Sabtu, 14 Mei 2011

RATU UGRASENA TABENDRA

/ MAYA DANAWA (Th 882) M


Kerajaan tertua di Bali yang tercatat dalam sejarah Bali adalah Kerajaan Singamandawa atau Kerajaan Balingkang (882) M terletak di sekitar Batur. Keberadaan Kerajaan ini dikukuhkan melalui 15 prasasti yang berangka tahun 804 M. Dalam prasasti itu disebutkan raja Singamandawa adalah Ugrasena.

Dalam struktur kerajaan lama, Raja – raja Bali dibantu oleh badan penasehat yang disebut “Pakirakiran I Jro Makabehan” yang terdiri dari beberapa Senapati dan Pendeta Syiwa yang bergelar “Dang Acaryya” dan Pendeta Buddha yang bergelar “Dhang Upadhyaya”. Raja didampingi oleh badan kerajaan yang disebut “Pasamuan Agung” yang tugasnya memberikan nasihat dan pertimbangan kepada raja mengenai jalannya pemerintahan. Raja juga dibantu oleh Patih, Prebekel, dan Punggawa – punggawa.


Ratu Ugrasena merupakan keturunan Wangsa Keling atau Kalingga atau dikenal dengan nama Wangsa Sanjaya yang berasal dari India Selatan. Pada jaman ini agama Budha mulai masuk ke Bali setelah terlebih dahulu berkembang di Jawa. Pada tahun 913 M muncul Kerajaan Singhadwala atau Kahuripan dengan rajanya Kesari Warmadewa yang merupakan keturunan wangsa Warmadewa yang berasal dari Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) dan Sriwijaya (Sumatera Selatan).

Munculnya kerajaan ini tidak terlepas dari persaingan antara wangsa Sanjaya dengan wangsa Warma di Jawa Barat pada abad ke 6. Kedua Kerajaan bersaing untuk menguasai daerah yang lebih luas sehingga kedua kerajaan akhirnya terlibat dalam peperangan secara terus menerus. Di Bali Kerajaan Singamandawa terdesak sehingga hanya bertahan di pegunungan Kintamani dan Buleleng sedangkan Wangsa Warma telah menguasai wilayah yang lebih luas yang dibuktikan dengan prasasti berupa pahatan batu di Penataran Gede Malet dan Pura Panempaan Manukaya.

Setelah tahun saka 888 tidak terdengar lagi raja raja Singamandawa karena prasasti prasasti yang dikeluarkan semuanya dari raja raja Warmadewa sehingga diperkirakan Kerajaan Kerajaan Singamandawa atau Kerajaan Balingkang jatuh ketangan Kerajaan Singhadwala atau Kahuripan dengan jalan damai karena salah satu Raja keturunan wangsa Warmadewa yaitu Raja Tabanendra Warmadewa sangat menghormati Sang Ratu Ugrasena yang diuraikan dalam prasati Kintamani A yang menyebutkan “ Sang Ratu Sang Sinddha Dewata Sang Lumah di Air Madatu.

Dengan ini maka berakhir pula masa kedinastian Wangsa Sanjaya di Bali dan digantikan oleh Wangsa Warmadewa. Lalu kemanakah keturunan keluarga Ugrasena tersebut ? menurut tradisi dari kerajaan kerajaan kuno bilamana ada kerajaan yang dikalahkan maka keluarga raja yang ditaklukkan tersebut diserahi tugas dalam pemerintahan oleh Raja yang berkuasa sebagai patih atau pejabat kerajaan lainnya, apa lagi penaklukannya dilakukan dengan cara damai.

Kalau pendapat ini benar maka keturunan Ratu Ugrasena pada jaman pemerintahan wangsa Warmadewa yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten menduduki jabatan Menteri menteri Kerajaan diantaranya :

  1. Pangeran Tambyak
  2. Ki Kalung Singkal dari Taro
  3. Ki Tunjung Tutur dari Desa Tenganan
  4. Ki Tunjung Biru dari Tianyar
  5. Pangeran Kopang dari Seraya
  6. Ki Buahan di Batur
  7. Rakriyan Girimana di Ularan
  8. Pangeran Tangkas Pangeran Mas
  9. Perdana Menteri Ki Pasung Grigis di Tengkulak
  10. Ki Kbo Iwa di Blahbatuh.
Demikianlah keturunan Wangsa Sanjaya yang menduduki jabatan pemerintahan pada jaman Raja Sri Ratna Bumi Banten pada saat ekspedisi Majapahit ek Bali untuk menaklukan kerajaan Bedulu. Diantara mereka yang dapat dicari keturunannya sampai sekarang hanyalah Rakriyan Girikmana dari Ularan Singaraja yang menjabat sebagai panglima perang pasukan Dulang Mangap Kerajaan Gelgel yang bergelar Jelantik.

Beliau berhasil menaklukan Kerajaan Blambangan. Kryan Ularan panglima Dulang Mangap mempunyai anak yang bernama Jelantik Bongol yang dijuluki demikian karena beliau mengamuk di medan perang Bali-Pasuruan tanpa memakai senjata sebagai penebusan terhadap dosa ayahnya yang ingkar atas perintah Dalem.


GARIS KETURUNAN WANGSA SANJAYA

Sanjaya adalah raja dari sebuah kerajaan tua di Jawa Tengah yaitu Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Purana, Usana, Babad sering disebut dengan nama Kerajaan Keling. Raja Sanjaya adalah pendiri dinasti Sanjaya dengan gelar Sanjayawamsa. Kerajaan Mataram Kuno adalah merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kalingga di Jawa Barat yang telah ada tahun 414 M, yang menurut penuturan seoarang peziarah China yang bernama Fa Hian menyebut nama Kalingga dengan nama Holing.

Asal usul Kerajaan Kalingga ini adalah dari India Selatan yang karena terdesak di wilayah India maka Raja Kalinga beserta keluarganya hijrah ke Indonesia dan terdampar di Jawa Barat. Dijawa Barat Raja Kalingga dan para pengikutnya kemudian mendirikan Kerajaan Kalingga. Sebagai Raja di Kerajaan Kalingga dikenal 2 orang yaitu Raja Sannaha dan Ratu Simmo.

Setelah pemerintahan Ratu Simmo tidak terdengar lagi raja penggantinya sampai tahun 732 M muncul kerajaan baru di Jawa Tengah dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang. Para ahli sejarah menduga Kerajaan Mataram Kuno ini adalah kelanjutan dari kerajaan Kalingga. Adapun kepindahannya dari Jawa Barat ke Jawa tengah diperkirakan karena terdesak oleh munculnya Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 6 dengan Rajanya Purnawarman dari wangsa Warma.

Kerajaan Mataram Kuno ini melebarkan kekuasaanya samaai ke Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Timur dikenal adanya kerajaan Kanjuruhan berdasarkan prasasti Dinoyo tahun 760 M dan di Bali terdapat kerajaan Singamandawa berdasarkan prasasti Sikawana A tahun 882 M. Besar kemungkinan raja dari kerajaan tersebut adalah dari keluarga Sanjaya atau Sanjayawamsa karena kesamaan prasasti-prasasti Canggal 732 M dan Prasasti Dinoyo 760 M dan Prasasti Sukawana 882 M dalam bidang keagamaan yang dianut.


SISTEM KEPERCAYAAN

Menyembah banyak dewa yang bukan hanya berasal dari dewa Hindu & Buddha tetapi juga dari kepercayaan animisme mereka.


WALAJAYA KERTANINGRAT

/ SRI TARUNAJAYA / BHATARA GURU II
(1328 -1337) M




Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug (Stein Callenfels, 1926 : 68-70), yang memerintah di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat.

Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa mangkat dimana perisitiwa tersebut tahunnya bersamaan dengan terbunuhnya Jayanegara raja Majapahit yang ke dua oleh tabib Ra Tanca. Setelah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa wafat maka putranya yang bernama Trunajaya menggantikan kedudukan beliau sebagai raja dengan memakai gelar Sri Walajaya Kertaningrat hal tersebut tercantum dalam prasasti yang tersimpan di desa Selembung (Karangasem).

Dalam prasasti itu juga disebutkan Pura Hyang Api atau Agni Sala tertulis nama Maharesi Agastya yang menyelesaikan perkara desa Selembung. Adapun pejabat pejabat pemerintahan pada masa pemerintahan ayah beliau masih tetap dipertahankan kecuali jabatan untuk Senapati Balembunut diganti sebanyak 2 kali. Pada tahun 1324 M jabatan tersebut dipegang oleh Ki Pinda Macan sedangkan tahun 1325 diganti oleh Ki Gentur sampai akhirnya dipegang oleh Ki Bondantuhed.

Pada pemerintahan beliau, desa Selumbung dibebaskan dari pembayaran pajak dan rodi karena desa ini memelihara sebuah candi yang ada di Linggabawana. kemungkinan candi tersebut adalah merupakan tempat abu ayahanda beliau yaitu Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dimakamkan. Keadaan pulau Bali pada masa pemerintahan belia sangat tenang dan aman.

Raja ini memerintah bersama-sama dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru. Mengingat kata tara (baca : tara) dapat berarti ”janda atau duda”, di samping juga berarti ”suami atau istri” (Damais, 1959 : 690), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Paduka Tara Sri Mahaguru kemungkinan besar adalah janda almarhum Bhatara Guru II.

Selain itu, kiranya dapat disepakati bahwa kata tarunajaya pada hakikatnya bermakna sama dengan walajaya. Kendatipun demikian, masih diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan tokoh Tarunajaya dalam prasasti Srokadan dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selumbung. Kehati-hatian itu diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk sang suami (yaitu Bhatara Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan sebagai putra sang permaisuri (yaitu paduka Tara Sri Mahaguru).

Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika Bhatara Guru II dan Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan pasangan suami-istri. Atas dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat dapat dikatakan bahwa bagaimanapun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Sumber-sumber sejarah yang muncul pada masa-masa mendatang diharapkan dapat menerangkan hal itu.

Dari prasasti Selumbung yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa Raja Walajayakrtaningrat beserta ibunya memberikan anugrah prasasti kepada tetua desa Salumbung (karaman ing salumbung). Dalam prasasti itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh penduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candri ring Linggabhawana. Penganugerahan prasasti itu disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.

Raja Walajayakrttaningrat dan ibunya digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabumibanten (baca : Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten). Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99). Prasasti ini mencatat bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan pelbagai drwyahaji yang mesti dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran

MAHAGURU DHARMOTTUNGGA WARMADEWA

(1324-1328)


Setelah jatuhnya Kerajaan Singasari akibat dari serbuan Raja Jayakatwang dari Kediri maka berakhirpula kekuasaan Kebo Parud sebagai wakil pemerintahan Kerajaan Singasari di Pulau Bali. Karena Majapahit adalah penerus dari Kerajaan Singasari maka secara otomatis pula kekuasaan di Pulau Bali dipegang oleh Kerajaan Majapahit.

Adalah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa yang bergelar Sri Paduka Maharaja Bhatara Mahaguru yang ditunjuk oleh Raja Jayanegara sebagai wakil Kerajaan Majapahit di Pulau Bali. Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa adalah keturunan dari Bhatara Guru Sri Adi Kunti-Ketana yang memerintah Bali pada tahun 1204 M.

Raja ini adalah keturunan dari raja dua sejoli Sri Gunapriya Dharmapatni dan suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah tahun 989 s/d 1001 M di Kerajaan Bedulu. Kerajaan Bedulu diperkirakan terletak diantara desa Bedulu dan Pejeng (Gianyar) dan bekas pemandian Raja kini disebut sebagai Pura Arjuna Matapa.

Pemerintahan Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa adalah wakil pemerintahan Kerajaan Majapahit di Bali sehingga untuk jabatan penting seperti Senapati beliau mengakat orang – orang dari Majapahit disamping orang orang dari Bali sendiri. Senapati yang diangkat beliau diantaranya :

  1. Kidalang Camok diangkat menjadi Senapati Kuturan
  2. Ki Candi Lengis diangkat menjadi Senapati Sarbwa
  3. Ki Jagatrang diangkat menjadi Senapati Weresanten
  4. Ki Pindamacan diangkat menjadi Senapati Balem bunut
  5. Ki Gagak Sumeningrat diangkat menjadi Senapati Baladyaksa
  6. Ki Kuda Makara / Ki Kuda Langkat Langkat diangkat menjadi Senapati Danda
  7. Ki Lembu Lateng diangkat menjadi Senapati Manyiringan
  8. Ki Gagak Lepas diangkat menjadi Senapati Dinganga
  9. Mantri irah Prana diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman I
  10. Mantri Wadyawadana diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman II ·
  11. Ki Panji Singaraja diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman III
Perutusan pendeta Siwanya adalah :
  1. Paduka Raja Guru diangkat menjadi pendeta besar yang berkuasa di Dharmahanyar II.
  2. Paduka Rajadyaksa diangkat menjadi pendeta besar yang berkuasa di Air Gajah sekarang di Goa Gajah.
  3. Paduka Raja Manggala diangkat menjadi pendeta besar di Trinayana.
Perutusan pendeta Budhanya adalah :
  1. Dang Upadyaya Pujayanti diangkat menjadi pendeta besar di Biharanasi ·
  2. Dang Upadyaya Karmangga diangkat menjadi pendeta besar di Puranagara.

Demikianlah susunan pejabat kerajaan yang diangkat oleh beliau. Dalam pemerintahannya beliau juga membuat undang undang desa yang ditata diatas perunggu dan isinyapun kebanyakan disesuaikan dengan prasasti-prasasti yang telah ada. Segala keputusan beliau didasarkan atas permusyawaratan dan tempat pengambilan keputusan biasanya dilakukan di balai-pendapa yang ada di istana. Para pendeta Siwa, Budha, Resi dan Mahabrahmana yang ada di desa desa sangat dihargai oleh beliau, bahkan mereka diikutsertakan dalam sidang disamping pejabat pejabat resmi di Kerajaan.

Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dalam melaksanakan sehari hari tugas pemerintahannya telah mengangkat putranya sendiri yang bernama Sri Trunajaya sebagai raja muda. Akan tetapi entah mengapa raja muda ini belum bersedia untuk dicalonkan menjadi raja. Sebagai raja Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa sangat bijaksana dalam menjalankan pemerintahan, Beliau sangat taat melakukan upacara di pura-pura, terlebih pemujaan terhadap leluhurnya. Dari itulah beliau membuat peraturan-peraturan adat untuk upacara Paduka Bhatara almarhum yang dicandikan di Candi Manik yang upacaranya jatuh pada setiap bulan purnama dalam bulan Cetra (Maret).

Bangunan bangunan suci banyak didirikan pada jaman pemerintahan beliau, sebuah taman yang sangat indah telah dibangun disebelah selatan desa Bangli. Kolamnya dihiasi patung “Makaradewi” sedangkan di sebelah selatannya dibuat bangunan suci (Pemerajan) untuk pemujaan beliau yang disebut Gua Merku. Kini komplek taman tersebut disebut Taman Bali.

Identifikasi Raja Bhatara Guru II atau Bhatara Sri Mahaguru sesungguhnya masih mengandung permasalahan.
Ada tiga buah prasasti dikeluarkan oleh raja itu, tetapi memuat gelarnya secara tidak konsisten. Dalam prasasti Srokadan (1246 Saka)25 baginda disebut Paduka Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji (baca : Haji) Sri Tarunajaya.

Dalam prasasti Cempaga C (1246 Saka) disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Mahaguru (Stein Callenfels, 1926 : 50). Dan dalam prasasti Tumbu (1247 Saka) disebut Paduka Sri Maharaja, Sri Bhatara Mahaguru, Dharmmotungga Warmadewa (baca : Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa) (Goris, 1965 : 45).

Sri Jayakasunu digantikan oleh putra-putrinya yaitu Sri Masula Masuli dengan gelar Bhatara Mahaguru Darma Utangga Warmadewa dengan ibu kota kerajaan Batu Anyar. Bali aman kembali Kebo Parud tidak berada di Bali lagi. Baginda bertahta sampai dengan tahun Çaka 1250 (1328 Masehi). Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug (Stein Callenfels, 1926 : 68-70), yang memerintah di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat. R

RAJAPATIH MAKASAR KEBO PARUD

(1296 -1300) M


Pada tahun 1293 terjadi perubahan kekuasaan di Jawa Timur dimana Kerajaan Singhasari mengalami keruntuhan dan Raja Kertanegara tewas akibat pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Kertanegara berhasil menumpas pembrontakan tersebut dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Karena Kerajaan Singhasari telah mengalami keruntuhan maka Majapahit sebagai pengganti kerajaan Singhasari mengambil alih seluruh daerah kekuasaan kerajaan Singhasari termasuk Pulau Bali.


Pada tahun 1296 M Sri Rajasa Jaya Wardana sebagai Raja Majapahit yang pertama, menunjuk Ki Kebo Parud sebagai wakil pemerintahannya di Pulau Bali dengan gelar Raja Patih. Dalam melaksanakan pemerintahannya Ki Kebo Parud mengangkat beberapa senapati dan pejabat tinggi lainnya untuk membantunya dalam pemerintahanya dan mengganti beberapa pejabat penting pada waktu pemerintahan Raja Adidewa Lancana dengan pejabat baru yang berasal dari Jawa Timur.

Pejabat penting yang diganti diantaranya :
  1. Senapati Weresanten : Mpu Abdaraja ·
  2. Senapati Balembunut Dyaksa : Mpu Tohujar diganti · Senapati Danda : Mpu Arusningrat ·
  3. Senapati Dinganga : Mpu Suradikara ·
  4. Senapati Kuturan: Mpu Angambara ·
  5. Para pendeta Siwa diantaranya Dang Acarya Harimurti, Pendeta di Sthanaraja, Dang Acarya Haridewa, Pendeta di Amurnaraja, Dang Acarya Madyagra, pendeta di Katubrih, Dang Acarya Satyangsa, Pendeta di Makarum dan Dang Acarya Karnikangsa sebagai samegat juru – wadwa ·
  6. Para Pendeta Budha diantaranya Dang Upadyaya Atmaja, pendeta di Nalanda dan Dang Upadyana Budhadnyana, pendeta Kutihanyar dan Tiramangsa sebagai Samegar Mangirengiren ·
  7. Samegat Juru Tulis kehakiman diantaranya Tarayaruhun, Niraweruh dan Namapinda ·
  8. Samegat Manyumbul : Nayalor
  9. Samegat Pituhanya : Werdeng Pramohab
  10. Samegat Caksukaranapuranya : Digaja
  11. Samegat Karanapuranya : Sidhamukti

Sebagai gantinya Ki Kebo Parud kemudian menunjuk beberapa pejabat penting diantaranya : ·
  1. Senapati Danda : Ki Gagak Semeningrat alias Ki Gagak Suluhingrat ·
  2. Senapati Sarbhwa : Ki Dangdang sangka
  3. Senapati Balembunut : Ku Kuda Makara
  4. Ken Demung : Ki Gajah Pamugeran · Ken Rangga : Ki Dangdang Bangbungalan
Selain itu beliau juga mengakat beberapa Wadwa-haji yang ditempatkan di beberapa tempat di Bali diantaranya :
  1. Wadwa-haji di Panji :Ki Sangkarinsing dan Ki Ranggahwalik
  2. Wadwa-haji di Sarwa-patih Ki Jadang-mider, Ki Bimapaksa dan Ki Gajah Sereng
  3. Wadwa-haji di Kurtija : Ki Banyak Endah dan Ki Panggah-parya ·
  4. Wadwa-haji di Jingrana : Ki Kidang-semu · Wadwa-haji di Guleng dan Perang : Ki Binajaga
Beberapa kementrian atau kesenapatian yang belum ada pejabatnya dibentuk diantaranya Senapati Dinganga, Senapati Manyiringin dan Senapati Beladyaksa. Perutusan Pendeta Siwa dan Budha pun dibentuk disesuaikan dengan peraturan yang terdahulu, namun pejabatnya belum diresmikan diantaranya pendeta Siwa di Dharmahanyar, di Astanaraja, di Dewastana dan di Binor sedangkan perutusan pendeta Budhanya di Burwan, di Puwanegara, di Kutrihanyar dan di Ajinegara, juga dilantik Tri-samegat atau tiga pejabat yang sangat berkuasa di Istana.

Demikianlah pergantian pejabat tinggi kerajaan yang dilakukan oleh Ki Kebo Parud sebagai wakil pemerintahan Kerajaan Majapahit di Pulau Bali. Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di Bali hanya bersifat sementara saja. Beberapa tahun kemudian, oleh karena keadaan Bali sudah aman maka pada tahun 1324 Masehi, atas perintah Jayanegara sebagai Raja Majapahit yang kedua, pemerintahan Bali dikembalikan lagi kepada keturunan Wangsa Warma karena mengingat bahwa Pulau Bali sejak dari dulu diperintah oleh raja raja keturunan wangsa Warman.

Kedudukan Kbo Parud sebagai rajapatih boleh jadi berlangsug sampai setelah Raja Kertanagara dari Kerajaan Singasari dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kadiri, bahkan mungkin sampai pada masa-masa awal kerajaan Majapahit.

Kedudukannya itu tampaknya baru berakhir setelah Bhatara Guru II (Bhatara Sri Mahaguru) dinobatkan sebagai raja di Bali pada tahun 1256 Saka (1324), atau beberapa tahun sebelum penobatan itu. Hal ini sekaligus menyatakan bahwa Bali selama itu berada di bawah pengawasan kerajaan yang tengah berkuasa di Jawa Timur. Pada jaman ini para Arya dan Bujangga serta para Mpu keturunan Sapta Resi tangan dari Jawa Timur ke Bali.

Keberadaan Kebo Parud sebagai penguasa di bali dibuktikan dengan sebuah prasasti yang dikeluarkan olek Kebo Parud yang berangka tahun caka 1218 Caka yang berisi persoalan tentang desa kedisan “ Mewang Ida Raja Patih meka kasir Kebo Parud “ Berdasarkan nama nama patih dan berdasarkan isi prasasti tersebut, ternyata patih itu adalah pegawai Negara yag berasal dari Jawa Timur, nama semacam itu sering dijumpai dalam kerajaan Singhasari.

Ada kemungkinan bahwa patih yang dimaksud bertugas sebagai gubernur atau semacamnya yang mewakili pemerintahan Singhasari di Bali. Selanjutnya terdapat prasasti lainnya yang menyebutkan nama “Ida Ken Kanuruhan” dan yang istimewa pula prasasti tersebut tidak memakai sapatha sebagaimana yang sering dijumpai dalam prasasti prasasti di Bali pada umumnya. Kebo Parud juga mengeluarkan prasasti yang berangka tahun Caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawana yang terletak diperbatasan Min Balingkang. Dalam prasasri tersebut terdapat kata-kata “Mpukwing Dharma Anjar, Mpukwing istana radja, Mpukwing dewa istana” Gelar para menteri diubah menjadi Jro atau diduga Arya sebagai contoh Ida Raja Sang Arya = Ida Sang Arya Aji Kara.

Agama yang yang dianut oleh Kebo Parud adalah Wajrayana yaitu suatu aliran Tantrisme dari agama Budha. Di Singhasari pada saat tersebut sedang berkembang dan malahan menjadi pusat aliran Wajrayana. Aliran ini sangat condong kle dalam ilmu sihir atau ilmu gaib yang sebagai pemimpinnya adalah rajanya sendiri yaitu Raja Kertanegara.

Demikianlah di peseteran Singhasari ditemukan arca Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul, disamping itu juga terdapat arca Bhairawa, dimana Raja Kertanegra sering melakukan upacara upacara yang berakitan dengan aliran yang dianutnya. Pada jaman pemerintahan Kebo Parud di Bali terdapat arca Bhairawa didaerah Pejeng yang bentuknya mirip dengan arca Bhairawa yang terdapat di Singhasari. Demikianlah ada kemungkinan besar bahwa latihan latihan Wajrayana juga dilakukan oleh wakil pemerintahan Singhasari di Pulau Bali. Para pendeta Budha kemudian mendirikan sebuah biara (asrama) di Bedaulu didekat biara Ratna Kunjarapada yang diketahui sebagai sebuah asrama bagi para pendeta Ciwa.

Hal tersebut sesuai yang terdapat dalam buku Nagarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca. “ Sang Budhadhyaksa muwing Bedaulu Bedaha luwing Gajah ran pramada wruh “ Artinya ada pendeta Budha besar yang berdiam di Bedaulu, di luwing Gajah yang tidak pernah pramada (angkara). Mungkin yang dimaksud dengan luwing Gajah adalah tempat disekitar air Gajah yang seperti diketahui daerah air Gajah adalah daerah disekitar sungai Patanu tempat didirikannya asrama asrama tersebut.

Dalam hal ini Goa Gajah termasuk dalam lingkungan Dharma Anta Kunjarapada. Para pendeta Ciwa tentu merasa tidak senang melihat perkembangan aliran Wajrayana di bali sehingga timbullah persaingan diantara mereka. Rakyat Bali pada umumnya memihak kepada pendeta Ciwa yang berarti mereka tetap memja Maharesi Agatya

ADIDEWALANCANA

(1260-1286)


Antara Raja Sri Wirama (1126 Saka) dan raja berikutnya, yaitu Bhatara Parameswara Hyang ning Hyang Adidewalancana (1182 Saka) terdapat masa kosong (power vacuum) selama tidak kurang dari 56 tahun. Belum terdapat petunjuk yang jelas mengapa hal itu terjadi.

Tidak banyak dapat dikemukakan mengenai raja Adidewalancana. Baginda mengeluarkan sebuah prasasti, yaitu prasastiBulihan B (1182 Saka), yang dianugrahkan kepada wakil-wakil desa Bulihan (karaman i bulihan) . Selain itu beliau juga mengeluarkan prasasti Pangsan yang dianugrahkan kepada pariman i nungnung.

Setelah masa pemerintahan raja Adidewalancana, terdapat lagi masa tanpa raja selama lebih kurang 64 tahun, yakni tahun 1182-1246 Saka (1260-1324). Pada periode itu terbit hanya dua buah prasasti, yaitu prasasti Pengotan E (1218 Saka) dan Sukawana D (1222 Saka), atas nama Kbo Parud (putra Ken Demung Sasabungalan). Tokoh itu berkedudukan sebagai rajapatih, bukan sebagai raja .

Keadaan ini kemungkinan besar ada kaitannya dengan keterangan yang dapat disimak 32 dari isi pupuh 42 bait 1 kitab Nagarakrtagama. Di sana dikatakan bahwa pada tahun 1206 Saka (1284) Raja Krtanagara (dari Singhasari) berhasil menaklukkan Bali serta menawan raja-raja Bali . Dalam sumber itu tidak disebutkan nama atau gelar raja Bali yang ditawan. Dengan alasan yang kurang jelas, dapat diduga bahwa raja itu adalah Adidewalancana .

Dugaan itu akan menjadi benar apabila raja itu memerintah paling sedikit selama 24 tahun setelah menerbitkan prasastinya yang berangka tahun 1182 Saka (1260)Pulau Bali sebelum ditaklukan oleh kerajaan Singhasari adalah wilayah yang merdeka dan raja yang berkuasa di wilayah tersebut merupakan keturunan dari wangsa Warman.


EXPEDISI KERAJAAN SINGASARI KE BALI

Kerajaan Singhasari pada jaman pemerintahan Kertanegara mencapai masa keemasannya. Diantara Raja-Raja Singhasari, Raja Kertanagara yang pertama tama melepaskan pandangan ke luar Jawa. Prabu kertanagara ingin mendobrak politik tradisional yang hanya berkisar pada Janggala-Panjalu dan ingin mempunyai kerajaan yang lebih luas dan lebih besar dari kedua wilayah tersebut yang berupakan warisan dari Raja Erlangga.

Wilayah Bali yang berdekatan dengan kerajaan Singhasari menjadi salah satu wilayah yang harus dikuasai untuk mewujudkan cicta cita dari Raja Kertanegara. Oleh karena itu setelah exspedisi pamalayu berhasil dengan gemilang maka ekspedisi ke Pulau Bali menjadi target berikutnya.

Maka pada tahun 1284 Masehi dikirimlah sejumlah pasukan dibawah pimpinan : ·

  1. Ki Kebo Bungalan
  2. Ki Kebo Anabrang
  3. Ki Patih Nengah
  4. Jaran Waha
  5. Ki Arya Sidi
  6. Ki Amarajaya
Ekspedisi Raja Kerta Negara tersebut mendarat di pantai timur Buleleng, tepatnya di Desa Kubutambahan. Sehingga, ada Pura Pule Kerta Negara di tempat tersebut. Untuk menaklukkan Pulau Bali. Di Bali pasukan tersebut berhasil mengalahkan Raja Bali yang bergelar Paduka Batara Parameswara Seri Hyangning Hyang Adidewa Lancana dan dibawa ke Kerajaan Singhasari sebagai tawanan perang.

Berkat keberhasilan menundukkan Pulau Bali, Ki Kebo Bungalan yang pada tahun 1275 Masehi juga pernah diutus ke Jambi dalam Exspedisi Pamalayu, kini diangkat oleh Raja Kertanegara sebagai wakil pemerintahan Singhasari di Pulau Bali dengan gelar Rakrian Demung Sasabungalan.

Ki Kebo Bungalan pada waktu memerintah Pulau Bali sudah lanjut usia sehingga untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari harinya diserahkan kepada Putranya yang bernama Ki Kebo Parud. Keberadaan Kebo Parud sebagai penguasa di bali dibuktikan dengan sebuah prasasti yang dikeluarkan olek Kebo Parud yang berangka tahun caka 1218 Caka yang berisi persoalan tentang desa kedisan “ Mewang Ida Raja Patih meka kasir Kebo Parud

“ Berdasarkan nama nama patih dan berdasarkan isi prasasti tersebut, ternyata patih itu adalah pegawai Negara yag berasal dari Jawa Timur, nama semacam itu sering dijumpai dalam kerajaan Singhasari. Ada kemungkinan bahwa patih yang dimaksud bertugas sebagai gubernur atau semacamnya yang mewakili pemerintahan Singhasari di Bali. Selanjutnya terdapat prasasti lainnya yang menyebutkan nama “Ida Ken Kanuruhan” dan yang istimewa pula prasasti tersebut tidak memakai sapatha sebagaimana yang sering dijumpai dalam prasasti prasasti di Bali pada umumnya.

Kebo Parud juga mengeluarkan prasasti yang berangka tahun Caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawana yang terletak diperbatasan Min Balingkang. Dalam prasasri tersebut terdapat kata-kata “Mpukwing Dharma Anjar, Mpukwing istana radja, Mpukwing dewa istana” Gelar para menteri diubah menjadi Jro atau diduga Arya sebagai contoh Ida Raja Sang Arya = Ida Sang Arya Aji Kara.

.


BHATARA GURU SRI ADIKUNTI KETANA

(1204)


Beliau memerintah pada tahun 1204 M bergelar Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana mempunyai putra kembar buncing (laki-Perempuan) yang diberi nama Dana Dirajaketana dan Dana Dewiketu. Yang setelah dewasa kemudian dinikahkan dan kemudian dinobatkan sebagai Raja Kembar dengan nama Mahasora Mahasori atau Maheswara Maheswari atau yang lebih dikenal dengan nama Raja Masula Masuli.

HAJI EKAJAYALANCANA

BHATARA PARAMESWARA SRI WIRAMA
(1200-1204) M


Sri Wirama, lengkapnya Bhatara Parameswara Sri Wirama tercantum dalam prasasti Bangli, Pura Kehen C (1126 Saka) (Stein Callenfels, 1926 : 56-59). Dalam prasasti itu disebutkan tiga tokoh historis sebagai berikut. Bhatara Guru Sri Adikuntitekata, yakni permaisuri raja yang telah almarhum, Bhatara Parameswara Sri Wirama, yang juga disebut Sri Bhanadhirajalancana, putra (wija) Sri Adikuntiketana.

Bhatara Sri Dhanadewiketu, yaitu permaisuri (rajawanita) Sri Dhanadhirajalancana. Berdasarkan keterangan dalam butir ketiga, khususnya kata rajawanita, yang digunakan untuk menyebut istri Sri Wirama, maka berarti raja yang sesungguhnya adalah Bhatara Parameswara Sri Wirama.

Kendati demikian, yang bertitah langsung kepada penduduk adalah Sri Adikuntiketana (Stein Callenfels, 1926 : 56). Titah tu disampaikan kepada wakil-wakil desa Bangli (karaman i bangli) sewilayah desanya, agar mereka tidak mengungsi lagi ke desa lain. Sebaliknya, mereka diperintahkan supaya kembali ke desanya serta menyelenggarakan asrama (mandala) Lokasarana yang sempat sepi dan tidak terurus. Dalam prasasti itu dicantumkan pula aturan tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh penduduk Bangli.

JAYAPANGUS

( TH 1178-1181) M


Jayapangus yang dikenal penyelamat negara karena mengajak rakyatnya kemBali melakukan upacara agama sehingga mendapat wahyu (Hari Galungan) Keamanan terjamin dan ajaran agama berkembang dengan pesat. Baginda bertahta hingga tahun Çaka 1103 (1181 Masehi).


Bali adalah tempat berkembangnya agama Hindu dan Hampir seluruh Masyarakatnya menjadi penganutnya. Agama Hindu di Bali mulai tumbuh dan berkembang sejak abad ke – 8, bersamaan dengan pertumbuhan agama Hindu di Jawa Tengah, Agama Hindu banyak pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat, juga terhadap sistem pemerintah. Berita Cina menyebutkan pada abad ke – 7 ada daerah Dwapatan (Bali) yang mempunyai adat yang sama dengan Jawa (Holing).

Prasasti Bali 804 Caka (882 M) menyebutkan pemberian izin pembuatan pertapaan di bukit Kintamani. Prasasti berangka tahun 896 caka (991 M) isinya menyebutkan tempat suci dan istana Raja terletak di Singhamandawa dekat Sanur berhuruf Dewa Nagari dan Bali Kuno Kitab Usana Bali abad ke 16 menyebutkan Raja Jayapangus memerintah setel
ah Raja Jayakusuma.

Beliau Raja penyelama
t Bali yang terkena malapetakaa karena lupa menjalankan ibadah Raja ini juga mendapat wahyu untuk melakukan upacara agama kembali yang sekarangsebagai hari Galungan



Goa Garba
Peninggalan Raja Jayapangus


MITOS BARONG LANDUNG


Dalem Jayapangus adalah raja Bali yang paling tua sekitar 800 masehi, dan Dewi Danu datang ke Bali sekitar tahun saka 9 atau sekitar tahun 87 sudah ada di Bali. Sang Agni Jaya bertempat di Lempuyang, Sang Hyang Puran Jaya bertempat di puncak Gunung Agung, Dewi Danu di puncak Batur. Ini yang disebut Sang Hyang Dapur Tiga. Sang Hyang Dapur Tiga ini merupakan anak dari Sang Hyang Pasupati yang berasal dari Jawa Puncak Sameru.

Barong Landung

Sebelum Dalem Jayapangus memperistri Dewi Danu, beliau menjadi penguasa atau memimpin jagat di Singa Duala yang sekarang disebut Dalem Puri. Pada saat itu beliau dalem Jaya Pangus sudah memiliki istri atau permaisuri, namun berkeinginan lagi untuk mencari istri. Nah ketika itu terdampar sebuah kapal dagang dari cina yang dimiliki oleh Cocomanira di Batu Klotok (sanur) yang diselamatkan oleh sebuah Kakua Blimbing atau Kuma Raja.

Nah pada saat itu Cocomanira menghadap kepada sang raja bersama dengan istri dan anaknya yang bernama Kang Cing Wi. Disanalah rasa cinta sang prabu muncul.

“Encik..encik..ke Bali membawa uang kepeng dan berbagai macam barang dagangan, saya suka dengan uang kpéng ini. Nah..anaknya encik yang bernama Kangcingwi akan saya akan saya jadikan istri”.

Pada saat itu ida sang prabu sudah di beritahukan oleh pendeta kerajaan, ”Ratu duagung janganlah ratu memperistri orang Cina karena aturan dari Ida Batara Klotok orang Cina itu dijadikan kerabat tertua oleh orang Bali. jangan sampai ratu berani memperistri orang Cina”. Begitulah perkataan pendeta kerajaan.

Kemudian sang prabu marah mendengar perkataan pendeta kerajaan lalu berkata, “Peranda kan sakti!! Peranda menjadi pendeta kerajaan tetapi kalau nasehat-nasehat peranda seperti ini saya sangat tidak setuju, saya akan memperistrinya. Kalau peranda memperistrinya akan mencemari kesucian seorang sulinggih, kalau saya sang naga sinatria semakin banyak saya memiliki istri, semakin berwibawa, karena banyak panjak. Kalau peranda tidak menyetujuinya, silahkan pergi peranda dari sini, berhenti sudah peranda menjadi bagawanta puri”.

Nah diusirlah peranda. “Nah cening, cening Dalem Jayapangus bapa tidak apa-apa, tetapi karena cening memutuskan rasa bakti bapa terhadap kerajaan ini, suatu saat hancur jagat Bali ini jangan bapa disalahkan, karena bapa yakin dengan apa yang mulut bapa bilang. Apa yang bapa bilang pasti akan terjadi, hancur jagat Balinya, jagat Balinya hancur, karena aturan-aturan sudah I dewa langgar, karena I dewa sudah berani melanggar, karena tidak boleh menikah dengan orang Cina, tetapi I dewa menikah. Ini akan menyebabkan hancurnya jagat Bali. Nanti suatu saat keturunan I dewa akan menghancurkan jagat Bali”.

Itu dipakai alasan oleh ratu peranda sambil beliau pergi. Singkat cerita menikahlah Sang Raja Dalem Jayapangus dengan Kangcingwi. Banyak masyarakat ikut membantu upacara pernikahan tersebut. Ada yang tidak setuju dan ada yang setuju dengan pernikahan ini, yang setuju disana ikut membantu, yang tidak setuju semua pergi. Pada saat itu rakyat Bali pisah pergi kemana-mana ada yang Ketampak Siring, Tabanan. Disanalah Sang Prabu Dalem Jayapangus mengadakan upacara pernikahan.

Banjir bandangpun tiba-tiba datang, hujan lebat sehingga puri pun hanyut. Nah, pada saat itulah raja merasa bersalah dengan apa yang di bilang ratu peranda. Hancurlah jagat Bali dan puri pun hanyut hilang. Di siwaduara pun telah terjadi tanah longsor, semua yang ada hanyut semua. Sesudah peristiwa tersebut Ida Dalem Jayapangus ingat dengan isi pesan yang dikatakan peranda. Nah disana lantas beliau memerintahkan patihnya untuk mencari peranda. “Paman-paman patih, kesana paman menghadap ida pedanda, dimanapun beliau berada tolong dicari”.

Disanalah beliau meminta maaf. “Dimana kesalahan saya, sekarang dimanna saya akan mencari tempat tinggal yang aman”, disana lalu ida pedanda kembali ke puri bersama dengan Ida Dalem Jayapangus. Disuruhlah beliau membangun puri (Siwa Duara) di Balingkang. Dipilihlah di Penelokan di Kintamani, di sebelah timurnya turun kebawah di tempat yang datar. Nah, disanalah I dewa membuat puri baru. Itu sebabnya Blingkang dikatakan Desa jagat di Penelokan.

Ida Dalem Jayapangus bukan bernama Dalem Jayapangus lagi tetapi berubah nama menjadi Dalem Balingkang. Sudah beberapa tahun tinggal di Balingkang masih juga belum mempunyai anak. Berbicaralah Dalem Balingkang dengan istrinya Kangcingwi. “Nah biarpun saya atau kamu, sudah lama bersama dengan saya berdua. Tetapi belum juga mempunyai anak, suatu saat nanti saya akan perlu memiliki keturunan, biar ada nanti yang mengganti posisi saya. Bagaimanapun caranya, kalau boleh beli akan bertapa di niskala, jikalau berkenan Ida Batara Batur berkarunia kepada saya, saya akan meminta ngelarang pasupada”.

Berkatalah Kangcingwi. “Ah, ratu batara dewa agung kalau begitu we tidak akan menghalangi, kalau koe mau mencari putra keturunan”. Berjalanlah beliau Dalem Balingkang menuju puncak gunung Batur. Karena baru pertama kali beliau sampailah di puncak gunung Batur, dilihatnyalah wanita cantik jelita, itu tiada lain adalah Ida Dewi Danu anak beliau Sang Hyang Pasupati.

Mulailah merayu Dalem Jayapangus. “Wahai engkau wanita cantik, selama saya menjadi raja di jagat Bali ini tidak pernah saya melihat wanita cantik seperti anda. Anda membuat saya tergila-gila, terasa badan tidak bertenaga, rasanya tidak mau hidup, hanya anda yang dapat mengobati hati saya ini, tidak ada wanita lain selain anda yang ada dihati saya. Maukah anda menjadi istri saya, karena saya suka sama anda”.

Seperti rayuannya Dalem Jayapangus. “Wahai engkau Dalem Jayapangus yang sekarang bernama Dalaem Balinkang, mungkin saya bias menerima anda, karena tidak sembarang orang bias naik kepuncak Batur ini, kalau anda orang biasa tidak akan mungkin bias bertemu dengan saya karena saya sebagai bhatari. Baiklah kalau seperti itu saya bersedia menjadi istri anda tetapi ada syaratnya, jika nanti lahir anak saya dia akan menjadi raja”.

Nah, lama kelamaan akhirnya Dalem Balingkang menikah dengan Dewi Danu Batur dan mempunyai anak laki-laki tetapi dengan wajah yang menyeramkan, baru lahir sudah memiliki taring, yang bernama Mayadanawa, berupa raksasa. Nah sekarang diceritakan Kangcingwi yang sedang bengong menunggu Dalem Jaya Pangus di puri Balingkang, yang sudah bertahun-tahun bertapa tetapi belum juga kembali. “Kalau orang bertapa tidak mungkin sampai dua tahun lebih”.

Bingung dia kangcingwi. Lalu Kangcingwi berdoa di merajan (tempat suci) belum juga kembali. Akhirnya ia memutuskan utuk mencari suaminya. “Supaya tidak rugi saya seorang konghucu, saya mau kesana mau cari beliau sang prabu bagaimana pun caranya biar saya tau bagaimana orang bertapa itu, sudah lama tidak ada berita”.

Akhirya sampailah Kangcingwi di gunung Batur. Sakit hati Kangcingwi karena di depan matanya sendiri melihat anak kecil yang dipangku oleh Dalem Jayapangus didampingi oleh Dewi Danu yang sangat cantik. Marahlah Kangcingwi, membilang Dewi Danu seorang wanita yang suka merebut istri orang lain.

“Eh beli Sang Prabu Dalem Jayapangus, Dalem Balingkang siapa yang tidak suka bertapa, bertapa sambil dapat meniduri wanita lain dan sampai mempunyai anak, itu kewajiban menjadi seorang raja? Yang bagaimana menjadi contoh raja yang baik!”. Dicacimakilah Dalem Balingkang dengan Dewi Danu. Dewi Danu tidak suka mendengar perkataan Kangcingwi yag kasar-kasar dan mengejek. Marahlah Dewi Danu, disanalah Dewi Danu berubah menjadi Durga yang menyeramkan, pada berwujud Durga inilah beliau mampu membakar semua apa yang disekelilingnya.

Ilmu ini disebut naranjana. Terbakarlah Kangcingwi oleh api yang dikeluarkan oleh Dewi danu yang berwujud durga, hingga Kangcingwi mati menjadi abu. Nah disanalah baru Dalem Balingkang menyesal. “Istriku, istriku Kangcinwi sebegitu besar cintamu kapadaku hingga kamu menjadi seperti ini, sungguh nista saya, karena saya tidak mmenepati janji, nah istriku Kangcingwi cari saya, biar saya cepat mati bersama dengan kamu!”.

Nah disanalah Dewi Danu menjadi tambah marah. “Iih Dalem Balingkang, saya tidak menyangka, kamu dulu mengaku masih lajang, ternyata sekarang sudah mempunyai istri orang Cina”, disanalah Dewi Danu mengeluarkan kutukan “Suatu saat jika anakku menjadi raja, dia akan menghancurkan jagat bali ini”. Akhirya ida sang prabu Dalem Balingkang terbakar oleh api yang dikeluarkan Dewi Danu sampai mereka berdua menjadi abu.

Prasasti Peninggalan Raja Jayapangus

Mendengar hal tersebut masyarakat menjadi bingung. “Yeeh.. beliau sang prabu bertapa dan istri beliau ikut menyusul kegunung batur kok dari sekarang belum kembali?”. Karena tak kunjung kembali kepuri. Nah didanalah lalu masyarakat menjemput raja dan istrinya ke puncak gunung Batur dengan membawa singsana beliau. Sampailah mereka disana dilihatnyalah raja dan istrinya sudah menjadi meninggal dan jazatnya sudah menjadi abu.

Berkatalah masyarakat bali. “Wahai Dewi Danu saya ini berasal dari Nusa Panida, saya sudah lama di Balingkang menjadi pembantu sekarang saya mohon Dewi Danu berkarunia untuk menghidupkan kembali raja Dalem Balingkang dan akan saya iring beliau kembali kepuri”.

Masyarakat dari Buleleng pun ikut memohon pada Dewi Danu. “Wahai Dewi Danu, kenapa anda terlalu tega membunuh beliau sang raja? Kasihani saya, nanti siapa yang akan memerintah jagat Bali ini, kalau boleh saya mohon agar dihidupkan kembali Dalem Balingkang raja saya, tetapi saya minta maaf karena saya tidak bias bertuturkata yang baik”.

Semua masyarakatpun memohon kepada Dewi Danu, sampai masyarakat tabananpun ikut memohon. “Aruuh..karena Delem Balingkang sudah Dewi Danau bunuh, sekarang saya mohon untuk dihidupkan kembali, saya masyarakat dari Tabanan yang setia berbakti kepada raja Dalem Balingkang, supaya beliau kembali memimpin jagat Bali ini, karena saya tidak menguasai tentang Sastra dan Agama yang tidak akan biasa melakukan sesuat tanpa seorang pemimpin”. Nah disanalah Dewi Danu berkata.

“Iya masyarakat Bali semua, begitu setianya masyarakat semua terhadap raja kalian Dalem Balingkang saya akan menghidupkan beliau kembali, tetapi akan saya hidupkan abu ini, nah di patung yang berupa patung bekung, berdiam Kangcingwi, patung yang berupa Barong Landung yang bertaring berdiam Dalem Balingkang.

Barong Landung

Nah Barong Landung inilah dipuja oleh masyarakat Bali yang di bawa kebalingkang. Pada saat inilah jagat Bali hidup subur,aman dan tentram. Nah suatu ketika Mayadanawa sudah besar, Mayadanawalah yang menguasai dan menghancurkan jagat Bali ini, yang bertentangan dengan ajaran agama. Pada akhirya Sang Hyang Indralah yang membunuh Mayadanawa dan dipastikan pada hari itu dijadikan hari Darma melawan Adarma, kemudian diperingati dalam hari raya Galungan.

Makanya dua puluh satu hari sebelum Galungan haruslah mengadakan ngalawang batara landung, memperingati ida Dalem Jayapangus di kutuk bersama istrinya menjadi Barong Landung, maka dari itu sekarang berkeliling desa biar biasa memberitaukan atau memperingati pada masyarakat bahwa kebenaran itu selau benar.


GOA GARBA PENINGGALAN RAJA JAYAPANGUS

Swasti cri paduka warsa titaganata wartamana 1116 phalguna masa tithi pancama caklapaksa u…wa…wr…waraning julung pujut, irika dewaca nira mpungkuwing dharma hanyar guru aji mapanji jiwaya amurnajiwa ingkang astapaka mowah bhyumi bhatari I jro I heng mapanti maka muka mukan ratnakunja…da”

“Pada hari Kamis Wage Wara Pujut sekitar bulan Februari 1116, pada saat itulah Cri Maharaja Aji Jaya Pangus wafat, arwahnya menuju alam baka abupuspasariranya dicandikan dipertapaan Dharmaanyar dan disana pura yang bernama panti-panti yang diurus oleh Dang Acarya Jiwaya”
Goa Garba

Tulisan di atas merupakan tulisan yang tercantum dalam prasasti yang terletak di Pura Pengukur-Ukuran yang berlokasi di banjar Samegunung, desa Pejeng, Tampaksiring, Gianyar Bali. Berdasarkan prasasti itulah kemudian dapat diketahui bahwa peninggalan-peninggalan purbakala yang berada di sekitar wilayah pura agung ini dibangun pada zaman pemerintahan raja Jayapangus sekitar abad ke-12 Masehi.

Salah satu dari peninggalan purbakala tersebut adalah Goa Garba. Goa Garba ini terletak di bawah pura agung Pengukur-Ukuran. Goa Garba ini merupakan sebuah ceruk pertapaan yang dipahat pada dinding tepi jurang sungai Pakerisan yang legendaris. Untuk mencapai situs purbakala ini kita harus terlebih dahulu melewati sebuah gapura yang tangganya berupa susunan batu-batu kali.

Di atas ceruk pertapaan ini terdapat beberapa kolam dan pancuran. Di samping salah satu kolam tersebut terdapat sebuah lubang masuk menuju sebuah terowongan atau ruangan. Di lokasi Goa Garba ini pun terdapat sebuah tulisan yang dipahat, berbunyi “Sra”.

AKHIR MASA PEMERINTAHAN

Raja Jayapangus setelah wafat dimakamkan di Dharma Anyar. Putra Baginda dua orang: Sri Hikajaya dan Sri Danadiraja.

ŚRI JAYASAKTI


(1133-1150)


Pada masa pemerintah Sri Jayasakti ada dua kitab undang – undang yakni UU Utara Widdi Balawan dan Raja Wacana (Rajaniti). Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam gelarnya, yaitu

  1. Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150),
  2. Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155)
  3. Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181),
  4. Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200).
Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui secara pasti. Walaupun demikian, berdasarkan kelaziman dalam sistem pergantian kepala negara suatu kerajaan tradisional serta digunakannya unsur jaya dalam gelar masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubungan antara raja yang satu dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan anaknya.

Kalau tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan kekeluargaan yang sangat dekat. Perlu diperhatikan bahwa masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman dengan masa pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1057 -1079 Saka), Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau Gandra (1103 Saka), Kameswara (1104-1107 Saka), dan Kertajaya atau Srengga (1116-1127 Saka) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur (cf. Damais, 1952 : 66-71 ; Sumadio dkk., 1990 : 267-272, 306).

Hal yang menarik perhatian pula, sebagaimana telah dikatakan, ialah adanya unsur jaya digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno dan paling sedikit pada dua nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur yang sama itu rupanya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka.

Kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam kitab Bharatayuddha. Dalam kitab itu dikatakan bahwa raja Jayabhaya sempat meluaskan kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya (Krom, 1956 :154-155 ). Setelah Raja Jayasakti, yang memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181)

ŚRI SURADHIPA

(1115-1119)

Baginda berkuasa tahun 1037 : 1041 Saka (1115-1119) dengan mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Saka), Angsari B (1041 Saka), Ababi, Tengkulak D dan Prasasti Tamblingan, Pura Endek III.24 Sebagian di antara prasasti-prasasti itu sudah aus dan tidak terbaca lagi.

Berdasarkan permohonan wakil-wakil pamong dharma (sejenis bangunan suci) di Air Tabar dapat diketahui bahwa raja memberikan izin kepada mereka memperbaharui (umanari) prasastinya. Izin itu diberikan karena prasasti semula yang tertulis pada daun rontal (ripta) telah rusak dan tidak terbaca lagi (awuk munggwing ripta tan wnang winaca).

Selanjutnya, raja menekankan supaya isi prasasti itu dipatuhi oleh segenap penduduk sebagaimana mestinya. Semua hal itu disebutkan dalam prasasti Gobleg, Pura Desa III. Pada tahun 1041 Saka, sesuai dengan isi pokok prasasti Angsari B, raja Suradhipa memberikan prasasti kepada dharma di Sukhamerta yang termasuk wilayah desa Latengan. Segala ketetapan yang tercantum di dalamnya supaya ditaati oleh penyelenggara pertapaan di kompleks dharma di Sukhamerta. Pertapaan ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Tabanendra Warmadewa. Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam gelarnya, yaitu

  1. Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150)
  2. Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155)
  3. Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181)
  4. Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200) digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka. Raja Suradhipa kemudian digantikan Jayasakti.

ŚRI MAHARAJA WALAPRABHU

(1079–1088)


Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088) dengan Gelar Sri Maharaja Sri Walaprabhu, terbaca dalam prasasti Babahan II (nomor lama 501). Prasasti Ababi A (nomor lama 447) dan Klandis (nomor lama 448) adalah juga dikeluarkan oleh raja Walaprabhu (1954a : 26 ; 1965 : 33).

Perlu diperhatikan bahwa raja-raja Bali Kuno, raja inilah yang pertama menggunakan gelar maharaja setelah ratu Sri Wijaya Mahadewi . Aktivitas pemerintahan raja ini dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut. Dalam prasasti Klandis dinyatakan bahwa raja Walaprabhu mengizinkan desa Pakwan lepas dari desa Bangkala tetapi harus tetap menunaikan pembayaran drwyahaji sebagaimana sediakala. Betapa keagungan wibawa raja itu dapat diketahui dari ucapan-ucapan yang menggambarkan bahwa baginda bagaikan perwujudan dharma (kebajikan) yang melindungi dunia (saksat niran dharmmatmajam urti jagatpaloka), sebagai tempat rakyat berlindung (saranasraya ring praja), dan laksana satu-satunya payung yang meneduhi seluruh wilayah Pulau Bali (pinakekachatra ning balidwipamandala) (Tuuk dan Brandes, 1885 : 619-624).

Prasasti Ababi A dianugerahkan kepada karaman i Hara Babi sedangkan prasasti Babahan II, seperti halnyan prasasti Babahan I, berkenaan dengan dharma i ptung. Kedua prasasti itu tidak lengkap sehingga data sejarah yang dapat diketahui sangat sedikit.

ANAK WUNGSU

( TH 1049-1077 M )


Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu, mengaku penjelmaan Wisnu yang masa pemerintahannya di bantu 10 senopati rakyat hidup dari bertani, binatang yang berharga adalah Kuda. Untuk golongan pedagang laki – laki disebut Wanigrama dan untuk perempuan disebut Wanigrami.

Dikisahkan permaisuri Baginda bersama putra mahkota yang bergelar Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa sebagai penguasa. Baginda bersaudara tiga yang ketiganya pria, yang sulung bernama Sri Airlangga sudah ke Pulau Jawa. Baginda dijadikan anak menantu oleh Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa di kerajaan Kediri.

Ketika itu Sri Airlangga baru berusia 16 tahun, karena Baginda lahir pada tahun Saka 915/991 Masehi. Adik bungsu Baginda bernama Sri Aji Wungsu, Baginda masih dalam usia kanak-kanak. Entah beberapa tahun lamanya Baginda berdua sebagai penguasa, pada tahun Saka 971/1049 Masehi, Sri Aji Hungsu yang bertahta menjadi Raja oleh karena Ibunda Baginda dan kakaknya Baginda sudah wafat.

Jenazah Ibunda Baginda Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni dikebumikan di Bukit Bhurwan, dekat dengan Banyuweka, adapun jenazah Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa dikebumikan di Gunung Kawi daerah Tampaksiring. Kini dikisahkan Sri Aji Wungsu yang bertahta menjadi raja, tak ubahnya seperti almarhum Ibunda Baginda, selalu sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi dan para dewata.

Pulau Bali aman dan sejahtera demikian juga Baginda Raja dalam keadaan selamat dan panjang umur, serta seluruh rakyat terhindar dari segala wabah penyakit, lagi pula rakyat Baginda tak ada yang bertikai, semua mematuhi kewajiban sebagai seorang ayah dan kewajiban sebagai seorang anak. Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama di antara raja-raja pada zaman Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28 tahun.

Ada 31 buah prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Sembilan belas di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yang lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap atau karena tergolong prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta prasasti yang dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil.

Dugaan itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan pemerintahan. Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji) dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang diperintah atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira atau nityasa kumingking ... subhiksa nikang rat rinaksanira).

Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai kebajikan (sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci keagamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk., 1990 : 301-302).

Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin bersifat hiperbolis, namun unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya, yakni bagian yang bersifat realistis, patut mendapat perhatian yang wajar. Telah dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan.

Untuk menghindari hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu berdasarkan sambandha-nya atau alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada enam alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut. Adanya permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula yang berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti).

Permohonan demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canigayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan dan Landungan, warga desa yang bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-wakil penduduk desa Bila.17 Adanya permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima).

Permohonan semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri (purusakara) subak Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18 Adanya pejabat memungut rwyahaji melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa para pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu paracaksu) melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang dianugrahkan raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar masalah itu diluruskan oleh Raja Anak Wungsu.

Adanya permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan ini dengan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26 Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi menyelenggarakan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma), tetapi belum dianugrahi prasasti.

Supaya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan dalam sebuah prasasti.27 Adanya permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk keperluan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan ini diajukan oleh wakil-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi keperluan-keperluan tersebut di atas.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas dikabulkan oleh Raja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan serta pembahasan yang seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.


AKHIR MASA PEMERINTAHAN

Anak Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring). Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1078-1088). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu.

Gunung Kawi

Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja keturunan Wangsa Warmadewa antara lain: Sukawana Caka 8o4, Bebetin Caka 818, Trunyan Caka 813, Trunyan B1 Caka 833, Gobleg Caka 836, Srokodan Caka 837, Babahan Caka 839, Sembiran Caka 844, Pengotan A1 Caka 846, Batunya Caka 855, Dausa Pura Bukit Indrakila Caka 857, Srai A1 Caka 888, Sembiran B1 Caka 873, Manukaya Caka 884, Bebetin Caka 911, Serai A2 Caka 915, Sading A Caka 923, Batur Pura Abang Caka 933, Sembiran A3 Caka 938, Batuan Caka 944, Sawan Caka 945, Kesihan Caka 945, Bwahan Caka 947, Prasasti Bangli, Pr. Kehen B, Prasasti Ujung Caka 962, dan lain-lain )

SRI MARAKATAPANGKAJA

(1022-1925) M


Setelah Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali Marakata bergelar Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa. Putra kedua Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota Airlangga menjadi raja Medang Kemulan.

Airlangga menikah dengan putri Darmawangasa dari kerajaan Medang Kemulan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa Marakatapangkaja sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang luas termasak Gianjar, Buleleng. Tampaksiring dan Bwahan (Danau Batur).

Marakata bergelar Marakata Utungga Dewa yang di segani rakyatnya, ia membangun bangunan suci di Gunung Kawi, Tampak Siring Bali. Beliau mengeluarkan prasastinya yang pertama yakni prasasti Batuan, pada tahun 944 Saka. Prasasti-prasasti lain yang memuat gelar raja itu ialah prasasti Sawan A I = Bila I (nomor lama 353) yang berangka tahun 945 Saka, Tengkulak A (945 Saka), dan Bwahan B (947 Saka)14.

Prasasti pertama diberikan kepada penduduk desa Baturan (sekarang Batuan di Kabupaten Gianyar). Wakil-wakil desa itu menghadap raja serta menyampaikan bahwa semenjak masa pemerintahan raja almarhum yang dicandikan di Er Wka (yang dimaksud adalah Udayana), penduduk desa Baturan ditugasi memelihara kebun raja di Er Paku dan kuil di desa Baturan.

Raja Marakata memaklumi betapa beratnya tugas-tugas itu, maka sebagai imbalannya, penduduk pun dibebaskan dari pajak-pajak tertentu dan diizinkan lepas dari desa Sukhawati (sekarang Sukawati). Isi pokok prasasti Sawan A I pada dasarnya sama dengan isi pokok prasasti Batuan, yang permohonan penduduk mengenai pengurangan beban drwyahaji dan tugas bergotong royong.

Permohonan itu diajukan wakil-wakil desa Bila karena merasa cukup berat memenuhi kewajiban-kewajiban semula sebagai akibat warganya berkurang secara drastis, yakni dari semula 50 kepala keluarga menjadi hanya 10 kepala keluarga. Permohonan itu disetujui oleh raja Marakata. Prasasti Sawan A I juga memuat ketetapan tentang pembagian harta warisan, perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pegawai kerajaan yang berkunjung ke desa Bila, dan kewajiban penduduk bagi pegawai itu.

Prasasti Tengkulak A menyatakan bahwa pada tahun 945 Saka, wakil-wakil desa Songan Tambahan menyampaikan kepada raja Marakata bahwa sejak masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa, mereka ditugasi menyelenggarakan atau memelihara katyagan (asrama pendeta) Amarawati di tepi sungai Pakrisan. Sejak titah turun, penduduk desa itu belum pernah diberikan prasasti yang memuat rincian kewajiban serta hak mereka. S

upaya segala sesuatunya menjadi jelas, sehingga mereka dapat meneruskan pengabdian kepada raja dan ratu almarhum, begitu pula kepada raja yang tengah memerintah, maka mereka memohon kepada Raja Marakata agar berkenaan menganugerahkan prasasti kepada mereka. Raja pun memenuhi permohonan itu. Dalam prasasti itu ditegaskan bahwa penduduk supaya tetap melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana sediakala (magehakna sapurbwastitinya nguni) .

Berdasarkan prasasti Buwahan B (947 Saka) dapat diketahui bahwa penduduk desa Bwahan kekurangan lahan tempat menggembalakan ternak dan mencari kayu api. Wakil-wakil desa itu memohon agar diizinkan membeli sebidang hutan dekat desanya, yang semula digunakan sebagai tempat berburu oleh raja. Dikatakan bahwa raja mengabulkan permohonan tersebut. Lebih lanjut ditegaskan, agar Nayakan Buru (pejabat yang mengurusi masalah perburuan) tidak mengganggu gugat kegiatan penduduk di wilayah yang telah dibeli itu.

Masih ada sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa pemerintahan raja Marakata, yaitu prasasti-prasasti Kesian, Pura Sibi I (945 Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian Pura Sibi III (948 Saka), Kesian, Pura Sibi IV dan Bangli, Pura Kehen B (nomor semula 356) tanpa angka tahun.15 Oleh karena data historis dalam masing-masing prasasti itu relatif kurang berarti bagi penggambaran aktivitas atau kebijakan raja Marakata maka pembicaraan prasasti-prasasti itu tidak diperpanjang di sini.

Dalam gelar Marakata yang telah disebutkan di depan, tidak terdapat unsur warmadewa tetapi ada unsur dharmawangsa yang mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Berdasarkan kenyataan itu, apakah berarti Marakata tidak termasuk anggota dinasti Warmadewa?

Keraguan itu menjadi hilang dengan adanya keterangan dalam prasasti Tengkulak A. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa Marakata adalah putra raja Almarhum yang dicandikan di Air Wka (yakni Sri Dharmodayana Warmadewa). Keterangan itu juga berarti bahwa Marakata tergolong anggota dinasti Warmadewa. Bagian teks prasasti mengenai hal itu berbunyi :

  • “... mangkai pwan menget ikanag karaman i songan tambahan sapanambahan, an wka haji dewata sang lumah ring air wka sajalu stri, prasiddha kumalilirig kulit kaki, siniwi ring desa banten molih tekang karaman maprarthana ri bhatara, yata hetunya papulung rahi manambah i paduka haji, umajaraken sakramanya nguni mwang pagehnyanugraha haji dewata, ...
  • Artinya : ”... kini ingatlah para tetua desa Songan Tambahan yang terikat dalam satu kesatuan pemujaan, bahwa putra raja almarhum yang icandikan di Air Wka beserta permaisurinya, telah berhasil mewarisi (takhta kerajaan) dari garis keturunan, laki-laki, dimuliakan di wilayah Banten (Bali). Supaya mereka dapat melanjutkan pengabdian kepada betara (di Air Wka) maka mereka bersama-sama menghadap paduka raja, mempermaklumkan segala sesuatu yang mereka laksanakan pada masa-masa lalu, dalam upaya mengukuhkan anugrah (baca : titah) raja yang telah almarhum,...”

Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut garis keturunan dari pihak ayah, Marakata termasuk dinasti Warmadewa. Akan tetapi, kenyataannya unsur warmadewa tidak digunakan dalam gelar raja itu. Sebaliknya dalam gelar itu terdapat unsur dharmawangsa, yang sebagaimana telah dikatakan, mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur.

Keadaan demikian dapat dipahami, jika diingat bahwa ibu suri Marakata, yakni Gunariyadharmapatni adalah putri Jawa Timur. Bukan mustahil Gunariyadharmapatni bersaudara kandung dengan Dharmawangsa Teguh, atau paling tidak berkerabat dekat. Unsur dharma yang terdapat dalam nama masing-masing tokoh itu dapat digunakan sebagai faktor penunjang pendapat di atas.

Dalam menanggapi gelar Marakata yang tanpa unsur warmadewa, lebih jauh dapat dikemukakan bahwa hal itu tidak mesti dipandang sebagai bukti bahwa Marakata mengingkari dirinya termasuk dinasti Warmadewa. Sebagai putra Udayana, tentu baginda menyadari kedudukannya dalam dinasti itu. Penggunaan unsur dharmawangsa dalam gelarnya, agaknya hanya masalah pilihan belaka.


AKHIR MASA PEMERINTAHAN


Raja Marakata diganti oleh adiknya, yaitu Anak Wungsu yang memerintah tahun 971-999 Saka (1049-1077). Gelarnya sebagai raja, begitu pula nama kecil tokoh ini sesungguhnya tidak diketahui secara pasti, kecuali hendak diyakini bahwa Anak Wungsu juga merupakan nama kecil tokoh itu. Secara harfiah anak wungsu berarti ”anak bungsu”, jadi hanya menyatakan urutan kelahiran belaka.

Dalam hal ini, tokoh itu adalah anak bungsu suami-istri Udayana dan Gunapriyadharmapatni. Pernyataan mengenai hal tersebut terbaca dalam sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu. Dalam prasasti Pandak Bandung (933 Saka) misalnya, terbaca bagian yang berbunyi

  • ”... ”paduka haji, anak wungsunirakalih bhatari lumah i burwan, bhatara lumah i banu wka, ...”(Stein Callenfels, 1926 : 14), yang artinya ”... paduka raja anak bungsu baginda berdua (suami-istri), yaitu ratu yang dicandikan di Burwan dan raja yang dicandikan di Banu Wka, ...”

Dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti Pucangan yang menyatakan bahwa Airlangga adalah putra suami-istri tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa suami-istri itu berputra tiga orang, yakni Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Hal ini juga berarti bahwa Airlangga dan Anak Wungsu, seperti halnya Marakata, termasuk dinasti Warmadewa pula.

ŚRI AJNADEWI

(1016)


Ratu Sri Ajnadewi mengeluarkan prasasti Sembiran AIII pada tahun 938 Saka (Brandes, 1889 : 48-49 ; Damais, 1955 : 229-230). Sampai kini belum terdapat petunjuk jelas mengenai hubungan ratu ini dengan pendahulunya, begitu pula hubungannya dengan tokoh lain.

Dalam mengupayakan penjelasannya, akan dilihat kembali bagian berbahasa Jawa Kuno pada prasasti Pucangan. Dari bagian itu diketahui bahwa pada tahun 938 Saka (1016) kerajaan yang diperintah Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur diserang oleh raja Wurawari sehingga mengalami malapetaka mahahebat (pralaya). Serangan itu bertepatan dengan saat diselenggarakan upacara pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh.

Dikatakan lebih lanjut bahwa Jawa pada waktu itu bagaikan lautan api dan banyak orang terkemuka gugur dalam peristiwa tersebut. Airlangga, yang berumur 16 tahun, dapat menyelamatkan diri dengan lari ke hutan diiringi pengikutnya yang sangat setia, yaitu Narottama Tahun pralaya itu ternyata bertepatan dengan munculnya Ratu Sri Sang Ajnadewi sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikembangkan uraian hipotetik sebagai berikut.

Mudah dipahami bahwa ketika dilangsungkan upacara pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh, Udayana sebagai seorang ayah, yakni ayah Airlangga, hadir di keraton Jawa Timur. Bahkan mustahil baginda ikut gugur dalam peristiwa pralaya yang telah disebutkan, dan hal itu sekaligus mengakibatkan taktha kerajaan Bali lowong secara tiba-tiba.

Putra mahkota Bali pada waktu itu, yaitu Marakata, kemungkinan masih terlalu muda untuk dinobatkan sebagai raja. Pendapat itu didasarkan atas pertimbangan bahwa jika Airlangga pada tahun 1016 baru berumur 16 tahun, maka Marakata sebagai adiknya, setua-tuanya baru berumur 15 tahun, bahkan kenyataannya boleh jadi lebih muda dari itu.

Untuk memecahkan masalah lowongnya takhta kerajaan Bali, keluarga istana rupanya sepakat mengangkat seorang wali, yaitu Ratu Sri Sang Ajnadewi. Perwalian itu berlangsung sampai tidak lama sebelum Marakata mengeluarkan prasasti yang pertama pada tahun 944 Saka (1022). Apakah wali itu berasal dari Jawa Timur ataukah keluarga istana Bali?

Memang dapat dipahami, jika wali itu berasal dari dan diangkat oleh keluarga istana Jawa Timur, namun kemungkinan itu sangat kecil. Kemungkinan itu dikatakan demikian karena mudah pula dipahami bahwa kondisi kerajaan di Jawa Timur pada waktu itu masih sangat lemah, situasinya masih sangat kacau, bahkan mungkin masih dalam suasana berkabung.

Jika dugaan itu benar, maka kemungkinan lain yang dapat dikemukakan ialah Sri Sang Ajnadewi adalah anggota dinasti yang sedang berkuasa di Bali. Mungkin bibi Marakata atau tokoh lain yang memang pantas menduduki posisi sebagai wali.

Prasasti Sembiran A III yang dikeluarkan oleh ratu itu kembali mengenai desa Julah. Dikatakan bahwa desa ini diserang lagi oleh penjahat. Banyak penduduk mati, ditawan musuh, atau mengungsi ke desa lain. Penduduk semula sebanyak 300 kepala keluarga, tersisa hanya 50 kepala keluarga. Oleh karena itu, sang ratu pun memberikan keringanan kepada mereka dalam hal kerja gotong royong dan pembayaran beberapa jenis drwyahaji.

Kewajiban mereka dalam kaitan dengan bangunan sakral di Dharmakuta pun dikurangi pula (Goris, 1954a : 95). Dapat ditambahkan bahwa secara harfiah drwyahaji berarti “milik raja”(Zoetmulder, 1982a : 416). Akan tetapi, menurut konteksnya istilah itu bermakna pendapatan kerajaan yang berasal dari pajak, cukai, denda, iuran, dan sebagainya, yang kemudian digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran kerajaan.

DHARMA UDAYANA WARMADEWA

( TH 989-1011 ) M


Beliau termasyur akan kewibawaan dan kebesarannya sebagai penguasa tunggal, dipuji dan dihormati oleh para pendeta dan para raja, sampai ke Pulau Jawa. Maka dari itu Baginda mempersunting putri raja dari Pulau Jawa yang sangat utama, putri Sri Makuta Wangsa Wardhani raja wanita yang bersuam
ikan Sri Makuta Wangsa Wardhana, Baginda berputra dua orang yang berparas cantik.

Yang tinggal di Jawa kawin denga
n raja Kediri, yang bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Dan yang menikah ke Bali bergelar Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, Baginda yang menjadi jungjungan rakyat Bali.

Raja di Bali

Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.

Dikisahkan Baginda Maha Raja Sri Dharma Udhayana Warmadewa memerintah Pulau Bali bersama permaisuri, makin bertambah kewibawaan Baginda, oleh karena Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni bijaksana masyur di Nusantara. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau mendatangkan 4 orang rohaniawan dari Jawa Timur diantaranya :
  1. Mpu Semeru, merupakan penganut agama Siwa (tahun 999) M bertempat di Besakih selaku pemelihara Pura Hyang Putranjaya atau yang sekarang dikenal dengan nama Pura Ratu Pasek.

  2. Mpu Gana, merupakan penganut aliran Ganapatya (tahun 1000) M bertempat di Gelgel dimana sekarang dibangun Pura Dasar Buwana Gelgel.

  3. Mpu Kuturan, merupakan penganut Budha Mahayana, bertempat di Padangbai dimana sekarang berdiri Pura Silayukti.

  4. Mpu Gnijaya, merupakan penganut Brahmaisme (Tahun 1006) M bertempat di Gunung Lempuyang dimana sekarang dibangun Pura Lempuyang Madia.

Adapula yang merupakan perisai pengawal Baginda yang sudah dipercaya bernama Senapati Wrasaba, Senapati Pancakala, Senapati Waranasi, Senapati Tira, Senapati Danda, Senapati Wit, Senapati Byut, Senapati Kalabaksa, Senapati Kuturan, Senapati Maniringin, Senapati Sarbwa.

Pura Samuan Tiga

Sebelas orang Senapati Baginda yang besama-sama mengatur dan mengayomi Pulau Bali, ke sebelas Senapati itu diberikan imbalan sawah bukti. Adapun Senapati Kuturan, sawah bukti yang dihasilinya bertempat di perbatasan daerah Batuan. Pulau Bali aman dan sejahtera tidak ada perselisihan semua umat menekuni nyanyian keagamaan, demikian pula para Pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para Ahli (Mpu), selalu melaksanakan Api Kurban (homa), mengucapkan Weda mantra, suara genta mengalun memuja kebesaran Sang Hyang Widhi serta para dewata.

Demikian pula bunyi-bunyian dibunyikan siang malam di tiap-tiap desa, dalam rangka upacara Dewa Yadnya pada masing-masing pura tak henti-hentinya. Dilengkapi dengan kidung dan membaca Lontar Kekawin.

Terjadi banyak perubahan dalam berbagai bidang diantaranya penulisan prasasti tidak lagi mempergunakan bahasa Bali Kuno seperti yang sudah sudah tetapi memakai bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi. Di bidang keagamaan yang semula terdiri dari 9 sekte yang sering menimbulkan pertentang di masyarakat ditata kembali melalui pertemuan dengan kelompok Budha Mahayana, Siwa dan Bali Aga dengan sekte sektenya.

Persembahyangan di Pura Samuan Tiga

Hal ini diprakarsai oleh Mpu Kuturan yang menjabat sebagai Ketua Majelis Lembaga Tertinggi dalam pemerintahan Raja Udayana. Hasil pertemuan ini disetujui oleh semua pihak dan menghasilkan 5 kesepakatan antara lain :
  1. Menjadikan paham Trimurti/ Tri Sakti/ Tri Tunggal sebagai dasar keagamaan bagi semua paham dan aliran
  2. Mendirikan Pura Kayangan Tiga untuk setiap desa adat atau Pakraman.
  3. Di setiap rumah dibangun bangunan suci rong tiga atau yang dikenal dengan sanggah kemulan.
  4. Semua tanah pekarangan yang terletak di sekitar Desa dan pura Kayangan Tiga menjadi milik desa/ Pura Kahyangan Tiga dan tidak boleh diperjual belikan.
  5. Nama agama yang disepakati adalah Agama Siwa-Buda.

Itulah sebabnya maka tempat dilaksanakan pertemuan tersebut dinamakan Samuan Tiga, sedangkan Pura yang dibangun ditempat itu dinamakan Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedahulu Gianyar.

Pura Samuan Tiga

BERBAGAI VERSI TENTANG UDAYANA

Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja. Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah dengan Mahendradatta

Moens tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali.

Moens juga mengemukakan bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II . Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali .

Peninggalan Bali Kuno

Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa.

agi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya.

Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa.

Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil. Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa.

Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens. Telah dikatakan bahwa prasasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II.

Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami-istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru).

Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII. Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya).

Segala kewajiban supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya.

Iringan Putri Raja di Bali

Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya. Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A . Rupanya Gunapriyadharmapatjni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur.

Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.

Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu.

Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses persidangan itu berbunyi :

  • “...tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa, winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, ...”
  • Artinya : “... kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak sekali dua kali, diperdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang menjadi permohonan penduduk desa itu, ...”
Selain prasasti-prasasti yang telah disebutkan, masih ada lima buah prasasti singkat (short inscription) yang terbit atau diduga terbit sebelum Udayana turun taktha, yaitu prasasti-prasasti Besakih, Pura Batumadeg (nomor lama 908), Ujung Pura Dalem (nomor lama 357) berangka tahun 932 Saka, Gunung Penulisan A (933 Saka), Gunung Penulisan B, dan Sangsit B (nomor lama 437) berangka tahun 933 Saka . Prasasti Besakih, Pura Batu Madeg sesunguhnya berangka tahun 1393 Saka tetapi di dalamnya disebutkan sebuah prasasti lebih tua yang memakai candra sangkala nawasanga-apit-lawang (929 Saka).

Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calonarang. Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah?

Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali. Kunjungan itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang sangat penting .


AKHIR MASA PEMERINTAHAN


Setelah lama Sri Dharmma Udhayana Warmmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda wafat, pada tahun Saka 940/1018 Masehi. Jenazah Baginda dikebumikan di Banyuweka.
Adapun Gunapriyadharmapatni setelah wafat dicandikan di Burwan. Beliau meninggalkan tiga orang putra, diantaranya

  1. Sri Aji Erlangga kawin ke Jawa Timur
  2. Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa, berkuasa di Bali antara tahun Saka 944/1022 Masehi
  3. Adik terkecil bernama Sri Aji Anak Wungsu. beliau juga menganugrahkan prasasti pada tahun Saka 911/999 Masehi