Minggu, 17 April 2011

SEJARAH WARGA BUGIS


DI PURI PEMECUTAN

Warga Bugis memiliki kaitan erat dan sejarah panjang dengan Puri Pemecutan Denpasar, karena para pemuda perantauan dari Bugis yang merantau ke Bali juga ikut serta berperang melawan penjajah bersama para prajurit Puri Pemecutan Denpasar dalam perang Puputan Badung.



Prajurit Bugis

Kampung Islam Bugis, begitulah desa ini lebih dikenal masyarakat. Desa yang merupakan salah satu saksi sejarah keberadaan agama Islam di Bali ini terletak di Pulau Serangan, pulau kecil yang terpisah dengan daratan Pulau Bali berjarak 17 Kilometer arah selatan kota Denpasar. Namun kedua pulau ini tidak lagi terpisah, sebab pada tahun 1995 dibangunlah sebuah dermaga kecil dan jembatan yang menghubungkan Pulau Bali dan pulau Serangan.

Kampung seluas 2,5 hektar ini dihuni oleh sekitar 70 kepala keluarga atau 280 warga muslim. Warga kampung yang dikelilingi oleh perkampungan Hindu dengan sejumlah Pura ini memiliki mata pencaharian sebagai nelayan karena letaknya yang dekat dengan pesisir pantai.

Kesenian Rodat

"Beberapa peniliti mengatakan kampung ini sudah ada sejak abad ke-17 masehi, Menurut cerita, keberadaan kampung ini berawal dari kedatangan seorang bangsawan bernama Syeikh Haji Mu dan 40 anak buah kapalnya (ABK) melarikan diri dari Makasar, Ujung Pandang karena tidak sefaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya.

Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. "Tapi, saat Syeikh Haji Mu tiba di pulau ini justru dicurigai pihak kerajaan Badung Bali sebagai mata-mata Belanda. Kemudian ditawanlah Syeikh Haji," jelas Mansyur.

Makam Tua di Serangan

Selama ditawan oleh kerajaan Badung Bali, Syeikh Haji Mu dan anak buahnya berhasil meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III, bahwa Syeikh bukanlah mata-mata Belanda. Akhirnya rombongan Syeikh Haji Mu dibebaskan dan tinggal di Istana Puri Pemecutan untuk sementara. "Hingga kemudian mendiami kampung Gelagi Gendong, sebelah barat kerajaan agar tidak bercampur dengan warga. Kebiasaan dan keahlian perantau Bugis itu melaut, membuat mereka semakin di senangi. Hingga akhirnya mereka dipindahkan dari Kampung Gelagi Gendong ke Pulau Serangan yang saat itu masih berupa hutan.

Sejak itulah Syiekh Haji Mu dan pengikutnya menetap Pulau Serangan. Hubungan antara perantau Bugis dengan Kerajaan Badung yang terus terjalin dengan baik. Karena hubungannya yang erat dengan kerajaan Badung, Haji Mu meminta ijin kepada Raja Pemecutan untuk membuatkan satu tempat kecil untuk beribadah, atau mushola. Hingga kini masih berdiri kokoh, namun sudah direnovasi dan berubah menjadi masjid yang diberi nama As-syuhada.

Dikampung itu pula terdapat sebuah kuburan Bugis Kuno yang saat ini khusus digunakan untuk mengubur warga kampung Islam Bugis. Di makam yang kuno tersebutlah Syeikh Haji Mu dimakamkan, beserta pengikutnya, hingga turun temurun.

Makam Syeikh Haji Mu

Toleransi dan sikap saling menghormati diantara warga Hindu dan Islam berjalan dengan sangat baik sejak berabad-abad lalu. Kehidupan disepanjang pesisir Pulau Serangan telah melahirkan generasi-generasi keturunan Bugis, Makassar. Di perkampungan Islam Bugis, bahasa yang dipergunakan sehari-hari menggunakan bahasa Bugis. Dahulu, rumah-rumah di pesisir Serangan memiliki bentuk dan corak khas Bugis.

Namun, sejak pembangunan terus berlangsung, kini warga Muslim Pulau Serangan hanya menyisakan satu-satunya rumah asli Bugis di tengah-tengah perkampungan Islam. Rumah asli Bugis tersebut telah berusia hampir 3 abad dan masih dalam kondisi terawat milik salah seorang tokoh Bugis Serangan.

Pelabuhan tua Pulau Serangan nenjadi saksi bisu kedatangan Ulama dan saudagar Bugis sudah tidak berfungsi lagi. Pelabuhan tua Serangan tinggal menyisakan kenangan sejarah awal kedatangan Laskar Bugis, pendiri dan Ulama penyebar Islam di Kampung Islam ini.

Masjid tua bernama Assyuhada konon dibangun akhir Abad XVII itu menyimpan bukti-bukti peninggalan bersejarah Islam. Salah satunya mimbar yang dibuat oleh para ulama-ulama pendahulu perintis Kampung Islam Pulau Serangan.

Masjid yang awalnya hanya dibangun di atas tanah seluas 8 meter x 7 meter tersebut sangat sederhana. Terbuat dari bahan kayu menyerupai rumah panggung (bangunan khas Bugis). Akibat kondisi Masjid tua sudah termakan usia, pembangungan serta renovasi pun dilakukan. Masjid Assyuhada kini berdiri cukup megah ditengah perkampungan. Sumber Jazirah menjelaskan, masih terdapat bukti-bukti bersejarah lainnya berupa tombak, panji-panji perang, pedang dan Al-Qur'an yang kini tersimpan di kediaman seorang tokoh Bugis.

Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,” kata Ida Cokorda.

Pakaian Adat Bugis

Ida Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan. Usman dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia nelayan.


SEJARAH WARGA BUGIS

DI PURI PEMECUTAN

Warga Bugis memiliki kaitan erat dan sejarah panjang dengan Puri Pemecutan Denpasar, karena para pemuda perantauan dari Bugis yang merantau ke Bali juga ikut serta berperang melawan penjajah bersama para prajurit Puri Pemecutan Denpasar dalam perang Puputan Badung.



Prajurit Bugis

Kampung Islam Bugis, begitulah desa ini lebih dikenal masyarakat. Desa yang merupakan salah satu saksi sejarah keberadaan agama Islam di Bali ini terletak di Pulau Serangan, pulau kecil yang terpisah dengan daratan Pulau Bali berjarak 17 Kilometer arah selatan kota Denpasar. Namun kedua pulau ini tidak lagi terpisah, sebab pada tahun 1995 dibangunlah sebuah dermaga kecil dan jembatan yang menghubungkan Pulau Bali dan pulau Serangan.

Kampung seluas 2,5 hektar ini dihuni oleh sekitar 70 kepala keluarga atau 280 warga muslim. Warga kampung yang dikelilingi oleh perkampungan Hindu dengan sejumlah Pura ini memiliki mata pencaharian sebagai nelayan karena letaknya yang dekat dengan pesisir pantai.

Kesenian Rodat

"Beberapa peniliti mengatakan kampung ini sudah ada sejak abad ke-17 masehi, Menurut cerita, keberadaan kampung ini berawal dari kedatangan seorang bangsawan bernama Syeikh Haji Mu dan 40 anak buah kapalnya (ABK) melarikan diri dari Makasar, Ujung Pandang karena tidak sefaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya.

Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. "Tapi, saat Syeikh Haji Mu tiba di pulau ini justru dicurigai pihak kerajaan Badung Bali sebagai mata-mata Belanda. Kemudian ditawanlah Syeikh Haji," jelas Mansyur.

Makam Tua di Serangan

Selama ditawan oleh kerajaan Badung Bali, Syeikh Haji Mu dan anak buahnya berhasil meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III, bahwa Syeikh bukanlah mata-mata Belanda. Akhirnya rombongan Syeikh Haji Mu dibebaskan dan tinggal di Istana Puri Pemecutan untuk sementara. "Hingga kemudian mendiami kampung Gelagi Gendong, sebelah barat kerajaan agar tidak bercampur dengan warga. Kebiasaan dan keahlian perantau Bugis itu melaut, membuat mereka semakin di senangi. Hingga akhirnya mereka dipindahkan dari Kampung Gelagi Gendong ke Pulau Serangan yang saat itu masih berupa hutan.

Sejak itulah Syiekh Haji Mu dan pengikutnya menetap Pulau Serangan. Hubungan antara perantau Bugis dengan Kerajaan Badung yang terus terjalin dengan baik. Karena hubungannya yang erat dengan kerajaan Badung, Haji Mu meminta ijin kepada Raja Pemecutan untuk membuatkan satu tempat kecil untuk beribadah, atau mushola. Hingga kini masih berdiri kokoh, namun sudah direnovasi dan berubah menjadi masjid yang diberi nama As-syuhada.

Dikampung itu pula terdapat sebuah kuburan Bugis Kuno yang saat ini khusus digunakan untuk mengubur warga kampung Islam Bugis. Di makam yang kuno tersebutlah Syeikh Haji Mu dimakamkan, beserta pengikutnya, hingga turun temurun.

Makam Syeikh Haji Mu

Toleransi dan sikap saling menghormati diantara warga Hindu dan Islam berjalan dengan sangat baik sejak berabad-abad lalu. Kehidupan disepanjang pesisir Pulau Serangan telah melahirkan generasi-generasi keturunan Bugis, Makassar. Di perkampungan Islam Bugis, bahasa yang dipergunakan sehari-hari menggunakan bahasa Bugis. Dahulu, rumah-rumah di pesisir Serangan memiliki bentuk dan corak khas Bugis.

Namun, sejak pembangunan terus berlangsung, kini warga Muslim Pulau Serangan hanya menyisakan satu-satunya rumah asli Bugis di tengah-tengah perkampungan Islam. Rumah asli Bugis tersebut telah berusia hampir 3 abad dan masih dalam kondisi terawat milik salah seorang tokoh Bugis Serangan.

Pelabuhan tua Pulau Serangan nenjadi saksi bisu kedatangan Ulama dan saudagar Bugis sudah tidak berfungsi lagi. Pelabuhan tua Serangan tinggal menyisakan kenangan sejarah awal kedatangan Laskar Bugis, pendiri dan Ulama penyebar Islam di Kampung Islam ini.

Masjid tua bernama Assyuhada konon dibangun akhir Abad XVII itu menyimpan bukti-bukti peninggalan bersejarah Islam. Salah satunya mimbar yang dibuat oleh para ulama-ulama pendahulu perintis Kampung Islam Pulau Serangan.

Masjid yang awalnya hanya dibangun di atas tanah seluas 8 meter x 7 meter tersebut sangat sederhana. Terbuat dari bahan kayu menyerupai rumah panggung (bangunan khas Bugis). Akibat kondisi Masjid tua sudah termakan usia, pembangungan serta renovasi pun dilakukan. Masjid Assyuhada kini berdiri cukup megah ditengah perkampungan. Sumber Jazirah menjelaskan, masih terdapat bukti-bukti bersejarah lainnya berupa tombak, panji-panji perang, pedang dan Al-Qur'an yang kini tersimpan di kediaman seorang tokoh Bugis.

Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,” kata Ida Cokorda.

Pakaian Adat Bugis

Ida Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan. Usman dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia nelayan.


SEJARAH KIYAYI AGUNG TAENSIAT



Kiyayi Agung Taensiat adalah Putra dari Ida Bhatara Sakti (Raja Pemecutan III) beribu dari Belaluan keturunan warga Tangkas dan mempunyai Saudara tua Kiyayi Agung Lanang Dawan dari Jero Dawan Tegal.


Beliau berdua terkenal sebagai prajurit yang tangguh dan telah beberapa kali menjalankan tugas dari ayah beliau untuk mengamankan wilayah Badung dan memberikan bantuan kepada Kerajaan lain yang membutuhkan bantuan dari Puri Agung Pemecutan.


Kiyayi Agung Taensiat diambil anak angkat oleh Cokorda Satria yaitu Kiyayi Jambe Satria/ Kiyayi Jambe Haeng dan diberikan kedudukan sebagai Manca (Patih) di Puri Satria serta diberikan tempat di sebelah utara Puri Satria yang diberi nama Jero Gde Taensiat.


Wilayah kekuasaan Jero Gde Taensiat meliputi Desa Tegeh Kori, Tatasan melajur keselatan sampai Banjar Bun, Kayumas Kaja dan Kayumas Kelod. Pada saat peperangan Badung dengan Mengwi Laskar Taensiat masuk melalui desa Gulingan Mengwi dan sampai sekarang Panjak Tatadan Jero Taensiat masih ada yang menetap di desa Gulingan Mengwi.



MENUNDUKAN DALEM BANGKALAN MADURA


Diceritakan ada musibah di pantai Kuta, sebuah perhu layar diserang angin topan sehingga layarnya patah sama sekali dan perahunya tenggelam, namun si empunya perahu bersama penumpangnya berhasil selamat dan ditolong oleh penduduk sekitar.


Kejadian tersebut kemudian dilaporkankepada Ida Bhatara Sakti Raja Puri Agung Pemecutan dan yang empunya perahu dipanggil menghadap. Dihadapan Ida Nhatara Sakti si empunya perahu mengaku bernama Sastroninggrat sebagai putra Ida Dalem Bangkalan dari Madura.


Rasen Sastroninggrat diterima dengan baik oleh Ida Bhatara Sakti dan dipersilahkan untuk sementara waktu tinggal dipuri Agung Pemecutan samapai keadaan memungkinkan untuk berlayar kembali ke Madura


Didalam Puri Agung Pemecutan Raden Satroninggrat mulai bergaul dengan dengan keluarga Puri Agung Pemecutan sehingga lama kelamaan seluruh keluarga Puri dikenalnya semua. Dan Raden Sastroninggrat juga dimintakan pendapatnya oleh Ida Bhatara Sakti jika ada persoalan penting yang harus dipecahkan beliau.


Entah berapa lamanya Raden Sastronggrat tinggal di Puri Agung Pemecutan sehingga Ida Bhatara Sakti menggagap beliau seperti putranya sendiri. Raden Sastroninggrat ternyata sangat ahli dibidang pertahanan sehingga dengan keberadaannya di Puri Agung Pemecutan maka beliau membangun angkatan perang pemecutan dengan persenjataan meriam dan bedil sehingga Laskar Pemecutan semakin disegani oleh Kerajaan-Kerajaan lainnya di Pulau Bali.


Atas jasanya Raden Sastroninggrat kemudian dianugrahkan putri Ida Bhatara Sakti yang bernama Anak Agung Ayu Rai untuk dijadikan istri oleh Raden Sastroninggrat. Setelah keadaan dirasa memungkinkan maka Raden Sastronggrat kemudian kembali ke Madura dengan membawa serta istrinya Anak Agung Ayu Rai.


Setelah beberapa lama Raden Satraninggrat pulang ke Madura namun tiada kabar keberadaanya sehingga Ida Bhatara Sakti sangat khawatir akan keselamatan putrinya Anak Agung Ayu Rai. Maka Ida Bhatara Sakti kemudian memanggil putranya yaitu Kiyayi Agung Taensiat untuk berangkat ke Madura untuk melihat keberadaan adiknya Anak Agung Ayu Rai.


Ida Bhatara Sakti ingin memastikan apakah Anak Agung Ayu Rai diperlakukan dengan baik di Madura dan kalau terjadi hal hal yang tidak wajar maka gempurlah Raja Bangkalan sampai bertekuk lutut. Maka untuk persiapan tersebut dibawalah laskar pemecutan sebanyak 200 orang lengkap dengan persenjataannya meriam dan bedil.


Diceritakan Kiyayai Agung Taensiat menggunakan beberapapuluh perahu untuk mengangkut pasukannya tersebut dari Pantai Kuta. Ikut serta dalam pasukan tersebut Putra Kiyayi Agung Taensiat yang baru berusia 17 Tahun yaitu Kiyayi Agung Jaya.


Setelah menempuh dua hari perjalanan maka sampailah rombongan tersebut di Bagkala Madura dan Kiyayi Agung Taensiat beserta Laskar Pemecutan mulai mengatur siasat. Maka Pendaratan dilakukan dipantai yang sepi sehingga kedatangan beliau tidak diketahui Kerajaan Bangkalan Madura.


Untuk melanjutkan perjalanan ke ibukota Bangkalan ikut serta putra beliau Kiyayi Agung Jaya beserta 20 orang pengawal sedangkan sisa pasukannya membangun tenda perkemahan dipinggir pantai.


Diceritakan Kiyayi Agung Taensiat sudah memasuki Puri Agung Bangkalan dan diterima dengan baik dan penuh kekeluargaan. Di Puri Agung Bangkalan Anak Agung Ayu mendapat perlakuan yang sangat baik sehingga setelah beberapa lama Kiyayi Agung Taensiat menyatakan pamit untuk pulang kembali ke Bali, namun Dalem Bangkalan tidak mengijinkan beliau dan menawarkan untuk menetap di Bangkalan Madura dan akan diberikan kedudukan sebagai Hulubalang Angkatan Perang Madura.


Namun dengan satu syarat Kiyayi Agung Taensiat harus menjadi seorang muslim terlebih dahulu dan dilakukan upacara sunatan. Hal tersebut yang kurang dapat diterima oleh Kiyayi Agung Taensiat. Beberapa kali permintaan tersebut sudah ditolak oleh Kiyayi Agung Taensiat namun permintaan yang sama kembali diajukan Dalem Bangkalan.


Lama kelamaa Kiyayi Agung Taensiat menjadi kesal karena seolah olah adanya unsur pemaksaan terhadap dirinya sehingga dengan sangat marah beliau kemudian menghunus keris pusaka dari Bali dan peperangan dengan Pengikut Dalem Bangkalan tidak bisa dihindarkan sehingga korban berjatuhan. Kiyayi Agung Jaya walaupun masih sangat muda ikut mengamuk di dalam puri sehingga seluruh pasukan Bangkalan disiagakan untuk mengatasi hal tersebut.


Akhirnya laskar Bali hanya tersisa 5 orang sehingga karena terdesak Kiyayi Agung Taensiat kemudian merintahkan untuk mundur ke tengah hutan. Laskar Madura terus mengadakan pengejaran tetapi mereka kehilangan jejak dan hanya dapat menemukan sekelomok burung titiran yang sedang bercanda disebuah ranting kayu yang besar.


Laskar Madura terkecoh dengan keberadaan burung tersebut karena menurut perkiraan mereka tidak mungkin ada orang disekitar tempat tersebut karena burung tersebut akan lari bila ada orang yang mendekat ke tempat tersebut, padahal Kiyayi Taensiat dan para pengikutnya bersembunyi di bawah pohon tersebut. Kerena tidak berhasil menemukan buruannya maka Pimpinan laskar Madura memerintahkan kepada pasukannya untuk kembali ke Puri Bangkalan.


Setelah keadaan dirasa sudah aman maka Kiyayi Agung Taensiat kemudian melanjutkan perjalanannya untuk menemui pasukannya yang ditinggal di Pinggir Pantai. Tidak beberapa lama sampailah beliu ditempat tujuan dan disusunlah rencana penyerangan ke Puri Bangkalan.


Kekuatan laskar Bali dipecah menjadi 2 bagian yaitu penyerangan dari arah selatan dipimpin langsung oleh Kiyayi Agung Taensiat dan penyerangan dari arah Timur dipimpin oleh putra beliau yaitu Agung Jaya. Seluruh pasukan dipersenjatai dengan bedil dan meriam.


Penyerangan akhirnya dilakukan pada waktu pagi pagi buta, Laskar Madura sangat terkejut dengan serangan dadakan tersebut sehingga tidak bisa mempersiapkan diri dan banyak yang menjadi korban. Karena dalam keadaan terdesak Raja Dalem Bangkalan kemudian menyerahkan diri dan menyatakan tunduk dibawah kekuasaan Kiyayi Agung Taensiat.


Setelah beberapa lama Kiyayi Agung Taensiat memegang kekuasaan di Puri Bangkalan Madura, pada suatu hari beliau terkena tipu muslihat dengan adanya serangan gelap yang dilancarkan oleh pengikut setia dalem Bangkalan. Dengan tidak terduga sebuah tombak telah melayang langsung mengenai dada beliau pada saat beliau sedang beristirahat sehingga menyebabkan beliau menghembuskan napasnya yang terakhir karena luka yang sangat parah. Jenazah berliau kemudian dibawa ke Bali dan dibuatkan upacara besar di Jero Gde Taensiat.


Karena keberaniannya maka oleh Ida Cokorda Pemecutan beliau diberikan gelar JAYENG RANA karena jaya didalam peperangan. Kiyayi Agung Taensiat juga diberi gelar SURENG RANA.


Setelah wafatnya Kiyayi Agung Taensiat pengiriman upeti dari Puri Bangkalan Madura tetap dijalankan tiap tiap tahun ke Jero Gde Taensiat namun karena Jero Gde Taensiat berada dibawah kekuasaan Puri Agung Pemecutan maka upeti tersebut diterima oleh petugas pelabuhan di Kuta yaitu I Dewa Gde Aji untuk selanjutnya dibawa ke Puri Agung Pemecutan.


Demikianlah kisah kepahlawanan Kiyayi Agung Taensiat dalam memnundukkan Puri Dalem Bangkalan Madura



DAFTAR PUSTAKA

  1. Lahirnya Puri Agung Pemecutan / Anak Agung Oka Puji - Jero Dawan Tegal


Om Swasti Astu Sebelumnya penulis mohon maaf bila ada kekeliruan atas penulisan sejarah ini, untuk itu mohon koreksi serta masukan untuk menyempurnakan blog ini sehingga diperoleh fakta sejarah yang nantinya benar benar diterima oleh semua pihak dan beguna bagi generasi yang akan datang. Om Canti Canti Canti Om