( TH 1049-1077 M )
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu, mengaku penjelmaan Wisnu yang masa pemerintahannya di bantu 10 senopati rakyat hidup dari bertani, binatang yang berharga adalah Kuda. Untuk golongan pedagang laki – laki disebut Wanigrama dan untuk perempuan disebut Wanigrami.
Dikisahkan permaisuri Baginda bersama putra mahkota yang bergelar Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa sebagai penguasa. Baginda bersaudara tiga yang ketiganya pria, yang sulung bernama Sri Airlangga sudah ke Pulau Jawa. Baginda dijadikan anak menantu oleh Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa di kerajaan Kediri.
Ketika itu Sri Airlangga baru berusia 16 tahun, karena Baginda lahir pada tahun Saka 915/991 Masehi. Adik bungsu Baginda bernama Sri Aji Wungsu, Baginda masih dalam usia kanak-kanak. Entah beberapa tahun lamanya Baginda berdua sebagai penguasa, pada tahun Saka 971/1049 Masehi, Sri Aji Hungsu yang bertahta menjadi Raja oleh karena Ibunda Baginda dan kakaknya Baginda sudah wafat.
Jenazah Ibunda Baginda Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni dikebumikan di Bukit Bhurwan, dekat dengan Banyuweka, adapun jenazah Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa dikebumikan di Gunung Kawi daerah Tampaksiring. Kini dikisahkan Sri Aji Wungsu yang bertahta menjadi raja, tak ubahnya seperti almarhum Ibunda Baginda, selalu sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi dan para dewata.
Pulau Bali aman dan sejahtera demikian juga Baginda Raja dalam keadaan selamat dan panjang umur, serta seluruh rakyat terhindar dari segala wabah penyakit, lagi pula rakyat Baginda tak ada yang bertikai, semua mematuhi kewajiban sebagai seorang ayah dan kewajiban sebagai seorang anak. Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama di antara raja-raja pada zaman Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28 tahun.
Ada 31 buah prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Sembilan belas di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yang lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap atau karena tergolong prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta prasasti yang dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil.
Dugaan itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan pemerintahan. Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji) dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang diperintah atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira atau nityasa kumingking ... subhiksa nikang rat rinaksanira).
Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai kebajikan (sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci keagamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk., 1990 : 301-302).
Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin bersifat hiperbolis, namun unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya, yakni bagian yang bersifat realistis, patut mendapat perhatian yang wajar. Telah dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan.
Untuk menghindari hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu berdasarkan sambandha-nya atau alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada enam alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut. Adanya permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula yang berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti).
Permohonan demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canigayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan dan Landungan, warga desa yang bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-wakil penduduk desa Bila.17 Adanya permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima).
Permohonan semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri (purusakara) subak Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18 Adanya pejabat memungut rwyahaji melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa para pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu paracaksu) melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang dianugrahkan raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar masalah itu diluruskan oleh Raja Anak Wungsu.
Adanya permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan ini dengan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26 Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi menyelenggarakan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma), tetapi belum dianugrahi prasasti.
Supaya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan dalam sebuah prasasti.27 Adanya permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk keperluan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan ini diajukan oleh wakil-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi keperluan-keperluan tersebut di atas.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas dikabulkan oleh Raja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan serta pembahasan yang seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Anak Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring). Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu.
Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja keturunan Wangsa Warmadewa antara lain: Sukawana Caka 8o4, Bebetin Caka 818, Trunyan Caka 813, Trunyan B1 Caka 833, Gobleg Caka 836, Srokodan Caka 837, Babahan Caka 839, Sembiran Caka 844, Pengotan A1 Caka 846, Batunya Caka 855, Dausa Pura Bukit Indrakila Caka 857, Srai A1 Caka 888, Sembiran B1 Caka 873, Manukaya Caka 884, Bebetin Caka 911, Serai A2 Caka 915, Sading A Caka 923, Batur Pura Abang Caka 933, Sembiran A3 Caka 938, Batuan Caka 944, Sawan Caka 945, Kesihan Caka 945, Bwahan Caka 947, Prasasti Bangli, Pr. Kehen B, Prasasti Ujung Caka 962, dan lain-lain )
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu, mengaku penjelmaan Wisnu yang masa pemerintahannya di bantu 10 senopati rakyat hidup dari bertani, binatang yang berharga adalah Kuda. Untuk golongan pedagang laki – laki disebut Wanigrama dan untuk perempuan disebut Wanigrami.
