SUSUNAN PEJABAT KERAJAAN
Majapahit dengan sumber sejarahnya yang berupa kitab Negarakertagama di dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa Sang Panca Wilwatikta mempunyai hubungan yang rapat dengan Istana (Majapahit). Dalam pupuh itu dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan Sang Panca Wilwatikta adalah lima orang pembesar dalam pemerintahan Majapahit adalah Patih, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung.
Kelima pembesar tersebut diserahi pelaksanaan pemerintahan Majapahit, menjadi pembantu utama Sang Prabu dalam urusan pemerintahan. Diantara lima pembesar tersebut Patih adalah merupakan jabatan yang tertinggi, Negarakertagama pupuh X/2 menyebutnya amatya ring sanagara yang artinya patih seluruh negara. Sebutan ini hanya diperuntukkan bagi Patih Majapahit untuk membedakannya dengan patih-patih di negara bawahan, seperti Daha, Kahuripan, Wngker, Matahun dan sebagainya.Dalam pupuh tersebut juga disinggung bahwa patih negara bawahan dan para pembesar lainnya seperti Demung berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada, jadi dengan demikian seluk beluk pemerintahan seluruh negara Majapahit ditentukan oleh Maha Patih Majapahit. Para patih dan pembesar negara bawahan menerima perintah dari Patih Majapahit dan memberikan laporan tentang keadaan negara-negara bawahan kepada sang patih.
Demikianlah patih negara bawahan biasa disebut dengan patih saja, ia melaksanakan pemerintahan di negara bawahan, sedangkan patih seluruh negara memberikan perintah dan arahan tentang bagaimana menjalankan pemerintahan di negara bawahan atau di daerah.
Dalam kitab Pararaton, patih seluruh negara itu disebut dengan istilah Patih Amangkubhumi, istilah ini tidak terdapat di dalam Negarakertagama. Negarakertagama dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa diantara para penghadap baginda di balai Witana ialah Wreddha Menteri (menteri sepuh) dan para arya. Pupuh LXXII/1 menyinggung pengangkatan Sang Arya Atmaraja Empu Tandi sebagai wreddha menteri sepeninggal Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1364.
Pupuh IX/3 menyinggung tempat duduk para menteri di paseban dan menyinggung adanya sang sumantri pinituha yakni para menteri sepuh atau wreddha menteri. Sampai saat ini belum diperoleh penjelasan tentang fungsi jabatan wreddha menteri itu dalam hal urusan pemerintahan. Mereka itu tidak langsung berhubungan dengan jalannya pemerintahan seperti Sang Panca Wilwatikta yang disebutkan dalam pupuh X.
Dalam berbagai prasasti diuraikan dengan jelas bahwa perintah raja Majapahit disalurkan kepada tiga mahamenteri (mahamentri katrini) yakni Mahamenteri Hino, Mahamentri Halu dan Mahamentri Sirikan. Kemudian perintah itu disalurkan kepada Sang Panca Wilwatikta. Kidung Harsawijaya pupuh II/16a dan 16b menguraikan bahwa semenjak pemecatan wreddha menteri dan pengangkatan yuwa menteri, rakyat tidak senang kepada sikap sang prabhu Kertanegara.
Yang dimaksud dengan pemecatan wreddha menteri itu ialah pemecatan Wiraraja, Empu Raganata dan pujangga Santasmreti. Raja Kertanegara lebih suka mendengarkan nasehat para yuwa menteri dari pada nasehat para wreddha menteri. Kiranya yang dimaksud dengan istilah wreddha menteri dalam Kidung Harsawijaya ini berbeda dengan istilah wreddha menteri yang disebut dalam Negarakertagama dan beberapa prasasti y Dari pembacaan prasasti Pakis (prasasti Pakis, 1266, tidak lengkap, disiarkan oleh Dr. N.J. Krom dalam Rapporten, Commissie voor Oudheidkundig Onderzoek, tahun 1911, hal 117 - 123) dan prasasti Gunung Wilis (disebut juga prasasti Penampihan, 1269, termuat dalam O.J.O. hal. 189-193 ; terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh Dr. Himansu Bushan Sarkar dalam Majalah The Greater India, 1935, hal 55-70) yang dikeluarkan oleh prabu Kertanegara, terbukti tidak ada jabatan wreddha menteri.
Perintah raja Kertanegara disalurkan kepada tiga mahamenteri (mahamentri katrini), kemudian disampaikan kepada para menteri urusan negara yang dikepalai oleh patih. Pada prasasti Pakis, 1266 perintah raja Kertanegara ditampung oleh rakrian mahamenteri Hino, Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda untuk urusan negara : rakrian patih, rakrian demung dan rakrian kanuruhan. Nama-nama para menteri itu tidak disebut.
Pada prasasti Gunung Wilis, 1269, perintah raja Kertanegara ditampung oleh tiga mahamenteri : Hino, Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda urusan negara : patih Kebo Arema, demung Mapanji Wipaksa dan kanuruhan Ramapati. Demikianlah para tanda urusan negara yang dikepalai oleh patih menampung perintah raja dari mahamenteri katrini, tanpa perantara. Jadi jabatan wreddha menteri seperti tercantum pada pelbagai prasasti Majapahit, tidak diketemukan pada jaman Singasari.
Prasasti-prasasti zaman sevelum Singasari tidak menyebut adanya jabatan wreddha menteri. Dari uraian di atas jelaslah, bahwa jabatan wreddha menteri adalah ciptaan Majapahit. Dari uraian tersbut nyata pula bahwa para tanda urusan negara pada jaman pemerintahan prabu Kertanegara di Singasari berjumlah tiga orang saja yakni patih, demung dan kanuruhan. Pada jaman Majapahit jumlah para tanda urusan negar itu mejadi lima yakni : patih, demung, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Lima orang tanda urusan negara ini sudah dikenal sejak awal pendirian kerajaan Majapahit seperti yang tercantum di dalam prasasti Penanggungan, yangk dikeluarkan pada tahun 1296.
Jadi jumlah para tanda itu mengalami perubahan dari tiga (pada jaman Singasari) menjadi lima. Jumlah limatanda urusan negara itu disebut Sang Panca ri Wilwatikta, sebagaimana diuraikan dalam Negarakertagama pupuh X/1.
Surya Majapahit (Matahari Majapahit) adalah lambang kerajaan Majapahit yang kerap kali dapat ditemukan pada reruntuhan bangunan-bangunan (candi-candi) peninggalan Majapahit.
Lambang ini mengambil bentuk matahari bersudut delapan, dengan bagian lingkaran di tengahnya yang menampilkan pahatan dewa-dewa agama Hindu yang terkenal. Lambang ini membentuk lingkaran kosmologis, yang disinari dengan jurai matahari khas "Surya Majapahit" atau lingkaran Matahari dengan bentuk jurai sinarnya yang khas, sehingga para ahli purbakala menduga lambang ini merupakan lambang kerajaan Majapahit.
Gambar di samping menunjukkan lambang Majapahit tersebut, dengan variasinya seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini.
Majapahit yang sebenarnya di batasi oleh 4 (empat) Tugu Batas yang berbentuk Lingga-Yoni, dengan jarak antar tugu berkisar 9 x 11 km. Peta Kota Raja Majapahit ini pertama kali dibuat oleh seorang Belanda bernama H Maclaine Pont, seorang arsitek yang juga turut membidani munculnya bangunan Gereja Katolik Puh Sarang di Kediri, Jawa Timur.
Sebenarnya apa yang dipetakan oleh Maclaine Pont ini telah diuraikan secara panjang lebar dalam Kitab Negarakertagama, khususnya di dalam Pupuh VIII, yang secara penggalannya berbunyi
- " .. tersebutlah keajaiban kota : tembok batu merah tebal tinggi mengitari Pura (sebutan lain untuk kota raja), pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas bersabut parit ; pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam .......... ; disebelah Utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir .... dst."
Pada tahun 2003, tim arkeologi dari Yogyakarta yang dipimpin oleh Nurhadi Rangkuti, melakukan survey untuk mencari dan menentukan batas-batas situs Kota Raja Majapahit yang diperkirakan memanjang arah Utara - Selatan seluas 9 km x 11 km. Dari hasil penelitian sebelumnya telah ditemukan 3 (tiga) buah batas Kota Raja Majapahit yang ditandai dengan sebuah kompleks bangunan suci agama Hindu dengan pusat berbentuk YONI berhias naga-raja.
Tiga batas kota tersebut adalah Klinterjo di Timur-Laut, Lebak-Jabung di Tenggara dan Sedah di Barat Daya. Berdasarkan ekskavasi di situs Klinterjo dan Lebak-Jabung, didapatkan gambaran mengenai bentuk bangunan suci agama Hindu di penjuru sudut penanda batas Kota Raja. Secara garis-besar pola tata ruang bangunan tersebut memanjang arah Barat-Timur dan memiliki tiga halaman.
Halaman paling Barat berupa bangunan terbuka, berumpak batu dengan batur batu-bata, mirip bangunan balai atau pendopo. Pada halaman tengah terdapat sisa-sisa bangunan dari batu-bata, dan pada bagian Timur juga terdapat bangunan batu-bata dengan Yoni Naga Raja.
Tampaknya pola tata ruang bangunan suci tersebut mirip dengan kompleks bangunan Pura di Bali yang juga memiliki tiga halaman, yaitu halaman : jaba, jaba tengah dan jeroan. Dan inilah hasil pemetaan batas-batas Kota Raja Majapahit.
Majapahit terletak di lembah sungai Brantas di sebelah Tenggara kota Mojokerto, di daerah Tarik, sebuah daerah kecil di persimpangan Kali Mas dan Kali Porong. Konon pada akhir tahun 1292 tempat itu masih merupakan hutan belantara, penuh dengan pohon-pohon maja seperti kebanyakan tempat-tempat lainnya di lembah sungai Brantas.
Berkat kedatangan orang-orang Madura, yang sengaja dikirim ke sana oleh Adipati Wiraraja dari Sumenep, hutan tersebut berhasil ditebangi dan dijadikan perladangan, dihuni oleh orang-orang Madura, pelarian dari Singosari dan pengikut-pengikut setia Sanggramawijaya, serta dinamakan Majapahit (desa).
Pada permulaan tahun 1293, ketika tentara Tar-tar di bawah pimpinan Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Messe dating ke sana, kepala desa Majapahit bernama Tuhan Pijaya (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 30), yakni Nararya Sanggramawijaya.
Baru setelah Jayakatwang berhasil dihancurkan dalam bulan April 1293 berkat serbuan tentara Tartar dengan bantuan Sanggrawijaya, desa Majapahit dijadikan pusat pemerintahan kerajaan baru, yang disebut dengan kerajaan Majapahit. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit hanya meliputi daerah kekuasaan kerajaan Singosari lama, jadi hanya sebagian dari wilayah Jawa Timur. Sepeninggal Rangga Lawe pada tahun 1295, atas permintaan Wiraraja sesuai dengan janji Sanggramawijaya, maka kerajaan Majapahit dibelah menjadi dua (Kidung Rangga Lawe, terbutan Prof. C.C. Berg dalam seri Bibliotheca Javanica K.B.G, vol. 1, 1930). Bagian Timur yang meliputi daerah Lumajang, diserahkan kepada Wiraraja.
Demikianlah pada akhir abad ketiga-belas kerajaan Majapahit itu hanya meliputi daerah Kadiri, Singasari, Janggala (Surabaya) dan pulau Madura. Dengan penumpasan Nambi pada tahun 1316, daerah Lumajang bergabung kembali dengan Majapahit sebagaimana tercatat dalam Prasasti Lamongan (Prasasti Lamongan tidak bertarikh, menguraikan ke-swatantraan daerah Blambangan sebagai hadiah kepada masyarakat Blambangan, disiarkan oleh Dr. Purbatjaraka dalam T.B.G LXXVI, 1936, hal. 388-389).
Sejak tahun 1331 wilayah Majapahit diperluas berkat penundukan Sadeng (di tepi sungai Bedadung) dan Keta (di pantai Utara dekat Panarukan) seperti diberitakan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XLVIII/2 dan XLIX/3 serta dalam kitab Pararaton. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit meliputi seluruh Jawa Timur dan Pulau Madura (Prasasti Camunda, 1332, menguraikan bahwa Tribhuwana Tunggadewi menguasai seluruh dwipantara. Istilah dwipantara ini kiranya harus ditafsirkan sebagai hyperbol, karena pada waktu itu kekuasaan Majapahit hanya terbatas sampai Pulau Jawa dan Madura saja, tidak sama dengan istilah Nusantara dalam program politik Gajah Mada pada tahun 1334).
Baru setelah Jawa Timur dikuasai penuh, Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yang disebut Nusantara. Menurut Pararaton, politik perluasan wilayah seluruh Nusantara ini bertalian dengan program politik Gajah Mada yang diangkat menjadi patih Amangkubumi pada sekitar tahun 1334. Untuk menjayakan program politiknya tersebut, para pembesar Majapahit yang tidak menyetujui disingkirkan oleh Gajah Mada. Pelaksanaan program politik penyatuan Nusantara ini rupanya baru dimulai pada tahun 1343 dengan penundukkan Bali, pulau yang paling dekat dengan pulau Jawa.
Selanjutnya diantara tahun 1343 – 1347, Pu Adityawarman meninggalkan pulau Jawa untuk mendirikan kerajaan Malayapura di Minangkabau, Sumatera, seperti diberitakan dalam prasasti Sansekerta pada arca Amoghapasa tahun 1347. Dalam prasasti tersebut diuraikan bahwa Pu Adityawarman bergelar Tuhan Patih (gelar sebutan Tuhan Patih dalam prasasti Amoghapasa, 1347, menunjukkan bahwa Adityawarman menjalankan pemerintahan di kerajaan Malayapura atas nama raja Majapahit Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani).
Berita Cina dari Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 69) menyatakan bahwa pada tahun 1377 Suwarnabhumi (Sumatera) diserbu oleh tentara Jawa. Putera Mahkota Suwarnabhumi tidak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina, karena takut kepada raja Jawa. Kaisar Cina lalu mengirim utusan ke Suwarnabhumi untuk mengantarkan surat pengangkatan, namu di tengah jalan dicegat oleh tentara Jawa dan dibunuh seketika.
Meskipun demikian Kaisar Cina tidak melakukan tindakan balasan terhadap raja Jawa, karena mengakui bahwa tindakan balasan tidak dapat dibenarkan. Sebab utama serbuan tentara Jawa (ke Suwarnabhumi) pada tahun 1377 tersebut adalah karena raja Suwarnabhumi telah mengirim utusan ke Cina pada tahun 1373 tanpa sepengetahuan raja Jawa. Pengiriman utusan tersebut dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap status kerajaan Suwarnabhumi yang sebenarnya adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit.
Tarikh penundukan Suwarnabhumi terhadap Majapahit terjadi pada sekitar tahun 1350 ; keruntuhannya mengakibatkan jatuhnya daerah-daerah bawahannya di Sumatera dan di semananjung Tanah Melayu ke dalam kekuasaan Majapahit. Dua belas kerajaan Suwarnabhumi yang jatuh ke tangan Majapahitadalah : Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Woloan, Cerating, Paka, Tembeling, Grahi, Palembang, Muara Kampe dan Lamuri. Hampir semua daerah-daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah-daerah bawahan Majapahit seperti ternyata dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
Daftar itu menyebut juga nama-nama daerah bawahan lainnya. Rupanya Palembang dijadikan batu loncatan bagi tentara Majapahit untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di sebelah Barat pulau Jawa. Namun di daerah–daerah ini tidak diketemukan prasasti sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah yang ditulis kemudian, menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam bentuk dongengan, dan bukan merupakan catatan sejarah khusus.
Dongengan-dongengan tersebut menunjukkan sekedar kekaguman terhadap kebesaran dan keagungan Majapahit. Sejarah Melayu (Sejarah Melayu, edisi Shellabear, Kisah II) mencatat dongengan tentang kejayaan serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit berkat pembelotan seorang pegawai kerajaan yang bernama Rajuna Tapa. Konon sehabis peperangan, Rajuna Tapa kena umpat sebagai balasan pengkhianatannya dan berubah menjadi batu di sungai Singapura, rumahnya roboh dan beras simpanannya menjadi tanah.
Dongengan tersebut mengingatkan kita kepada serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit pada sekitar tahun 1350, karena Tumasik termasuk ke dalam program politik Gajah Mada dan tercatat dalam daftar daerah bawahan Majapahit seperti diungkapkan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII. Kerajaan Islam Samudra Pasai di Sumatera Utara juga tercatat sebagai daerah bawahan Majapahit. Dongengan romantis tentang serbuan Pasai oleh tentara Majapahit diberitakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (Hikayat Raja-Raja Pasai, 1819, disalin dengan huruf Romawi oleh J.P. Mead dalam JMBRAS no. 66; dibicarakan oleh J.L.A. Brandes dalam Pararaton, 1896 ; dibahas oleh R.O. Winstedt dalam karangan “The Chronicles of Pasai”, JMBRAS vol. XVI, 1938 ; oleh Dr. R. Roolvink dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai” di Majalah Bahasa dan Budaya, vol. II, no. 3, 1954 ; oleh Prof. A. Teeuw dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai”, di Malayan and Indonesian Studies, Oxford, 1964), berikut ini :
“Pada pemerintahan Sultan Ahmad di Pasai, puteri Gemerencang dari Majapahit jatuh cinta kepada Abdul Jalil, putera raja Ahmad, hanya karena melihat gambarnya. Oleh karena itu ia berangkat ke Pasai dengan membawa banyak kapal. Sebelum mendarat terdengar kabar bahwa Abdul Jalil telah mati, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Karena kecewa dan putus asa, puteri Gemerancang berdoa kepada Dewa, agar kapalnya tenggelam.
Doa itu dikabulkan. Mendengar berita tersebut, Sang Nata Majapahit murka, lalu mengerahkan tentara untuk menyerang Pasai. Ketika tentara Majapahit menyerbu Pasai, Sultan Ahmad berhasil melarikan diri, namun Pasai dapat dikuasai dan diduduki”. Seperti telah disinggung di atas, ekspedisi ke Sumatera ini mungkin sekali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, karena ada beberapa nama tempat di Sumatera Utara yang mengingatkan serbuan Pasai oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada, dan dongengannya memang ditafsirkan demikian oleh rakyat setempat (H.M. Zainuddin, Tarich Acheh dan Nusantara, Bab XVII, hal. 220-236).
Tempat-tempat tersebut misalnya : sebuah bukit di dekat kota Langsa bernama Manjak Pahit (Majapahit). Menurut dongengan tentara Majapahit membuat benteng di atas bukit itu dalam persiapan menyerang Temiang. Berikutnya, rawa antara Perlak dan Peudadawa bernama Paya Gajah (Gajah Mada), karena menurut dongengan rawa itu dilalui oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada dalam perjalanan menuju Lhokseumawe dan Jambu Air, yang menjadi sasaran utama serangannya. Bukit Gajah yang terletak di pedalaman disebut demikian karena setelah mendarat, Gajah Mada beserta tentaranya langsung bergerak menuju bukit itu. Bukit di dekatnya bernama Meunta, perubahan dari nama Mada, karena di situlah tempat Gajah Mada membuat persiapan untuk menyerang Pasai.
Demikianlah beberapa nama tempat-tempat di Sumatera Utara yang agak mirip dengan nama Gajah Mada dan Majapahit, oleh karena itu mengingatkan peristiwa sejarah di sekitar tahun 1350 yakni serbuan Pasai oleh tentara Majapahit. Mengenai penundukan beberapa tempat di Tanjungpura atau Kalimantan terdapat pemberitaannya dalam Sejarah Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 112-113), yang kiranya patut dipercaya seperti berikut ini : “Kaisar Cina mengeluarkan pengumuman tentang pengangkatan Hiawang sebagai raja Pu-Nie untuk menggantikan ayahnya.
Hiawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun mempersembahkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa. Mereka mohon agar Kaisar suka mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti tersebut, agar upeti tersebut dapat di kirim ke istana Kaisar …”. Pu-Nie biasa disamakan dengan Brunei, di bagian Kalimantan, dengan demikian jelaslah bahwa Brunei adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit pada pertengahan kedua abad empatbelas.
Hal ini sesuai dengan pemberitaan kakawin Negarakertagama dalam pupuh XIV/1 yang menyebut Barune. Penyebutan Kutei, dibagian Timur Kalimantan, terdapat dalam pupuh XII/1 sebagai Tanjung Kutei. Hubungan antara Kutei dan Majapahit diberitakan dalam Silsilah Kutei (Silsilah Kutei diterbitkan oleh Dr. C.A. Mees sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Kutei, Santpoort, 1928), sebagai berikut : “Kemudian Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti berangkat ke Majapahit untuk mempelajari tatanegara Majapahit. Ikutlah bersama mereka ialah Maharaja Indra Mulia dari Mataram.
Tersebut perkataan Maharaja Sultan dua bersaudara di Majapahit. Mereka diajarkan tata-cara di Keraton dan adat yang dipakai oleh segala menteri. Tidak beberapa lama merekapun kembali ke Kutei. Sebuah keraton yang menurut tata-cara Jawa pun di dirikan. Sebuah pintu gerbang yang dibawa pulang dari Majapahit dijadikan hiasan keraton ini …..”. Dongengan tersebut jelas menunjukkan hubungan antara Kutei dan Majapahit yang mungkin sekali bertarikh dari pertengahan abad empat belas, di masa kejayaan Majapahit. Hubungan Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan dengan Majapahit, diberitakan dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Hikayat Banjar dan Kota Waringin diterbutkan oleh Dr. A.A. Cense sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Bandjarmasin, Santpoort, 1928 ; dan oleh Dr. J.J. Ras di bawah judul Hikayat Banjar, The Haque, 1968), dalam bentuk perkawinan antara Puteri Junjun Buih, anak pungut Lembu Mangurat dan Raden Suryanata dari Majapahit seperti berikut : “Adapun raja Majapahit itu sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari ini, masih beroleh enam anak lainnya dan negeri pun terlalu makmur.
Maka pada keesokan harinya Lembu Mangurat pun berangkat ke Majapahit dengan pengiring yang banyak sekali. Sesampainya di Majapahit, Lembu Mangurat diterima dengan baik. Permintaan Lembu Mangurat akan Raden Putra sebagai suami Puteri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lembu Mangurat ke negerinya, pesta besar-besaran disediakan untuk mengawinkan Puteri Junjung Buih dengan Raden Putera. Sebelum perkawinan dilangsungkan, suatu suara ghaib meminta Raden Putera menerima mahkota dari langit.
Mahkota itulah yang akan meresmikan Raden Putera menjadi raja secara turun-temurun. Hanya keturunannya yang diridhai Allah yang boleh memakai mahkota itu. Maka pesta perkawinanpun berlangsunglah. Adapun nama Raden Putera yang sebenarnya adalah Raden Suryanata yang artinya Raja Matahari ..”. Mengenai pulau-pulau di sebelah Timur Jawa, pertama-tama disebutkan pulau Bali yang telah ditundukkan pada tahun 1343, berikutnya pulau Lombok atau Gurun, yang dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukkan adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Majapahit atas Bali dan Lombok tidak diragukan lagi.
Kota Dompo yang terletak di pulau Sumbawa, menurut Negarakertagama pupuh LXXII/3 dan kitab Pararaton telah ditundukkan oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Mpu Nala pada tahun 1357. Penemuan prasasti Jawa dari abad empat belas di pulau Sumbawa (G.P. Rouffaer, Notulen van de Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap, 1910, hal. 110-113 ; F.H van Naersen “Hindoe-Javaansche overblijfselen op Sumbawa” T.K.N.A.G, 1938, hal. 90), memperkuat pemberitaan Negarakertagama dan Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas pulau Sumbawa tak dapat disangsikan lagi.
Prasasti tersebut adalah satu-satunya yang pernah diketemukan di kepulauan di luar Jawa. Rupanya Dompo dijadikan batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya di sebelah Timur sampai Wanin di pantai Barat Irian. Berbeda dengan di Sumatera dan Kalimantan, di daerah sebelah Timur Jawa, kecuali di Bali dan Lombok, tidak ada hikayat-hikayat daerah, oleh karenanya juga tidak terdapat dongengan tertulis tentang hubungan Majapahit dengan daerah-daerah tersebut. Daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai oleh Majapahit pada pertengahan abad keempatbelas sebagaimana yang diberitakan oleh Negarakertagama dalam pupuh XIII dan XIV adalah seperti berikut ini :
- Di Sumatera : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung.Di Kalimantan (Tanjung Pura) : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano.
- Di Semenanjung Tanah Melayu (Hujung Medini) : Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai (Kesah Raja Marong Mahawangsa, Penerbitan Pustaka Antara, Kuala Lumpur 1965, hal. 79. “Akan pulau Serai itu pun juga hampirlah sangat bertemu dengan tanah darat besar ; maka akhirnya itulah yang disebut orang Gunong Jerai karena ia tersangat tinggi”’ Lihat juga Paul Wheatly, The Golden Khersonese, hal. 261).
- Di sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Maluku, Wanin, Seran, Timor.