Selasa, 31 Mei 2011

RANGGALAWE



Ranggalawe adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai "pemberontak" pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban, Jawa Timur, sampai saat ini.



PERAN AWAL

Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja Bupati Songeneb (nama lama Sumenep). Ia sendiri bertempat tinggal di Tanjung, yang terletak di Pulau Madura sebelah barat.


Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti "benang", atau dapat juga bermakna "kekuasaan". Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.

Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri.Penyerangan terhadap ibukota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit=Mongol terjadi pada 1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. Ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.


JABATAN DI MAJAPAHIT
Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun Prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.


Muljana mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit.

Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.


TAHUN PEMBERONTAKAN


Pararaton menyebut pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295, namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Menurut naskah ini, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik takhta. Sedangkan menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309. Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1309, bukan 1295.

Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan dalam penyebutan angka tahun. Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di istana Daha. Selain itu Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara.


Fakta lain menunjukkan, nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara sama-sama terdapat dalam Prasasti Kudadu tahun 1294, namun kemudian keduanya sama-sama tidak terdapat lagi dalam Prasasti Sukamreta tahun 1296. Ini pertanda bahwa Arya Adikara alias Ranggalawe kemungkinan besar memang meninggal pada tahun 1295, sedangkan Arya Wiraraja diduga mengundurkan diri dari pemerintahan setelah kematian anaknya itu.

Jadi, kematian Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 bertepatan dengan pengangkatan Jayanagara putra Raden Wijaya sebagai raja muda. Dalam hal ini pengarang Pararaton tidak melakukan kesalahan dalam menyebut tahun, hanya saja salah menempatkan pembahasan peristiwa tersebut.

Sementara itu Nagarakretagama yang dalam banyak hal memiliki data lebih akurat dibanding Pararaton, sama sekali tidak membahas pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah ini merupakan sastra pujian sehingga penulisnya, Mpu Prapanca, merasa tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang pahlawan yang dianggapnya sebagai aib.


JALANNYA PERTEMPURAN


Pararaton mengisahkan Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan daripada Nambi.

Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibukota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.

Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban. Oleh Mahapati yang licik, Nambi diberitahu bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.

Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam. Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Sora pada tahun 1300.


SILSILAH RANGGALAWE


Kidung Ranggalawe dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Ranggalawe memiliki dua orang istri bernama Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani.

Kedua naskah di atas menyebut ayah Ranggalawe adalah Arya Wiraraja. Sementara itu, Pararaton menyebut Arya Wiraraja adalah ayah Nambi. Kidung Harsawijaya juga menyebutkan kalau putra Wiraraja yang dikirim untuk membantu pembukaan Hutan Tarik adalah Nambi, sedangkan Ranggalawe adalah perwira Kerajaan Singasari yang kemudian menjadi patih pertama Majapahit.

Uraian Kidung Harsawijaya terbukti keliru karena berdasarkan Prasasti Sukamreta tahun 1296 diketahui nama patih pertama Majapahit adalah Nambi, bukan Ranggalawe. Nama ayah Nambi menurut Kidung Sorandaka adalah Pranaraja. Brandes menganggap Pranaraja dan Wiraraja adalah orang yang sama. Namun, menurut Muljana keduanya sama-sama disebut dalam Prasasti Kudadu sebagai dua orang tokoh yang berbeda. Menurut Muljana, Nambi adalah putra Pranaraja, sedangkan Ranggalawe adalah putra Wiraraja. Hal ini ditandai dengan kemunculan nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara dalam Prasasti Kudadu, dan keduanya sama-sama menghilang dalam prasasti Sukamreta sebagaimana telah dibahas di atas.


DALAM DONGENG


Nama besar Ranggalawe rupanya melekat dalam ingatan masyarakat Jawa. Penulis Serat Damarwulan atau Serat Kanda, mengenal adanya nama Ranggalawe namun tidak mengetahui dengan pasti bagaimana kisah hidupnya. Maka, ia pun menempatkan tokoh Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Menak Jingga. Damarwulan sendiri merupakan tokoh fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan bukti-bukti sejarah, serta tidak memiliki prasasti pendukung.


Dalam versi dongeng ini, Ranggalawe dikisahkan sebagai Adipati Tuban yang juga merangkap sebagai panglima angkatan perang Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Kencanawungu. Ketika Majapahit diserang oleh Menak Jingga adipati Blambangan, Ranggalawe ditugasi untuk menghadangnya. Dalam perang tersebut, Menak Jingga tidak mampu membunuh Ranggalawe karena selalu terlindung oleh payung pusakanya. Maka, Menak Jingga pun terlebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe yang bernama Wongsopati. Baru kemudian, Ranggalawe dapat ditewaskan oleh Menak Jingga.

Tokoh Ranggalawe dalam kisah ini memiliki dua orang putra, bernama Siralawe dan Buntarlawe, yang masing-masing kemudian menjadi bupati di Tuban dan Bojonegoro.


Kepustakaan

  1. Muljana, Slamet. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS.
  2. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS.
  3. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.
  4. Yogyakarta: LKiS. http://id.wikipedia.org/wiki/Ranggal..._pemberontakan

Senin, 30 Mei 2011

SITUS YONI PENINGGALAN MAJAPAHIT

YONI KLINTERJO

Situs ini terletak di Desa Klinterjo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, situs ini lebih dikenal dengan sebutan Situs Watu Ombo atau Situs Resi Maudoro. Pusat situs adalah sebuah bangunan kuno yang terbuat dari batu andesit berbentuk Yoni, berukuran 1,90 m x 1,8 m dengan tinggi sekitar 1,24 m.


Yoni ini penuh hiasan dan pada salah satu sisinya terpahat angka tahun 1293 Saka (1372 M). Berdasarkan penuturan Kitab Pararaton, angka tahun tersebut adalah merupakan angka tahun meninggalnya ibunda Raja Hayamwuruk (Tribhuwana Tunggadewi atau Rani Kahuripan).

Di bagian lain dari kompleks Yoni Klinterjo ini terdapat sebuah sandaran batu yang besar (terkenal dengan sebutan Watu Ombo), yang menurut cerita akan dipahatkan arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi, tetapi belum sempat terselesaikan.


SITUS YONI SEDAH


YONI berhiaskan Naga Raja teronggok di tengah sawah di Dusun Sedah, Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Naga Raja adalah binatang mitologi jelmaan Dewa Wasuki dalam kitab Mahabharata. Tubuh naga itu membelit Gunung Mandara.

Kedua ujungnya ditarik dewa dan daitya (raksasa), sehingga gunung tersebut berputar mengebor air kehidupan. Yoni ini adalah yoni terbesar ke dua setelah Yoni Klinterjo yang terdapat di desa Klinterjo, Trowulan, Mojokerto.

Petilasan/yoni di Sedah (Japanan) ini diyakini sebagai batas barat daya ibu kota kerajaan Majapahit.


SITUS YONI BADAS

Kompleks bangunan di bagian barat laut diperkirakan terdapat di wilayah Jombang juga, tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas, Kecamatan Sumobito.

Di lokasi ini tersebar beberapa struktur bata, tetapi belum dilakukan penggalian secara intensif. Sayangnya pula, sejauh penelusuran di lapangan, tidak ditemukan yoni kerajaan berpahat nagaraja, kecuali sebuah yoni kecil polos dan sederhana, yang ditemukan di tepi jalur rel kereta api, setelah beberapa kali dipindahkan penduduk.

Berikut ini foto perkiraan Yoni Badas, yang saat ini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.


Di gedung lama Museum Nasional (pada tahun 1994 pemerintah membangun gedung baru dengan style yang sama dengan gedung asli di sebelah Utaranya), tepatnya di depan arca raksasa Bhairawa Budha dari Padang Roco, pada bagian tengah selasar yang tak beratap, teronggok sebuah Yoni dengan nomor inventaris 366a, yoni tersebut dihias dengan pahatan sulur-suluran yang cukup kaya, berhiaskan relief Naga Raja pada bagian ceratnya dan berbentuk segi delapan. Sayangnya, selain nomor inventaris di badan yoni, tidak terdapat keterangan apapun mengenai keberadaan benda unik tersebut

Yoni Lebak-Jabung (ukiran Naga Rajanya telah rusak).


SITUS YONI LEBAK JABUNG


Situs Umpak Batu dan Yoni Lebak Jabung terletak di Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo. Situs ini berupa batu umpak yang berjajar (tiga baris berjumlah 33 buah) memanjang dari utara ke selatan yang diperkirakan merupakan semacam pondasi sebuah pedopo (jaba, balai bengong -Bali-). Dan di bagian jeroan (pusatnya) telah ditemukan sebuah Yoni yang diduga merupakan tanda batas ibukota Mojopahit sebelah Selatan Timur. Sekarang Yoni tersebut disimpan di Museum Trowulan.

Yoni Lebak Jabung tersebut, tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto.

PURA MASCETI

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU




PURA Masceti berstatus Pura Kahyangan Jagat, kerap didatangi oleh umat dari sejebag jagat Bali. Pura Masceti yang terletak di tepian pantai Desa Medahan-Keramas, Blahbatuh, Gianyar, kerap menjadi tempat mencari keheningan jiwa. Pura suci yang berusia tua yang juga merupakan kisah tapak tilas Dhang Hyang Dwijendra ini ramai dikunjungi di saat hari suci umat Hindu.

Setiap hari Purnama,
Tilem, Siwaratri bahkan saat diselenggarakan piodalan pada Anggarkasih, Medangsia jejalan umat selalu memadati pura untuk melakukan persembahyangan.

Liukan ombak pantai yang memecahkan karang menandakan kebesaran Tuhan yang tiada tandingannya. Tiupan angin laut Samudera Indonesia ini memecahkan keheningan umat yang dengan khusyuk melantunkan doa-doa memohon karunia dari Beliau yang berstana di Pura Masceti. Sebuah pura besar yang berada di tepian utara pantai untuk memuja Batara Wisnu dengan saktinya Dewi Sri guna memohon kamakmuran. Selain itu, di Pura Masceti juga sebagai tempat mencari kawisesan (kesaktian) dan ilmu pengobatan bagi para balian.


kata ''Masceti'' terdiri atas dua suku kata, yakni Mas (sinar) dan Ceti (keluar masuk). Namun soal keberadaan Pura Masceti ini tidak satu pun orang mengetahui kapan pertama kali Pura Masceti dibangun. Meski tak ada prasasti, sebagai bukti tertulis akan keberadaan pura ini ada bukti purana yang sumbernya dari kumpulan data dari berbagai prasasti yang menyebutkan keberadaan pura tersebut. Pura Masceti yang menjadi Pura Kahyangan Jagat ini juga berstatus sebagai Pura Swagina (profesi). Sebagai Pura Swagina, Pura Masceti bertalian erat dengan fungsi pura sebagai para petani untuk memohon keselamatan lahan pertanian mereka dari segala merana (penyakit).

keberadaan Pura Masceti berdasarkan Dwijendra Tatwa adalah kisah perjalanan suci tokoh rohaniwan dari tanah Jawa. Di sini disebutkan bahwa kisah perjalanan Danghyang Dwijendra, pada zaman Kerajaan Dalem Warturengong sekitar abad XIII. Saat itu Dhanghyang Dwijendra meninggalkan Desa Mas, melewati Banjar Rangkan, Desa Guwang, Sukawati, menuju pantai selatan ke timur ke daerah Lebih. Saat melewati Pura Masceti, di tengah sejuknya angin pantai, Dhanghyang Dwijendra merasakan dan mencium bau harum semerbak yang menandakan adanya Dewa yang turun. Sebuah cahaya tampak terlihat dari dalam Pura Masceti.

Dhanghyang Dwijendra pun masuk ke dalam pura yang pada waktu itu pelinggihnya hanya berupa bebaturan (bebatuan). Di sana beliau serta merta melakukan persembahyangan, menyembah Tuhan. Namun pada saat itu tidak diperkenankan oleh Ida Batara Masceti, mengingat Dhanghyang Dwijendra sebentar lagi melakukan moksa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura Masceti ini telah ada sebelum Dhanghyang Dwijendra datang ke Bali.

Kisah keberadaan Pura Masceti lebih jelasnya juga terdapat dalam Raja Purana I Gusti Agung Maruti, yang ada di Puri Keramas. Dalam naskah babad nomor 80.ab.81a. yang mengisahkan keberadaan I Gusti Agung Maruti saat menjadi raja selama 26 tahun di Kerajaan Gelgel, Klungkung dan juga dalam kisah keturunannya yang tersebar di jagat Bali, di antaranya di Desa Keramas, Gianyar.

Pada tahun 1672 (1750 M), I Gusti Agung Maruti bersamadi pada suatu malam di Cawu Rangkan (Jimbaran). Saat melihat bersamadi, dilihatlah ada sinar api, seperti warna emas di arah timur. Melihat keajaiban tersebut, berangkatlah I Gusti Agung Maruti mencari sinar tersebut hingga akhirnya tiba di tempat yang mengeluarkan cahaya emas itu. Baliau kemudian menemukan tempat suci yang terbuat dari bebaturan, berlokasi di dalam hutan dekat pantai.

Tempat suci bebaturan yang ditemukan tersebut adalah Pura Masceti (sekarang). Setelah mengaturkan persembahyangan dengan pasukannya, I Gusti Agung Maruti kemudian melanjutkan perjalanan menuju suatu wilayah yang kini dinamakan Desa Keramas. Sejak pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Keramas, bebaturan tersebut kemudian dilakukan penataan sekaligus perbaikan bangunan suci. ketenaran Pura Masceti terjadi setelah masa pemerintahan I Gusti Agung Maruti membangun kerajaan di Keramas.

Pura Masceti mempunyai struktur bangunan suci dengan menganut konsep Tri Mandala. pada bagian jeroan (Utama Mandala) di Pura Masceti terdapat beberapa pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Lima merupakan pelinggih Ida Batara Masceti sebagai pelinggih utama. Yang dipuja dalam hal ini adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri. Meru Tumpang Lima ini berdampingan dengan Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara Ulun Suwi, dan bagian selatan merupakan pemujaan Batara Segara, kemudian pelinggih Sedahan Penyarikan, Sedahan Dasar atau Pertiwi.

Pelinggih Pesimpangan Gunung Lebah (Batur) dan Gunung Agung. Kemudian terdapat pula pelinggih Ratu Nglurah Agung, Sedahan, Balai Pasamuan, Balai Pewedaan, Piasan/Panggungan dan Piasan Tiang Sanga. Di Utama Mandala pura juga pada bagian barat laut yang hanya dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih pesimpangan Batara Pura Gelap yang berada di Pura Besakih. Sebelah timur jeroan yang juga dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih Jero Kelodan istana Batara Ratu Mas Mayun. Serta taman yang terdapat Padmasana dan Sedahan.

Bagian Madya Mandala terdapat sebuah pohon besar yang di bawahnya terdapat pelinggih Batara Ratu Lingsir Baten Ketapang. Selain itu juga terdapat beberapa sedahan, dan wantilan sebagai tempat masanekan (istirahat) para pemedek yang tangkil ke pura. Sedangkan pada bagian jaba sisi terdapat Sedahan dan Balai Kulkul.


UPACARA PENEDUH


Dalam melaksanakan upacara piodalan di Pura Masceti yang menjadi penanggung jawab penuh adalah warga subak yang menjadi pengemong sekaligus pengempon pura yang berjumlah sebanyak 20 subak. Mereka berasal dari sekitar wilayah Desa Medahan, Keramas, dan Tedung. Meskipun penanggung jawab piodalan di Pura Masceti sebanyak 20 subak, setiap kali menggelar upacara yang wajib ngayah hanya klian (ketua) dan wakil klian bersama istrinya dibantu oleh warga lain yang menjadi pengayah.


Sebagai rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah dilimpahkan Ida Batara Masceti, setiap Anggarkasih Kulantir dilaksanakan upacara Ngusaba Tipat. Selain itu juga digelar upacara ngaturan berem setiap Anggarkasih Julungwangi.

Senin, 23 Mei 2011

PURA KENTEL BUMI

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU


Pura Kentel Gumi terletak di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Pura Agung Kentel Gumi didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Babad Bendesa Mas. Dalam lontar tersebut dinyatakan atas kehendak Mpu Kuturan didirikanlah Pura Penataran Agung Padang di Silayukti, Pura Gowa Lawah, Pura Dasar Gelgel, Pura Klotok dan Pura Agung Kentel Gumi.

Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan di bumi akan tegak atau ajeg apabila dilakukan kesadaran rohani. Pura Silayukti di Padang, Karangasem itu adalah Asrama Mpu Kuturan. Fungsi asrama adalah untuk mendidik dan melatih umat mendapatkan pemahaman akan kerohanian.

Hiranyagarbhah samavartatagre
Bhutasya jatah patireka asit,
Sa dadhara prthivim dyam utemam
Kasmai devaya havisa vidhema (Rgveda X.121.1)

Maksudnya:

Tuhan Yang Mahaesa yang menguasai planet ada dalam diri-Nya. Tuhan itu mahatunggal sebagai pencipta segala. Tuhanlah sebagai penyangga bumi dan langit, sebagai dewata tertinggi sumber kebahagiaan yang suci, kami persembahkan doa kebaktian dengan ketulusan hati.


MENEGAKKAN bumi dimaksudkan menegakkan kebenaran dengan perilaku mulia. Perilaku mulia menegakkan bumi ini diawali dengan meyakini bahwa Tuhanlah sebagai pencipta dan penyangga bumi dan langit. Tujuan Tuhan menciptakan bumi dan langit adalah sebagai wadah kehidupan semua makhluk terutama manusia untuk memperbaiki kualitas perilakunya. Mengawali perbaikan kualitas perilaku dengan meningkatkan pemujaan pada Tuhan dengan doa persembahan.

Demikianlah Pura Kentel Gumi didirikan untuk menegakkan kualitas perilaku di bumi. Kentel Gumi sama dengan istilah dalam bahasa Bali yaitu enteg gumi yang maknanya tegaknya stabilitas keharmonisan hidup di bumi ini. Pura Goa Lawah adalah pura untuk mendapatkan pemahaman akan kedudukan dan fungsi samudera. Samudera kena sinar matahari berproses menjadi mendung. Mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh hutan yang tumbuh di gunung. Proses alam itulah yang menyebabkan terjadinya kesejahteraan. Karena itu Pura Goa Lawah disebut stana Tuhan sebagai Hyang Basuki atau Batara Telenging Segara. Basuki artinya rahayu atau selamat.

Sementara Pura Dasar Gelgel adalah tempat suci untuk mempersatukan umat berdasarkan kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan untuk bereksistensi sesuai dengan swadharma masing-masing. Pelinggih leluhur berbagai warga di Pura Dasar Gelgel untuk mengingatkan pada pemujaan roh suci leluhur (Dewa Pitara), bukan untuk membeda-bedakan harkat dan martabat manusia.

Pura Klotok adalah tempat memohon Tirtha Amerta Kamandalu (air suci kehidupan) sebagai puncak dari prosesi ritual melasti. Hal itulah sebagai simbol yang melukiskan jalannya kehidupan untuk mencapai Kentel Gumi atau tegaknya kehidupan. Itulah warisan zaman Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi. Dalam Lontar Purana Pura Agung Kental Gumi diceritrakan perjalanan seorang raja dari Tegal Suci Mekah menuju Bali atau Bangsul. Sampai di Desa Tusan, Klungkung, Raja berkehendak mendirikan pemujaan.

Salah seorang pengikut Raja bernama Arya Kenceng ditugaskan mewujudkan kehendak sang Raja. Untuk itu maka didirikanlah Meru Tumpang 11, Padmasana, Meru Tumpang 9 stana Batara Maha Dewa, Meru Tumpang 7 stana Batara Segara, Meru Tumpang 5 stana Batara di Batur, Meru Tumpeng 3 stana Batara Ulun Danu dan pelinggih Basundhari Dasa.

Adanya nama Arya Kenceng dalam Lontar Purana Pura Agung Kentel Gumi sebagai pengikut Raja sangat besar kemungkinannya peristiwa itu terjadi abad ke-14 Masehi saat ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Nama Arya Kenceng atau Arya Ken Jeng menurut Lontar Babad Tabanan adalah seorang kesatria dari Kauripan (Kediri, Jawa Timur) yang bersaudara dengan Arya Dharma, Arya Sentong, Arya Kuta Waringin, dan Arya Belog. Adanya nama tempat Tegal Suci Mekah kemungkinan nama Pulau Jawa pada abad ke-14 Masehi itu. Jadi, Pura Kentel Gumi mungkin diperluas saat raja keturunan Raja Sri Kresna Kepakisan berkuasa di Bali.

Setelah pemerintahan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berakhir atas ekspedisi Gajah Mada ke Bali maka yang memegang tampuk pemerintahan di Bali adalah keturunan Sri Kresna Kepakisan. Kekuasaan raja dari Jawa ini baru stabil atau kentel saat berpusat di Klungkung. Pada mulanya pusat kerajaan di Samprangan, Gianyar terus pindah ke Gegel. Dari Gelgel lanjut pindah ke Semarapura atau Klungkung. Perpindahan pusat kerajaan ini menandakan keadaan kerajaan tidak stabil karena banyak gangguan.

Setelah pusat kerajaan berada di Klungkung inilah keadaan kerajaan baru stabil artinya keadaan gumi Bali menjadi kentel. Kemungkinan istilah enteng gumine dalam bahasa Bali yang sangat populer sampai sekarang di Bali berasal dari zaman stabilnya keadaan Bali di abad ke-14 Masehi itu. Keadaan stabil itu mungkin baru dapat diwujudkan setelah adanya perhatian pada Pura Agung Kentel Gumi yang memang sudah ada sejak zaman Mpu Kuturan.

Pura Kentel Gumi ini di bagian jeroan pura ada tiga kelompok pura. Ada kelompok Pura Agung Kentel Gumi, kelompok Pura Maspahit, dan kelompok Pura Masceti. Seluruh kelompok pura inilah yang disebut Pura Agung Kentel Gumi. Pada kelompok Pura Kentel Gumi ini pelinggih yang paling utama adalah Meru Tumpang 11 sebagai stana Batara Sakti Kentel Gumi yaitu Tuhan yang dipuja sebagai pemberi stabilitas kerajaan dalam arti luas. Pelinggih Pesamuan Agung berbentuk Meru Tumpang 11 sebagai pesamuan Batara di sebelah pura di Pura Agung Kentel Gumi.

Balai Mudra Manik sebagai tempat untuk menstanakan pralingga dari sebelah pura di sekitar Pura Agung Kentel Gumi. Ada pelinggih Sanggar Agung Rong Telu stana Mpu Tri Bhuwana yaitu pemujaan Tuhan sebagai Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa. Ada pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana rohani Mpu Kuturan. Ada pelinggih Catur Muka sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Di kelompok Pura Kentel Gumi ini ada berbagai pelinggih pesimpangan. Ada Pesimpangan Jambu Dwipa sebagai pelinggih Batara Maspahit. Pesimpangan Batara Ulun Danu, Batara di Batur. Ada pesimpangan Batara Gunung Agung berbentuk pelinggih Meru Tumpang 9. Pesimpangan Ratu Segara dan banyak lagi pesimpangan sebagaimana layaknya Pura Kahyangan Jagat umumnya. Pada kelompok Pura Maspahit ada pelinggih Gedong Bata dengan arca manjangan untuk mengingatkan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.

Selebihnya sebagai pelinggih pesimpangan. Demikian juga kelompok Pura Masceti ada Pesimpangan Dewa Sadha Siwa dan Siwa, Gunung Agung, Batara Segara dan Ngerurah dan Kemulan Bumi. Upacara Piodalannya setiap Weraspati Manis Wuku Dungulan atau Umanis Galungan. Pura Kentel Gumi merupakan salah satu bagian terpenting dari keberadaan Pura-pura di Bali. Pura yang berlokasi di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung itu memiliki peran strategis untuk mengamankan jagat Bali dari berbagai marabahaya.

Dengan posisinya yang berada di tengah-tengah (pusaran), Pura Kentel Gumi selain merupakan pusat dari Pura-pura yang ada di Bali, bahkan Jawa, juga merupakan sumber penghidupan masyarakat Bali. Setiap enam bulan sekali, ribuan umat Hindu pedek tangkil memadati Pura Kentel Gumi. Bukan saja umat pengempon/pengeling pura yang berasal dari Banjarangkan dan sekitarnya, melainkan dari seluruh pelosok Bali. Mereka berduyun-duyun datang ke pura yang pada zamannya (abad XI) dikuasai para raja Bali itu, untuk bersembahyang serangkaian dengan piodalan.

Piodalan di pura ini berlangsung pada Weraspati Umanis Dunggulan, setiap 210 hari sekali. Bukti bahwa Pura Kentel Gumi merupakan pusat pura dan sumber penghidupan masyarakat Bali, terlihat dari keberadaan pelinggih-pelinggih atau pura-pura besar yang ada di Bali dan Jawa yang dibangun di pura tersebut. Di antaranya :

Sejumlah pura ada di sini. Makanya Kentel Gumi diartikan sebagai pusat atau sumber dari segalanya. Pura Kentel Gumi tetap tidak dapat dipisahkan dari satu-kesatuan Tri Kahyangan (Besakih, Batur dan Kentel Gumi). Setiap desa pakraman di Bali selalu memiliki Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Begitu juga dalam konteks Bali, Pura Kentel Gumi merupakan Pusehnya, Besakih merupakan Dalem dan Batur sebagai Pura Desanya.

Pura yang berdiri di atas lahan seluas lima hektar itu terdiri atas dua bagian. Awalnya, pura tersebut hanya berupa gedong dan bale pesamuan yang berada di bagian Maos (Mas) Pahit. Yang pertama kali bermukim di bagian itu adalah Mpu Kuturan (abad XI). Mpu Kuturan bermukim dan kemudian membentuk sekaligus mengembangkan berbagai peraturan. Entah kenapa, pada bagian itu Mpu Kuturan tidak melengkapi pura tersebut dengan Padmasana. Baru pada zaman Raja Kresna Kepakisan pura itu dilengkapi dengan Padmasari dengan lokasi di bagian selatan Maos Pahit. Juga dilengkapi dengan Pura Sadha, Gunung Agung, Besakih dan lainnya sebagaimana disebutkan di atas.

Meski demikian, kedua lokasi itu selalu bersatu padu dalam setiap pelaksanaan upacara. Setelah itu, seiring dengan perkembangannya, keberadaan pura itu dikuasai oleh raja-raja yang saat itu berkuasa di Bali. Terutama Kerajaan Klungkung (pergeseran Kerajaan Gelgel) sebagai pusat kerajaan di Bali pada zaman itu. Setelah Kerajaan Klungkung runtuh pada tahun 1677 (pertengahan abad XVII), kekuasaan di Bali selanjutnya terpecah belah. Tidak lagi terletak di bawah satu pimpinan (K
erajaan Klungkung).

Begitu juga dengan Pura Kentel Gumi, bukan hanya dikuasai Raja Klungkung, tetapi juga pernah dikuasai Raja Gianyar. Sumanggen Keunikan lain Pura Kentel Gumi yakni keberadaan sebuah bangunan sumanggen. Bangunan tersebut biasanya terdapat di puri yang dimanfaatkan untuk upacara pitra yadnya maupun manusa yadnya. Keberadaan sumanggen itu sendiri berawal dari seorang putri Raja Klungkung yang sakit. Sang putri menjalani pengobatan pada Dukuh Suladri di Tamanbali, Bangli. Selama dalam pengobatan, sang putri menetap di Bangli. Hingga akhirnya jatuh cinta dengan seorang putra Dukuh Suladri. Lama menjalin asmara, putri raja dan putra dukuh dinikahkan.

Sebagaimana layaknya suami-istri umumnya, putri dan putra dukuh silih berganti mengunjungi mertua masing-masing. Hingga suatu saat, dalam perjalanan menuju Bangli (persisnya di depan Pura Kentel Gumi) sang putri mengalami keguguran. Mayat sang bayi kemudian disemayamkan di sekitar pura tersebut (tentu dengan kondisi belum sebagus sekarang). Keberadaan sumanggen itu kemungkinan ada kaitannya dengan konsep tata ruang puri. Mengingat, Pura Kentel Gumi dikuasai oleh raja-raja yang berkuasa.

Sebagaimana konsep puri, setiap areal puri harus dilengkapi dengan bangunan sumanggen. ”Terkait keberadaan sumanggen di Kentel Gumi saat ini, fungsinya sebagai tempat upakara. Kalau ada tamu penting yang pedak tangkil atau ada kegiatan upacara, bangunan itu juga bisa dimanfaatkan untuk penyimpanan sanganan. Pantangan bagi yang Berniat Jahat Kalau punya pikiran yang macam-macam, jangan coba-coba masuk ke areal Pura Kentel Gumi. Sebab, setiap pikiran jahat itu akan segera terdeteksi dan tidak akan mudah untuk menyembunyikannya.

Dari penuturan pegempon/pengeling, Pura Kentel Gumi sangatlah tenget. Siapa pun yang berbuat curang, akan sangat mudah diketahui apabila nunasin (mohon petunjuk) di pura yang notabene tempat berstananya para dewa-dewa itu. ”Jangan coba-coba berani bersumpah di pura ini (Kentel Gumi) kalau memang melakukan kesalahan. Lebih baik mengakui kesalahan itu terlebih dahulu, karena sumpah yang dilakukan di sini sangat manjur,” sebut seorang pengempon pura yang ditemui saat kerja bakti membersihkan areal pura usai tawur pakelem beberapa waktu lalu.

Diceritakan, beberapa tahun silam ada sesorang yang berupaya melakukan niat jahat di pura tersebut. Orang itu mencoba membakar atap bale agung yang terbuat dari alang-alang. Meski terbuat dari bahan yang sangat mudah terbakar, upaya jahat orang itu tidak kesampaian, karena api tidak menjalar ke mana-mana. Karena niat jahatnya tidak terlaksana maksimal, orang itu pun putus asa. Dalam ketidaksadarannya, justru dia mengakui perbuatannya di hadapan warga. Sehingga warga tidak lagi bersusah payah mengejar orang yang berniat menghanguskan pura tersebut.

Tidak ada pantangan bagi siapa pun yang ingin masuk, apalagi bersembahyang di Pura Kentel Gumi. Dengan catatan, tidak punya niat jahat dan berperilaku serta berpenampilan yang wajar. (bal) Tawur Pakelem dengan Upakara Nyanggar Tawang Dari tahun ke tahun, perkembangan selalu diikuti dengan berbagai kejadian. Berbagai peristiwa yang mengancam keberadaan Bali kerap terjadi. Bom Bali I dan II, perkelahian antarbanjar dan berbagai kerusuhan serta kejadian lainnya, muncul silih berganti mewarnai kehidupan warga di pulau seribu pura ini.

Makanya, untuk mengembalikan jagat Bali sebagai alam yang bersih dan suci tanpa noda, untuk pertama kalinya Pemerintah Propinsi Bali menggelar upacara tawur pakelem, Rabu (29/3) lalu. Hal itu dilakukan sebagai upaya penebusan segala kebingaran yang terjadi saat ini. Upacara dengan upakara nyanggar tawang itu pun dipusatkan di Pura Kentel Gumi. Tentunya dengan berbagai pertimbangan, yakni Kentel Gumi yang notabene sebagai sumber pura dan pusat penghidupan serta sebagai pusat berstananya sebagaimana tercermin dari 25 arca yang terdapat dalam pelinggih ratu arca.

Arca-arca itu sebagai perwujudan para dewa seperti Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, Durga, Ghanapati, Lingga dan banyak lagi patung-patung yang tidak dapat dinyatakan wujudnya. Tawur pakelem menggunakan sarana kerbau, kambing, angsa dan bebek. Untuk di Pura Kentel Gumi sendiri, sarana pakelem itu dikubur hidup-hidup di dalam areal pura. Beda dengan pakelem lain yang dirarung (dihanyut) di tengah laut. ”Itu merupakan perlambang kelahiran yang dikembalikan dengan segala kekurangan dan kelebihan ke tempat asalnya.

Selain di Kentel Gumi, tawur pakelem juga dilaksanakan secara serentak di Pura Besakih dan Angkasa Pura, Tuban. Dirangkai dengan upacara tawur kesanga serangkaian pengerupukan menjelang hari raya Nyepi. Upacara itu di-puput tiga sulinggih yaitu, Pedanda Siwa dari Dawan Kaler, Pedanda Budha dari Buda Wanasari Karangasem dan Sri Mpu Pujangga dari Keramas Gianyar.

(bal) http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/5/bd1.htm

DALEM TARUKAN

Pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir di Gelgel Dalem Ketut Ngulesir bertahta di Gelgel tahun 1383 M bergelar Dalem Ketut Semara Kepakisan, Beliau membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik Kriyan Kalapa Diana putra Arya Kutawaringin.

Pura Dalem Tarukan

Dalem Ketut Ngulesir mempersunting anak Arya Kebon Tubuh dan menurunkan putra :


  1. I Dewa Enggong ( Dalem Batur Enggong)

Berita pengankatan Dalem ini didengar oleh Dalem Samprangan namun tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup. Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke Gelgel atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama menjadi Suwecapura. Sebagai ibukota Kerajaan Gelgel disebut Linggarsa Pura.

Demikian pula Kyai Agung Nyuhaya yang menjabat sebagai patih Agung Samprangan turut pindah ke Gelgel diikuti oleh putra tertuanya yaitu Kyai Petandakan dan menetap di Karang Kepatihan. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada Dalem Ketut Ngulesir.

Dalem Ketut Ngulesir pernah diundang oleh Raja majapahit yaitu Hayam Wuruk ke Magetan (Madura). Semua raja raja bawahan mendapat penghargaan dari Raja hayam Wuruk, sedangkan raja Bali dianugrahkan keris “Begawan Canggu” dan pada waktu itu pula Dalem Ketut Ngulesir mengutus seseorang untuk mencari seorang Brahmana dari Keling yang konon sangat sakti dan termasyur.

Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau meninggal pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan meninggal barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan. Segera setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak beliau, Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura.

Permintaan ini ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain: jika kembali ke Tarukan, istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang dialami beberapa tahun lampau. Istri beliau yang dicintai, yaitu Putri Lempuyang-pun (dijuluki : Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik beliau Dalem Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan lain mau juga menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di pedukuhan Bunga.

Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk meninggalkan pedukuhan Bunga.

Berangkatlah rombongan keluarga besar itu diiringi oleh Dukuh Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju desa:

SEKAHAN Hanya semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:SEKARDADIDi sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:

KINTAMANI Hanya lewat saja, lalu terus menuju desa: PANARAJONDI sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke desa:
BALINGKANG Merasa aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju desa: SUKAWANA. Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya beberapa genggam beras.

Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong.

Putri yang dicintainya meninggal dunia. Betapa sedih beliau dan terucaplah kata-kata beliau: "Ya, Tuhan betapa besar cobaan yang kami terima, sangat besarlah penyesalan kami karena seolah-olah memberi jalan kematian putriku. Nah agar hal ini tidak terulang lagi, wahai semua putra dan semua keturunanku, kelak di kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan beras mentah"

Setelah itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan mengubur jenazah putrinya. Karena letak desa Sukawana di sebelah timur bukit Penulisan, maka agar prabu layon berada di "hulu" dikuburlah jenazah putrinya dengan kepala di arah barat. Di saat ini terucaplah bisama beliau agar seketurunan beliau bila meninggal atau di-aben agar kepala berada di arah barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa menyedihkan ini. Dari Sukawana beliau menuju ke desa: SIKAWAN di desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu.

Beliau sempat beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa: PENEK Tidak menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa: BAN (EBAN) Juga tidak menetap, terus ke desa: TEMANGKUNG Tidak menetap, terus ke desa: CARUCUT Perjalanan menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak.

Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau: Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.

Di situlah beliau membuka perkebunan kelapa dan tanaman palawija, dibantu oleh ratusan rakyat pegunungan yang setia kepada Dalem Tarukan. Lama-kelamaan makin banyak rakyat dan pemekel dari pulau Bali pesisir utara yang berdatangan menghaturkan sembah sujud kehadapan beliau dan tetap menjunjung beliau sebagai Dalem. Dalem Tarukan lalu bersabda:

  • "kamu semua rakyat pegunungan dan pesisir, aku menerima penghormatan dan kesetiaanmu, tetapi janganlah kamu me-"cokor I Dewa" kepadaku, karena kini aku bukanlah seorang Dalem lagi"
Walaupun demikian, rakyat tetap saja menghormati beliau dengan hatur: "cokor I Dewa" karena tak seorang pun berani mengubah kebiasaan sebutan. Terkenallah beliau sampai ke perbatasan di arah barat: Desa Tejakula, di arah selatan: Desa Poh Tegeh, di arah Timur: Desa Ban, (arah utara : Laut Bali). Berkat asung kerta nugraha Ide Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan beliau melimpah, sehingga lama kelamaan keluarga dan pengiring beliau kaya raya dan selalu bersuka ria. Maka tempat itu dinamakan Sukadana.

SUKADANA Ide Bethara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri beliau, yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana.

Atas usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau secara megah dan besar-besaran. Lokasi upacara dipilih di Bukit Mangun; pada saat pembakaran, prabu layon mengarah ke barat.

Pemuput upacara adalah: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, dan Dukuh Jatituhu. Abu jenazah dipendem di Bukit Mangun. Selesai upacara pelebon, mereka kembali pulang ke Sukadana. Beberapa lama kemudian para pengiring beliau menyarankan agar rombongan kembali ke desa Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan tempat menetap.

POH TEGEH Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide Bethara Dalem Tarukan setelah sekian lama berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ide Bethara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih hidup dan kini berada entah di mana.

Hal itu disampaikan kepada Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah rencana beliau itu; namun melihat beliau sangat bersemangat, Kiyai mendukung serta memohon agar Dalem Tarukan sangat berhati-hati di perjalanan. Beberapa hari kemudian rombongan beliau berangkat menuju desa:

SIDAPARNA Di desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke:

GUNUNG PENIDA Di suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu.

Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah lelah tinggal berpindah-pindah. Akhirnya beliau memutuskan menetap di daerah itu. Di sini beliau membangun pondok-pondok, membuka sawah-ladang, serta menanam padi, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan berbagai macam bunga.

Tempat itu oleh penduduk dinamakan Pulasari atau Pulasantun. Kemudian Ide Bethara Dalem Tarukan menekuni Dharma Kepanditaan yang menjadi keinginan beliau sejak berada di Tarukan. Keinginan ini seperti mendarah daging karena leluhur beliau di Majapahit adalah Brahmana, abiseka Danghyang Kepakisan.

Kegiatan kepanditaan di Pulasari berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya, misalnya Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di sela-sela waktu pemujaan, Ide Bethara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau di sawah sebagai selingan dan kesenangan.

Kali ini diceritakan keadaan putra Ide Bethara Dalem Tarukan bernama Dewa Bagus Dharma yang tinggal di Puri Samprangan. Sejak berusia 42 hari beliau ditinggal ibunda, moksah ke kahyangan. Di saat membutuhkan air susu, datanglah seekor manjangan putih menyusui beliau dan kemudian menghilang setelah sang bayi tertidur lelap. Keadaan ini mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah mereka bahwa sang bayi benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada seorang emban (pembantu) yang sangat setia merawat sang bayi.