Dikisahkan permaisuri Baginda bersama putra mahkota yang bergelar Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa sebagai penguasa. Baginda bersaudara tiga yang ketiganya pria, yang sulung bernama Sri Airlangga sudah ke Pulau Jawa. Baginda dijadikan anak menantu oleh Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa di kerajaan Kediri.
Ketika itu Sri Airlangga baru berusia 16 tahun, karena Baginda lahir pada tahun Saka 915/991 Masehi. Adik bungsu Baginda bernama Sri Aji Wungsu, Baginda masih dalam usia kanak-kanak. Entah beberapa tahun lamanya Baginda berdua sebagai penguasa, pada tahun Saka 971/1049 Masehi, Sri Aji Hungsu yang bertahta menjadi Raja oleh karena Ibunda Baginda dan kakaknya Baginda sudah wafat.
Jenazah Ibunda Baginda Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni dikebumikan di Bukit Bhurwan, dekat dengan Banyuweka, adapun jenazah Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa dikebumikan di Gunung Kawi daerah Tampaksiring. Kini dikisahkan Sri Aji Wungsu yang bertahta menjadi raja, tak ubahnya seperti almarhum Ibunda Baginda, selalu sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi dan para dewata.
Pulau Bali aman dan sejahtera demikian juga Baginda Raja dalam keadaan selamat dan panjang umur, serta seluruh rakyat terhindar dari segala wabah penyakit, lagi pula rakyat Baginda tak ada yang bertikai, semua mematuhi kewajiban sebagai seorang ayah dan kewajiban sebagai seorang anak. Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama di antara raja-raja pada zaman Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28 tahun.
Ada 31 buah prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Sembilan belas di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yang lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap atau karena tergolong prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta prasasti yang dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil.
Dugaan itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan pemerintahan. Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji) dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang diperintah atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira atau nityasa kumingking ... subhiksa nikang rat rinaksanira).
Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai kebajikan (sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci keagamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk., 1990 : 301-302).
Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin bersifat hiperbolis, namun unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya, yakni bagian yang bersifat realistis, patut mendapat perhatian yang wajar. Telah dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan.
Untuk menghindari hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu berdasarkan sambandha-nya atau alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada enam alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut. Adanya permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula yang berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti).
Permohonan demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canigayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan dan Landungan, warga desa yang bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-wakil penduduk desa Bila.17 Adanya permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima).
Permohonan semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri (purusakara) subak Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18 Adanya pejabat memungut rwyahaji melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa para pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu paracaksu) melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang dianugrahkan raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar masalah itu diluruskan oleh Raja Anak Wungsu.
Adanya permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan ini dengan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26 Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi menyelenggarakan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma), tetapi belum dianugrahi prasasti.
Supaya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan dalam sebuah prasasti.27 Adanya permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk keperluan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan ini diajukan oleh wakil-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi keperluan-keperluan tersebut di atas.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas dikabulkan oleh Raja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan serta pembahasan yang seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Anak Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring). Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu.
Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja keturunan Wangsa Warmadewa antara lain: Sukawana Caka 8o4, Bebetin Caka 818, Trunyan Caka 813, Trunyan B1 Caka 833, Gobleg Caka 836, Srokodan Caka 837, Babahan Caka 839, Sembiran Caka 844, Pengotan A1 Caka 846, Batunya Caka 855, Dausa Pura Bukit Indrakila Caka 857, Srai A1 Caka 888, Sembiran B1 Caka 873, Manukaya Caka 884, Bebetin Caka 911, Serai A2 Caka 915, Sading A Caka 923, Batur Pura Abang Caka 933, Sembiran A3 Caka 938, Batuan Caka 944, Sawan Caka 945, Kesihan Caka 945, Bwahan Caka 947, Prasasti Bangli, Pr. Kehen B, Prasasti Ujung Caka 962, dan lain-lain )
SWASTYASTU,
BalasHapusMohon info lebih detail dari semeton sejarahwan Bali tentang beberapa tempat atau Pura yang menjadi Perabuan Raja- raja Bali yang hingga hingga kini masih dikeramatkan oleh warga Bali...selaian Candi Gunung Kawi, mungkin bisa diinformasikan tempat Perabuan raja dilokasi lainnya di Bali...suksma...Rahayu sareng sami..OM SHANTIH, SHANTIH,SHANTIH OM