(1133-1150)
Pada masa pemerintah Sri Jayasakti ada dua kitab undang – undang yakni UU Utara Widdi Balawan dan Raja Wacana (Rajaniti). Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam gelarnya, yaitu
- Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150),
- Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155)
- Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181),
- Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200).
Kalau tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan kekeluargaan yang sangat dekat. Perlu diperhatikan bahwa masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman dengan masa pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1057 -1079 Saka), Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau Gandra (1103 Saka), Kameswara (1104-1107 Saka), dan Kertajaya atau Srengga (1116-1127 Saka) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur (cf. Damais, 1952 : 66-71 ; Sumadio dkk., 1990 : 267-272, 306).
Hal yang menarik perhatian pula, sebagaimana telah dikatakan, ialah adanya unsur jaya digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno dan paling sedikit pada dua nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur yang sama itu rupanya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka.
Kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam kitab Bharatayuddha. Dalam kitab itu dikatakan bahwa raja Jayabhaya sempat meluaskan kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya (Krom, 1956 :154-155 ). Setelah Raja Jayasakti, yang memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar