Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 22 Oktober 2009

RADEN WIJAYA

RAJA RAJA MAJAPAHIT

Raden Wijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293 setelah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri dan berhasil memukul mundur pasukan Mongol dari tanah Jawa.. Untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.



Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
Kalagamet, bergelar Sri Jayanegara (1309 - 1328)
Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
Wikramawardhana (1389 - 1429)
Suhita (1429 - 1447)
Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518


Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.








Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. Majapahit adalah yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara.

Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (Kitab Raja-raja) dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuna. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok pendiri Kerajaan Singhasari namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.

Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuna yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuna maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut pertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Namun demikian, garis besar sumber-sumber tersebut sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok. Khususnya, daftar penguasa dan keadaan kerajaan ini tampak cukup pasti.





Gapura Bajangratu, diduga kuat menjadi gerbang
masuk keraton Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri
di kompleks Trowulan.




1. RADEN WIJAYA/ ŚRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA
(1293 - 1309)

Raden Wijaya adalah Pendiri sekaligus Raja Majapahit yang pertama. Raden Wijaya dinobatkan pada bulan Kartika tahun 1215 saka, yaitu 12 Nopember 1293 dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya menurut Kidung Harsa Wijaya.



Raden Wijaya adalah anak dari Rakeyan Jayadarma, raja ke-26 dari Kerajaan Sunda Galuh , dan Dyah Lembu Tal, seorang putri Singhasari. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan keturunan langsung dari Wangsa Rajasa, yaitu dinasti pendiri Kerajaan Singhasari. Ken Arok, Raja pertama Singhasari (1222-1227) memiliki anak Mahesa Wong Ateleng dari Ken Dedes. Mahesa Wong Ateleng memiliki anak Mahesa Cempaka yang bergelar Narasinghamurti. Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.

Ibukota kerajaan Majapahit meliputi Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di Kabupaten Mojokerto dan kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di Kabupaten Jombang. Kawasan ini berada pada luas 10 X 10 kilometer persegi. ,namun, ada versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer persegi. Pusat kota ini berada di dalam kawasan ibukota dan lokasinya kini berada di Trowulan. Situs-situs yang memperkuat ilustrasi pusat kota ini antara lain Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, tempat kediaman Gajah Mada, kediaman kerabat kaum raja dan tempat pemandian para putri kerajaan.



Rakeyan Jayadarma adalah raja ke-26 Kerajaan Sunda Galuh, anak dari Prabu Guru Dharmadiksa, raja ke-25 dari Kerajaan Sunda Galuh. Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun oleh salah seorang bawahannya, Dyah Lembu Tal kembali ke Singhasari bersama Raden Wijaya. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut sebagai Jaka Susuruh dari Pajajaran. Ia dibesarkan di lingkungan kerajaan Singhasari.

Menurut prasasti dan Kakawin Nagarakretagama disebutkan bahwa Raden Wijaya memperistri empat orang putri raja Kertanegara dengan gelar sebagai berikut :

Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari.
Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.
Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā
Sri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri.

1. Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari

Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari adalah permaisuri Raden Wijaya .Dalam Nagarakretagama nama Tribhuwaneswari sering disingkat Tribhuwana. Ia adalah putri sulung Kertanagara raja terakhir Singhasari. Dikisahkan pada saat Singhasari runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari, sedangkan Gayatri ditawan musuh. Rombongan Raden Wijaya kemudian menyeberang ke Sumenep meminta perlindungan Arya Wiraraja. Dalam perjalanan menuju Sumenep, Tribhuwaneswari sering dibantu oleh Lembu Sora, abdi setia Raden Wijaya Raden Wijaya. Jika pasangan suami istri tersebut letih, Lembu Sora menyediakan perutnya sebagai alas duduk. Jika menyeberang rawa-rawa Lembu Sora, menyediakan diri menggendong Tribhuwana.

Raden Wijaya kemudian bersekutu dengan Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang. Ketika Raden Wijaya berangkat ke Kadiri pura-pura menyerah pada Jayakatwang, Tribhuwana ditinggal di Sumenep. Baru setelah Raden Wijaya mendapatkan hutan Terik untuk dibuka menjadi desa Majapahit , Tribhuwana datang dengan diantar Ranggalawe putra Arya Wiraraja. Berita ini terdapat dalam Kidung Panji Wijayakarama.



Sepeninggal pasukan Mongol tahun 1293, Kerajaan Majapahit berdiri dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Tribhuwana tentu saja menjadi permaisuri utama, ditinjau dari gelarnya yaitu Tribhuwana-iswari. Namun demikian, Pararaton menyebutkan, istri Raden Wijaya yang dituakan di istana bernama Dara Petak putri dari Kerajaan Dharmasraya, yang melahirkan Jayanagara sang putra Mahkota.Menurut prasasti Kertarajasa (1305), Tribhuwaneswari disebut sebagai ibu Jayanagara.



Dari berita tersebut dapat diperkirakan Jayanagara adalah anak kandung Dara Petak yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari sang permaisuri utama. Hal ini menyebabkan Jayanagara mendapat hak atas takhta sehingga kemudian menjadi raja kedua Majapahit tahun 1309-1328


Candi Rimbi

Setelah Wafat Tribhuwaneswari dimuliakan di Candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.


2. Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.

Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, atau disebut dengan Narendraduhita, adalah putri ketiga dari Raja Singhasari Kertanagara, dan merupakan istri kedua dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan.

3. Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita

Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita atau sering disingkat dengan nama Prajña Paramita atau Pradnya Paramita adalah putri keempat dari Raja Kertanegara dan merupakan istri ketiga dari Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan. Disebutkan bahwa Pradjnya Paramita adalah istri yang paling setia diantara kelima istri Raden Wijaya

4. Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Gayatri

Gayatri atau Rajapatni adalah istri ke empat dari Raden Wijaya, dari Gayatri lahir Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Tribhuwanatunggadewi inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya. Pada saat Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali.



Dalam Nagarakretagama pupuh 2/1 menguraikan bahwa putri Gayatri (Rajapatni) wafat pada tahun 1350 pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. 12 tahun setelah meninggalnya Gayatri dilaksanakan upacara srada dan dimuliakan candi di candi Boyolangu di desa Kamal Pandak tahun 1362 dengan nama Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkati oleh pendeta Jnyanawidi.




Candi Boyolangu




5. Dara Pethak (Indreswari)



Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit, datang pasukan Kebo Anabrang yang pada tahun 1275 dikirim Kertanegara menaklukkan Pulau Sumatra. Pasukan tersebut membawa dua orang putri Mauliwarmadewa dari Kerajaan Dharmasraya bernama Dara Jingga dan Dara Petak sebagai persembahan untuk Kertanegara.



Nama Dara Pethak berarti merpati putih. Menurut Kronik Cina, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga dapat diperkirakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi tanggal 4 Mei 1293. Karena Kertanegara sudah meninggal, maka ahli warisnya, yaitu Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri, sedang Dara Jingga diserahkan kepada Adwayabrahma (kebo Anabrang), seorang pejabat Singhasari yang dulu dikirim ke Sumatra tahun 1286.



Dara Petak pandai mengambil hati Raden Wijaya sehingga ia dijadikan sebagai Istri tinuheng pura, atau istri yang dituakan di istana. Padahal menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya sudah memiliki empat orang istri, dan semuanya adalah putri Kertanegara. Pengangkatan Dara Petak sebagai istri tertua mungkin karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Jayanegara. Sedangkan menurut Nagarakretagama, ibu Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini dianggap sebagai gelar resmi Dara Petak.



Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.




Masa Pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawardhana



Setelah Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, beliau kemudian mengangkat pengikut-pengikutnya yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Majapahit menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan menurut Serat Kekancingan Kadadu 1294 antara lain :

Aria Wiraraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung diberi daerah status khusus (Madura) dan diberi wilayah otonom di Lumajang hingga Blambangan.
Nambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih (Perdana menteri),
Ranggalawe menjadi Rakyan Mahamantri Agung diangkat sebagai Adipati Tuban,
Sora menjadi patih Daha (Kadiri).


Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam penanggungan tahun 1296.






Mahamentri Katrini
· Rakyan Menteri Hino : Dyah Pamasi
· Rakyan Menteri Halu : Dyah Singlar
· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Palisir

Sang Panca Wilwatika
· Rakyan Patih Majapahit : Empu Tambi
· Rakyan Demung : Empu Renteng
· Rakyan Kanuruhan : Empu Elam
· Rakyan Rangga : Empu Sasi
· Rakyan Tumenggung : Empu Wahan

Patih Negara Bawahan
· Rakyan Patih Daha : Empu Sora
· Rakyan Demung Daha : Empu Rakat
· Rakyan Rangga Daha : Empu Dipa
· Rakyan Tumenggung Daha : Empu Pamor

Pejabat Hukum Keagamaan
· Pranaraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung
· Dang Acarya Agraja menjadi Dharmadyaksa Kasaiwan
· Dang Acarya Ginantaka menjadi Dharmadyaksa Kasogatan
· Panji Paragata menjadi Pemegat Tirwan
· Dang Acarya Anggaraksa sang Pemegat di Pamotan
· Dang Acarya Rudra sang Pemegat di Jambi



Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa. Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain


Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa



Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan.
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan.
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan


Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Dharmaputra adalah suatu jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya Anggotanya berjumlah tujuh orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa, yang semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan Jayanegara (raja kedua Majapahit).

Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya mengatakan kalau para anggota Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya pegawai istimewa. Dikisahkan mereka diangkat oleh Taden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun 1328.

Pada Jaman Majapahit para pegawai pemerintahan masing masing diberi gelar sesuai jabatan yang dipangkunya dengan pembagian sebagai berikut :



Golongan Rakyan. Para pegawai pemerintahan yang berkah menggunakan gelar rakyan diantaranya

Mahamantri Katrini yang terdiri dari Mahamantri Hino, Mahamantri Sitrikan dan Mahamantri halu
Pasangguhan/ hulubalang yang terdiri dari 2 yaitu Pranaraja dan Nayapati.
Sang Panca Wilwatika yaitu lima pembesar yang diserahi tugas untuk menjalankan pemerintahan Majapahit. Terdiri dari Patih Amangkubumi, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumengggung.
Juru Pangalasan yaitu pembesar wilayah mancanagara.
Nara pati Negara Negara bawahan.


Golongan Arya. Golongan ini mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari Rakyan, namun karena jasa jasanya seorang arya dapat dinaikan jabatannya menjadiWreddhamantri atau Menteri Sepuh.

Golongan Dang Acarya. Sebutan ini khusus diperuntukkan bagi para pendera Siwa dan Budha yang diangkat sebagai Dharnmaddyaksa atau hakim tinggi.


Pembagian wilayah

Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut antara lain :


Daha
Jagaraga
Keling
Kabalan
Kahuripan
Matahun
Kembang jenar
Tumapel
Wirabumi
Kelinggapura
Tanjungpura
Singhapura
Pajang
Wengker


Peristiwa penting yang terjadi dalam masa pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawarhana

Dalam Piagam Kudadu disebutkan bagaimana watak Raden Wijaya sebagai panglima perang yang menunaikan tugas dari Raja Kertanagara. Dalam pengabdiannya ia menunjukkan kedisiplinan serta kesetian kepada perintah yang diberikan dan menunaikan tugas tiada tercela. Demikian pula terhadap teman teman seperjuangannya Raden wijaya memberikan kedudukan yang tinggi kepada para pengikutnya sesuai dengan jasa yang selama masa perjuangan. Namun rasa keadilan bagi masing – masing orang berbeda beda. Setelah Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja timbullah rentetan ketiadakpuasan diantara pengikut pengikutnya. Peristiwa penting penting tersebut sebagai berikut :


· Peristiwa Ranggalawe ( 1295 )

Ranggalawe / Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara./ Arya Adikara adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama pada tahun 1295. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Sumenep. Ia sendiri tinggal di Tanjung, yang terletak di Madura sebelah barat.

Pertemuan pertama dengan Raden Wijaya terjadi ketika Ranggalawe diutus oleh ayahnya yaitu Arya Wiraraja yang menjabat sebagai Bupati Madura untuk mengantar Tribhuwaneswari dari Sumenep ke Majapahit bersama Banyak Kapuk dan Mahesa Pawagal utusan Raden Wijaya . Ranggalawe mempunyai watak yang agak grasa grusu, bicaranya lantang namun mempunyai kelebihan dalam hal menyusun siasat perang dan dalam pertempuran ia adalah seorang pemberani dan ahli menggunakan senjata.

Namun dibalik sifatnya yang kasar, Ranggalawe adalah seseorang yang berani, jujur dan mempunyai tekat besar yaitu berani mempertaruhkan jiwanya untuk membela Raden Wijaya Ranggalawe kemudian membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik menjadi desa Majapahit. Nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti benang, atau juga berarti kekuasaan. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Selain itu Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Bima sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pembantunya untuk menghadapi Jayakatwang di Kadiri. Penyerangan ke Kadiri terjadi tahun 1293, Ranggalawe berada dalam gabungan pasukan Majapahit dan Mongol yang menggempur benteng timur kota Kadiri. Pemimpin benteng bernama Sagara Winotan, mati dipenggal Ranggalawe.

Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu (1294) yang memuat daftar nama para pejabat awal Majapahit, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun Prasasti Kudadu menyebutkan dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang yang berbeda.

Slamet Muljana dalam bukunya, Menuju Puncak Kemegahan (1965), mengidentifikasi nama Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika diangkat sebagai pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut menjabat sebagai pasangguhan. Masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.

Kisah pemberontakan Ranggalawe yang merupakan perang saudara pertama di Majapahit disebutkan dalam Pararaton terjadi tahun 1295, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Ranggalawe. Pemberontakan itu dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih Majapahit. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih cakap dan berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.

