Sabtu, 14 Mei 2011

UGRASENA

(915-942) M


Setelah wafatnya Raja Kesari Warmadewa pada tahun Saka 837/915 maka Putra beliau Sri Ugrasena Warmadewa menggantikan kedudukan sebagai Raja di Bali. Beliau terkenal akan kebijaksanaannya dan kewibawaanya sehingga menjadikan Pulau Bali aman dan sentaosa.

Para pendeta Siwa Budha dan Rsi, Empu, para agamawan datang dari pulau Jawa dan Hindu (India) semuanya bersama memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi dengan para dewa, tapi pemujaan disesuaikan dengan desa kala patra. Itu yang menyebabkan tepat disebut Bhinneka Tunggal Ika. Kerajaan berpusat di Singhamandawa didaerah sekitar Batur.

Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.

Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur. Ada sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni

  1. Prasasti-prasasti Banjar Kayang (837 Saka),
  2. Prasasti Les,
  3. Pura Bale Agung (837 Saka),
  4. Babahan I (839 Saka),
  5. Sembiran AI (844 Saka),
  6. Pengotan AI (846 Saka),
  7. Batunya AI (855 Ska),
  8. Dausa,
  9. Pura Bukit Indrakila AI (857 Saka),
  10. Serai AI (858 Saka), Dausa,
  11. Pura Bukit Indrakila BI (864 Saka),
  12. Prasasti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg,
  13. Pura Batur A.
Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah kebijakan penting dilakukan oleh raja Ugrasena. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut ini. Keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada desa Sadungan dan Julah, karena desa itu belum pulih benar dari kerusakan akibat diserang perampok.

Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh penduduk . Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama,

Raja Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya dapat diketahui.

Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha), di Buwunan dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar, jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.


AKHIR MASA PEMERINTAHAN

Sesudah beberapa lama Sri Aji Ugrasena bertahta di istana kerajaan akhirnya beliau wafat kembali kealam Sunya, pada tahun Saka 864/942 Masehi beliau dicandikan di Ermadatu. Beliau dikenal dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu. Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar