Minggu, 10 Januari 2010

KERAJAAN KADIRI


Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang

Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.

Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.

Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.

Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata "Kedi" yang artinya "Mandul" atau "Wanita yang tidak berdatang bulan".Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, 'Kedi" berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama "Kedi Wrakantolo".Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, "Kedi" berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata "Diri" yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).

Untuk itu dapat kita baca pada prasasti "WANUA" tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :

  • " Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban", artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.

Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, "Tanah Perdikan".

Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.

"Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo", sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang ("tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri"). Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.


PERKEMBANGAN PANJALU

Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa.

Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan. Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Arca Peninggalan Kediri

Hal ini diperkuat Kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya
.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.


Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman


RUNTUHNYA KERAJAAN KADIRI

Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.


RAJA RAJA YANG MEMERINTAH DAHA

Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri:

Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
  1. Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu. Menurut Nagarakretagama kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
Arca Perwujudan Airlangga



Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu

  1. Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
  2. Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
  3. Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
  4. Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
  5. Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
  6. Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
  7. Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
  8. Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Samaradahana.
  9. Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.

Jayabaya, adalah raja Kerajaan Kadiri (1135-1159). Pada masa kekuasaannya, Kadiri memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kadiri. Waktu itu Kadiri memiliki armada laut yang cukup tangguh.

Jayabaya disebut dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Dewasa ini, nama Jayabaya di tanah Jawa juga sering dipakai dalam hal-hal yang berhubungan dengan eskatologi. Jayabaya dikenal sebagai "peramal" Indonesia masa depan, meski hal tersebut hanyalah karangan Ranggawarsita saja.

Raja terakhir Kediri adalah Kertajaya, (1185-1222). Kertajaya dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat untuk menyembahnya. Ini ditentang oleh para Brahmana. Sementara itu, di Tumapel (wilayah bawahan Kediri di daerah Malang) terjadi gejolak politik: Ken Arok membunuh penguasa Tumapel Tunggul Ametung dan mendirikan Kerajaan Singhasari. Ken Arok kemudian memanfaatkan situasi politik di Kediri, ia beraliansi dengan Brahmana, dan lalu menghancurkan Kediri. Dengan meninggalnya Kertajaya, Kediri menjadi wilayah Kerajaan Singhasari.


Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari


Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan Prasasti Mula Mulurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
  1. Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
  2. Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
  3. Tohjaya kakak Guningbhaya
  4. Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng, yang kemudian menjadi raja Singhasari

Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
  1. Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.

Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit

Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Para pemimpin Daha zaman Majapahit antara lain:
  1. Jayanagara, tahun 1295-1309, didampingi Patih Lembu Sora.
  2. Rajadewi, tahun 1309-1370-an, didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
Setelah itu, nama-nama pejabat Bhre Daha tidak diketahui dengan pasti.


Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit

Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527. Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.


PEMERINTAHAN RAJA RAJA KEDIRI

Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu dengan prasasti berangka tahun 1104, menganggap dirinya sebagai titisan Wisnu seperti halnya Airlangga, adalah raja Kadiri yang muncul pertama di pentas sejarah.

Candi Belahan Peninggalan Kediri

Selanjutnya Kameswara (1115-1130), bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, lencana kerajaan berbentuk tengkorak bertaring yang disebut candrakapala, dan adanya mpu Dharmaja yang telah menggubah kitab Smaradahana (berisi pujian yang mengatakan raja adalah titisan dewa Kama, ibukota kerajaan bernama Dahana yang dikagumi keindahannya oleh seluruh dunia, permaisuri yang sangat cantik bernama sri Kirana dari Jenggala). Mereka dalam kesusasteraan Jawa terkenal dalam cerita Panji.

Pengganti Kameswara yaitu Jayabhaya (1130-1160), bergelar Sri Maharaja Sri Dharmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayotunggadewa, lencananya adalah Narasingha, dikekalkan namanya dalam kitab Bharatayuddha (sebuah kakawin yang digubah Mpu Sedah di tahun 1157 dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh yang juga terkenal dengan kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya).

Pengganti selanjutnya yaitu Sarwweswara (1160-1170), lalu Aryyeswara (1170-1180) yang memakai Ganesa sebagai lencana kerajaan, kemudian Gandra yang bergelar sri maharaja sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayottunggadewanama sri Gandra. Dari prasasti dibuktikan bahwa Kadiri mempunyai armada laut.

Tahun 1190-1200 diperintah Srngga, bergelar Sri Maharaja Sri Sarwweswara Triwikramawataranindita Crnggalancana Digwijayottunggadewa, dengan lencana kerajaan cangkha (kerang bersayap) di atas bulan sabit. Raja terakhir yaitu Krtajaya (1200-1222), berlencana Garudamukha, yang riwayat kerajaannya berakhir dan menyerahkan kepada Singhasari setelah kalah dalam pertempuran di Ganter melawan ken Arok.


KARYA SASTRA ZAMAN KEDIRI

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala. Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Gatotkachasraya.

Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana. Pada abad ke 13 pengaruh Hinduisme terutama Wisnuisme terlalu kuat di Kerajaan Kediri. Karya sastra Ramayana dan Bharatayudha menunjukkan kuatnya pengaruh Wisnuisme.

Perkembangan kesusasteraan di jaman Kediri sangat bagus, yang selain kitab- kitab tersebut diatas, beberapa hasil lainnya adalah:

· kitab Lubdhaka dan Wrtasancaya karangan mpu Tanakung;

Merupakan karya Empu Tanakung yang digubah pada masa pemerintahan Raja Dyah Suprabhawa Raja Majapahit ke 10 yang memerintah tahun 1463 masehi seperti tercantum dalam piagam Sendang Sedati. Kitab ini menguraikan tentang seorang pemburu yang pada suatu malam manaburkan daun maja (wilwa) diatas lingga Siwa yang ada dibawah pohon Maja. Sebagai tanda terima kasih dewa Siwa kemudian mengijinkan Lubdaka masuk kedalam taman sorga. Cerita ini merupakan saduran dari mitologi India yang bertalian dengan upacara kegamaan Shiwaratri yang pada jaman majapahit sudah dirayakan.

  1. kitab Krsnayana karangan mpu Triguna
  2. kitab Sumanasantaka karangan mpu Monaguna.
  3. Smaradahana diciptakan oleh Empu Darmaja pada Pemerintahan Kamicwara I. 1115-1134
  4. Mahabrata: Bratayuda diterjemahkan oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh pada Pemerintahan Jayabaya yang merupakan Raja sekaligus dikenal ahli-nujum tahun 1135-1157

Selain itu ada beberapa keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghoa, seperti di kitab Ling-wai-tai-ta yang disusun Chou K’u-fei di tahun 1178 dan di kitab Chu-fan-chi oleh Chau-Ju-Kua di tahun 1225, misalnya:

  • Orang-orangnya memakai kain sampai dibawah lutut , rambut diurai
  • Rumah-rumah bersih dan rapih, lantai berubin hijau dan kuning
  • Pertanian, peternakan, serta perdagangan maju dan kerajaan penuh perhatian;
  • Tidak ada hukuman badan, yang bersalah di denda emas
  • Pencuri dan perampok yang tertangkap dibunuh
  • Alat pembayaran adalah mata uang dari
  • Orang sakit bukan makan obat tapi mohon sembuh para Dewa dan Buddha
  • Raja berpakaian sutera, sepatu kulit, memakai emas-emasan, rambut disanggul.
  • Raja keluar naik gajah atau kereta, diiringi 500-700 prajurit dan rakyat jongkok
  • Raja dibantu 4 menteri, gaji dari menerima hasil bumi/lainnya sewaktu-waktu
  • Selain agama Buda ada agama Hindu
  • Rakyat lekas naik darah dan suka berperang, suka mengadu babi dan ayam;

BANGKITNYA KERAJAAN KEDIRI

Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Runtuhnya Kediri Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara.

Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri. Atas: Arca Syiwa ini dibangun pada masa Kerajaan Kediri yang bercorak Hindu sebagai persembahan kepada Dewa Syiwa.

Dewasa ini daerah kekuasaan Kerajaan Kediri / Panjalu ini termasuk daerah Kabupaten Kediri, Tulungagung, Blitar dan Malang , suatu hal yang cukup menarik bahwa letak prasasti raja-raja Kediri itu hampir sebagian besar terdapat di daerah Kabupaten Blitar sekarang. Memang letak pendirian prasasti itu dapat menunjukkan aktifitas politik, ekonomi serta kebudayaan masa itu. Prasasti-prasasti raja-raja Kediri itu, memuat nama desa-desa kuno di daerah Kabupaten Blitar, yang sekarang sebagian besar masih bertahan nama seperti ketika diresmikan untuk pertamalainya.

Nama-nama desa itu karena perkembangan jaman kemudian berubah. Desa-desa yang memegang peranan penting semasa menjadi daerah kekuasaan kerajaan Panjalu, antara lain ialah dengan Pandelegan, dekat Pikatan, desa Mleri, yang sekarang termasuk daerah Kecamatan Srengat. Demikian pula penduduk desa-desa Penumbangan, (Brumbung) Karangrejo, Talan (Gurit), Jepun.

Nama-nama desa itu dewasa ini termasuk daerah Kecamatan Wlingi, kesamben dan Gandusari. Penduduk di desa-desa tersebut telah menunjujkkan kebaktiannya kepada raja, sehingga di anugerahkan status swatantra dengan hak Sima yang turun-temurun. Daerah disebelah Selatan sungai Brantas pada masa Pemerintahan Kerajaan Kediri pun tampil dalam sejarah.Hal itu terbukti dengan adanya sebuah prasasti yang berhubungan dengan penduduk desa Jaring, Sumberarum Kecamatan Lodoyo sekarang. Dan selama hampir 800 tahun yang lalu, nama desa Jaring ini tetap bertahan sampai sekarang, demikain pula letak prasasti batunya berada di tempat semula, ketika diresmikan 8 abad yang lalu.





1 komentar:

  1. Yth. A.A. Lanang Dawan,

    Terima kasih untuk berbagi informasi pada blog ini. Konten sangat informatif, detil, terstruktur, dan luas cakupannya. Saya mempelajari blog ini untuk kepentingan riset situs-situs purbakala di Indonesia, dengan tujuan membuat arsip audiovisual.

    salam,
    Vivian Idris-

    BalasHapus