belanda sedang berupaya menaklukkan Banten. Untung dan kawan-kawannya bersetuju. Setelah dilatih militer, karirnya terus menanjak hingga mencapai pangkat Letnan. Untung beserta pasukannya kemudian ditugaskan untuk melucuti senjata Pangeran Purbaya , pangeran Banten, yang berniat menyerahkan diri ke Tanjungpura namun hanya mau menyerah kepada tentara kolonial pribumi.

Dalam upacara penyerahan diri, pasukan Belanda totok pimpinan Vaandrig Kuffeler bertingkah arogan dan memperlakukan sang pangeran dengan kasar. Untung tidak terima dengan hal ini dan terjadilah pertengkaran antar kedua pasukan yang berujung pertempuran. Pasukan Untung menghancurkan pasukan Kuffeler di sungai Cikalong pada 28 januari 1684.

Pangeran Purbaya tetap berniat menyerahkan diri ke Tanjungpura. Sang istri, Gusik Kusuma, tidak mau menyerah dan memilih untuk kembali ke rumah orangtunya di Kartasura. Dalam pelarian menuju Kartasura berkali-kali Untung menghancurkan tentara Belanda.

Setiba di Kartasura, ayah Gusik Kusuma, Pangeran Nerangjaya yang sangat anti VOC menikahkan putrinya dengan Untung. Bahkan atas loby mertuanya, Sultan Amangkurat I Mataram mengangkat Untung sebagai bupati Pasuruan.Sambil menjalankan pemerintahan dengan gelar Adipati Wironegoro, Untung tetap berperang dengan Belanda.

Pada tahun 1699,kekuasaannya sudah mencapai Madiun. Sedangkan Blambangan dibawah pengaruh Mengwi dan wilayah Mengwi bahkan sudah mencapai Probolinggo. Terbentuklah aliansi antara Untung Suropati, Blambangan, dan Bali (Mengwi). Mataram bergejolak, Pangeran Puger merebut tahta dibantu oleh Belanda dan memakai gelar Pakubuwono I . Amangkurat III, tidak terima dan bergabung dengan pasukan Untung Suropati di Pasuruan. Belanda kemudian bersekutu dengan kekuatan Cakraningrat II yang merasa kekuasaannya di Surabaya dan Madura terancam oleh aliansi Untung Suropati.

Gabungan tentara VOC, Pakubuwono, dan Madura lambat laun mendesak Untung Suropati. Amangkurat III memutuskan untuk menyerah kepada Belanda. Kemudian Belanda meneruskan serangan ke jantung pertahanan Untung di Pasuruan setelah satu persatu merebut benteng-bentengnya.

Dalam pertempuran Bangil, 1706, Suropati gugur. Gugur sebagai seorang raja bukan sebagai budak. Perjuangannya diteruskan oleh istri dan anak-anaknya, walau perlawanan mereka tak segemilang Untung. Ketika aliansi Blambangan, Untung, dan Mengwi berada di puncak kejayaan, Mengwi melantik Mas Purba dengan gelar Pangeran Danurejo sebagai raja Blambangan pada 1697. Ia memiliki dua istri. Istri pertamanya adalah salah satu putri Untung dan istri keduanya adalah putri dari Mengwi.

Ia meninggal pada tahun 1736, jauh setelah kematian mertuanya Untung Suropati. Ia digantikan anaknya dari istri pertama yang bernama Mas Nuyang atau Mas Jingga dengan gelar Danuningrat . Walaupun diangkat oleh Mengwi, ia merasa lebih nyaman bergabung dengan Belanda yang menurutnya lebih kuat.

Kemudian ia membunuh Rangga Satata, perwakilan Mengwi, dan melarikan diri dari Blambangan untuk meminta perlindungan VOC. Karena ia cucu Untung Suropati, Belanda setengah hati menerimanya dan cenderung mengabaikannya. Ia kembali ke Blambangan dan ditangkap oleh pasukan Mengwi, dibawa ke Bali, lalu dieksekusi di pantai Seseh pada 1764.

Belanda akhirnya menyerang Blambangan melalui Banyualit pada 1767 dan merebutnya dari penguasaan Mengwi dengan mudah. Wong Agung Wilis, anak Danurejo dari istri kedua kembali dari Mengwi. Ia pertama-tama mengaku mau bekerja sama dengan Belanda dan diijinkan tingal di rumah saudara tirinya Pangeran Pati. Tapi dengan diam-diam, dengan popularitasnya, ia mampu menarik hati rakyat Blambangan dari berbagai etnis untuk berontak melawan Belanda.

Tentaranya terdiri dari orang Bugis, Mandar, Tionghoa, dan Bali. Dengan bantuan finansial dari Mengwi, 6000 pasukan, dan persenjataan bantuan Inggris pada tahun 1768 ia merebut benteng Banyualit. Di waktu yang sama wabah penyakit berjangkit dan menimbulkan ribuan korban nyawa. Belanda mengurungkan niat merebut kembali benteng untuk sementara.

Akhirnya dengan bantuan Surakarta dan Madura, pada akhirnya Agung Wilis berhasil dikalahkan lalu dibuang ke Banda. Dari pengasingannya ia berhasi melarikan diri ke Seram, kembali ke Mengwi dan mati karena usia lanjut tahun 1780.

Pada akhirnya, satu persatu kerajaan Bali ditaklukkan Belanda. Buleleng yang didukung Karangasem, Klungkung, dan Mengwi bertahan selama 3 tahun, diserang 1846 dan benar-benar kalah dengan jatuhnya benteng Jagaraga pada 1849. Mengwi mengalami pelemahan sejak kekalahan di Blambangan dan akibat konflik internal. Pada akhirnya sebelum sempat berperang dengan musuh utamanya, Belanda, Mengwi jatuh ke tangan Badung yang dibantu Tabanan dan tentara Bugis pada tahun 1896.

Badung yang pada abad ke-18 masih merupakan wilayahnya Mengwi, tidak memberikan perlawanan berarti kepada Belanda dan jatuh lewat perang puputan tanpa strategi militer yang baik pada 1906. Gianyar dan Bangli memilih bernaung di bawah Belanda tanpa kekerasan. Tabanan tidak membela Badung ketika diserang Belanda. Rajanya ragu antara memilih berperang atau mengambil posisi seperti Gianyar. Ia bunuh diri beserta pangerannya dalam tahanan Belanda. Reputasi Tabanan diselamatkan putri raja, Sagung Wah, yang sempat menghimpun rakyat untuk berperang walau akhirnya hidupnya berakhir di pengasingan di Lombok. Terakhir Klungkung jatuh lewat puputan pada 1908.

PURA KERAMAT

Diceritakan Cokorde Pemecutan III dari Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan/ Ida Bhatara Sakti mempunyai seorang putri yang bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula.

Ida Cekorde keti
ka itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara. Ida Cokorde kemudian mengeluarkan sabda

“barang
siapa yang bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan putri raja”.

Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh (guru sepiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura.

Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya. Singkat ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu.

Putra-putra raja tersebut ada dari tanah jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden Ayu.

Segala kesaktia
n dalam pengobatan sudah dikerahkan seperti ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah dikeluarkan oleh para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita putrinya.

Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat. Setelah Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan mohon diijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat dan mengijinkan mengikuti sayembara.

Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu ditempatkan di sebuah balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan. Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh Raden Ayu. Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran Cakraningrat.

Sesuai dengan janji
sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.

Setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan.


Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung)
.

Ketika itu salah
seorang Patih di Puri melihat hal tersebut, disangka Raden Ayu sedang mempraktekkan ilmu hitam atau ngeleak. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam. Patih Kerajaan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Raja. Dan mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah.

Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan Badung. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Raden Ayu.

Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih (lekesan, Bali). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.

Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan beliau. Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh.

Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan. Pada suatu hari gegumuk (kuburan) Raden Ayu tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat kuburan engkag atau berbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari sedahan Gelogor, dan kemudian tumbuh lagi.

Sampai akhirnya yang ketiga kalinya, pohon tersebut tumbuh kembali. Jero sedahan Gelogor bersama Sedahan Moning kemudian bersemedi di hadapan makam tersebut, didapatkan petunjuk agar pohon yang tumbuh di atas kuburan beliau agar dipelihara. Karena melalui pohon tersebut beliau akan memberikan mukjijat kepada umat yang bersembahyang di tempat tersebut.

Pohon tersebut kon
on tumbuh dari rambut Raden Ayu. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam tersebut. Pohon itu disebut taru rambut. Mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan dimakam kramat tersebut, bahwa odalannya (pujawali) jatuh pada Redite (Minggu) Wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan).

Persembahan (sesaji) yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk, tanpa daging babi. Kini makam kramat tersebut banyak dikunjungi oleh para peziarah baik warga muslim untuk nyekar maupun tirakat. Demikian pula dengan warga Hindu banyak yang datang kesana, baik hanya untuk bersembahyang, maupun untuk permohonan tertertentu.



PUPUTAN KLUNGKUNG

KUSAMBA, sebuah desa yang relatif besar di timur Smarapura hingga abad ke-18 lebih dikenal sebagai sebuah pelabuhan penting Kerajaan Klungkung. Desa yang penuh ilalang (kusa = ilalang) itu baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan Bali manakala Raja I Dewa Agung Putra membangun sebuah istana di desa yang terletak di pesisir pantai itu.

Bahkan, I Dewa A
gung Putra menjalankan pemerintahan dari istana yang kemudian diberi nama Kusanegara itu. Sampai di situ, praktis Kusamba menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Klungkung. Pemindahan pusat pemerintahan ini tak pelak turut mendorong kemajuan Kusamba sebagai pelabuhan yang kala itu setara dengan pelabuhan kerajaan lainnya di Bali seperti Kuta.

Perang Kusambe

Nama Kusamba makin melambung manakala ketegangan politik makin menghebat antara I Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Klungkung dengan Belanda di pertengahan abad ke-19. Sampai akhirnya pecah peristiwa perang penting dalam sejarah heroisme Bali, Perang Kusamba yang menuai kemenangan telak dengan berhasil membunuh jenderal Belanda sarat prestasi, Jenderal AV Michiels.

Drama heroik itu bermula dari terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, seorang agen Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok di pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah Pesinggahan. Kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja Klungkung sendiri menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang Sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memerintahkan untuk membunuhnya.

Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta yang juga menjadi agen Belanda dilaporkan kepada wakil Belanda di Besuki. Residen Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang. Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang Klungkung.

Mads Lange

Ekspedisi Belanda yang baru saja usai menghadapi Buleleng dalam Perang Jagaraga, langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang Klungkung. Diputuskan, 24 Mei 1849 sebagai hari penyerangan.

Klungkung sendiri sudah mengetahui akan adanya serangan dari Belanda itu. Karenanya, pertahanan di Pura Goa Lawah diperkuat. Dipimpin Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging, Klungkung memutuskan mempertahankan Klungkung di Goa Lawah dan Puri Kusanegara di Kusamba.

Perang menegangkan pun pecah di Pura Goa Lawah. Namun, karena jumlah pasukan dan persenjatan yang tidak berimbang, laskar Klungkung pun bisa dipukul mundur ke Kusamba. Di desa pelabuhan ini pun, laskar Klungkung tak berkutik. Sore hari itu juga, Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Laskar Klungkung mundur ke arah barat dengan membakar desa-desa yang berbatasan dengan Kusamba untuk mencegah serbuan tentara Belanda ke Puri Klungkung.

Jatuhnya Kusamba membuat geram Dewa Agung Istri Kanya. Malam itu juga disusun strategi untuk merebut kembali Kusamba yang melahirkan keputusan untuk menyerang Kusamba 25 Mei 1849 dini hari. Kebetulan, malam itu, tentara Belanda membangun perkemahan di Puri Kusamba karena merasa kelelahan.

Hal ini dimanfaatkan betul oleh Dewa Agung Istri Kanya. Beberapa jam berikutnya sekitar pukul 03.00, dipimpin Anak Agung Ketut Agung, sikep dan pemating Klungkung menyergap tentara Belanda di Kusamba. Kontan saja tentara Belanda yang sedang beristirahat itu kalang kabut. Dalam situasi yang gelap dan ketidakpahaman terhadap keadaan di Puri Kusamba, mereka pun kelabakan.

Dalam keadaaan kacau balau itu, Jenderal Michels berdiri di depan puri. Untuk mengetahui keadaan tentara Belanda menembakkan peluru cahaya ke udara. Keadaan pun menjadi terang benderang. Justru keadaan ini dimanfaatkan laskar pemating Klungkung mendekati Jenderal Michels. Saat itulah, sebuah meriam Canon ''yang dalam mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka dengan nama I Selisik, konon bisa mencari sasarannya sendiri'' ditembakkan dan langsung mengenai kaki kanan Michels. Sang jenderal pun terjungkal.

Prajurit Bali

Kondisi ini memaksa tentara Belanda mundur ke Padang Bai. Jenderal Michels sendiri yang sempat hendak diamputasi kakinya akhirnya meninggal sekitar pukul 23.00. Dua hari berikutnya, jasadnya dikirim ke Batavia. Selain Michels, Kapten H Everste dan tujuh orang tentara Belanda juga dilaporkan tewas termasuk 28 orang luka-luka.

Klungkung sendiri kehilangan sekitar 800 laskar Klungkung termasuk 1000 orang luka-luka. Namun, Perang Kusamba tak pelak menjadi kemenangan gemilang karena berhasil membunuh seorang jenderal Belanda. Sangat jarang terjadi Belanda kehilangan panglima perangnya apalagi Michels tercatat sudah memenangkan perang di tujuh daerah.

Meski akhirnya pada 10 Juni 1849, Kusamba jatuh kembali ke tangan Belanda dalam serangan kedua yang dipimpin Lektol Van Swieten, Perang Kusamba merupakan prestasi yang tak layak diabaikan. Tak hanya kematian Jenderal Michels, Perang Kusamba juga menunjukkan kematangan strategi serta sikap hidup yang jelas pejuang Klungkung. Di Kusamba, pekik perjuangan dan tumpahan darah itu tidak menjadi sia-sia. Belanda sendiri mengakui keunggulan Klungkung ini.

Namun, kemenangan cemerlang di Kusamba 158 tahun silam itu kini tidaklah menjelma sebagai momentum peringatan yang dikenang generasi sekarang. Secara resmi Klungkung memilih peristiwa perang penghabisan di Puri Smarapura yang dikenal dengan Puputan Klungkung, 28 April 1908 sebagai tonggak peringatan perjuangan daerah menentang kolonialisme Belanda.

Memang, Puputan Klungkung yang diakhiri dengan gugurnya Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Jambe bersama para kerabat, keluarga serta pengiring menunjukkan bagaimana semangat perjuangan rakyat Klungkung yang menempatkan kehormatan dan harga diri di atas segalanya.

Dewa Agung Klungkung

Ketika kata-kata tak lagi bertenaga dan pihak yang diajak bicara tak lagi punya matahati, jalan perang merupakan pilihan paling terhormat. Bukan kemenangan fisik yang dicari, tapi kemenangan kehormatan, harga diri dan spirit. Sampai di sana, kematian menjadi jalan kehidupan (mati tan tumut pejah).

Namun, Perang Kusamba yang mengukuhkan kemenangan secara fisik serta menunjukkan kecerdasan, kecemerlangan, kecerdikan pun kematangan menyusun strategi putra-putri terbaik Klungkung juga suatu hal yang layak untuk dikenang. Pada peristiwa itulah Klungkung dan Bali secara umum dipandang sebagai lawan yang tangguh oleh Belanda. Pada peristiwa itu pula, secara diam-diam, harga diri orang Bali dikukuhkan setelah dua tahun sebelumnya juga tergurat dalam peristiwa Perang Jagaraga di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.

Jika selama ini Klungkung dan juga daerah-daerah lain di Bali terbiasa mengenang kekalahan, tidak salah kini memulai juga untuk mengenang kemenangan. Kita perlu berbangga pada prestasi gemilang pendahulu kita. Ketika kita bisa mengenang kekalahan, kenapa tidak punya keberanian untuk juga memperingati kemenangan. Dengan begitu, kebanggaan sebagai bangsa di kalangan generasi penerus bisa ditumbuhkan. Bukankah tradisi Hindu dengan begitu bersahaja mengajarkan untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma seperti dalam hari raya Galungan?

Kini, menuju Seabad Peringatan Puputan Klungkung, patutlah dipertimbangkan merajut benang sejarah antara Kusamba dan Smarapura. Kusambalah awal kebangkitan semangat perjuangan rakyat Klungkung menentang kolonialisme Belanda dan Smarapura dengan Puputan Klungkung menegaskan semangat itu pada puncak terindahnya.


Ditulis oleh: sindya candra jaya pada Pebruari 13, 2010, 08:37:28 tulungin dung bagaimana sejarah puputan klungkung