Minggu, 10 Januari 2010

EKSPEDISI MAJAPAHIT KE BALI

Sikap Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Majapahit menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Bali dan Kerajaan Majapahit. Dalam rapat yang diadakan oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dengan para Mentri Kerajaan, Patih Gajah Mada menyampaikan sindiran secara halus melalui seorang pendeta istana (Pendeta Purohita) yang bernama Danghyang Asmaranata
“ Ada suatu cerita yang menceritakan sorga yang rusak akibat ulah dari seorang manusia. Semua Gandarawa takut karena diserang oleh manusia yang bernama Werkodara “
Ratu Trihuwana Tunggadewi yang telah maklum akan maksud sindiran tersebut kemudian menjawab
“ Sungguh benar katamu itu Mada kalau tidak Bhatara Bayu lekas datang menasehati sang Werkodara, pastilah sorga itu hancur lebur keadaannya.
(Pendeta Purohita Danghyang Asmaranata kemudian meyampaikan pendapatnya
“Memang benar sabda paduka, perihal yang tadi disebut Bhimaswarga karena sang Werkodara itu sungguh sungguh teguh dan perwira “
Atas saran kedua orang kepercayaanya tersebut Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi kemudian memerintahkan kepada para Menterinya
“ Wahai paman paman sekalian, kini ada yang kami anggap manusia yang bernama Werkodara mengacau sorga yakni Raja Bali. Beliau sekarang tidak mau menghiraukan perintah kita disini. Oleh Karena itu marilah kita mencari Bhatara Bayu untuk menasehati atau menghukum Raja Bali itu “
Demikianlah hasil rapat tersebut yang memutuskan melaksanakan ekspedisi ke Pulau Bali untuk menangkap Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Namun demikian usaha untuk menundukkan Bali tidaklah mudah karena Kerajaan bali dikawal oleh patih dan menteri yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi sehingga sulit ditaklukkan. Patih patih yaitu diantaranya Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa

Rapat akhirnya memutuskan bahwa sebelum Gajah Mada melakukan penyerangan ke Bali maka Kebo Iwa sebagai orang yang kuat dan sakti di Bali harus disingkirkan terlebih dahulu. Jalan yang ditempuh dengan tipu muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi mengutus Gajah Mada ke Bali dengan membawa surat yang isinya seakan-akan raja putri menginginkan persahabatan dengan raja Bedahulu.
Keesokan harinya berangkatlah patih Gajah Mada ke Bali melalui lapangan Bubat kemudian meyusuri pantai dipesisir desa Pejarakan, Telagorung, Palu Ayam, Kapurancak dan mendarat di pantai Jembrana. Dari sana patih Gajah Mada melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melalui pesisir Umabangkah, Seseh, Kadungayan, Kalahan , Tuban dan terus ke Gumicik. Dari Gumicik Patih Gajah Mada mengarah ke utara menuju Sukawati. Di Sukawati Patih Gajah Mada dijemput oleh Kipasung Grigis yang sudah mengetahui perihal kedatangan patih Gajah Mada tersebut ke Bali.
Dalam pertemuannya dengan Ki Pasung Grigis, Patih Gajahmada menyampaikan maksud dan tujuannya ke Bali karena diutus oleh Ratu Tribhuwana Tunggadewi untuk menyampaikan surat kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Mendengar keterangan tersebut Ki Pasung Grigis sangat risau hatinya karena menduga pasti ada sesuatu hal yang sangat penting sampai mengutus seorang patih Gajah Mada yang sangat disegani di wilayah Nusantara untuk datang ke Bali. Ki Pasung Grigis mempersilahkan Patih Gajah Mada untuk menunggu terlebih dahulu di Karang Kepatihan karena kedatangan Patih Gajahmada akan dilaporkan terlebih dahulu Kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Tiada diceritakan dalam perjalanannya Ki Pasung Grigis akhirnya sampai di Istana Bedulu dan langsung menghadap sang Prabu untuk melaporkan perihal kedatangan Patih Gajah Mada dari Majapahit. Kemudian atas ijin sang Prabu, Patih Gajah Mada kemudian mempersilahkan Patih Gajah Mada untuk menghadap Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten di Istana Bedulu.
Dihadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten patih Gajah Mada menyampaikan maksud kedatangannya dan menyerahkan surat dari Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi. Surat tersebut kemudian diterima yang isinya
“ Hormat susuhunan pukulun yang menaungi bumi Bali ini. Kami di Majapahit sebagai burung elang dalam bulan oktober, berkepanasan berharap harap hujan. kami disini sebagai burung tadahasih yang selalu meratap pada waktu bulan tak bersinar. Tiada lain hanya Sri Susuhunanlah yang patut menaungi bumi ini dan yang patut dijunjung. Dari itu harapan kami janganlah kiranya paduka tuan menyimpang dari tali persahabatan kita yang sudah erat sedari dulu. Kami risau karena menurut berita berita yang kami peroleh, Konon Sri Susuhunan akan menyerang kekuasaan kami di Jawa. Nah jika sungguh kabar itu demikian, kami mohon sekali agar penyerbuan paduka terhadap kami diurungkan. Maksud kami tak lain dan tak bukan hanya berkawan saja dengan Sri Susuhunan disini. Sekiranya maksud kami, paduka setujui maka kami mohon kiranya Paduai sudi mengirim Ki Kebo Iwa yakni patih paduka yang masih jejaka ke Jawa bersama patih Gajah Mada. Maksud kami, ia akan kami nikahkan dengan putri lemah Tulis yang sangat masyur kecantikannya. Itulah kebaikan kami yang kami tunjukkan kepada paduka demi untuk mempererat persahabatan diantara kita. Sekian hormat dari kami Tribhuwana “
Demikianlah isi surat dari ratu Tribhuwana Tunggadewi. Sri Baginda sangat gembira hatinya setelah membaca surat tersebut dan hatinya tiada terbalas akan kebaikan hati ratu Majapahit tersebut. Menanggapi tawaran dari Majapahit, Patih Kebo Iwa yang setia terhadap rajanya, memohon petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri Astasura Bumi Banten. Sang Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga. Sebelum pergi ke Majapahit, Patih Kebo Iwa terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu, untuk meminta kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra memenuhi permintaan Kebo Iwa, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan kesaktian menjadi sangat luar biasa.
Patih Gajah Mada bersama Ki Kebo Iwa kemudian mohon pamit kepada Sri Baginda. Mereka berjalan mengarah keselatan menuju pesisir pantai. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mengarungi lautan, namun ketika sampai di tengah lautan tiba tiba Ki Kebo Iwa terjatuh ke dalam lautan. Hal tersebut memang telah direncanakan sebelumnya oleh patih Gajah Mada untuk menyingkirkan Ki Kebo Iwa. Akan tetapi walaupun jatuh di laut yang dalam Ki Kebo Iwa karena kesaktiannya mampu berenang dan menyusul sampan patih Gajah Mada. Melihat hal tersebut patih Gajah Mada tiada berdaya lagi dan mencari jalan lain untuk menyingkirkan ki Kebo Iwa.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang akhirnya sampailah mereka disisir pantai Banyuwangi. Disana mereka mampir di rumah Raden Arya. Keesokan harinya patih Gajah Mada akan melanjutkan perjalanannya ke Majapahit dan minta ke pada Kebo Iwa untuk menunggunya di tempat ini karena ia akan meloporkan terlebih dahulu hasil perjalanannya ke Pulau Bali kepada Ratu Majapahit.
Tidak diceritakan dalam perjalanannya sampailah Patih Gajah Mada di Istana Majapahit dan langsung menghadap Ratu Tribhuwana Tunggadewi melaporkan hasil kunjungannya ke Pulau Bali menemui Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Patih Gajah Mada juga melaporkan bahwa telah berhasil membawa Kebo Iwa kemari dan sekarang telah menunggu di banyuwangi di rumah Raden Arya serta berbagai upaya yang telah dilakukan untuk melenyapkan Kebo Iwa namun selalu menemui kegagalan. Setelah melalui perundingan yang cukup panjang akhirnya diputuskan bahwa upaya yang ditempuh adalah dengan menyediakan soerang gadis cantik untuk menggoda Kebo Iwa.
Ki Kebo Iwa adalah seorang yang sangat disegani karena kesaktian yang dimiliki dan sifat pemberani serta kejujuran hatinya sehingga sampai sampai Majapahit yang sangat termasyur akan kejayaannya di medan pertempuran mengalami kesulitan untuk menundukkan kerajaan Bali kalau patih Kebo Iwa masih ada.
Untuk mengungkap lebih jauh tentang keberadaan Kebo Iwa berikut kami uraikan mengenai asal usul beliau :Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri yaitu Ki Demang yang terkenal dengan lurah Bekung ( Lurah-sakti dan bekung ). Lama beliau tidak berputra sedangkan Ki Demang ini sangat dihormati, disegani, oleh kawan dan lawan, beliaulah yang menciptakan Yeh ngenu, hasil dari membedah-hulu sungai, sehingga desanya disebut dengan desa Bedah-Hulu ( bukan bedahulu ) yang tadinya desanya adalah kering krontang, tandus dengan adanya Yeh Ngenu, maka desanya menjadi subur makmur, sampai terkenal kesuburannya didaerah Bali. Hanya sayang beliau tidak punya keturunan, akhirnya dengan menggunakan Mantramnya untuk Nyeraya Putra ( Nunas kesidian ngelungsur Putra ) dengan jalan Agni Gotra, beliau mohon kepada Sang Pencipta untuk diberikan keturunan. Namun karena niat yang terlalu besar untuk mempunyai keturunan sehinnga secara tidak sengaja istrinya menyampaikan permohonan yang berlebihan . "Asalkan diberkati putra, berapapun kuat makan putranya itu akan diladeni” demikianlah konon sosot / sesangi tambahan yang nyeplos dari istri Ki Demang tersebut. Waktu pun berlalu sampai akhirnua sang istri mulai mengandung, betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.

Bayi itu menangis merengek seolah meminta sesuatu. Sang Ibu kasihan mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian mengambil nasi kukus tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu bergumam dalam hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini? Umurnya belum cukup untuk makan nasi?”

Tak dinyana ternyata bayi tersebut memakan nasi kukus tersebut dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan keterkejutan yang sangat. Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk memakan nasi… Ibu:” Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang Widi… Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.

Kebo Iwa makan dan makan terus sehingga lama kelamaan habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya. Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai Payan, yang bersebelahan dengan Pantai Soka.

Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo Iwa biasanya membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh besarnya jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat. Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.

Walaupun terlahir dengan tubuh besar, namun Kebo Iwa adalah seorang pemuda dengan hati yang lurus. Suatu ketika dalam perjalanannya pulang dari Danau beratan, Tampak segerombolan orang dewasa yang tidak berhati lurus, Dari kejauhan para warga desa merasa sangat cemas. Tampak seorang dari mereka tersita perhatiannya pada seorang gadis cantik. Laki-laki itu menggoda gadis ini dengan kasar, gadis ini menjadi takut dan enggan berbicara. Laki-laki itu semakin bernafsu dan tangan-tangannya mulai melakukan tindakan yang tidak senonoh.

Tiba-tiba Kebo Iwa muncul di belakang gerombolan tersebut, mencengkeram tangan salah seorang dari mereka, nampak kegeraman terpancar dari wajahnya, laki-laki itu menjerit kesakitan, gerombolan itu sangat terkejut melihat Kebo Iwa yang begitu besar, ketakutan nampak dari raut muka gerombolan tersebut. Gerombolan tersebut lari tunggang langgang. Demikianlah Kebo Iwa membalas jasa baik para warga desanya dengan menjaga keamanan di mana dia tinggal. Tubuh yang besar sebagai karunia dari Sang Hyang Widi dimanfaatkan dengan sangat baik dan benar oleh Kebo Iwa.Pada abad 11 Masehi, sebuah karya pahat yang sangat megah dan indah dibuat di dinding Gunung Kawi, Tampaksiring. Kebo Iwa yang memahat dinding gunung dengan indahnya, hanya dengan menggunakan kuku dari jari tangannya saja. Karya pahat tersebut dibuat hanya dalam waktu semalam suntuk, menggunakan kuku dari jari tangan Kebo Iwa. Pahatan tersebut diperuntukkan memberikan penghormatan kepada Raja Udayana, Raja Anak Wungsu ,Permaisuri dan perdana menteri raja yang disemayamkan disana. Raja Anak Wungsu adalah raja yang berhasil mempersatukan Bali.

Salah satu hal yang paling istimewa dari Kebo Iwa adalah kemampuannya untuk membuat sumur mata air. Kebo Iwa dengan segenap kekuatan menusukkan jari tangannya ke dalam tanah. Dengan kekuatan jari tangannya yang dahsyat, dia mampu mengadakan sebuah sumur mata air, hanya dengan menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah. Beragam kemampuan yang luar biasa tersebut, menyebabkan timbulnya daya tarik tersendiri dari pribadi seorang Kebo Iwa. Dan kekuatan luar biasa itu, menyebabkan seorang raja yang berkuasa keturunan terakhir dari Dinasti Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi Banten… menginginkan Kebo Iwa untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah Blahbatuh…Yang juga dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu.. Kebo Iwa diangkat menjadi Patih kerajaan dan saat itu dia mengucapkan Janji bahwa selama Kebo Iwa masih bernafas Bali tidak akan pernah dikuasi.

Pura Gunung Kawi Bali, yang konon dibuat oleh Kebo Iwa

Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa yang luar biasa kuat, Sri Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan mau ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan kerajaan di Bali. Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Ratu Tri Bhuwana Tungga Dewi, dengan patihnya yang paling terkenal dengan terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk tidak menikmati kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum dipersatukan di bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada.
Kembali ke awal cerita dimana salah seorang Krian diutus untuk menjemput Ki Kebo Iwa yang ditinggal oleh Patih Gajah Mada di daerah Banyuwangi berhasil menemui Ki Kebo Iwa dan mengantarnya ke Istana Majapahit.
Kedatangan Patih Kebo Iwa ke tanah Majapahit menyebabkan para tentara, baik yang belum pernah melihatnya maupun yang pernah takluk atas kekuatannya, menjadi terperangah, kagum, bercampur rasa ngeri dan waspada, Tentara Majapahit, menampakkan ekspresi terkejut dan cemas. Arah pandang mereka terpusat ke satu tujuan yang sama. Beberapa diantara mereka nampak sedang berbisik pelan dengan teman yang berada di sebelahnya; “Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa ! Mengerikan !”. Patih Gajah Mada menyambut kedatangan Patih Kebo Iwa: “Salam, Patih yang tangguh ! Selamat datang di Kerajaan Majapahit” Patih Kebo Iwa yang menimpali salam dari Patih Gajah Mada. Kebo Iwa : “Terima Kasih Patih, kiranya anda bersedia untuk langsung menjelaskan maksud dari Baginda Tri Bhuwana Tungga Dewi yang meminta saya untuk datang ke Majapahit.Gajah Mada : “Seperti yang telah dikabarkan sebelumnya, Patih kebo Iwa, baginda Raja mengharapkan kedatangan patih guna menjalin suatu tali persahabatan dengan Kerajaan Bedahulu di Bali dan juga berharap agar patih bersedia menemui wanita terhormat pilihan baginda yang dirasa pantas untuk mendampingi seorang patih yang tangguh seperti anda”.

Gajah Mada menarik nafas panjang kemudian melanjutkan kata-katanya: “Akan tetapi sebelumnya, akan sangat berati apabila Patih kerajaan. Kebo Iwa berkenan membuat sumur air di sana yang nantinya akan dipersembahkan untuk wanita calon pendamping anda. Lebih lagi, sumur itu nantinya juga akan dimanfaatkan oleh rakyat kerajaan Majapahit yang saat ini sedang kekurangan air. Kiranya patih berkenan mengabulkan permohonan ini.

Patih Kebo Iwa memiliki jiwa besar dan lurus hatinya, akhirnya diapun meluluskan permintaan tersebut. Nampak Patih Kebo Iwa yang sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk memenuhi permintaan tersebut. Kebo Iwa (berpikir sejenak) kemudian dia berkata: “Baiklah, biarlah kekuatanku ini kupergunakan untuk sesuatu yang menghadirkan berkat bagi orang banyak”.

Tanpa banyak cakap lagi, Patih Kebo Iwa segera melakukan aktivitasnya untuk menciptakan sebuah sumur air. Sebelum memulai pekerjaannya, tidak lupa Patih Kebo Iwa meminta pedoman dari Sang Hyang Widi. Kebo Iwa : (dalam hati) Ya yang Kuasa, segala yang akan saya lakukan semoga menggambarkan kebesaran namaMu. Kebo Iwa mulai menggali sumur di tempat yang telah ditunjuk.Dalam waktu yang cukup singkat, sumur telah tergali cukup dalam. Namun belum ada mata air yang keluar. Di atas lubang sumur yang digali oleh Patih Kebo Iwa, para prajurit Majapahit terlihat berkerumun, nampak mereka memusatkan pehatian pada Patih Gajah Mada. Seakan mereka menantikan sesuatu perintah…Tiba-tiba Gajah Mada berteriak: “Timbun dia dengan batu………!!!!” Seketika itu juga, para prajurit menimbun kembali lubang sumur yang sedang dibuat, dengan Patih Kebo Iwa berada di dalamnya.

Para prajurit menimbun lubang sumur dengan batu hasil galian itu sendiri, nampak Kebo Iwa sangat terkejut dan berusaha menahan jatuhnya batu. Dalam waktu yang singkat, lubang sumur itupun tertutup rapat. Mengubur seorang pahlawan besar didalamnya. Patih Gajah Mada yang berbicara kepada para parjuritnya.Gajah Mada :

“Sungguh amat disayangkan seorang pahlawan besar seperti dia harus mengalami ini. Namun, hal ini terpaksa harus dilakukan, agar nusantara ini dapat dipersatukan. Dengan ini kerajaan Bali akan menjadi bagian dari Majapahit”.

Tiba-tiba timbunan batu melesat ke segala penjuru, menghantam prajurit Majapahit. Terdengar teriakan membahana dari dalam sumur. Kebo Iwa : (berteriak)

“Belum ! Bali masih tetap merdeka, karena nafasku masih berhembus !!.

Batu-batu yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi dengan teriakan prajurit Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang ternyata masih terlalu kuat untuk dikalahkan. Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo Iwa yang masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur.

Kebo Iwa : “Dan pembalasan adalah apa yang kutuntut dari sebuah pengkhianatan !” Patih Kebo Iwa menyerang Patih Gajah Mada kemarahan dan dendam mewarnai pertempuran. Akibat amarah dan dendam yang dirasakan oleh Patih Kebo Iwa, pertempuran berlangsung sengit selama beberapa waktu. Disela-sela saling serang Gajah Mada berteriak:”Untuk memersatukan dan memperkuat nusantara, segenap kerajaan hendaklah dipersatukan terlebih dahulu. Dan kau berdiri di garis yang salah sebagai seorang penghalang !”.

Kesaktian Patih Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada untuk menundukkannya. Pertempuran antara keduanya masih berlangsung hebat, namun amarah dan dendam Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya Patih Kebo Iwa tengah bertempur seraya berpikir … Dan apa yang tengah dipikirkan olehnya, membuat dia harus membuat keputusan yang sulit… Kebo Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada akhirnya akan dapat ditaklukkan oleh usaha yang kuat dari orang ini, keinginannya untuk mempersatukan nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku mengerti kini.Namun apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup, apa yang akan aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah prasangka pengkhianatan ? Masih dalam keadaan bertempur, secara sengaja Patih Kebo Iwa melontarkan pernyataan yang intinya mengenai hal untuk mengalahkan kesaktiannya.

Kebo Iwa :

“Wahai Patih Gajah Mada ! Cita-citamu untuk membuat nusantara menjadi satu dan kuat kiranya dapat aku mengerti, namun selama ragaku tetap hidup sebagai abdi rajaku, aku akan menjadi penghalangmu. Maka, taklukkan aku, hilangkan kesaktianku dengan menyiramkan bubuk kapur ke tubuhku.

Pernyataan Patih Kebo Iwa rupanya membuat terkesiap Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada menunjukkan reaksi keheranan yang amat sangat atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada yang mengerti atas keinginan Kebo Iwa, nampak menghantamkan jurusnya ke batu kapur, batu itupun luluh lantak menjadi serpihan bubuk. Patih Gajah Mada menyapukan bubuk tersebut ke arah Patih Kebo Iwa dengan ilmunya, bubuk kapur menyelimuti tubuh sang patih Nampak Patih Kebo Iwa, sesak napasnya oleh karena bubuk kapur tersebut.

Kiranya bubuk kapur tersebut membuat olah pernapasan Patih Kebo Iwa menjadi terganggu, hal tersebut mengakibatkan kesaktian tubuh Patih Kebo Iwa menjadi lenyap.Patih Gajah Mada melesat ke arah Patih Kebo Iwa, menusukkan kerisnya ke tubuh Kebo Iwa. Dan sebelum kepergiannya, dengan sisa tenaga yang ada Patih Kebo Iwa mengutarakan apa yang ingin dikatakan untuk terakhir kali. Patih Kebo Iwa :

“Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya…biarlah nusantara yang kuat bersatu hasil yang pantas atas harga hidupku”.

Patih Gajah Mada dengan raut muka sedih, memberikan jawaban atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada :

“Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah… Sejarah suatu nusantara yang satu dan kuat”.

Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, napas terakhirpun pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah Bali… dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra terbaiknya.
Kisah Kebo Iwa belakngan ini banyak dikaitkan dengan bencana lumpur ( Lumpur Sidoarjo ) karena konon disitulah tempatnya Kebo Iwa diperdaya oleh ki Patih Gajahmada, ketika perang tanding terjadi, Patih Gajahmada sudah terjulur lidahnya keluar dipecik / cekuk oleh Kebo Iwa yang pantang berperang menggunakan senjata, mereka hanya memanpaatkan kekuatan yang ada pada dirinya. Ketika Ki Patih Gajahmada sudah menjulur lidahnya keluar, tiba tiba mendadak niatnya Kebo Iwa untuk menunda kematian Gajahmada dengan cara ingin tau mengapa Gajahmada seorang Mahapatih yang begitu tersohor namanya, menghadapi Kebo Iwa seorang diri saja mereka masih mempergunakan tipu daya ( pengindra jala ) denga cara mengubur Kebo Iwa dalam sumur- hidup hidup.....? apakah begini strategi perang Majapahit yang terkenal tersebut . Disitulah akhirnya Gajahmada dengan Isak tangisnya menyatakan bahwa : Disatu sisi dia mengakui kedigjayaan Kebo Iwa Ksatria Bali, disatu sisi mereka konsisten dengan keinginan luhurnya mempersatukan Nusantara. Begitu Kebo Iwa mendengarkan kesaksian Gajahmada yang jujur dan misi yang luar biasa ini "MEMPERSATUKAN NUSANTARA" maka menangislah Kebo Iwa sejadi jadinya, disatu sisi mereka adalah seorang kesatria yang pantang menyerah, distau sisi Kebo Iwa ingin mensuport perjuangan untuk mempersatukan Nusantara, akhirnya Kebo Iwa memilih jalan Ksatria, dengan jalan membuka rahasia kelemahannya dengan satu sarat : ( Statementnya ini ditulis dalam sebuah Prasasti yang ada di Pulau Menjangan sebelah utara Gilimanuk ( Dalam Pura Gajah mada & Kebo Iwa ) yang Berbunyi : “ Wahai Ki Patih Gajahmada, kupersembahkan Pulau Bali ini kepadamu dengan utuh, demi sebuah cita citamu yang luhur "MEMPERSATUKAN NUSANTARA" Namun apabila Pulau bali diperlakukakan secara tidak adil, Majapahit harus bertanggung jawab, aku akan berontak dan menenggelamkan Majapahit sesuai dengan lumpur kapur sirih yang merupakan bubuk yang akan kau siramkan dalam tubuhku, karena disitulah letak kelemahanku, sekarang aku mengalah demi cita citamu yang luhur. Prasati ini terpatri dalam sebuah Pura di Pulau Menjangan.
Dengan meninggalnya patih Ki Kebo Iwa maka tinggal 1 orang lagi orang yang paling berpengaruh yang harus disingkirkan untuk dapat menaklukan Kerajaan Bali. Orang tersebut tiada lain yaitu Krian Pasung Grigis yang merupakan Mangkubumi dari Kerajaan Bali.

Meninggalnya Kebo Iwa akhirnya memuluskan upaya Majapahit untuk melaksanakan ekspedisi ke Bali untuk menangkap Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Untuk melaksankan ekspedisi teraebut digelarlah sidang antara Ratu Majapahit dengan para pembesar/ pejabat istana. Dalam perundingan tersebut ikut serta adik adik Raden Cakradara yang merupakan Suami dari Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi. Dalam perundingan tersebut Gajah Mada menyampaikan pendapatnya
“ Mohon ampun baginda Raja, Kryan Pasung Grigis teramat sakti dan sulit untuk dikalahkan. Untuk menaklukkan Bali harus dilakukan penyerangan dari segala penjuru, oleh karena itu apabila Baginda mengijinkan kepergian hamba ke Bali dapat kiranya disertai kelima adik baginda raja, karena rasanya tanpa beliau pulau Bali akan sulit ditaklukkan.
Raden Cakradara tidak keberatan atas pendapat Patih Gajah Mada dan menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada adik adiknya
“ Bagaimana adik adikku apakah kalian bersedia membantu Patih Gajah Mada untuk bersama sama berangkat untuk menaklukkan Bali “
Semua adik adiknya menjawab dengan serentak
“ Demi kejayaan Majapahit, apapun perintah Kanda Prabu akan kami laksanakan dengan sebaik baiknya sebagai seorang kesatria “
Patih Gajah Mada sangat senang hatinya, cita citanya untuk melaksanakan sumpah Palapa sebentar lagi akan terwujud dengan menaklukkan Pulau Bali terlebih dahulu.
“ Baiklah kalau demikian halnya, hamba Patih Gajah Mada menghaturkan rasa terima kasih dengan segala hormat. Kini hamba bertambah yakin akan dapat menaklukkan Pulau Bali dan menangkap Pasung Grigis.
Setelah itu Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali. Terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima perang Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan. Dari Hasil perundingan tersebut diputuskan untuk menyerang bali dari 3 arah yang berbeda sebagai berikut :
1. Dari Arah Timur
Penyerangan Bali dari arah timur akan dipimpin oleh Patih Gajah Mada bersama dengan para patih keturunan Mpu Witadarma, Krian Pemacekan, Ki Gajah Para, Krian getas akan mendarat di Toya Anyar
2. Dari Arah Utara
Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Damar bersama dengan Arya Sentong dan Arya Kutawaringin akan mendarat di Ularan
3. Dari Arah Selatan
Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Kenceng bersama dengan Arya Belog (Tan Wikan) Arya Pengalasan dan Arya Kanuruhan akan mendarat di pantai Kuta
Kita beralih ke suasana di kerajaan Bali, setelah mengetahui kematian Patih Kebo Iwa, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengadakan rapat penting dengan para patih dan pejabat-pejabat Kerajaan lainnya. Dalam pertemuan tersebut diputuskan bahwa patih Amangkubhumi Pasung Grigis menggantikan Kebo Iwa mengorganisir pasukannya menentang Majapahit. Dalam rapat tersebut seluruh hadirin sepakat mempertahankan Bali dan tidak mau tunduk kepada Majapahit.
Setelah menyeberangi lautan pasukan Majapahit akhirnya mendarat di Pulau Bali. Kedatangan prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali bagaikan bergetar, rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut kepada pangeran Sri Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali serta kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar laporan tersebut, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus putranya pangeran Sri Madatama untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Setelah memastikan kebenarn berita tersebut Krian Pasung Grigis beserta para patih lainnya segera punggawa menyiapkan pasukannya masing masing dengan membagi pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan pasukan dari Majapahit.
· Pertahanan di wilayah Utara dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana.
· Pertahanan di wilayah Barat dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur.
· Pertahanan di wilayah Timur dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Diceritakan pasukan dari arah timur yang dipimpin langsung oleh Patih Gajah Mada sesuai kesepakatan, langsung membakar semak belukar di hutan untuk memberi tanda kepada pasukan dari arah Utara dan selatan bahwa penyerangan akan segera dimulai. Akibat pembakaran hutan tersebut membuat nyala api membumbung tinggi ke angkasa sehingga dapat dilihat oleh para arya dari arah utara dan selatan.. Dengan isyarat tersebut dengan serentak para prajurit Majapahit melakukan penyerangan ke Pusat kerajaan Bedahulu.
Pasukan dari arah Timur dipimpin oleh Patih Gajah Mada berhadapan langsung dengan pasukan Bedahulu yang dipimpin oleh Ki Tunjung Tutur yang berkedudukan di Toya Anyar dan Ki Kopang yang berkedudukan di Seraya. Pertempuran berjalan dengan dahsyatnya, saling terjang dan masing masing memperlihatkan kesaktian, kedigjayaan serta kemahiran bertempur, sampai akhirnya pasukan Bedahulu dapat dipukul mundur oleh Pasukan dari Majapahit setelah Ki Tunjung Tutur dan Ki Kopang gugur dalam pertempuran. Pasukan yang masih tersisa akhirnya tercerai berai menyelamatkan hidupnya masing masing. Dengan gugurnya kedua pemimpin pasukan tersebut maka daerah Tejakula, Bondalem, Julah, Bangkah, Bukti, Sembiran, Tajun, Bontihing, Bila, Depaa, Dausa, Lateng, Tunjuk, Kepakisan, Selulung, Batur dan desa sekitar bintang danu dan bagian timur seperti Tongtongan, Margatiga, Ngis dan Tianyar dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah Pimpinan Patih Gajah Mada.
Demikian pula pasukan dibawah pimpinan Krian Kepakisan dan Krian Tumenggung dapat menguasai desa Celukan Bawang, Banjar-Aseman, Uma Anyar, Yeh Anakan, Kalopaksa, PatemonUlaran, Unggahan, Gelagah, Kutul, Sepang, sekitar sungai Ubo, Ringdikit, Rangdu, Mayong, Pusuh, Lapuan, Kekeran, Belah-Manukan, Kedis, Gesing, Banyuatis, Gobleg, Cempaga, Kayu Putih, Munduk dan Baha.
Pertempuran di Bali bagian utara juga tidak kalah serunya. Daerah Ularan dipertahankan oleh Ki Girikmana diserang oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Panglima Arya Damar. Terjadi pertempuran antara kedua pimpinan pasukan yaitu Arya Damar dengan Si Girikmana. Kedua pasukan yang tadinya bertempur menghentikan pertempuran untuk menyaksikan perang tanding ke dua tokoh tersebut. Dalam perang tanding yang berlangsung sangat seru tersebut masing masing menunjukkan kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya, sampai akhirnya Si Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar sehingga gugur dalam pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak kerajaan Bali Krian Jembrana sebagai prajurit yuda.
Di Batur pasukan yang dipimpin oleh Arya Damar dihadang oleh Ki Bwan. Dalam pertempuran tersebut Arya Kutawandira mohon diberi kesempatan untuk untuk perang tanding dengan Ki Bwan. Arya Damar mengijinkan dan memberi nasehat untuk berhati hati dalam menghadapi Ki Bwan karena orangnya juga tidak kalah saktinya dengan Si Girikmana sehingga terjadilah pertempuran antara kedua tokoh tersebut. Dalam pertemuran tersebut Ki Bwan tidak mampu menandingi kesaktian Arya Kutawandira sehingga gugur dalam pertemuran sebagai pahlawan. Dengan gugurnya ke dua pimpinan pasukan dari Bedahulu tersebut maka wilayah Bali bagian utara jatuh ketangan pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar. Panglima perang pasukan Majapahit yang gugur dalam pertempuran tersebut bernama Arya Gait . Dengan gugurnya Ki Girikmana dan Ki Bwan maka daerah Jembrana, Pamagetan, Kebon jangung, Pangesan, Cangku, Pupuhan, Balimbing, Serampangan, penatahan, Jelijih, Punggang, Gadungan, Kayu Kunyit, Uma-Gati, Uma-Bangkah dan desa Selajong dapat dikuasai prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar.
Prajurit Tempo Dulu
Berbeda dengan Bali bagian utara dan bagian Timur, pertahanan Bali bagian Selatan jauh lebih kuat karena dipimpin langsung oleh Putra mahkota Kerajaan Bali yaitu pangeran Sri Madatama bersama panglima pasukan yang sakti mandraguna yaitu Ki Gudugbasur yang berpangkat demung dan Ki Tambyak yang berkedudukan di Jimbaran. Pasukan dari Bali tersebut bertempur dengan semangat tinggi dengan diiringi oleh gamelan yang gegap gembita sehingga berbaur dengar gemerciknya suara tombak beradu.
Dalam pertempuran tersebut Lurah Kadengayan, Lurah Suwung terlibat pertempuran sengit dengan Arya Wangbang dan Arya Dalancang. Pertempuran tersebut berjalan seimbang dimana Kedua belah pihak sama sama mengeluarkan ilmu pamungkas, sampai akhirnya Lurah Kadengayan dan Lurah Suwung gugur dalam perang tanding tersebut. Melihat temannya gugur dalam pertempuran Ki Demang Kalambang dan Ki Tambyak maju ke medan pertempuran menuntut balas
Ki Tambyak mengamuk dalam pertempuran sehingga membuat pasukan Majapahit tercerai berai. Dalam pertempuran tersebut Arya Pasuruhan tewas di tangan ki Tambyak dan di injak injak dengan kuda sedangkan kyai Banyuwangi lari dikejar oleh pasukan Ki Kalambang. Melihat pasukan Majapahit terus terdesak Arya Kenceng kemudian turun langsung ke medan pertempuran.
Pasukan Majapahit di wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng menggempur habis habisan, tiada henti hentinya mengurung pasukan musuh dari segala arah. Pasukan Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak mulai terdesak dan banyak yang mati terluka. Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil mengalahkan Kyai Lurah Belambangan. Tubuhnya dilemparkan oleh Ki Tambyak sehingga terpelanting ke tempat yang agak jauh. Kyai Lurah Belambangan menghembuskan napasnya yang terakhir, gugur sebagai prawira yuda yang gagah berani. Melihat kawan seperjuangannya gugur, Arya Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan Kyai Banyuwangi maju bersamaan untuk mengimbangi kekuatan musuh.

Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya. Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur.
Dalam Pertempuran tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah oleh para Arya dari Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai ilmu yang sangat tinggi yaitu teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga para Arya mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Namun demikian walaupun tubuhnya tidak dapat terluka apabila terus menerus digempur dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur kehabisan tenaga dan sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit.
Dengan Gugurnya Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh, Tralangu, Padang Sambian, Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba, Suwung, Sesetan, Tuban, Renon, Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba Kaba, Kapal, Tanah barak, Camagi, Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning, Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan, Keliting, Cengkik dan Kerambitan dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Kenceng.
Sisa sisa langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran menyelamatkan diri dan mengungsi ke daerah Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi, Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu, Manikliu, dan ada pula yang mengungsi ke daerah timur seperti Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Got, Garbawana, Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan, Hulakan, Sibetan, Asti, Watuwayang, Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah, Watidawa, Kutabayem
Kemenangan Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh Arya Kenceng melengkapi kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih dahulu berhasil mengusai wilayah Utara dan Timur Pulau Bali sehingga praktis semua daerah pesisir Bali dapat dikuasai. Sekarang tinggallah Krian Pasung Grigis yang bertahan di desa Tengkulak di wilayah Bali Bagian Tengah.
Krian Pasung Grigis adalah seorang yang sakti mandraguna, pemberani dan ahli perang, siasatnya licin, bisa lenyap seperti bayang bayang (maya maya). Menghadapi kenyataan ini patih Gajah Mada menjadi bingung, karena perintah Ratu Majapahit adalah menangkap hidup hidup Krian Pasung Grigis. Jangankan menangkap hidup hidup membunuhnya pun sangat sulit untuk dilaksanakan. Patih Gajah Mada berupaya mencari jalan untuk dapat mengalahkan Pasung Grigis.
“ Kalau begini terus, aku tak akan pernah menang, dan itu berarti aku gagal mewujudkan cita citaku untuk mempersatukan Nusantara. Aku harus mencari akal bagaimana caranya agar Krian Pasung Grigis dapat ditangkap hidup hidup “
Pada malam harinya Patih Gajah Mada mengumpulkan semua Arya dan pasukan untuk diajak berunding
“ Para Arya dan punggawa semua, kalau kita berperang melawan pasukan Pasung Grigis rasanya kita tidak akan pernah menang. Pasung Grigis amat sakti dan sulit ditaklukkan oleh siapapun. Kita harus mencari jalan dan siasat yang tepat untuk menaklukkannnya. Saya Tahu kesaktian Pasung grigis akan lenyap bila hatinya dikuasai sifat tamah, lupa daratan, mati akan kesombongan hatinya. Oleh karena itu kita buat dia lupa daratan, bangga akan dirinya, keluar semua kesombongannya dan tipu dia supaya dia seolah olah ingkar janji. Pada saat ingkar janji itulah kesaktiaannya akan lenyap dan disanalah kita akan menangkap dia hidup hidup “
Demikian Patih Gajah Mada mengemukakan pendapatnya dan mendapat persetujuan oleh segenap yang hadir. Keesokan harinya sesuai yang telah direncanakan, semua prajurit Majapahit serempak membalikkan senjata serta menaikkan bendera putih pertanda menyerah dan tidak akan mengadakan perlawanan, takluk pada keluasaan Krian Pasung Grigis. Melihat kenyataan tersebut betapa gembira hati Pasung grigis. Beliau tidak berfikit lebih lanjut mengapa secara tiba tiba pasukan Majapahit yang terkenal gagah berani menyerah dan takluk sebelum mengadalkan perlawanan. Beliau hanya menyangka musuh takut akan kesaktiannya.
Demikian bangganya beliau akan kesaktiannya sehingga tidak seorangpun yang bisa mengalahkannya, beliau lupa bahwa diatas langit masih ada langit. Karena mungkin telah menjadi kehendak Dewata sehingga lenyap pertimbangan beliau dan tiada menyadari bahwa beliau telah terkena upaya licin dari Patih Gajah Mada. Beliau menjadi lupa bagaikan kena “sasirep” sehingga tidak menyadari bahaya yang mengancamnya.
Seorang patihnya telah memperingatinya dengan penuh bijaksana
“ Tuangku hendaknya berhati hati menghadapi musuh yang penuh tipu muslihat, bisa saja musuh sengaja memasang perangkap untuk menjebak tuanku. Kita harus waspada karena mereka yang tampaknya sangat kuat dan tidak pernah mengalami kekalahan dalam pertempuran tiba tiba menyerah tidak mengadakan perlawanan “
Namun demikian nasehat dari patihnya tidak dihiraukan karena bangga akan kesaktian yang dimiliki
“ Apa katamu patih, tipu muslihat, mereka benar benar itdak berani melawan aku,. takut akan kesaktian yang kumiliki “
Demikian Krian Pasung Grigis berteriak teriak dengan sombongnya. Patihpun mundur teratur tidak berani mengeluarkan sepatah katapun. Hati Pasung Grigisa sudah diliputi rasa takabur akan kesaktian yang dimiliki.
“ Suruh mereka semua menghadap dengan segera “
Pasung Gerigis memerintahkan punggawanya untuk menemui pasukan dari Majapahit untuk dibawa menghadap ke Istana. Semua arya dan prajurit dari Majapahit mengikuti utusan dari Pasung Grigis untuk karang kepatihan. Rakyat di Tengkulak menyambut gembira kemenangan Kriyan Pasung Grigis dengan berpesta pora. Setibanya di sana para Arya dan punggawa dari Majapahit seperti tidak punya keberanian untuk memandang langsung wajah Pasung Grigis. Sambil mencakupkan tangan Patih Gajah Mada mempermaklumkan kekalahannya. Kata Patih Gajah Mada

“ Prajurit gusti patih sangat gagah berani, apalagi gusti patih juga teramat sakti tiada seorangpun diantara kami semua yang dapat mengalahkan gusti Patih. Gusti memang benar benar tiada tandingannya di dunia ini.

Dengan manisnya Patih Gajah Mada menyanjung Krian Pasung Grigis. Mendengar pujian tersebut tambah hilanglah kesadaran beliau, hatinya seperti diatas awan, lupa segalanya, hatinya sudah dikuasai rajah tamah, sehingga apapun yang akan diminta niscahya akan dikabulkan. Beliau tidak sadar akan perangkap yang dipasang oleh musuhnya.

“ Ya kalian semua telah tahu akan kesaktian yang aku miliki, maka lebih baik kalian menyerah saja “

Dengan bujuk rayu yang manis dan pujian pujian yang membuai pasung Grigis menjadi lupa daratan. Patih Gajah Mada mulai memasang perangkapnya yang licin untuk membuat Pasung Grigis ikar janji sehingga kesaktian yang dimiliki akan lenyap selamanya , karena itulah kelemahan dari Pasung Grigis yang dicari oleh Patih Gajah Mada.

“ Ampunilah permintaan hamba kehadapan Gusti patih, karena hamba mendengar kabar bahwa gusti mempunyai seokor anjing yang cerdik, seekor anjing hitam yang menurut penuturan orang mengerti akan bahasa manusia, seperti layaknya sifat manusia. Apabila Gusti berkenan, hamba mohon dipanggilkan anjing itu dengan menjanjikan akan diberikan makanan. Hamba sangat ingin menyaksikan kecerdikan anjing itu.

Demikianlah perangkap yang dipasang oleh Patih Gajah Mada. Dengan hati yang masih terbuai oleh sanjungan Krian Pasung Grigis segera berteriak memanggil anjingnya, ingin memamerkan kepintaran ajingnya. Anjing hitam tersebut segera muncul dengan membawa tempurung kelapa bundar (kau) dimulutnya, maksudnya supaya diberi makanan oleh majikannya. Setelah sampai di depan majikannya, Anjing itu tampat bersunggut sunggut karena tidak diberi makanan oleh majikannya. Tanpa disadarai ternyata Pasung Grigis telah berbuat ingkar janji kepada anjingnya, karena tidak memberi makanan sesuai yang dijanjikan sebelumnya. Melihat hal tersebut seketika bangkitlah Patih Gajah Mada seraya menuding Krian Pasung grigis.

“ Hai Pasung Grigis ternyata engkau telah ingkar janji pada anjingmu, ingkar pada kata katamu sendiri dan karena telah disaksikan oleh Sang Hayang Triyodana Sakti semoga lenyaplah semua kesaktianmu. Sekarang bagaimana kehendakmu apakah akan mengadu ketangkasan denganku atau dengan salah satu patih atau punggawa yang ku bawa. Ayo angkat senjatamu hadapi aku sekarang juga.

Krian Pasung Grigis membisu seribu basa, tidak disangka dirinya terkena tipu muslihat dari Patih Gajah Mada. Seketika itu beliau merasa tiada bertenaga lagi bagaikan telah terbang semua keberanian beliau, bagaikan terkena senjata Bajra yang dilepaskan Patih Gajah Mada. Dengan tiada harapan lagi Kryan Pasung Grigis akhirnya menyerahkan dirinya dan seluruh rakyatnya dibawah kekuasaan Majapahit.

“ Baiklah aku menyerah, aku baru sadar bahwa kesombongan tidak akan mendapat retu dari para dewata. Dengan ini seluruh pulau Bali dibawah kekuasaan Majapahit “

Penduduk Bali Tempo Dulu
Demikianlah akhir perlawanan Kryan Pasung Grigis terhadap Majapahit dan selanjutnya Pasung Grigis dipenjaraan di Tengkulak. Dengan tertawannnya Pasung Grigis maka seluruh rakyat dan para pemuka Bali menyatakan tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Peristiwa penundukan Bali oleh Majapahit terjadi pada Tahun saka 1265 atau 1343 M. Pasukan Gajah Mada beserta para Arya merayakan kemenangan ini dengan suka cita.

Dalam ekspedisi Majapahit ke Pulau Bali dapat diuraikan bahwa pasukan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gajah Mada dan Arya Damar mengalahkan musuh musuhnya dengan caranya sendiri sendiri. Patih Gajah Mada dengan “Wiweka”nya (akal) sedangkan Arya Damar dengan mengandalkan “Kawisesan”nya atau ilmu magic yang dimilikinya sebagai pengikut setia aliran Bajrayana-Amoghapasa yang menyebabkan pahlawan dan prajurit Bali ketakutan dan menyerah.

Dalam perayaan kemenangan tersebut tiba tiba muncullah utusan dari Ratu Majapahit Tri Bhuwana Tunggadewi yang bernama Kuda Pengasih yang tiada lain merupakan ipar dari Patih Gajah Mada, karena Kuda Pengasih adalah adik Ken Bebed , istri dari Patih Gajah Mada. Kuda Pengasih putra patih Matuwa diutus dari Majapahit untuk memantau langsung pasukan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gaja Mada yang telah lama meninggalkan Majapahit. Kuda Pengasih menyaksikan pesta ria yang dilaksanakan untuk menyambut kemenangan yang baru saja diraih pasukan dari Majapahit dengan menundukkan Kryan Pasung Grigis.

Kuda Pengasih kemudian menyampaikan pesan dari Ratu Tribhuwana Wijaya Tunggadewi yang isinya meminta apabila Bali telah berhasil ditaklukkan maka Patih Gajah Mada dan Arya Damar diminta kembali secepatnya ke Majapahit karena telah lama meninggalkan Istana Majapahit, akan tetapi para arya yang lain diperintahkan untuk tetap tinggal di Bali untuk menjaga keamanan Pulau Bali. Para Arya yang ditugaskan di Bali diantaranya :

- Arya Kenceng
- Arya Sentong
- Arya Beleteng
- Arya Kutawaringin
- Arya Belog
- Arya Binculuk

Patih Gajah Mada menyanggupi hal tersebut namun meminta waktu untuk menempatkan para Arya yang akan mampu mempertahankan kekuasaan Majapahit di Pulau Bali.

1 komentar:

  1. mohon ijin cerita ini untuk saya di baca diradio
    www.radiosemetontakdir.com

    BalasHapus