Setelah meningkat usia remaja, Dewa Bagus Dharma bertanya kepada si-emban, siapa ayah dan ibu beliau. Si-emban dengan berlinang air mata menceritakan riwayat Ide Bethara Dalem Tarukan. Sejenak beliau tercenung lalu berucap bahwa ingin menemui ayahanda beliau. Si-emban dengan berbisik memberitahu:

  • "pergilah I Dewa ke arah pegunungan di utara; jika bertemu seorang laki-laki tegap, tampan, tinggi, berkulit hitam, rambut panjang berombak, tanpa baju, berkain hitam dengan saput poleng tanpa ujung (seperti kain sarung), itulah ayahanda I Dewa".
Tidak menunggu waktu lagi, Dewa Bagus Dharma segera mengambil keris, lalu berangkat ke arah utara. Tekad beliau sudah mantap; kerinduan bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan "jengah" mendorong beliau segera ingin bertemu dan tinggal bersama ayahanda baik dalam keadaan suka maupun duka.

Berhari-hari beliau berjalan sambil memperhatikan orang-orang yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan apa yang diceritakan si-emban. Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena perjalanan ini dirahasiakan.

Suatu siang yang panas, tibalah Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan yang luas. Hanya ada satu orang di situ sedang asyik membajak sawah. Beliau duduk dan kaget melihat orang itu sesuai benar dengan ciri-ciri yang dikatakan si-emban. Hanya saja orang ini petani; ayahanda yang dicari adalah seorang Raja. Tidak mungkin seorang Raja membajak sawah. Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba sapi si-"petani" panik lalu lari tunggang langgang. Peralatan bajak yang ditariknya patah tidak karuan karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan diri.

Si "petani" heran, kenapa sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti ada sesuatu sebab yang membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau. Namun tidak ada harimau di sekitar itu. Yang ada hanya seorang lelaki remaja dengan sorot mata polos memandang kegaduhan sapi itu. Si-"petani" yang tiada lain Ide Bethara Dalem Tarukan, menjadi marah karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah silaki-laki itu. Beliau mendekati remaja itu lalu menghardik: "eh, apa kerjamu di sini, mengganggu saya serta mengacaukan sapi-sapi saya"

Sang remaja yang disapa dengan keras itu juga marah, sehingga timbul percekcokan. Kemarahan makin menjadi-jadi akhirnya sama-sama menghunus keris berkelahi dengan sengit, saling pukul, saling tikam, saling cekik, saling tindih, berjam-jam lamanya tidak ada yang terluka, sampai kehabisan tenaga, sama-sama duduk bersebelahan.

Dalem Tarukan heran karena remaja ini kebal tubuhnya, ditikam tidak tergores apalagi luka. Beliau lalu bertanya: "hai anak muda, siapa sebenarnya anda, dari mana, mau ke mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini seorang diri" Dewa Bagus Dharma lalu menjawab: "saya bernama Dewa Bagus Dharma, dari Puri Samprangan, tiba di hutan ini hendak mencari ayah saya bernama Ide Dalem Tarukan, yang menurut informasi tinggal di sekitar daerah ini"

Mendengar itu, Ide Bethara Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir. Dipandangnya wajah pemuda itu; ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi, wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan anakku I Sekar. Beliau tak kuasa membendung air mata haru; dipeluknya pemuda itu seraya mengusap kepalanya: "anakku Dewa Bagus Dharma, Ide Sanghyang Parama Kawi maha agung dan maha pemurah, hari ini aku dipertemukan dengan anak kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini ayahmu yang kamu cari itu"

Sampai di situ Ide Bethara Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga dada beliau sudah penuh sesak dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda dengan Dewa Bagus Dharma, tak kuasa beliau mengucapkan kata-kata; hanya perkataan: "aji, aji, aji" seraya mengeratkan pelukannya sambil bersimbah air mata.

Lama kedua insan itu saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil menceritakan riwayat masing-masing. Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan, yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita.

Gemparlah pedukuhan Pulasari atas kedatangan penghuni baru yang tampan seperti kembarannya Gusti Gede Sekar, namun usianya sedikit lebih dewasa. Malam hari pertemuan itu dirayakan dengan meriah, makan, minum, menari, dan menyanyi. Ketujuh bersaudara lelaki, putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan asyik berbincang sampai larut malam. Akhirnya kantuk membawa mereka ke alam mimpi yang indah. Dewa Bagus Dharma sudah sejak awal memutuskan tinggal menetap bersama-sama ayah, para ibu dan saudara-saudaranya di Pulasari.

Kini dilanjutkan dahulu kisah tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih mentaati perintah Dalem Wayan mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan pegunungan sebelah utara. Disertai putranya bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup menyelidiki dan mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah berhasil. Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau, tetapi ternyata informasinya menyesatkan.

Arah pencarian Kiyai menuju gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya, Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya. Dengan perasaan kesal dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang rindang. Perasaan Kiyai tidak menentu: kesal, malu, merasa tak berharga karena tidak dapat menunaikan tugas, walaupun sudah diupayakan dengan sekuat tenaga.

Pasukan Dulang Mangap terpecah dua; sebagian besar sudah kembali ke Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah bertahta di Gelgel. Kini pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah yang masih setia mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan kepayahan.

Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyailah dirinya sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan. Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang menuruti kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar, seolah-olah Dalem Wayan sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut. Lalu untuk siapa kini ia mengabdi ? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia sudah banyak berhutang budi kepada Dalem Wayan ?


Kebingungan pikiran Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para pengikutnya. Seorang pembantunya memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai berikut :

  • "ya, paduka Gusti, hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena tidak berhasil mencari Dalem Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba menghaturkan pendapat bahwa Ida Sanghyang Widhi Wasa telah melindungi Ide Bethara Dalem Tarukan sehingga beliau terhindar dari mara bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di tangan-Nya; jika belum diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh sesama manusia tidak akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka menyesali diri terlampau berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan kita lakukan sekarang"
Mendengar ucapan pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu; segera ia bangkit berdiri seraya berkata:

  • "Hai kamu sekalian, memang benar seperti apa yang dikatakan temanmu ini; tidak ada yang dapat melawan kehendak Ide Sanghyang Widhi, hanya Beliau yang kuasa mengatur soal hidup atau mati. Perasaan kita saat ini sama, yaitu rasa malu yang menusuk hati karena tidak dapat menyelesaikan tugas. Karenanya aku telah memutuskan tidak kembali ke Gelgel. Kita menetap di sini saja membuka lembaran sejarah baru; siapa yang setuju boleh mengikuti saya; yang tidak setuju silahkan kembali ke Gelgel"

Para pengikutnya serempak menjawab setuju. Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan riang gembira mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.

Adanya desa baru cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh lalu mengirim utusan mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa khawatir, karena tahu bahwa Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan. Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding dengan putranya, Kiyai Wayahan Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu atau menolak.

Hingga larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur kelelahan. Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang cantik jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah. Keesokan hari mimpi itu diceritakannya kepada sang ayah.

"Wah itu pertanda baik, mari kita segera berangkat ke Poh Tegeh" Menjelang sore mereka berdua tiba di Poh Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang gadis cantik yang kebetulan melintas di depan pemedal. Bagaikan dipukul palu godam detak jantung Kiyai Wayahan Waringin memandang kecantikan gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang diimpikan semalam berwujud persis dia.

Sedang terkesima demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh menyadarkan Kiyai Wayahan Kutawaringin. "Adinda Kiyai Parembu, betapa bahagianya kakanda hari ini karena dinda bersedia memenuhi undangan" Kiyai Parembu menjawab : "ya kakanda, maafkanlah dinda karena baru kali ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti manusia yang tidak berharga dan tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia belaka. Dinda tidak dapat mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati. Seharusnya dinda bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung malu"

Wajah Kiyai Parembu sedih memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab: "dinda, Kiyai Parembu, tidak seorang pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda, karena Ide Bethara Dalem Tarukan dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah dinda, beliau berdua kakak beradik bertikai karena diadu domba oleh pihak lain. Janganlah dinda turut memihak dalam pertikaian itu karena tidak direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang kesatria, ingatlah selalu riwayat leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri Jayawaringin ketika dilarikan ke Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong.

Bukankah leluhur Ide Bethara Sri Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur kita ? Dan kedatangan leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan. Jadi kita harus tetap berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem Wayan maupun Dalem Tarukan sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem Ketut sudah memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus memburu Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana"

Mendengar wejangan Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai Parembu. Mereka lalu bersantap malam dan berbincang-bincang dengan gembira sampai larut malam. Tiba waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama putranya disilahkan menempati ruangan yang telah disediakan.

Sekali lagi Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang dengan gadis yang sore tadi. Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa menahan dentuman api asmara yang melesat dari kerlingan si gadis. Kiyai Poh Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan Kutawaringin seraya berkata :

  • "nanak Winihayu Luh Toya, ini masih saudara sepupumu bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin. Ini ayahnya bernama Kiyai Parembu"

Si gadis mengangguk manja terus menghilang di balik pintu. Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai ayam berkokok menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan anak itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada henti-hentinya berbisik di hati: "dinda Winihayu apakah dinda merasakan apa yang terpendam di hatiku" Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug Tegeh, Kiyai Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui oleh ayahnya.

Singkat cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh cinta juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding, akhirnya terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan ini lahir dua orang putra, yaitu:

  • kiyai Panida Waringin, meninggal dunia pada usia muda
  • Kiyai Tabehan Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan keturunan warga Arya Kutawaringin.
Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh. Karena hubungan kekeluargaan inilah menambah "kemalasan" Kiyai Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan.

Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh Tegeh yang selalu berupaya menyelamatkan Dalem Tarukan. Kembali diceritakan keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek Sikawan. Kepada para putranya beliau memberikan bisama sebagai berikut:

  • "Putra-putraku, dengarkanlah bisama yang aku berikan kepadamu dan segenap keturunanmu kelak di kemudian hari: Jika kamu meninggal dunia dan diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan kalian menggunakan busana sesuai dengan tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman berupa padma terawang, atau bade bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan galar dari bambu kuning, tumpang salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana, kajang Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale silunglung, damar kurung, serta upacara ngaskara selengkapnya.
  • Selain itu janganlah menerima panggilan "cai", tetapi terimalah panggilan : Jero, Gusti dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu karena kamu adalah keturunanku, keturunan Dalem"

Pemberian bisama itu disaksikan oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu. Tiada berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan sakit selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara Ukir, panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M.

Jika diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda : Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Samprangan) maka Ide Bethara Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun.

Upacara pelebon Ide Bethara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih, isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun 1399 M.

Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.

Tata laksana pelebon sebagai Raja, yaitu: pemereman bade tumpang pitu, petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan dengan kepala di arah Barat, tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran memakai keloping nyuh gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu tulang dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara meligia di mana abu "sekah" dipendem di cungkup sebuah Pura yang dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan.

Berhubung sudah disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan Mutering Jagat.

Setelah semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia makanan, beras, uang kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak tahan menciumnya. Para putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai, sampai air sungai itu berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber mata air sungai. Rakyat yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai berubah seperti bubur; banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk diberi makan anjing atau babi.

Di sungai lainnya rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah bergumpal-gumpal berkarat tidak bisa digunakan lagi. Ide Bethara di sorga loka melihat dengan sedih kejadian itu. Turunlah kutukan beliau sebagai berikut:

  • "Wahai para putraku, kalian telah menyia-nyiakan anugerah dewata; maka kini terimalah kutukanku, mudah-mudahan kalian seketurunan tidak akan menjadi kaya atau berkecukupan. Bila ada yang bisa kaya, umurnya pendek lalu kematian menjemput sehingga keturunannya menjadi miskin kembali"

Para putra yang mendengar kutukan itu kebingungan dan menyesali perbuatannya, namun apa hendak dikata karena itulah kehendak Ide Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para putra kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru. Aliran sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke Kerajaan Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua sungai itu masing-masing : Tukad Bubuh dan Tukad Jinah.

Berita ini sampai ke istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau bahwa kakak beliau telah meninggal dunia dan di-pelebon di pegunungan. Sedih hati beliau mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang sebahagian besar hidupnya dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut ingin memelihara putra-putra Ide Bethara Raja Dewata yang jelas masih kemenakannya sendiri.

Keesokan harinya dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan menjemput para kemenakan beliau itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50 orang, berangkatlah Kiyai Kebon Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah kepada para putra:

  • "Mohon ampun, paduka para putra Dalem, hamba diutus oleh Paman paduka, Sri Aji Semara Kepakisan untuk menjemput paduka sekalian diajak pulang ke istana Suwecapura"

Para putra yang dipimpin oleh putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu pada kebenaran maksud baik dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para putra menghadapi kenyataan bahwa ayahanda beliau dimusuhi oleh saudara sekandung beserta menteri dan rakyat kerajaan, kini tiba-tiba ada utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan budi.

Bukankah ini suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika dapat, agar musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata. Berpikir demikian, Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan sang Kiyai seraya menyatakan bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan meninggalkan pedukuhan Pulasari. Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil membujuk para putra, lalu kembali ke istana Suwecapura.

Betapa duka hati Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh; dimintanya Kiayi mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau pulang ke Suwecapura. Walaupun sampai tiga kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak mau datang ke Suwecapura.

Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut, sehingga keluarlah perintah beliau untuk menangkap para kemenakan beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon Tubuh lalu mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap. Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan Dulang Mangap.

Sementara itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma telah mengetahui gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari arah selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I Gusti Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban, Tembuku, dan Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang berkecamuk dengan dahsyat, membawa korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh Tegeh.

Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada ratunya. Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke perbatasan kota Gelgel. Dalem Ketut mendengar berita banyaknya korban rakyat biasa dalam peperangan di pegunungan.

Beliau lalu memerintahkan menghentikan peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Gelgel. Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa oleh utusan beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa. Surat itu diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang:

  • "Wahai kamu sekalian para Pasek di pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku asuh di Gelgel, semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta keinginanku untuk memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan Dalem; peperangan hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak rakyat yang menjadi korban"

I Gusti Poh Tegeh berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini kepada para putra, dan sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih dahulu ke Gelgel; mungkin beberapa hari lagi beliau akan menyusul mengantarkan para putra ke Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa maksud Dalem Ketut sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk meyakinkan pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai putra tertua.

Sepulangnya Kiyai Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan (d.h. Ide Bethara Dalem Tarukan) seraya menyampaikan isi surat Dalem Ketut. Para putra belum sanggup memberi persetujuan hari itu karena masih merasa khawatir akan masa depan mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan berbahagia tinggal di pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra untuk berpikir beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan.

Namun tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang serangan yang dahsyat dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan mengherankan para tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh serta para kerabatnya.

Beliau cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut, melainkan gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra Dalem Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai Manca yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser.

Jadi tujuan serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.

Pada suatu pagi hari di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar terang-terang tanah gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Para Kakek, adik-adik beliau serta seluruh rakyat pegunungan berduka cita sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan sejak lahir, namun di saat fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya kelemahan ini diketahui musuh.

Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti Gede Kaler di saat fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ pula layon beliau diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang dibangun, selanjutnya dinamakan Pura Siang Kangin. Sejak gugurnya Ide Bethara Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan terus-menerus dalam peperangan.

Untuk mencegah korban yang lebih banyak maka para pemimpin rakyat pegunungan berunding lalu mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut :

  1. Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut.
  2. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem).
  3. Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu.
  4. Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek Gelgel.
  5. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji.
Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.

Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah dipertimbangkan dengan baik.

Dalem Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada para kemenakannya sebagai berikut:

  • "Kemenakanku semua, janganlah kalian menyamai (memadai) kedudukanku, karena kalian keturunan Kesatria yang telah diturunkan wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem. Sebab-sebab diturunkan wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang melibatkan kakakku Ide Bethara Dalem Tampuwagan.
  • Di kemudian hari bila kalian dan keturunanmu melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara seorang Raja karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku. Cuntaka hanya tiga malam sebagaimana halnya wangsa Brahmana, Kesatria (para Ratu). Setelah cuntaka habis segeralah mebersih di mata air, selanjutnya ngayab banten pebersihan; setelah itu barulah kembali kesucianmu.
  • Jika kalian berani menyamai kedudukanku, akan kukutuk kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat, janganlah melupakan Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah mensia-siakan para Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali selalu trepti. Janganlah kalian melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan karena perbuatan itu akan membawa kehancuran sehingga orang-orang Bali tidak lagi bersatu. Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai ke anak cucu keturunanmu selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan menemui bencana dalam hidupnya"

Warga Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan menjadi Wesia Dalem sehingga diminta untuk tidak “memada-mada” Dalem.Namun demikian d alam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata cara seorang Raja. Cuntaka kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam. Selalu berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali. Selalu bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci. Jangan melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina). Bila mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang Dwijati dengan gelar Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih berdarah Brahmana; karena itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana di Besakih serta pelinggih Ide Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.

Semua warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon. Pedoman upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang bertingkat : 5,7,9, atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba. Jika mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan upacara ngeleb awu ke sungai atau laut. Dibebaskan dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan lalang, sasasrandana, pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan Punggawa agar mentaati ketentuan ini.

Pada upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang" dari Tolangkir melalui Ki Pemangku. Jabatan yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan, Gusti Gede Pulasari sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem sebagai Manca di Nagasari, dan Gusti Gede Belayu sebagai Manca di Ogang.

Kepada para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta untuk:
  1. Melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
  2. Memahami ketentuan-ketentuan catur warna
  3. Memahami dan melaksanakan asta beratha
  4. Menghormati dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan
  5. Meningkatkan pengetahuan
  6. Menghormati dan menjunjung Pemerintah
  7. Menghormati dan menjunjung para Pendeta
  8. Tidak melakukan perkawinan yang dilarang yaitu mengawini perempuan yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu / sekandung, anak guru, wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak Paman/Bibi, wanita yang mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.

Setelah berlalu beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ide Bethara Hyang Genijaya dari Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede Balangan, dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan wejangan beliau sebagai berikut:

  • "Wahai para kemenakanku semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah kuberikan beberapa waktu yang lalu sebagai berikut: Jika kalian memahami tentang kemoksan seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian adalah seketurunan denganku, yaitu keturunan Brahmana. Oleh karena itu pula kalian harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di Tolangkir (Besakih) jangan melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun. Jika kalian melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak lagi menjadi seketurunan denganku.
  • Demikian juga kalian harus berbakti di Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika kalian melalaikan peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa kekurangan, kesasar tidak menemukan arah hidup.
  • Kalian adalah keturunan Brahmana, maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun muda pisang gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh daun muda pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian bukan warih Dalem.

Selanjutnya beliau Dalem Ketut bersabda :

  • "Apa yang aku anugrahkan kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah wahyu dari Ide Bethara Hyang Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para kemenakanku, janganlah lupa memuja dan memohon anugrah kepada Ide Bethara di Penataran Agung, Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede Penyarikan, serta nuntun para arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat keturunanmu.
  • Taatlah melaksanakan kedharmaan, jangan menentang peraturan-peraturan. Diantara keturunan-keturunanmu janganlah satu sama lain tiada mengakui bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah mengaku bersaudara; jika lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu kehilangan "soda", yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman.

Beberapa waktu kemudian, Ide Dalem Ketut kembali mengumpulkan para kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan) lalu meneruskan penugrahan yang diterima dari para putra-putri Sanghyang Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di Tolangkir dan adik beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur sebagai berikut:

  • Apabila diantara kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada yang mampu Madwijati, diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan padma trawang, pisang gedang kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia), dan 11 (utama).
  • Itu adalah demi kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya 3 (tiga) malam; jika ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar, harus dilakukan upacara ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara ngirim; jika dilalaikan, mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang derajatnya paling rendah karena tidak membela kewangsaan serta tidak mengenal kawitan.

Selanjutnya Dalem Ketut bersabda:

"Kalian kemenakanku, walaupun kalian telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi hak-hak sebagai berikut:
  • seketurunan kalian tidak kena kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman mati), tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan (hukuman cambuk), tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena pepanjingan (larangan masuk ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (iuran di Pura), tidak kena perintah.

Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan Punggawa diberitahu semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka senantiasa menghormati para kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada yang berani menentang atau tidak melaksanakan, mudah-mudahan hilang kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.

Beberapa waktu kemudian Ide Dalem Ketut memberikan tambahan wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide Bethara Brahma:

  • "Jika kalian dan keturunanmu meninggal, kalian harus memohon melalui Sangkulputih tirta Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai tirta pengentas. Oleh karena itu kawitan serta semua arwah leluhurmu berstana di Gunung Agung (Tolangkir) sehingga kamu wajib berbakti kepada kawitan dan arwah leluhurmu di Pedarmaan Besakih. Bila ada keturunanmu yang sudah mebersih wenang naik-turun di pelinggih-pelinggih di Tolangkir dalam upacara yadnya.
  • Bila ada keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa, wenang mengajarkan ilmu, sastra, dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya sehingga menjadi orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya oleh orang lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan tekun, mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.

Selain memberikan penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan "Mantri sesana", yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan berkedudukan sebagai berikut :

  • Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni Gusti Luh Puaji. I
  • Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung, dan Manikaji.
  • I Gusti Gede Bandem diberi kedudukan sebagai Manca di Nagasari, meliputi: Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang.
  • I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi: Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel, dan Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel.
  • I Gusti Gede Dangin kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang memuat penugrahan tersebut di atas ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan rerajahan daun pisang Kaikik selengkapnya.

Pamancanggah itu disahkan dan diumumkan oleh Ide Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat kedudukan masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan menempatkannya di pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan beliau-beliau. Bila ada yang mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.


Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.

Sanghyang Pasupati berputra :

  1. Bhatara Hyang Gnijaya
  2. Bhatara Hyang Putranjaya
  3. Bhatari Dewi Danuh
  4. Bhatara Hyang Tugu
  5. Bhatara Hyang Manikgalang
  6. Bhatara Hyang Manikgumawang
  7. Bhatara Hyang Tumuwuh

Bhatara Hyang Gnijaya berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)Mpu Withadharma berputra :

  1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
  2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra : Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)Mpu Tanuhun berputra :
  1. Mpu Gnijaya
  2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
  3. Mpu Ghana
  4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
  5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
Mpu Bharadah berputra :

  1. Mpu Siwagandu
  2. Ni Dyah Widawati
  3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra :

  • Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
  • Ni Dewi Dwararika
  • Ni Dewi Adnyani4. Ni Dewi Amerthajiwa
  • Ni Dewi Amerthamanggali
Mpu Tantular berputra :

  1. Danghyang Kepakisan
  2. Danghyang Smaranatha
  3. Danghyang Sidhimantra
  4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra : Sri Soma Kepakisan. Sri Soma Kepakisan berputra :
  1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
  2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
  3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
  4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra :
  1. Dalem Samprangan
  2. Dalem Tarukan
  3. Dewa Ayu Wana
  4. Dalem Sri Smara Kepakisan
  5. Dewa Tegal Besung
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu

  1. Mpu Gnijaya
  2. Mpu Sumeru
  3. Mpu Ghana
  4. Mpu Kuturan
  5. Mpu Bharadah.
Kelimanya disebut Panca Tirta. Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu: Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka.Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi.

Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari. Adanya tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka.

Patutlah warga Pulasari berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek. Di Bali gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku) pertama kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok Sapta Rsi.

Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.

Kesimpulannya bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja)

  1. Tidak merabas pohon atau memakan buah: Jawa, Jali.
  2. Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan Perkutut.
  3. Tidak memakan beras mentah.
  4. Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
  5. Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
  6. Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
  7. Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
  8. Upacara pelebon boleh menggunakan: Sebagaimana layaknya seorang Raja.• Pemereman Padma Terawang• Pemereman Bade Tumpang Pitu• Benusa• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning• Ulon• Jempana• Rurub Kajang Pulasari• Daun Pisang Kaikik• Bale Gumi berundak tujuh • Bale Silunglung• Damar kurung• Upacara ngaskara lengkap
  9. Tidak membuang atau menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang.