/ SRI TARUNAJAYA / BHATARA GURU II
(1328 -1337) M
Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug (Stein Callenfels, 1926 : 68-70), yang memerintah di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat.
Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa mangkat dimana perisitiwa tersebut tahunnya bersamaan dengan terbunuhnya Jayanegara raja Majapahit yang ke dua oleh tabib Ra Tanca. Setelah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa wafat maka putranya yang bernama Trunajaya menggantikan kedudukan beliau sebagai raja dengan memakai gelar Sri Walajaya Kertaningrat hal tersebut tercantum dalam prasasti yang tersimpan di desa Selembung (Karangasem).
Dalam prasasti itu juga disebutkan Pura Hyang Api atau Agni Sala tertulis nama Maharesi Agastya yang menyelesaikan perkara desa Selembung. Adapun pejabat pejabat pemerintahan pada masa pemerintahan ayah beliau masih tetap dipertahankan kecuali jabatan untuk Senapati Balembunut diganti sebanyak 2 kali. Pada tahun 1324 M jabatan tersebut dipegang oleh Ki Pinda Macan sedangkan tahun 1325 diganti oleh Ki Gentur sampai akhirnya dipegang oleh Ki Bondantuhed.
Pada pemerintahan beliau, desa Selumbung dibebaskan dari pembayaran pajak dan rodi karena desa ini memelihara sebuah candi yang ada di Linggabawana. kemungkinan candi tersebut adalah merupakan tempat abu ayahanda beliau yaitu Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dimakamkan. Keadaan pulau Bali pada masa pemerintahan belia sangat tenang dan aman.
Raja ini memerintah bersama-sama dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru. Mengingat kata tara (baca : tara) dapat berarti ”janda atau duda”, di samping juga berarti ”suami atau istri” (Damais, 1959 : 690), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Paduka Tara Sri Mahaguru kemungkinan besar adalah janda almarhum Bhatara Guru II.
Selain itu, kiranya dapat disepakati bahwa kata tarunajaya pada hakikatnya bermakna sama dengan walajaya. Kendatipun demikian, masih diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan tokoh Tarunajaya dalam prasasti Srokadan dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selumbung. Kehati-hatian itu diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk sang suami (yaitu Bhatara Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan sebagai putra sang permaisuri (yaitu paduka Tara Sri Mahaguru).
Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika Bhatara Guru II dan Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan pasangan suami-istri. Atas dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat dapat dikatakan bahwa bagaimanapun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Sumber-sumber sejarah yang muncul pada masa-masa mendatang diharapkan dapat menerangkan hal itu.
Dari prasasti Selumbung yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa Raja Walajayakrtaningrat beserta ibunya memberikan anugrah prasasti kepada tetua desa Salumbung (karaman ing salumbung). Dalam prasasti itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh penduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candri ring Linggabhawana. Penganugerahan prasasti itu disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.
Raja Walajayakrttaningrat dan ibunya digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabumibanten (baca : Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten). Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99). Prasasti ini mencatat bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan pelbagai drwyahaji yang mesti dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran
(1328 -1337) M
Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug (Stein Callenfels, 1926 : 68-70), yang memerintah di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat.
Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa mangkat dimana perisitiwa tersebut tahunnya bersamaan dengan terbunuhnya Jayanegara raja Majapahit yang ke dua oleh tabib Ra Tanca. Setelah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa wafat maka putranya yang bernama Trunajaya menggantikan kedudukan beliau sebagai raja dengan memakai gelar Sri Walajaya Kertaningrat hal tersebut tercantum dalam prasasti yang tersimpan di desa Selembung (Karangasem).
Dalam prasasti itu juga disebutkan Pura Hyang Api atau Agni Sala tertulis nama Maharesi Agastya yang menyelesaikan perkara desa Selembung. Adapun pejabat pejabat pemerintahan pada masa pemerintahan ayah beliau masih tetap dipertahankan kecuali jabatan untuk Senapati Balembunut diganti sebanyak 2 kali. Pada tahun 1324 M jabatan tersebut dipegang oleh Ki Pinda Macan sedangkan tahun 1325 diganti oleh Ki Gentur sampai akhirnya dipegang oleh Ki Bondantuhed.
Pada pemerintahan beliau, desa Selumbung dibebaskan dari pembayaran pajak dan rodi karena desa ini memelihara sebuah candi yang ada di Linggabawana. kemungkinan candi tersebut adalah merupakan tempat abu ayahanda beliau yaitu Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dimakamkan. Keadaan pulau Bali pada masa pemerintahan belia sangat tenang dan aman.
Raja ini memerintah bersama-sama dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru. Mengingat kata tara (baca : tara) dapat berarti ”janda atau duda”, di samping juga berarti ”suami atau istri” (Damais, 1959 : 690), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Paduka Tara Sri Mahaguru kemungkinan besar adalah janda almarhum Bhatara Guru II.
Selain itu, kiranya dapat disepakati bahwa kata tarunajaya pada hakikatnya bermakna sama dengan walajaya. Kendatipun demikian, masih diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan tokoh Tarunajaya dalam prasasti Srokadan dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selumbung. Kehati-hatian itu diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk sang suami (yaitu Bhatara Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan sebagai putra sang permaisuri (yaitu paduka Tara Sri Mahaguru).
Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika Bhatara Guru II dan Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan pasangan suami-istri. Atas dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat dapat dikatakan bahwa bagaimanapun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Sumber-sumber sejarah yang muncul pada masa-masa mendatang diharapkan dapat menerangkan hal itu.
Dari prasasti Selumbung yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa Raja Walajayakrtaningrat beserta ibunya memberikan anugrah prasasti kepada tetua desa Salumbung (karaman ing salumbung). Dalam prasasti itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh penduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candri ring Linggabhawana. Penganugerahan prasasti itu disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.
Raja Walajayakrttaningrat dan ibunya digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabumibanten (baca : Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten). Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99). Prasasti ini mencatat bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan pelbagai drwyahaji yang mesti dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar