Jumat, 18 Februari 2011

UNTUNG SURAPATI

Pulau Bali jatuh ke tangan Majapahit pada tahun 1343. Kaum Bali Aga yang merasa telah dicurangi sebelum dan sewaktu perang, terus memberontak sehingga Sri Kresna Kepakisan yang ditunjuk Tribuwana Tunggadewi sebagai raja vassal ingin pulang ke Jawa dan berniat menyerahkan kembali mandat yang diterimanya.

Sebagai seorang
yang berasal dari keluarga Brahmana Kediri, hatinya tidak tahan dengan pertumpahan darah yang dahsyat. Tribuwana Tunggadewi memilihnya karena leluhur sang mantan Brahmana masih ada hubungan darah dengan wangsa Warmadewa, penguasa lama Bali.

Kresna Kepakisan disemangati Gajah Mada untuk tetap bertahta di Bali. Ia menyuruhnya untuk merangkul orang Aga dengan mempelajari kebudayaan mereka.

Setelah mengadakan riset budaya, ia menemukan kesalahan-kesalahannya dan melakukan tindakan yang patut dipuji sejarah.

  • Pertama-tama, ia sembahyang ke pura Besakih, pura yang dimuliakan orang Aga, di mana ia tak pernah sembahyang sebelumnya.
  • Kemudian ia mengadakan upacara kremasi yang megah untuk menghormati raja dan para bangsawan Bali yang gugur dalam invasi Majapahit dan memuliakan juga mereka sebagai leluhur, dan merekrut orang Aga dalam pemerintahan.
Sejak itu, pulau Bali berangsur-angsur aman dan terjadilah pernikahan campuran antara orang Aga dan orang Bali Majapahit. Bali menjadi pulau yang aman, bersatu, dan relatif sejahtera. Kejatuhan Majapahit ke tangan Demak pada abad ke-15 yang diiringi oleh migrasi sebagian orang Majapahit ke Bali, membuat Bali mencapai kejayaan.

Ia menjadi pulau merdeka yang bersatu dan mendapat limpahan kekayaan ide dan seni budaya yang dibawa para imigran. Dan tokoh-tokoh besar muncul, diantaranya raja Dalem Waturenggong. Di balik semua legenda tentang Dalem Watu Renggong , ia adalah seorang raja yang mementingkan persatuan. Panglima tertingginya adalah mahapatih Ularan seorang Aga yang masih keturunan mahapatih Bali jaman dinasti lama; Ki Pasung Grigis.

Kekuasaan kerajan Bali Gelgel meliputi Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dengan wafatnya Waturenggong, Bali melemah. Para keturunannya tak secakap sang raja bijak. Daerah koloni melepaskan diri satu persatu, bahkan Bali sempat diserang Mataram, era Sultan Agung, pada 1639. Namun invasi bisa dipukul Patih Jelantik Bogol secara dini di pantai Kuta.

Pada akhirnya pada akhir abad ke -17, karena sebab yang kompleks, Bali terpecah menjadi beberapa kerajaan. Kerajaan terbesar adalah Buleleng yang beribu kota di Singaraja, dengan raja legendaris Ki Barak Panji Sakti keturunan Patih Jelantik. Untuk mencegah serangan Mataram ke Bali, ia yang mewarisi cita-cita besar raja-raja Bali sebelumnya, menginvasi Blambangan.

Pasukan Truna Goak -nya berhasil menaklukkan Blambangan di ujung timur Jawa. Kerajaan Mataram yang sedang berekspansi ke barat memandang musuh dari timur membuat posisinya terjepit, memutuskan memberi tanda perdamaian. Ki Barak dihadiahi seekor gajah Sumatra sebagai hewan tunggangan dan kesayangan. Sesungguhnya, ia yang kehilangan putra kesayangannya dalam pertempuran Blambangan, telah kehilangan semangat.

Kesedihan membuatnya menarik diri dari kehidupan duniawi dan kemudian hidup bagai seorang pertapa. Ambisi dan harapannya diwariskannya kepada iparnya yang cakap, Anak Agung Putu, raja Mengwi yang kerajaannya kedua terbesar setelah Buleleng. Ia menjalin persahabatan dengan bangsawan-bangsawan Blambangan yang pro Bali, tidak menjalankan pendudukan.

Pada akhirnya “Lelanang Jagat” di pulau Jawa adalah Belanda. Dan disinilah terjadi hubungan unik antara Belanda dan Bali. Masa terpecahnya Bali adalah lembar suram dalam sejarah Bali. Kerajaan-kerajaan saling bersaing secara militer. Perang tak hanya terjadi antara kerajaan, tapi bisa terjadi antara kerajaan dengan sebuah desa yang kuat yang bisa jadi akan menjadi kerajaan jika bertumbuh.

Raja-raja Bali mengekspor orang-orang yang tak mampu membayar hutang kepada raja, para pemberontak taklukkan, dan para prajurit musuh yang tertangkap sebagai budak. Budak adalah ekspor utama Bali selain beras. Bali menjadi pusat penyuplai budak belian, Sebagian budak belian Bali itu sebenarnya bukan orang Bali saja tapi juga orang-orang dari dari pulau-pulau di timurnya, yang dijual dengan perantara lanun dan orang bahari Bugis.

Karena berpengalaman militer, budak asal Bali banyak yang direkrut sebagai tentara kolonial dalam politik ekspansinya. Pemerintahan kolonial Belanda mendatangkan banyak buruh Tionghoa untuk bertambang di Sumatra, bekerja di Batavia, dan tempat-tempat lainnya. Mula-mula yang datang hanya kaum prianya sehingga mereka terpaksa menikahi budak-budak belian.

Mereka cenderung memilih budak dari Bali dan Nias dengan pertimbangan bahwa mereka mau memasak daging babi. Sebagian lelaki dan perempuan Bali di masa ini jatuh bagai pariah dan mereka ada yang diekspor hingga jauh ke Afrika, ke Bourbon (sekarang disebut l’ile de RĂ©union ), pulau koloni Perancis. Batavia jaman dulu adalah tempat bertemunya berbagai ras dan suku.

Orang dan budaya Betawi modern adalah hasil perpaduan berbagai suku, ras, dan budaya. Pengaruh kebudayaan Bali pada kebudayaan Betawi antara lain tari Ondel-Ondel yang diinspirasikan oleh tari “Barong Landung” (patung tinggi besar dari kertas dan bambu berbentuk manusia yang ditarikan) serta pemakaian akhiran –in dalam bahasa Betawi. Misalnya main(-in), dimandi(-in), dikadal(-in).

Pada akhirnya orang Belanda berhenti mengekspor budak Bali karena mereka kerap berontak. Dan pemberontakan terbesar adalah pemberontakan Untung Suropati. Menurut Babad Tanah Jawa, sejak muda ia telah menjadi budak belian. Pertama-tama, ia diperbudak oleh van Beber yang kemudian melegonya kembali kepada Moor. Majikan kedua ini merasa kehidupan dan karirnya membaik sejak memiliki si budak, untuk itu ia menamainya Untung.

Tapi Untung kemudian menjalin cinta dengan Suzane, anak majikannya dan ketahuan . Ia lalu dipenjara, namun berhasil meloloskan diri beserta kawan-kawannya. Bagai Spartacus di jaman Romawi, ia mengumpulkan para budak dan gelandangan Bali untuk membentuk gerombolan yang kerap menyerang patroli dan kepentingan-kepentingan Belanda.

Ia diburu oleh kapten Ruys namun perwira ini malah menawarinya menjadi serdadu Belanda seperti banyak budak Bali lainnya. Saat itu Belanda sedang berupaya menaklukkan Banten. Untung dan kawan-kawannya bersetuju. Setelah dilatih militer, karirnya terus menanjak hingga mencapai pangkat Letnan. Untung beserta pasukannya kemudian ditugaskan untuk melucuti senjata Pangeran Purbaya , pangeran Banten, yang berniat menyerahkan diri ke Tanjungpura namun hanya mau menyerah kepada tentara kolonial pribumi.

Dalam upacara penyerahan diri, pasukan Belanda totok pimpinan Vaandrig Kuffeler bertingkah arogan dan memperlakukan sang pangeran dengan kasar. Untung tidak terima dengan hal ini dan terjadilah pertengkaran antar kedua pasukan yang berujung pertempuran. Pasukan Untung menghancurkan pasukan Kuffeler di sungai Cikalong pada 28 januari 1684.

Pangeran Purbaya tetap berniat menyerahkan diri ke Tanjungpura. Sang istri, Gusik Kusuma, tidak mau menyerah dan memilih untuk kembali ke rumah orangtunya di Kartasura. Dalam pelarian menuju Kartasura berkali-kali Untung menghancurkan tentara Belanda.

Setiba di Kartasura, ayah Gusik Kusuma, Pangeran Nerangjaya yang sangat anti VOC menikahkan putrinya dengan Untung. Bahkan atas loby mertuanya, Sultan Amangkurat I Mataram mengangkat Untung sebagai bupati Pasuruan.Sambil menjalankan pemerintahan dengan gelar Adipati Wironegoro, Untung tetap berperang dengan Belanda.

Pada tahun 1699,kekuasaannya sudah mencapai Madiun. Sedangkan Blambangan dibawah pengaruh Mengwi dan wilayah Mengwi bahkan sudah mencapai Probolinggo. Terbentuklah aliansi antara Untung Suropati, Blambangan, dan Bali (Mengwi). Mataram bergejolak, Pangeran Puger merebut tahta dibantu oleh Belanda dan memakai gelar Pakubuwono I . Amangkurat III, tidak terima dan bergabung dengan pasukan Untung Suropati di Pasuruan. Belanda kemudian bersekutu dengan kekuatan Cakraningrat II yang merasa kekuasaannya di Surabaya dan Madura terancam oleh aliansi Untung Suropati.

Gabungan tentara VOC, Pakubuwono, dan Madura lambat laun mendesak Untung Suropati. Amangkurat III memutuskan untuk menyerah kepada Belanda. Kemudian Belanda meneruskan serangan ke jantung pertahanan Untung di Pasuruan setelah satu persatu merebut benteng-bentengnya.

Dalam pertempuran Bangil, 1706, Suropati gugur. Gugur sebagai seorang raja bukan sebagai budak. Perjuangannya diteruskan oleh istri dan anak-anaknya, walau perlawanan mereka tak segemilang Untung. Ketika aliansi Blambangan, Untung, dan Mengwi berada di puncak kejayaan, Mengwi melantik Mas Purba dengan gelar Pangeran Danurejo sebagai raja Blambangan pada 1697. Ia memiliki dua istri. Istri pertamanya adalah salah satu putri Untung dan istri keduanya adalah putri dari Mengwi.

Ia meninggal pada tahun 1736, jauh setelah kematian mertuanya Untung Suropati. Ia digantikan anaknya dari istri pertama yang bernama Mas Nuyang atau Mas Jingga dengan gelar Danuningrat . Walaupun diangkat oleh Mengwi, ia merasa lebih nyaman bergabung dengan Belanda yang menurutnya lebih kuat.

Kemudian ia membunuh Rangga Satata, perwakilan Mengwi, dan melarikan diri dari Blambangan untuk meminta perlindungan VOC. Karena ia cucu Untung Suropati, Belanda setengah hati menerimanya dan cenderung mengabaikannya. Ia kembali ke Blambangan dan ditangkap oleh pasukan Mengwi, dibawa ke Bali, lalu dieksekusi di pantai Seseh pada 1764.

Belanda akhirnya menyerang Blambangan melalui Banyualit pada 1767 dan merebutnya dari penguasaan Mengwi dengan mudah. Wong Agung Wilis, anak Danurejo dari istri kedua kembali dari Mengwi. Ia pertama-tama mengaku mau bekerja sama dengan Belanda dan diijinkan tingal di rumah saudara tirinya Pangeran Pati. Tapi dengan diam-diam, dengan popularitasnya, ia mampu menarik hati rakyat Blambangan dari berbagai etnis untuk berontak melawan Belanda.

Tentaranya terdiri dari orang Bugis, Mandar, Tionghoa, dan Bali. Dengan bantuan finansial dari Mengwi, 6000 pasukan, dan persenjataan bantuan Inggris pada tahun 1768 ia merebut benteng Banyualit. Di waktu yang sama wabah penyakit berjangkit dan menimbulkan ribuan korban nyawa. Belanda mengurungkan niat merebut kembali benteng untuk sementara.

Akhirnya dengan bantuan Surakarta dan Madura, pada akhirnya Agung Wilis berhasil dikalahkan lalu dibuang ke Banda. Dari pengasingannya ia berhasi melarikan diri ke Seram, kembali ke Mengwi dan mati karena usia lanjut tahun 1780.

Pada akhirnya, satu persatu kerajaan Bali ditaklukkan Belanda. Buleleng yang didukung Karangasem, Klungkung, dan Mengwi bertahan selama 3 tahun, diserang 1846 dan benar-benar kalah dengan jatuhnya benteng Jagaraga pada 1849. Mengwi mengalami pelemahan sejak kekalahan di Blambangan dan akibat konflik internal. Pada akhirnya sebelum sempat berperang dengan musuh utamanya, Belanda, Mengwi jatuh ke tangan Badung yang dibantu Tabanan dan tentara Bugis pada tahun 1896.

Badung yang pada abad ke-18 masih merupakan wilayahnya Mengwi, tidak memberikan perlawanan berarti kepada Belanda dan jatuh lewat perang puputan tanpa strategi militer yang baik pada 1906. Gianyar dan Bangli memilih bernaung di bawah Belanda tanpa kekerasan. Tabanan tidak membela Badung ketika diserang Belanda. Rajanya ragu antara memilih berperang atau mengambil posisi seperti Gianyar. Ia bunuh diri beserta pangerannya dalam tahanan Belanda. Reputasi Tabanan diselamatkan putri raja, Sagung Wah, yang sempat menghimpun rakyat untuk berperang walau akhirnya hidupnya berakhir di pengasingan di Lombok. Terakhir Klungkung jatuh lewat puputan pada 1908.

PURA KERAMAT

Diceritakan Cokorde Pemecutan III dari Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan/ Ida Bhatara Sakti mempunyai seorang putri yang bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula.

Ida Cekorde keti
ka itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara. Ida Cokorde kemudian mengeluarkan sabda

“barang
siapa yang bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan putri raja”.

Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh (guru sepiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura.

Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya. Singkat ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu.

Putra-putra raja tersebut ada dari tanah jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden Ayu.

Segala kesaktia
n dalam pengobatan sudah dikerahkan seperti ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah dikeluarkan oleh para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita putrinya.

Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat. Setelah Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan mohon diijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat dan mengijinkan mengikuti sayembara.

Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu ditempatkan di sebuah balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan. Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh Raden Ayu. Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran Cakraningrat.

Sesuai dengan janji
sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.

Setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan.


Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung)
.

Ketika itu salah
seorang Patih di Puri melihat hal tersebut, disangka Raden Ayu sedang mempraktekkan ilmu hitam atau ngeleak. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam. Patih Kerajaan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Raja. Dan mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah.

Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan Badung. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Raden Ayu.

Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih (lekesan, Bali). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.

Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan beliau. Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh.

Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan. Pada suatu hari gegumuk (kuburan) Raden Ayu tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat kuburan engkag atau berbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari sedahan Gelogor, dan kemudian tumbuh lagi.

Sampai akhirnya yang ketiga kalinya, pohon tersebut tumbuh kembali. Jero sedahan Gelogor bersama Sedahan Moning kemudian bersemedi di hadapan makam tersebut, didapatkan petunjuk agar pohon yang tumbuh di atas kuburan beliau agar dipelihara. Karena melalui pohon tersebut beliau akan memberikan mukjijat kepada umat yang bersembahyang di tempat tersebut.

Pohon tersebut kon
on tumbuh dari rambut Raden Ayu. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam tersebut. Pohon itu disebut taru rambut. Mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan dimakam kramat tersebut, bahwa odalannya (pujawali) jatuh pada Redite (Minggu) Wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan).

Persembahan (sesaji) yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk, tanpa daging babi. Kini makam kramat tersebut banyak dikunjungi oleh para peziarah baik warga muslim untuk nyekar maupun tirakat. Demikian pula dengan warga Hindu banyak yang datang kesana, baik hanya untuk bersembahyang, maupun untuk permohonan tertertentu.



PUPUTAN KLUNGKUNG

KUSAMBA, sebuah desa yang relatif besar di timur Smarapura hingga abad ke-18 lebih dikenal sebagai sebuah pelabuhan penting Kerajaan Klungkung. Desa yang penuh ilalang (kusa = ilalang) itu baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan Bali manakala Raja I Dewa Agung Putra membangun sebuah istana di desa yang terletak di pesisir pantai itu.

Bahkan, I Dewa A
gung Putra menjalankan pemerintahan dari istana yang kemudian diberi nama Kusanegara itu. Sampai di situ, praktis Kusamba menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Klungkung. Pemindahan pusat pemerintahan ini tak pelak turut mendorong kemajuan Kusamba sebagai pelabuhan yang kala itu setara dengan pelabuhan kerajaan lainnya di Bali seperti Kuta.

Perang Kusambe

Nama Kusamba makin melambung manakala ketegangan politik makin menghebat antara I Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Klungkung dengan Belanda di pertengahan abad ke-19. Sampai akhirnya pecah peristiwa perang penting dalam sejarah heroisme Bali, Perang Kusamba yang menuai kemenangan telak dengan berhasil membunuh jenderal Belanda sarat prestasi, Jenderal AV Michiels.

Drama heroik itu bermula dari terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, seorang agen Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok di pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah Pesinggahan. Kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja Klungkung sendiri menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang Sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memerintahkan untuk membunuhnya.

Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta yang juga menjadi agen Belanda dilaporkan kepada wakil Belanda di Besuki. Residen Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang. Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang Klungkung.

Mads Lange

Ekspedisi Belanda yang baru saja usai menghadapi Buleleng dalam Perang Jagaraga, langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang Klungkung. Diputuskan, 24 Mei 1849 sebagai hari penyerangan.

Klungkung sendiri sudah mengetahui akan adanya serangan dari Belanda itu. Karenanya, pertahanan di Pura Goa Lawah diperkuat. Dipimpin Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging, Klungkung memutuskan mempertahankan Klungkung di Goa Lawah dan Puri Kusanegara di Kusamba.

Perang menegangkan pun pecah di Pura Goa Lawah. Namun, karena jumlah pasukan dan persenjatan yang tidak berimbang, laskar Klungkung pun bisa dipukul mundur ke Kusamba. Di desa pelabuhan ini pun, laskar Klungkung tak berkutik. Sore hari itu juga, Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Laskar Klungkung mundur ke arah barat dengan membakar desa-desa yang berbatasan dengan Kusamba untuk mencegah serbuan tentara Belanda ke Puri Klungkung.

Jatuhnya Kusamba membuat geram Dewa Agung Istri Kanya. Malam itu juga disusun strategi untuk merebut kembali Kusamba yang melahirkan keputusan untuk menyerang Kusamba 25 Mei 1849 dini hari. Kebetulan, malam itu, tentara Belanda membangun perkemahan di Puri Kusamba karena merasa kelelahan.

Hal ini dimanfaatkan betul oleh Dewa Agung Istri Kanya. Beberapa jam berikutnya sekitar pukul 03.00, dipimpin Anak Agung Ketut Agung, sikep dan pemating Klungkung menyergap tentara Belanda di Kusamba. Kontan saja tentara Belanda yang sedang beristirahat itu kalang kabut. Dalam situasi yang gelap dan ketidakpahaman terhadap keadaan di Puri Kusamba, mereka pun kelabakan.

Dalam keadaaan kacau balau itu, Jenderal Michels berdiri di depan puri. Untuk mengetahui keadaan tentara Belanda menembakkan peluru cahaya ke udara. Keadaan pun menjadi terang benderang. Justru keadaan ini dimanfaatkan laskar pemating Klungkung mendekati Jenderal Michels. Saat itulah, sebuah meriam Canon ''yang dalam mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka dengan nama I Selisik, konon bisa mencari sasarannya sendiri'' ditembakkan dan langsung mengenai kaki kanan Michels. Sang jenderal pun terjungkal.

Prajurit Bali

Kondisi ini memaksa tentara Belanda mundur ke Padang Bai. Jenderal Michels sendiri yang sempat hendak diamputasi kakinya akhirnya meninggal sekitar pukul 23.00. Dua hari berikutnya, jasadnya dikirim ke Batavia. Selain Michels, Kapten H Everste dan tujuh orang tentara Belanda juga dilaporkan tewas termasuk 28 orang luka-luka.

Klungkung sendiri kehilangan sekitar 800 laskar Klungkung termasuk 1000 orang luka-luka. Namun, Perang Kusamba tak pelak menjadi kemenangan gemilang karena berhasil membunuh seorang jenderal Belanda. Sangat jarang terjadi Belanda kehilangan panglima perangnya apalagi Michels tercatat sudah memenangkan perang di tujuh daerah.

Meski akhirnya pada 10 Juni 1849, Kusamba jatuh kembali ke tangan Belanda dalam serangan kedua yang dipimpin Lektol Van Swieten, Perang Kusamba merupakan prestasi yang tak layak diabaikan. Tak hanya kematian Jenderal Michels, Perang Kusamba juga menunjukkan kematangan strategi serta sikap hidup yang jelas pejuang Klungkung. Di Kusamba, pekik perjuangan dan tumpahan darah itu tidak menjadi sia-sia. Belanda sendiri mengakui keunggulan Klungkung ini.

Namun, kemenangan cemerlang di Kusamba 158 tahun silam itu kini tidaklah menjelma sebagai momentum peringatan yang dikenang generasi sekarang. Secara resmi Klungkung memilih peristiwa perang penghabisan di Puri Smarapura yang dikenal dengan Puputan Klungkung, 28 April 1908 sebagai tonggak peringatan perjuangan daerah menentang kolonialisme Belanda.

Memang, Puputan Klungkung yang diakhiri dengan gugurnya Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Jambe bersama para kerabat, keluarga serta pengiring menunjukkan bagaimana semangat perjuangan rakyat Klungkung yang menempatkan kehormatan dan harga diri di atas segalanya.

Dewa Agung Klungkung

Ketika kata-kata tak lagi bertenaga dan pihak yang diajak bicara tak lagi punya matahati, jalan perang merupakan pilihan paling terhormat. Bukan kemenangan fisik yang dicari, tapi kemenangan kehormatan, harga diri dan spirit. Sampai di sana, kematian menjadi jalan kehidupan (mati tan tumut pejah).

Namun, Perang Kusamba yang mengukuhkan kemenangan secara fisik serta menunjukkan kecerdasan, kecemerlangan, kecerdikan pun kematangan menyusun strategi putra-putri terbaik Klungkung juga suatu hal yang layak untuk dikenang. Pada peristiwa itulah Klungkung dan Bali secara umum dipandang sebagai lawan yang tangguh oleh Belanda. Pada peristiwa itu pula, secara diam-diam, harga diri orang Bali dikukuhkan setelah dua tahun sebelumnya juga tergurat dalam peristiwa Perang Jagaraga di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.

Jika selama ini Klungkung dan juga daerah-daerah lain di Bali terbiasa mengenang kekalahan, tidak salah kini memulai juga untuk mengenang kemenangan. Kita perlu berbangga pada prestasi gemilang pendahulu kita. Ketika kita bisa mengenang kekalahan, kenapa tidak punya keberanian untuk juga memperingati kemenangan. Dengan begitu, kebanggaan sebagai bangsa di kalangan generasi penerus bisa ditumbuhkan. Bukankah tradisi Hindu dengan begitu bersahaja mengajarkan untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma seperti dalam hari raya Galungan?

Kini, menuju Seabad Peringatan Puputan Klungkung, patutlah dipertimbangkan merajut benang sejarah antara Kusamba dan Smarapura. Kusambalah awal kebangkitan semangat perjuangan rakyat Klungkung menentang kolonialisme Belanda dan Smarapura dengan Puputan Klungkung menegaskan semangat itu pada puncak terindahnya.


Ditulis oleh: sindya candra jaya pada Pebruari 13, 2010, 08:37:28 tulungin dung bagaimana sejarah puputan klungkung

Rabu, 16 Februari 2011

SEJARAH KERAJAAN KARANGASEM


Nama ‘Karangasem’ sebenarnya berasal dari kata ‘Karang Semadi’. Beberapa catatan yang memuat asal muasal nama Karangasem adalah seperti yang diungkapkan dalam Prasasti Sading C
yang terdapat di Geria Mandara, Munggu, Badung. Lebih lanjut diungkapkan bahwa Gunung Lempuyang yang menjulang anggun di timur laut Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang yang berarti Gunung Karang.

Pa
da tahun 1072 (1150 M) tanggal 12 bulan separo terang, Wuku Julungwangi dibulan Cetra, Bhatara Guru menitahkan puteranya yang bernama Sri Maharaja Jayasakti atau Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali. Tugas yang diemban seperti dikutip dalam prasasti berbunyi


A.A Gde Jelantik
Raja Karangasem

  • ” gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka kerahayuan ing Jagat Bangsul…”,
  • artinya datang ke Adri Karang membuat Pura (Dharma) untuk memberikan keselamatan lahir-batin bagi Pulau Dewata.
Hyang Agnijaya diceritakan datang berlima dengan saudara-saudaranya yaitu Sambhu, Brahma, Indra, dan Wisnu di Adri Karang (Gunung Lempuyang di sebelah timur laut kota Amlapura). Mengenai hal ihwal nama Lempuyang adalah sebagai tempat yang terpilih atau menjadi pilihan Bhatara Guru (Hyang Parameswara) untuk menyebarkan ‘sih’ Nya bagi keselamatan umat manusia.

Dalam penelitian sejarah keberadaan pura, Lempuyang dihubungkan dengan kata ‘ lampu’ artinya ‘terpilih’ dan ‘Hyang’ berarti Tuhan; Bhatara Guru, Hyang Parameswara. Di Adri Karang inilah beliau Hyang Agnijaya membuat Pura Lempuyang Luhur sebagai tempat beliau bersemadi. Lambat laun Karang Semadi ini berubah menjadi Karangasem.

Sejarah Kerajaan Karangasem tidaklah bisa dilepaskan dengan Kerajaan Gelgel terutama pada masa puncak kebesaran di masa pemerintahan Dalem Waturenggong diperkirakan abad XV. Dalam sejarah, kerajaan Gelgel pertama diperintah oleh putra Brahmana Pendeta Dang Hyang Kepakisan bernama Kresna Wang Bang Kepakisan yang diberi jabatan sebagai adipati oleh Patih Gajah Mada.

Setelah dilantik, beliau bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang berkedudukan di Samprangan pada tahun saka 1274 (1352 M). Dalam pengangkatan ini disertai pula dengan pakaian kebesaran serta keris yang bernama I Ganja Dungkul dan sebilah tombak diberi nama I Olang Guguh. Dalem Ketut Kresna Kepakisan kemudian wafat pada tahun caka 1302(1380 M) yang meninggalkan tiga orang putra yakni I Dewa Samprangan (Dalem Ile) sebagai pengganti raja, I Dewa Tarukan, dan I Dewa Ktut Tegal Besung (Dalem Ktut Ngulesir).

Pada saat Dalem Ngulesir menjadi raja, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel (Sweca Pura). Beliau abiseka Dalem Ktut Semara Kepakisan pada caka 1305 (1383 M). Beliau inilah satu-satunya raja dari Dinasti Kepakisan yang masih sempat menghadap Raja Sri Hayam Wuruk di Majapahit untuk menyatakan kesetiaan. Di Majapahit beliau mendapat hadiah keris Ki Bengawan Canggu yang semula bernama Ki Naga Besuki, dan karena tuahnya juga dijuluki Ki Sudamala.

Dalem Ketut Semara Kepakisan juga sempat disucikan oleh Mpu Kayu Manis. Namun, beberapa tahun lamanya setelah datang dari Majapahit, beliau wafat pada caka 1382 (1460 M), dan digantikan oleh putra beliau bernama Dalem Waturenggong. Beliau ini dinobatkan semasih ayahnya hidup pada caka 1380 (1458 M).

Jaman keemasan Dalem Waturenggong dicirikan oleh pemberian perhatian terhadap kehidupan rakyat secara lahir dan batin. Masyarakat menjadi aman, tenteram, makmur, dan kerajaan meluas sampai ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalam bidang kesusastraan juga mencapai puncak keemasan dengan lahirnya beberapa karya sastra. Keadaan ini mencerminkan bahwa raja memiliki pribadi yang sakti, berwibawa, adil, serta tegas dalam memutar jalannya roda pemerintahan.

Setelah wafat, Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yang belum dewasa yaitu Dewa Pemayun (Dalem Bekung) dan I Dewa Anom Saganing (Dalem Saganing). Karena umurnya yang masih muda maka diperlukan pendamping dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Adapun lima orang putra yang menjadi pendamping raja yaitu putra I Dewa Tegal Besung (adik Dalem Waturenggong) diantaranya I Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I Dewa Pagedangan.

Jabatan Patih Agung pada saat itu dipegang oleh I Gusti Arya Batanjeruk dan semua kebijakan pemerintahan dipegang oleh Patih Arya Batanjeruk. Melihat situasi seperti ini, pejabat kerajaan menjadi tidak puas. Suatu ketika disebutkan kepekaan para pembesar istana saat raja yang masih belia itu dihadap para pembesar. Raja yang masih suka bermain-main ke sana-ke mari selalu duduk di pangkuan Ki Patih Agung.

Dalem Pemayun duduk di atas pupu sebelah kanan dan Ida I Dewa Anom Saganing di sebelah kiri. Kemudian kedua raja ini turun lagi dan duduk di belakang punggung Ki Patih. Isu berkembang bahwa I Gusti Arya Batanjeruk akan mengadakan perebutan kekuasaan. Nasehat Dang Hyang Astapaka terhadap maksud ini tidak diperhatikan oleh Ki Patih Agung sehingga kekecewaan ini menyebabkan hijrahnya Dang Hyang Astapaka menuju ke sebuah desa bernama Budakeling di Karangasem.

Kekacauan di Gelgel terjadi pada tahun 1556 saat Patih Agung Batanjeruk dan salah seorang pendamping raja yaitu I Dewa Anggungan mengadakan perebutan kekuasaan yang diikuti oleh I Gusti Pande dan I Gusti Tohjiwa. I Gusti Kubon Tubuh dan I Gusti Dauh Manginte akhirnya dapat melumpuhkan pasukan Batanjeruk.

Diceritakan Batanjeruk lari ke arah timur dan sampai di Jungutan, Desa Bungaya ia dibunuh oleh pasukan Gelgel pada tahun 1556. Istri dan anak angkatnya yang bernama I Gusti Oka (putra I Gusti Bebengan, adik dari I Gusti Arya Batanjeruk) serta keluarga lainnya seperti I Gusti Arya Bebengan, I Gusti Arya Tusan, dan I Gusti Arya Gunung Nangka dapat menyelamatkan diri berkat pohon jawawut dan burung perkutut yang seolah olah melindungi mereka dari persembunyian, sehingga sampai kini keturunannya tidak makan buah jawawut dan burung perkutut.

I Gusti Oka kemudian mengungsi di kediaman Dang Hyang Astapaka di Budakeling, sedangkan para keluarga lainnya ada yang menetap di Watuaya, Karangasem. Sedikit diceritakan bahwa Dang Hyang Astapaka juga punya asrama di Bukit Mangun di Desa Toya Anyar (Tianyar) dan I Gusti Oka selalu mengikuti Danghyang Astapaka di Bukit Mangun, sedangkan ibunya tinggal di Budakeling membantu sang pendeta bila ada keperluan pergi ke pasar Karangasem.

Pada waktu itu, Karangasem ada di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, dan yang menjadi raja adalah I Dewa Karangamla yang berkedudukan di Selagumi (Balepunduk). I Dewa Karangamla inilah yang mengawini janda Batanjeruk dengan suatu syarat sesuai nasehat Dang Hyang Astapaka bahwa setelah kawin, kelak I Gusti Pangeran Oka atau keturunannyalah yang menjadi penguasa.

Syarat ini disetujui dan kemudian keluarga I Dewa Karangamla berpindah dari Selagumi ke Batuaya. I Dewa Karangamla juga mempunyai putra dari istrinya yang lain yakni bernama I Dewa Gde Batuaya. Penyerahan pemerintahan kepada I Gusti Oka (raja Karangasem I) inilah menandai kekuasaan di Karangasem dipegang oleh dinasti Batanjeruk. I Gusti Oka atau dikenal dengan Pangeran Oka memiliki tiga orang istri, dua orang prebali yang seorang diantaranya treh I Gusti Akah.

Para istri ini menurunkan enam orang putra yaitu tertua bernama I Gusti Wayahan Teruna dan I Gusti Nengah Begbeg. Sedangkan istri yang merupakan treh I Gusti Akah berputra I Gusti Nyoman Karang. Putra dari istri prebali yang lain adalah I Gusti Ktut Landung, I Gusti Marga Wayahan dan I Gusti Wayahan Bantas. Setelah putranya dewasa, I Gusti Pangeran Oka meninggalkan Batuaya pergi bertapa di Bukit Mangun, Toya Anyar. Beliau mengikuti jejak Dang Hyang Astapaka sampai wafat di Bukit Mangun.

I Gusti Nyoman Karang inilah yang meggantikan ayahnya menjadi raja (raja Karangasem II) yang diperkirakan tahun 1611 Masehi. I Gusti Nyoman Karang menurunkan seorang putra bernama I Gusti Ktut Karang yang setelah menjadi raja bergelar (abhiseka) I Gusti Anglurah Ktut Karang (raja Karangasem III). Beliau ini diperikirakan mendirikan Puri Amlaraja yang kemudian bernama Puri Kelodan pada pertengahan abad XVII (sekitar tahun caka 1583, atau tahun 1661 M).

I Gusti Anglurah Ktut Karang berputra empat orang yaitu tiga orang laki-laki dan satuperempuan. Putranya yang tertua bernama I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, I Gusti Ayu Nyoman Rai dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Ketiga orang putra inilah yang didaulat menjadi raja Karangasem (raja Karangasem IV/Tri Tunggal I) yang memerintah secara kolektif sebagai suatu hal yang dianggap lazim pada jaman itu.

Pemerintahan ini diperkirakan tahun 1680-1705. Selanjutnya yang menjadi raja Karangasem adalah putra I Gusti Anglurah Nengah Karangasem yaitu I Gusti Anglurah Made Karang (raja Karangasem V). Selanjutnya I Gusti Anglurah Made Karang berputra enam orang, empat orang laki-laki dan dua orang wanita. Salah seorang dari enam putranya yang sulung bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti yang dijuluki Sang Atapa Rare karena gemar menjalankan yoga semadi sebagai pengikut Dang Hyang Astapaka.

Dalam keadaan atapa rare inilah beliau menghadapi maut dibunuh oleh prajurit Gelgel atas perintah Cokorda Jambe ketika beliau kembali dari Sangeh. Diceritakan, atas perkenan Raja Mengwi Sang Atape Rare membangun Pura Bukit Sari yang ada di Sangeh. Sekembalinya dari Sangeh beliau sempat mampir di Gelgel yang pada waktu itu berkuasa adalah Cokorda Jambe.

Karena tingkah yang aneh-aneh di istana yang tidak bisa menahan kencing menyebabkan terjadi salah paham, dan dianggap telah menghina raja. Maka setelah keberangkatannya ke Karangasem, beliau dicegat di sebelah timur Desa Kusamba, di padasan Bulatri. sebelum beliau wafat, beliau sempat pula memberikan pesan-pesan kediatmikan kepada putranya yakni I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem.

Beliau ini kemudian dikenal dengan sebutan Dewata di Bulatri. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Karangasem dan Klungkung (Gelgel) yang dikenal dengan pepet (dalam keadaan perang). Setelah gugurnya Cokorda Jambe, maka ketegangan antara Karangasem dan Klungkung menjadi reda. Tahta di Karangasem kemudian dilanjutkan oleh tiga orang putranya yaitu I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem (raja Karangasem Tri Tunggal II) yang diperkirakan memerintah 1755-1801.

Setelah raja Tri Tunggal wafat, pemerintahan Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Gde Karangasem (Dewata di Tohpati) antara tahun 1801-1806. Pada saat ini Kerajaan Karangasem semakin besar yang meluaskan kekuasaannya sampai ke Buleleng dan Jembrana. Setelah wafat, I Gusti Gde Ngurah Karangasem digantikan oleh anaknya bernama I Gusti Lanang Peguyangan yang juga dikenal dengan I Gusti Gde Lanang Karangasem.

Kemenangan Kerajaan Buleleng melawan Kerajaan Karangasem menyebabkan raja Karangasem (I Gusti Lanang Peguyangan) menyingkir dan saat itu Kerajaan Karangasem dikuasai oleh raja Buleleng I Dewa Pahang. Kekuasaan akhirnya dapat direbut kembali oleh I Gusti Lanang Peguyangan. Pemberontakan punggawa yang bernama I Gusti Bagus Karang tahun 1827 berhasil menggulingkan I Gusti Lanang Peguyangan sehingga melarikan diri ke Lombok, dan tahta Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Bagus Karang.

Ketika I Gusti Bagus Karang gugur dalam menyerang Lombok, pada saat yang sama Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem berhasil menaklukan Karangasem dan mengangkat menantunya I Gusti Gde Cotong menjadi raja Karangasem. Setelah I Gusti Gde Cotong terbunuh akibat perebutan kekuasaan, tahta Karangasem dilanjutkan oleh saudara sepupu raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Gde Karangasem.

Pada saat Kerajaan Karangasem jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 20 Mei 1849, raja Karangasem I Gusti Ngurah Gde Karangasem gugur dalam peristiwa tersebut sehingga pemerintahan di Karangasem mengalami kekosongan (vacuum). Maka dinobatkanlah raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem sebagai raja di Karangasem oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah berselang beberapa waktu kemudian, raja Mataram menugaskan kemenakannya menjadi raja yaitu I Gusti Gde Putu (Anak Agung Gde Putu) yang juga disebut ‘Raja Jumeneng’, I Gusti Gde Oka (Anak Agung Gde Oka), dan Anak Agung Gde Jelantik.

Setelah masuknya Belanda, membawa pengaruh pula dalam hal birokrasi pemerintahan. Pada tahun 1906 di Bali terdapat tiga macam bentuk pemerintahan yaitu

  1. Rechtstreeks bestuurd gebied (pemerintahan langsung) meliputi Buleleng, Jembrana, dan Lombok,
  2. Zelfbesturend landschappen (pemerintahan sendiri) ialah Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli,
  3. Stedehouder (wakil pemerintah Belanda) ialah Gianyar dan Karangasem.
Demikianlah di Karangasem berturut-turut yang menjadi Stedehouder yaitu tahun 1896-1908; I Gusti Gde Jelantik (Dewata di Maskerdam), dan Stedehouder I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (Dewata di Maskerdam) antar tahun 1908-1941.

Demikian sajian ringkas sejarah Kerajaan Karangasem yang dijadikan gambaran umum kajian pokok objek penelitian. Deskripsi historis hal ini sangat penting mengingat dalam mengupas bagian peristiwa yang termasuk rentetan sejarah tidaklah bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi. Sehingga dalam segi manfaat, dimensi waktu akan dapat ditangkap oleh pembaca mengenai kurun waktu peristiwa dimaksud.

Demikian pula dalam kajian ini, maka objek penekanannya adalah saat masa raja Karangasem dinasti Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Masa Dinasti Tri Tunggal I Masa kekuasaan Kerajaan Karangasem Tri Tunggal I menjadi sajian yang perlu mendapat pemahaman dalam relevansinya menjabarkan objek penelitian.

Ketika pemerintahan Kerajaan Karangasem yang diperintah oleh Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem inilah muncul mitologi Pura Bukit sebagaimana diceritakan dalam buku Kupu-Kupu Kuning. Saudara raja Tri Tunggal yang bernama I Gusti Ayu Nyoman Rai diambil menjadi istri oleh Ida Bhatara Gde di Gunung Agung yang kemudian melahirkan Ida B
hatara Alit Sakti yang kini bermukim di Pura Bukit


RAJA RAJA KARANGASEM

  1. Gusti Nyoman Karang (1600)
  2. Anglurah Ketut Karang
  3. Anglurah Nengah Karangasem (abad ke-17)
  4. Anglurah Ketut Karangasem (1691-1692)
  5. Anglurah Made Karang
  6. Gusti Wayahan Karangasem (fl. 1730)
  7. Anglurah Made Karangasem Sakti (Bagawan Atapa Rare) (1730s-1775)
  8. Gusti Gede Ngurah Karangasem (1775–1806)
  9. Gusti Gede Ngurah Lanang (1806–1822)
  10. Gusti Gede Ngurah Pahang (1822)
  11. Gusti Gede Ngurah Lanang (waktu kedua 1822-1828
  12. Gusti Bagus Karang (1828–1838
  13. Gusti Gede Ngurah Karangasem (1838–1849)
  14. Gusti Made Jungutan (Gusti Made Karangasem) (1849-1850)
  15. Gusti Gede Putu (penguasa bawahan 1850-1893)
  16. Gusti Gede Oka (penguasa bawahan 1850-1890)
  17. Gusti Gede Jelantik (1890–1908)
  18. Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem (1908-1950)
  19. Karangasem yang tergabung dalam negara kesatuan Indonesia 1950




KERAJAAN JEMBRANA

Kerajaan Djembrana terlahir sebagai sebuah kerajaan otonom sejak tahun 1705. Batas barat kerajaan Djembrana adalah selat Bali,
  • batas timur adalah kerajaan Tabanan yang dihubungkan tukad Yeh Leh,
  • batas utara adalah kerajaan Buleleng yang ditandai dengan deretan pegunungan
  • batas selatan adalah samudra Hindia.
Kerajaan Djembrana berkembang sesuai eranya dan menjadi kabupaten Jembrana sebagai bagian integral propinsi Bali menurut Undang Undang nomor 64 tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958 tentang pemekaran propinsi Sunda Kecil / Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Raja Jembrana
A.A. Gde Agung



TAMPUK KERAJAAN DJEMBRANA :

ANAK AGUNG NGURAH DJEMBRANA Adalah pendiri dan sebagai raja Djembrana I yang memerintah sejak tahun 1705. Beliau berasal dari puri Mengwi sebagai putera ketiga dari Anak Agung Nyoman Alangkadjeng (raja Mengwi yang bergelar Cokorda Mengwi,memerintah kerajaan Mengwi sejak tahun 1682)

ANAK AGUNG GDE DJEMBRANA Memangku jabatan sebagai raja Djembrana II yang memerintah sejak tahun 1755.Beliau adalah cucu raja Djembrana I.ANAK

AGUNG PUTU AGUNG Memangku jabatan raja Djembrana III sejak tahun 1790.Beliau adalah putera dari Anak Agung Gde Djembrana.

ANAK AGUNG GDE SELOKA Putera sulung Anak Agung Putu Agung,memangku jabatan raja Djembrana IV sejak tahun 1818 yang didampingi oleh adik kandungnya yaitu Anak Agung Made Ngurah Bengkol sebagai raja muda kerajaan Djembrana.Raja muda kerajaan Djembrana wafat pada tahun 1828 dan digantikan adik kandung beliau yang bernama Anak Agung Njoman Madangan.

ANAK AGUNG PUTU NGURAH Putera sulung Anak Agung Gde Seloka,memangku jabata sebagai raja Djembrana V sejak tahun 1839 yang didampingi oleh sepupunya yang bernama Anak Agung Made Rai (putera Anak Agung Njoman Madangan) yang selanjutnya memangku jabatan sebagai raja muda Djembrana.

ANAK AGUNG MADE RAI Memangku jabatan raja Djembrana VI sejak tahun 1867,atas permintaan masyarakat Djembrana yang diwakili oleh punggawa Negara I Wayan Geor. punggawa Djembrana I Gede Nurun, punggawa Mendoyo I Wayan Djembo dan kepala Bali Islam di Loloan Kapten Mustika. Pemerintah Hindia Belanda menobatkannya sebagai raja Djembrana dengan besluit nomor 18 tahun 1867 tanggal 15 januari 1867.

Pemerintah Belanda kemudian menghapuskan kerajaan Djembrana dan kerajaan Buleleng serta menetapkannya berada dibawah pengendalian langsung pemerintah Belanda dan raja Djembrana VI tidak memangku jabatan sebagai raja Djembrana lagi pada tahun 1882. Karena pemerintah Belanda sedang berperang melawan kerajaan Badung,Tabanan,Klungkung dan Lombok.Raja Djembrana Vi mangkat pada tahun 1906 serta meninggalkan 13 putera puteri,dimana putera beliau antara lain :

  1. ANAK AGUNG GDE SUTANEGARA
  2. ANAK AGUNG NJOMAN KOTANEGARA
  3. ANAK AGUNG PUTU KERTANEGARA
  4. ANAK AGUNG KETUT PUTERANEGARA

ANAK AGUNG BAGUS NEGARAAdalah salah seorang putera Anak Agung Njoman Kertanegara menggantikan kakeknya Anak Agung Made Rai,memangku jabatan raja Djembrana VII sejak tahun 1929 sampai 1960. Pemerintah Belanda memberikan hak penuh dan mengakui secara sah kerajaan

Djembrana,Buleleng,Tabanan,Badung,Gianyar,Bangli,Klungkung dan Karangasem dengan korteverklaring(surat pernyataan) dalam upacara penobatan bersama di pura Besakih pada tanggal 30 Juni 1938.Beliau menjadi raja / kepala pemerintahan di Djembrana sejak jaman Hindi Belanda,aneksasi militer Jepang,era Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga menjadi perubahan bentuk pemerintahan dari kerajaan menjadi kabupaten di tahun 1960.

RAJA PEMECUTAN XI


IDA COKORDA PEMECUTAN XI /
A.A. NGURAH MANIK PARASARA, SH


Dengan wafatnya Kiyayi Agung Gede Lanang Pemecutan pada har Senin Wage Julungwangi tanggal 8 Januari 1962 dan wafatnya Kiyayi Anglurah Pemecutan X/ Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan pada haris senin Pon Dungulan tanggal 17 Maret 1986 maka terjadilah kekosongan kepemimpinan bagi warga Ageng Pemecutan.

Kekosongan tersebut sangat terasa bila mana ada kegiatan adat maupun keagamaan di Puri Agung Pemecutan seperti Acara Mekiyis sebelum hari raya Nyepi dan Upacara Pujawali di Pura Tambanan Badung. Warga Ageng merasakan perlunya seorang tokoh atau figur yang dapat memegang kendali kepemimpinan di Puri Agung Pemecutan.

Kekosongan kepemimpinan tersebut telah menjadi bahan pemikiran di kalangan Warga Ageng Pemecutan. Untuk itu sebagai langka awal maka pada hari Kamis Wage Tolu tanggal 29 Oktober 1987 diadakanlah pembahasan tentang suksesi kepemimpinan tersebut bertepatan dengan Pujawali purnama kelima di Pemerajan Agung Puri Pemecutan yang dilanjutkan dengan rapat di Jero Taensiat Denpasar pada hari Minggu umanis langkir tanggal 20 Desember 1987 dan di puri Agung Pemecutan pada selasa paing pujut tanggal 5 januari 1988 dipimpin oleh A.A.Ngurah Oka Moncol Lanang Taensiat.

Ida Cokorda Pemecutan XI

Pembahasan terakhir dilaksanakan di Pura Tambangan Badung yang tanggal 6 Nopember 1988 dengan dihadiri oleh perwakilan warga Ageng Pemecutan dan penglingsir/ Moncol yang menghasilkan keputusan sebagai berikut :

  1. Secara aklamasi menetapkan A.A Ngurah Manik Parasara putra tertua dari Cokorda Pemecutan X sebagai Penglingsir di Puri Agung Pemecutan dengan gelar Ida Cokorda Pemecutan XI dan Anak Agung Ngurah Made Dharmawijaya putera tertua dari Anak Agung Gde Lanang Pemecutan sebagai wakil dengan gelar Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan
  2. Penyusunan awig-awig bagi Warga Ageng Pemecutan untuk menyempurnakan awig-awig yang dibuat pada jaman pemerintahan Belanda
  3. Penyusunan Babad keluarga besar Puri Agung Pemecutan sebagai pedoman bagi generasi yang akan datang.
  4. Penetapan Simbul Warga Ageng Pemecutan
  5. Pengesahan Penglingsir Agung

Dalam rapat tersebut juga dihadiri oleh 14 Pedanda yang pada hakekatnya mendukung keputusan warga Ageng Pemecutan karena kehadiran seorang pemimpin keluarga akan sangat penting artinya dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di lingkungan keluarga besar Pemecutan dimana didalamnya masih terkandung nilai nilai budaya tradisional yang luhur yang perlu dilestarikan keberadaanya.

Hadir pula warga semeton Islam dari Kepaon Denpasar yang dipimpin oleh Bapak Muhamad Ali Mansyur dan warga semeton Bugis di Suwung Serangan Sesetan Denpasar dipimpin oleh Bapak Abdul Fatah.



ABISEKA RATU IDA COKORDA XI


Pada hari Minggu tanggal 16 Juli 1989 Redite Kliwon Tolu dilaksanakan Abiseka Ratu A.A Ngurah Manik Parasara sebagai Penglingsir di Puri Agung Pemecutan dengan gelar Ida Cokorda Pemecutan XI dan Anak Agung Ngurah Made Dharmawijaya sebagai wakil dengan gelar Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan


Abiseka Cokorda Pemecutan XI dipuput oleh 21 Peranda Siwa dan Budha yang ada kaitannya dengan sejarah Puri Agung Pemecutan. Adapun Pedanda tersebut antara lain :

  1. Ida Pedanda Geniten / Geria Carik Taensiat
  2. Ida Pedanda Oka / Geria Karang Tampakgangsul
  3. Ida Pedanda Gede Rai / Geria Ngenjung Bindu
  4. Ida Pedanda Gede Oka / Geria Ngenjung Bindu
  5. Ida Pedanda Gede Ngurah / Geria Tegeh Bindu
  6. Ida Pedanda Gede Ngurah Bajing / Geria Bajing Kesiman
  7. Ida Pedanda Gede Putraka Timbul / Geria Timbul Kesiman
  8. Ida Pedanda Gede Putra Bajing / Geria Bajing Lebah
  9. Ida Pedanda Istri Raka Telaga / Geria Telaga Tegal
  10. Ida Pedanda Putra Telaga / Geria Pancoran Tegal
  11. Ida Pedanda Gede Putra / Geria Sari Tegal
  12. Ida Pedanda Istri Raka / Geria Pemedilan
  13. Ida Pedanda Istri Rai / Geria Telabah
  14. Ida Pedanda Made Sukehet / Geria Taman Sari Sanur
  15. Ida Pedanda Gede Putra / Geria Puseh Sanur
  16. Ida Pedanda Gede Buruan / Geria Buruan Sanur
  17. Ida Pedanda Istri Telaga Tawang / Geria Telaga Tawang
  18. Ida Pedanda Gede Telaga / Geria Dalem Kerobokan
  19. Ida Pedanda Istri Kanya / Geria Budha Kaliungu
  20. Ida Pedanda Bodha Jelantik Lilasrsana / Geria Budha Sukawati
  21. Ida Pedanda Gede Beluwangan / Geria Delod Peken Sanur
Warga dari kampung Islam Kepaon Denpasar ikut pula memeriahkan acara tersebut dengan menampilkan tari Rudat yang merupakan suatu sikap dan penampilan yang simpatik dari masyarakat Islam yang masih ada ikatan sejarah dengan Puri Agung Pemecutan.



AWAL KEPEMIMPINAN IDA COKORDA PEMECUTAN XI

Ida Cokorda Pemecutan XI selaku Penglingsir di Puri Agung Pemecutan sangat menyadari bahwa keberadaan awig-awig dan sejarah bagi bagi keluarga Besar Puri pemecutan sangat penting artinya sebagai pegangan dan petunjuk dalam menjalankan kepemimpinan.

Oleh karena itulah maka kedua hal tersebut menjadi prioritas beliau bersama sama dengan para moncol dan para pemuka warga Ageng Pemecutan untuk mewujudkannya. dan Atas Asung wara Nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa maka pada hari Kamis Umanis Gumbreg tanggal 14 Nopember 1989 selesailah penyusunan Awig Awig Lembaga Warga Ageng Pemecutan.

Dengan disahkannya Awig Awig Lembaga Warga Ageng Pemecutan , penglingsir Agung telah mempunyai pegangan dasar sebagai pedoman dalam memimpin Keluarga Besar Pemecutan. Dan sebagai langkah kedua dibentuklah Pengurus pusat yang bertugas membantu Penglingsir Agung dalam mengendalikan organisasi terutama konsolidasi kedalam untuk membenahi kelengkapan organisasi dan pembentukan pengurus Cabang masing masing kelompok atau Kemoncolan.

Untuk itu dibentuk pula pengurus dikalangan pemangku yang terkait langsung dengan Pura Tambangan Badung seperti pemangku pura prasanak Tambangan Badung, Para penyungsung paibon di Pura Tambangan Badung dan juga dilaksankan pendataan jumlah warga di masing masing kemoncolan.


PELAKSANAAN UPACARA PANCA WALIKRAMA DI PURA TAMBANGAN BADUNG

Ida Cokora Pemecutan XI tidak mengabaikan pembinaan mental spritual warga Ageng Pemecutan, beliau menyadari bahwa Pura Tambangan Badung adalah tali pengikat dan mempersatukan segenap warganya karena itulah dilakukan persiapan untuk melaksanakan Karya Panca Walikrama di Pura Tambangan Badung.

Sebagai tahap awal maka dilakukan perbaikan tembok penyengker Pura, gedong pelingih Bhatara Ratu Ayu, pelinggih di pura Taman, Pelinggih para Paibon yang rusak, bale semanggen dan bale gajah. Hal lainnya yaitu memindahkan dan membangun bale Wantilan di Jaba Tengah, memperbesar dapur dan menata halaman tengah dan pura Taman. Selain itu dibangun pula pintu masuk di utara untuk memperlancar jalannya persembahyangan pada saat pujawali.

Setelah perbaikan tersebut selesai, maka dilaksanakanlah upacara Panca Walikrama yang dimulai dari hari Rabu Pon Watugunung tanggal 6 Maret 1991 dan mencapai puncaknya pada purnama sasih kedasa, senin paing warigadian tanggal 29 April 1991 yang berjalan dengan lancar dan aman.

Tari Rudat Muslim kepaon

Dalam Puncak acara tersebut kembali ditampilkan tari rudat dari warga kampung Islam Kepaon yang merupakan suatu bukti keharmonisan hubungan keagamaan antara Warga Hindu di Puri Pemecutan dan Warga Muslim dari sejak dulu yang patut dipelihara dan dikembangkan karena keberadaan Warga muslim di wilayah Badung
sangat besar peranannya dalam perjalanan sejarah Puri Agung Pemecutan.

Tamu kehormatan yang hadir selain Raja Raja dari seluruh Bali, hadir pula Sri Sultan Hamengku Bhuwono X Raja Yogyakarta dan Gubernur Bali Prof Dr. Ida Bagus Oka. Sebagai acara tambahan juga diremikannya Koperasi berbadan Hukum milik warga Ageng Pemecutan yang diberi nama Koperasi Serba Usaha Eka Bandana Pemecutan



UPACARA PELEBONAN ANAK AGUNG BIANG RAI ISTRI KE IV IDA COKORDA PEMECUTAN X IBU DARI IDA COKORDA PEMECUTAN XI

Upacara Pelebon Pengelingsir Puri Agung Pemecutan Anak Agung Biang Rai, Ibunda Cokorda Pemecutan XI tanggal 14 Juni 2009 Di pagi yang cerah dengan sinar matahari yang menyengat, halaman Puri Pemecutan sudah nampak ramai dikerumuni oleh para pemuka Puri dan para keluarga besar puri, mengantarkan jenazah Ibunda dari Cokorda Pemecutan ke Setra Badung untuk melakukan upacara pelebon/pembakaran jenazah.

Iring-iringan pelebon yang sangat panjang dengan deretan barisan tombak (prajurit perang), gadis-gadis cantik dengan aneka pakaian Bali bercorak kuno, tarian sakral seperti baris Ketekok Jago, tarian Rodat yang berasal dari kaum Muslim, serta diiringi tabuh gamelan yang semarak. Kelihatan sangat indah dan menakjubkan.

Saat hari menjelang siang, suasana mulai dipadati dari orang-orang yang ingin menyaksikan perjalanan terakhir dari Almarhum Anak Agung Biang Rai menuju tempat pembakaran.

Beberapa iringan wadah/bade dari para pengiring juga ramai dan sangat meriah, seakan-akan upacara ini tidak ada lelahnya, dan sesampainya di tempat tujuan terakhir, jenazah Anak Agung Biang Rai di masukkan ke dalam Lembu dan di perciki air suci agar perjalanan beliau damai di alam sana.

Selasa, 15 Februari 2011

BABAD MENGWI

AKHIR ABAD 14-AKHIR ABAD 17


Pada tahun 1343 di mana majapahit berhasil menakklukan bali di bawah pimpinan patih gajah mada dan para arya salah satu yang ikut menggempur bali dari arah selatan { kuta } yaitu arya kenceng yang kemudian oleh patih gajah mada ditugaskan untuk menjaga keamanan daerah bali bagian barat dan tinggal di sebuah desa bernama buahan, bersama arya sentong dan arya belog kaba-kaba serta arya delancang di kapal.


Sekitar tahun 1347 M, empat {4}putera puruhito gajah mada yang tertua menjadi adipati di pasuruan, yang kedua menjadi adipati di blambangan, yang ketiga {wanita} menjadi adipati di sumbawa dan yang keempat menjadi adipati di bali {sri kresna kepakisan} sri kresna kepakisan beristrikan seorang brahmani dari gria ketepengreges pasuruan jatim yang kedua diperistri oleh betara arya kenceng dan yang ketiga diperistri oleh arya sentong.

Taman Ayun

Arya kenceng dengan istri brahmani tersebut mempunyai dua putera :
  1. I gusti raka atau dewa raka atau bergelar sri megada prabu,
  2. I gusti rai atau dewa rai atau bergelar sri megada nata
dari istri kedua yang berasal dari desa tegeh, betara arya kenceng juga berputera dua orang :
  1. kyai tegeh kori,
  2. istri tegeh { kawin dengan pangeran asak di kapal }.
Ketika kerajaan badung dilanda suatu masalah sehingga raja badung { gusti pinatih } meninggalkan badung menuju desa guliang klungklung, maka bendesa mas badung datang menghadap ke pada betara arya kenceng supaya menganugerahkan seorang puteranya untuk di nobatkan sebagai raja badung, maka dari itu arya kenceng menganugerahkan putera yang ketiga yaitu kyai tegeh kori untuk dinobatkan sebagai raja badung dan bila berputera nanti semoga ada yang kembali ke wilayah mengwi maka kyai tegeh kori akhirnya di boyong ke badung oleh bendesa mas dan kemudian bendesa mas mempersembahkan puterinya untuk diperistri oleh kyai tegeh kori sebagai pusat kerajaan ada di wilayah tegal sebelah selata kuburan badung.

Kini diceritakan kembali kyai tegeh kori dengan istri bendesa mas berputera dua orang yaitu :
  1. kyai gede tegeh dan
  2. kyai made tegeh
selanjutnya kyai gede tegeh sebagai putera mahkota tetap tinggal di badung namun kyai made tegeh dengan keris I kala tadah pergi kearah utara sampai di mengwi membuat puri dan menjadi raja mengwi sebagai mana pesan kakeknya kepada kyai tegeh kori dengan pebencangah tri mandala maka sebagai seorang raja yang menganut darma agama maka beliau juga membuat tri kayangan namun yang pertama dibuat adalah pura dalem atau oleh beliau disebut pura dalem blerong, barulah kemudian beliau membangun pura desa puseh , pura penataran dalem serta ulun suwi di mana letak pura desa yang pertama di sebelah barat batas desa beringkit dan mengwi.

Kyai made tegeh yang kemudian bergelar kyai agung anglurah mengwi I yang berkuasa dari sebelah utara atau barat beringkit sampai di kuwum sembung dengan wilayah yang cukup luas maka banyak rakyat daerah lain datang untuk mengabdi. Sekitar tahun 1408 M kyai made tegeh sebagai raja mengwi bersama kaki twa membangun sebuah pura di pesisir tanah let di atas sebidang batu pipih di bawah pohon kendung sebagai penyiwian jagat { pura subak } sebagai tempat bersemayam hyang sedana tra kemudian pura itu diberi nama pura luhur pekendungan pada masa pemerintahan dalem ketut ngulesir { sri semara kepakisan } yang merupakan pendiri puri gelgel dan masa pemerintahan kyai langwang yang baru memindahkan pusat kerajaan ke tabanan dari buahan.

Sekitar tahun 1478 danghyang nirartha datang ke bali pada masa pemerintahan dalem waturengong berkuasa di gelgel {majapahit mengalami keruntuhan }danghyang nirartha sempat sembahyang ke pura luhur pekendungan dan setelah usai beliau pergi kearah timur laut di sana beliau menancapkan sebuah tanda {sawen} lalu pergi ke wilayah mengwi ,karena merasa kehausan danghyang nirartha meminta air minum namun rakyat memberikan air dengan mempergunakan alat sehari hari { cedok },maka beliau mengatakan etika rakyat itu tani dan beliau bertanya apakah nama wilayah ini ? rakyat itu menjawab mengwi maka danghyang nirartha bertanya lagi apakah ada raja atau ratu ,maka rakyat itu menjawab ada disebelah utara maka akhirnya danghyang nirartha bersabda mulai saat itu pusat mengwi di beri nama mengwitani dengan batas di sebelah utara puri { bantas } dan sebagian mengwi utara di beri nama mengwi gede.

maka beliau melanjutkan perjalanan ke utara setelah dijemput oleh utusan raja mengwi di mana beliau akhirnya mendapatkan penghormatan yang cukup maka beliau akhirnya menyarankan raja mengwi untuk membuat sebuah pura di sebelah timur laut pura luhur pekendungan yang telah di beri tanda { sawen} maka kemudian setelah selesai raja mengwi memberikan nama pura tersebut pura dangin sawen

Akhirnya beliau melanjutkan perjalanan ke Mengwi bagian utara ,karena rakyat amat berbakti maka dibangunlah duabuah pura bernama pura taman sari dan Pura Sakti serta memberikan anugrah kepada rakyat atas permohonannya untuk menjadi brahmana dengan satu sisia {rakyat} juga menetapkan daerah tersebut bernama Mengwi Gede.namun tri kahyangan tetap berada di selatan namun hal tersebut baru terlaksana atau terealisasi ketika I gusti agung putu mulai menjadi raja di mengwi pada tahun 1700M

Ketika danghyang nirartha melanjutkan perjalanan ke timur , rakyat di sana sedang melakukan pesta di mana mereka membuat babi guling begitu mendengar danghyang nirartha datang maka spontan rakyat tersebut menyembunyikan babi guling tersebut di bawah atap angkul-angkul seraya rakyat tersebut mengintip dari balik sebelah daun pintu {pintu kuadi} maka danghyang nirartha sedikit kesal, lalu mengutuk babi guling itu menjadi mentimun {timun guling} maka mulai saat itu daerah / desa tersebut di beri nama Gulingan dan bersabda rakyat di daerah itu tidak boleh menggunakan pintu berdaun dua
.

masa akhir kekuasaan raja mengwi I datanglah seorang utusan Dalem Waturenggong yang bermimpi melihat tanah Garu ( harum ) di wilayah Mengwi , maka diutuslah seorang pejabat dari Arya Petandakan untuk menelusuri keberadaan tanah tersebut, namun beliau mengingatkan supaya Arya Petandakan setelah sampai di kerajaan Mengwi mohon ijin terlebih dahulu ke pada raja kerajaan Mengwi yaitu Kyai Made Tegeh yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi I. Setelah tanah harum itu didapat Arya Petandakan bukannya kembali ke Gelgel untuk melaporkan kepada Dalem Waturenggong justru tanah tersebut ditempati sendiri oleh Arya Petandakan.

Maka Dalem Waturenggong setelah sekian lama menunggu akhirnya beliau bersama pengawalnya berangkat menuju kerajaan Mengwi dan langsung menuju Puri Mengwi bertemu dengan Kyai Agung Anglurah Mengwi I. Setelah diadakan perjamuan serta mendapat penjelasan yang cukup dari Raja Mengwi maka Dalem Waturewnggong berniat menemui Arya Petandakan. Namun di tengah jalan beliau berhenti karena beliau merasa tidak pantas lagi menempati tanah tersebut. Maka dari tempat itulah beliau bersabda bahwa Arya Petandakan tidak pantas dan tidak akan bisa menjadi raja untuk selanjutnya. Maka belakangan di tempat beliau ( Dalem Waturenggong ) bersabda itulah dibangun sebuah pura bernama Pura Dalem Waturenggong / pura batur oleh rakyat Mengwi pada masa pemerintahan Kyai gede tegal ( Kyai Agung Anglurah Mengwi II )

Kyai Agung Anglurah Mengwi II setelah ditinggal wafat oleh ayahnya beliau juga membangun sebuah pura di sebelah tenggara puri untuk mengenang kebesaran serta kemuliaan ayahnya sebagai pendiri kerajaan mengwi yang kemudian diberi nama Pura Pelet ( Ida Ratu Gede atau Ida Ratu Ngurah Agung ).

Pada saat terjadi pembrontakan Kyai Batan Jeruk terhadap Dalem Bekung maka kyai gede tegal ( Kyai Agung Anglurah Mengwi II ) bersama raja badung III { tegeh kori }serta raja tabanan { Cokorde winalwan } bersama sama menumpas atau mengusir kyai batan jeruk dari gel gel dan kyai batan jeruk melarikan diri kearah timur dengan menyeberangi tukad unda, maka atas jasa tersebut semua pemimpin pasukan yang membantu dalem bekung baik tabanan, badung, maupun mengwi mendapat hadiah berupa keris, namun raja mengwi mohon di berikan sesuatu yang oleh raja mengwi dilihat menyala di dalam gedong penyimpanan pusaka maka oleh dalem karena senjata itu belum sempurna dan berbentuk tombak sehingga diberi nama Ki baru pandak.

Kyai ngurah pemayun yang bergelar { kyai agung anglurah mengwi III } turut menggempur kekuasaan ngurah telabah di kuta bersama raja badung IV { tegeh kori } ketika ngurah telabah mendurhaka dengan melarikan diri serta meninggalkan prajurit ketika berhadapan dengan kebo mundar { lombok }, maka dari itu wilayah kuta merupakan wilayah mengwi juga, dari badung yang gugur pada saat itu adalah kyai putu tegeh yang merupakan paman dari kyai macan gading dan jambe merik serta gelogor.

Kyai ngurah pemayun yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi III menerima wilayah jimbaran dan kuta ketika puteri raja badung IV yang bernama kyai luh tegeh kawin dengan kyai ngurah agung, kyai ngurah pemayun (kyai Agung Anglurah mengwi III) melamar putri raja badung ke IV yang bernama kyai luh tegeh. Dimana kyai luh tegeh sebenarnya telah bertunangan dengan kyai jambe merik namun raja mengwi tetap melamar juga kepada raja badund IV { tegeh kori }.

Kyai jambe merik adalah putera dari kyai jambe pole namun lamaran raja mengwi akhirnya diterima juga oleh raja badung , karena beliau berdua adalah mindon oleh raja badung kemengwi di anggap lebih pantas dan lebih agung maka diperintahkan juga untuk mencari hari baik namun raja mengwi tidak membuang kesempatan segera memboyong kyai luh tegeh untuk dipertemukan dengan puteranya sehingga kejadian ini memangkitkan kemarahan kyai jambe merik dan kyai macan gading serta ayahnya yaitu kyai jambe pole maka digempurlah kekuasaan tegeh kori di badung. Untuk itu raja badung IV dari dinasti tegeh kori jatuh dan beralih ke utara untuk tinggal sementaa di kapal. Karena permintaan bantuan kepada raja mengwi tidak dihiraukan dengan utusan kyai ketut timbul { kesah ke denbukit } maka dari itu raja badung IV bersama putera tertua beralih ke tegal tamu.


Beliau juga pernah melakukan perang tanding dengan raja Denbukit Panji sakti ketika anaknya dilamar atau dipinang yang bernama Gusti Ayu Rai.

Setelah runtuhnya tegeh kori akhirnya kyai jambe merik membangun puri di sebelah timur tukad badung bernama peken pasah, kyai macan gading membangun kuri pemecutan. Di mana panji sakti ketika hendak memperluas wilayah kekuasaannya ke badung di mana di puri pemecutan yang berkuasa saat itu adalah kyai macan gading dengan seorang puteranya yang masih muda namun perkasa ,ketika peperangan berlangsung pasukan panji sakti dapat dipukul mundur oleh putera perkasa tersebut kemudian putera tersebut bergelar betara sakti pemecutan

Ketika panji sakti mundur dari daerah badung maka panji sakti dapat mampir ke puri mengwi serta dijamu dengan baik oleh raja mengwi di situlah panji sakti melihat puteri raja mengwi yang bernama gusti ayu rai seketika itu pula panji sakti mohon pamit kepada raja mengwi untuk kembali ke denbukit Setelah sampai di Denbukit maka disitulah Panji Sakti mengutus patih kerajaan untuk segera meminang putri raja Mengwi yang bernama I Gustu Ayu Rai, namun sayang pinangan tersebut dianggap penghinaan oleh raja Mengwi, di situlah akhirnya raja Mengwi kembali mengutus patih tersebut untuk supaya Panji Sakti datang sendiri dan berperang ( Perang Tanding ) dengan raja Mengwi, dan jika bisa mengalahkan raja Mengwi barulah Panji Sakti bisa memboyong Gusti Ayu Rai untuk dijadikan permaisuri.

Setelah selesai patih melaporkan maka Panji Sakti cepat naik pitam dikerahkannya pasukan untuk segera berangkat ke kerajaan Mengwi. Baru sampai di perbatasan kerajaan Mengwi yaitu desa Perean dan Kuwum pasukan di hentikan untuk istirahat di situ pula seorang pembesar diutus untuk menghadasp raja Mengwi untuk segera menyerahkan Gusti Ayu Rai, Namun raja Mengwi kembali mengutusnya supaya Panji Sakti lekas kembali ke Denbukit jika takut perang tanding melawan raja Mengwi karena yang dikehendaki oleh raja Mengwi bukanlah pertempuran antara prajurit dan rakyat maka Panji Sakti akhirnya melanjutkan perjalanan dan sesampainya di Mengwi Panji Sakti menyatakan siap akan perang tanding,

namun raja Mengwi malah menyuruh Panji Sakti untuk beristirahat dengan baik supaya raja Mengwi tidak di anggap menyerang lawan dalam posisi lemah karena perang tanding akan dilaksanakan keesokan harinya. Di sana pula raja Mengwi menyuruh prajurit beliau untuk menjamu prajurit Denbukit serta beliau meyakinkan kedua belah pihat bahwa tidak ada perang antar prajurit atau rakyat.

Untuk lebih meyakinkan prajurit Mengwi ikut bergabung bersama prajurit Denbukit. Setelah hari dan saat yang dinanti tiba baik raja Mengwi atau Panji Sakti bersiap-siap untuk perang tanding, setelah keduanya menyatakan siap, maka perang tandingpun di mulai. Beliau sama-sama tangkas serta cakap dalam taktik perang dan menggunakan senjata, setelah seharian penuh beliau berdua menguras keringat maka perang tandingpun dihentikan oleh raja Mengwi, maka raja Mengwi bersabda bahwa dalam perang tanding itu tidak ada yang kalah maupun yang menang disitulah Panji Sakti bersabda bahwa beliau juga mengakui keberadaan serta kesaktian raja Mengwi, oleh karena Panji Sakti merasa tidak mampu mengalahkan Raja Mengwi

Maka sore itu juga beliau mohon diri untuk kembali ke Denbukit namun hal itu dihalangi oleh raja Mengwi serta beliau bersabda kembali bahwa tujuan ayahmu ini perang tanding hanya supaya anakku Panji Sakti mengetahui serta tidak meremehkan keberadaan ayahmu sebagai raja Mengwi maka perang tanding harus dilaksanakan, jika anakku Panji Sakti kembali ke Denbukit sebaiknya lanjutkan perjalanan esok hari serta ajaklah adikmu Gusti Ayu Rai ikut serta ke Denbukit dan jadikan permaisuri.


Sekitar tahun 1639 sampai 1641 Sri Dimade memerintahkan ngurah Tabanan ( Kyai Wayan Pemadekan, Kyai Made Pemadekan dan Ngurah Tamu Pacung ) untuk menyerang Blambangan guna mengusir prajurit Mataram yang telah menduduki wilayah itu. Namun Kyai Wayan Pemadekan dapat ditawan dan dijadikan menantu oleh raja Mataram sehinggga berputra Raden Tumenggung.

Setelah Kyai Made Pemadekan kembali dan tidak berapa lama meninggal di Tabanan maka ayahnya yang bergelar Cokerde Winawan menggantikan untuk sementara waktu mengingat cucu-cucunya masih kecil saat itu beliau bergelar Cokorde Mekules. Kyai Ngurah Agung ( Kyai Agung Anglurah Mengwi IV ) yang beristrikan Kyai Luh Tegeh dari Badung atas perintah Cokorde Mekules Tabanan supaya membantu Ngurah Ayunan dalam menghadapi kakaknya Ngurah Tamu ( Pacung ). Setelah berhasil mengalahkan Kyai Ngurah Tamu maka semua kekayaan diambil alih oleh Kyai Ngurah Ayunan dan semua prajurit ( wadua ) diambil alih oleh raja Mengwi ( Kyai Ngurah Pupuan )

Kyai ngurah agung yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi IV atas perintah Cokorde Mekules beliau membantu Ngurah Ayunan untuk menyerang kakaknya yaitu kerajaan Pacung ( Kyai Ngurah Tamu ) yang berada di sebelah selatan ayunan dan sebelah uatara kapal, setelah kyai ngurah ayunan menang beliau bergelar kyai ngurah pacung sakti dan pindah dari ayunan ke perean .

Kyai ngurah tegeh { kyai agung anglurah mengwi V } dan gusti ayu bongan yang beribukan kyai luh tegeh putera raja badung ke IV, yang mana kemudian I gusti ayu bongan kawin lagi dengan putera kyai macan gading yang bernama betara sakti pemecutan maka dari itu wilayah kuta dan jimbaran kembali diserahkan kepada betara sakti pemecutan.

Kyai agung anglurah mengwi V pernah menumpas pembrontakan diarah barat daya dari pandak gede ketika itu beliau meninggalkan sebagian prajuritnya ditimur hanya beliau beserta sebagian prajuritnya menyerang kearah barat namun begitu berhasil menumpas gerakan yang ada dibarat serta merta begitu melihat ke timur maka prajurit beliau { mengwi } juga dapat ditaklukkan oleh musuh maka dari itu beliau memutuskan dan bersabda kepada prajurit pengiring supaya mengikuti beliau berjalan kearah musuh dengan memangul pusaka ki baru pandak dengan catatan jika prajurit lawan tidak mendahului maka prajurit mengwi juga tidak boleh menyerang.

Mana kala beliau berjalan di tengah tengah musuh yang telah memberikan jalan karena prajurit musuh melihat api besar sebesa kurungan ayam diatas pusaka yang di panggul oleh raja mengwi.
Kyai ngurah tegeh juga mendirikan pura bernama pura dalem sari di sebelah selatan puri , ceritanya dilanjukkan dibelakang

Kyai ngurah gede agung yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI bersama Ngurah Cemenggon Beringkit beserta Ngurah Ngui { Petandakan } menyerahkan kerajaan serta mandat kekuasaan kepada Gusti Agung Putu di Belayu sebagai bukti setia Kyai Agung Anglurah Mengwi VI menyerahkan sebuah senjata tombak sakti bernama Ki Baru Pandak, maka pada saat itulah putera betara sakti pemecutan datang dan berteduh di bawah pohon beringin di depan pura desa beringkit dengan menyandarkan senjata pusaka sehingga menyebabkan beringin itu mengeluarkan asap maka oleh gusti beringkit beliau di antar ke puri agung pupuan mengwi .

Namun karena kyai agung anglurah mengwi IV barusaja menyerahkan kekuasaan kepada I gusti agung putu di belayu atas kerajaan mengwi maka dari itu putera tersebut yang bernama kyai lanang pupuan ( kyai pupuan )di ajak tinggal bersama di puri Agung pupuan saren kelod oleh pamannya kyai ngurah gede agung dan salah seorang pengiring / abdi beliau dari keluarga penataran ( bandem ) di berikan tempat di sebelah utara puri . ketika I gusti agung putu pindah dari belayu ke bekak dan mengalahkan pasek badak maka keluarga penataran tersebut di haturkan untuk di jadikan bala putra { bata batu }
.

Diceritakan kembali setelah Kyai Nyoman Pemedilan atau Kyai Macan Gading Wafat di Watuklotok dalam pertempuran menumpas pembrontakan Kyai Agung Dimade pada masa pemerintahan Dalem Dimade maka Kyai Agung Dimade setelah merasa terdesak oleh pasukan Panji Sakti dan Dewa Jambe maka mundur kearah barat dan sampai di Jimbaran yang merupakan wilayah kerajaan badung { pemecutan } sebagai tatadan I gusti ayu bongan puteri raja mengwi IV maka atas perintah cokorde sakti Pemecutan kepada bawahannya supaya mengusir kyai agung dimade dari jimbaran maka kyai agung dimade beralih ke kapal bersama putera yang ke II bernama kyai agung made anom karena memang raja kapal adalah saudaranya dan I gusti agung putu yang merupakan putera pertama dari kyai agung dimade tinggal di kuramas.

Belakangan setelah panji sakti berputra Panji Wayahan dan memegang kekuasaan di Denbukit maka di kerajaan Mengwi terjadi pelimpahan kekuasaan dimana I Gusti Agung Putu cucu dari I Gusti Agung Dimade ( I Gusti Agung Badeng ) Setelah berhasil dalam semedi di Puncak Mangu maka beliau bersama 40 rakyat ( pengiring ) dari Marga berhasil merabas hutan yang angker dan beliau membangun puri, darisana kemudian daerah itu di sebut Belayu ( Bala Ayu).

Nah disitulah Raja Mengwi yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI menyerahkan kerajaan serta mandat kekuasaan atas kerajaan Mengwi yang terbentang dari sebelah barat dan utara beringkit sampai sebelah selatan Perean kepada I Gusti Agung Putu sebagai bukti setia dan tunduk maka Kyai Agung Anglurah Mengwi VI yang kemudian disebut Ngurah Pupuan menyerahkan sebuah senjata tombak sakti bernama Ki Baru Pandak.

Belakangan beliau berpindah dari Belayu ke Bekak pada saat peresmian puri tersebut maka di situlah Pasek Badak diundang dan dikalahkan, lagi-lagi atas nasehat orang Cina maka puri di pindah lagi kearah tenggara serta tetamanan beliau yang bernama Taman Ganter diserahkan kepada rakyat dan orang Cina tersebut membangun taman baru di antaran dua sungai dengan cara bembendung di sebelah selatan maka kelihatan taman tersebut berada di tengah danau yang kemudian bernama Taman Ayun
.

Pura Taman Ayun
Setelah
kerajaan dirasa aman kehidupan rakyat makin baik dan tentram karena I Gusti Agung Putu mampu memimpin rakyatnya serta berwibawa. Ketentraman sedikit terusik oleh ulah Panji Wayahan yang ingin memperluas wilayah kerajaan Denbukit seperti cita-cita ayahnya kearah selatan. Di situlah I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorde Sakti Mengwi menjadi murka dan segera mengerahkan prajurit untuk menggempur kekuasaan Panji Wayahan di Denbukit, maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat, yang mana akhirnya terjadi kekalahan di pihak Panji Wayahan. Disitulah akhirnya Panji Wayahan supaya Denbukit tidak dikuasai oleh Mengwi maka wilayah Blambangan yang dulu didapat oleh ayahnya kini di serahkan kepada raja Mengwi.

Pada suatu hari raja Mengwi hendak melihat-lihat daerah jajahannya yaitu Blambangan, pada saat beliau hendak berangkat maka beliau menitipkan kerajaan Mengwi kepada raja Tabanan yang sekaligus paman dari hubungan nenek yaitu Gusti Alit Dauh di mana dulu gusti alit dauh pernah dibantu oleh kyai agung dimade { kyai agung badeng } ketika hendak mengalahkan kyai malkangin dengan bantuan kyai agung dimade { kyai agung badeng } kapal, yang kemudian bergelar Sri Megada Sakti. Setelah cokorde sakti mengwi datang dari Blambangan maka beliau bergelar Cokorde Sakti Blambangan.


Kini diceritakan kembali I Gusti Agung Putu setelah menerima senjata Tombak Sakti Ki Baru Pandak, lalu beliau mengutus kembali Ngurah Pupuan untuk mengempur kekuasaan Ngurah Batu Tumpeng ( Kekeran ) karena beliau teringat akan masa lalu dimana beliau pernah dikalahkan oleh Ngurah Batu Tumpeng atas nama raja Mengwi. Setelah Ngurah Batu Tumpeng kalah dan terbunuh ada sebagian keluarganya yang lari kearah barat.


RAJA RAJA MENGWI

  1. Gusti Agung Sakti (Gusti Agung Anom) (1690-1722)
  2. Gusti Agung Made Alangkajeng (1722-1740)
  3. Gusti Agung Putu Mayun (1740-an)
  4. Gusti Agung Made Munggu (1740-1770/80)
  5. Gusti Agung Putu Agung (1770/80-1793/94)
  6. Gusti Ayu Oka Kaba-Kaba (regent 1770/80-1807)
  7. Gusti Agung Ngurah Made Agung I (1807–1823)
  8. Gusti Agung Ngurah Made Agung II Putra (1829–1836)
  9. Gusti Agung Ketut Besakih (1836-1850/55)
  10. Gusti Agung Ngurah Made Agung III (1859–1891)