Ranggalawe juga mendapat hasutan dari tokoh licik bernama Mahapati sehingga ia nekad menghadap Raden Wijaya di ibu kota menuntut penggantian Nambi oleh Lembu Sora, namun Lembu Sora justru tetap mendukung Nambi.

Setelah menghina dan merendahkan nama Nambi dihadapan Raden Wijaya akhirnya Ranggalawe menantang Nambi untuk mengadu senjata, mendengar tantangan tersebut Nambi menjadi marah sehingga pertengkaran mulutpun tak terhindarkan diantara kedua belah pihak. Semua menteri yang hadir termasuk Kebo Anabrang (Panglima pasukan Singhasari dalam Ekspedisi Pamalayu) tidak bisa menyembunyikan kemarahan akibat perbuatan Ranggalawe yang dianggap melanggar tata krama di hadapan Sang Prabu Kertarajasa (Raden Wijaya) dan menantang untuk mengadu senjata.

Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe kemudian membuat kekacauan di halaman istana. Lembu Sora sebagai pamannya keluar menasihati Ranggalawe yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada Raja. Ranggalawe mengakui kesalahannya bahwa ia telah berbuat terlalu lancang dan sebagai hukumannnya ia minta untuk dibunuh saja. Sora tidak memenuhi permintaan keponakannya dan menasehatinya untuk mengingat segala kebaikan Prabu Kertarajasa dimana Ranggalawe diberikan kebebasan untuk keluar masuk Istana siang maupun malam. Mendengar nasehat tersebut akhirnya Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.

Mahapati kemudian ganti menghasut Nambi dengan mengatakan kalau Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan. Maka berangkatlah Nambi atas izin raja, memimpin pasukan menyerang Tuban. Dalam pasukan itu ikut serta Lembu Sora dan Kebo Anabrang. Dalam Kidung Ranggalawe diketahui bahwa Arya Wiraraja yang merupakan ayah dari Ranggalawe menetap di Tuban, ketika mendengar putranya telah pulang dari Majapahit ia langsung menemuinya. Dari tingkah laku putranya Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang tidak baik akan terjadi kepada anaknya. Arya Wiraraja kemudian menanyakan apa yang telah terjadi ketika menghadap sang Prabu. Ketika mendengar penjelasan yang disampaikan putranya, Arya Wiraraja terdiam dan hatinya makewuh mana yang harus dipilih cinta kepada anak atau setia kepada Sang Prabu.

Arya Wiraraja kemudian menasehati anaknya untuk tetap setia kepada sang prabu karena berkhianat akan mempunyai akibat yang sangat berat baik diakhirat maupun dalam kelahiran kembali. Mendengar nasehat ayahnya Ranggalawe terdiam dan mengakui kesalahannya, namun darah kesatria yang mengalir dalam dirinya mengharamkan bagi dirinya untuk mundur dan keperwirayudaan tersebut akan dipertahankan sampai mati.

Setelah Nasehatnya tidak didengar oleh putranya, Arya Wiraraja kemudian memanggil para Menteri, Kepala desa, Akuwu dan Demang untuk mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Mereka mengharapkan agar Nambilah yang nantinya memimpin pasukan dari Majapahit karena Nambilah orang yang paling mereka cari.

Para pengikut Ranggalawe didaerah Majapahit kemudian meninggalkan daerahnya menuju daerah Tuban, namun ketika mereka hendak menyeberangi sungai Tambak beras, air sungai sedang pasang sehingga mereka dapat disusul oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Nambi. Mereka semua akhirnya dapat dihancurkan oleh Pasukan dari majapahit.

Hari hari berikutnya pagi pagi sekali pasukan dari Majapahit menyeberangi sungai Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Mantri Gagarangan dan Tambak Baya dari Tuban memberitahukan kepada Ranggalawe bahwa pasukan Majapahit telah tiba dan segera Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk menyerang pasukan dari majapahit.

Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera mempersiapkan pasukannya. Kidung Ranggalawe menyebutkan nama istri Ranggalawe adalah Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Ranggalawe kemudian mohon pamit kepada istrinya untuk menghadapi pasukan dari Majapahit. Martaraga berusaha mencegah kepergian suaminya karena mempunyai firasat bahwa sesuatu yang tidak baik akan menimpa suaminya. Oleh mertuanya sendiri yaitu Ki Ajar Pelandongan, Ranggalawe juga dibujuk agar mengurungkan niatnya untuk maju kemedan pertempuran namun sekali lagi bujukan tersebut tidak dihiraukan oleh Ranggalawe.

Ranggalawe kemudian terjun ke medan pertempuran melawan pasukan dari Majapahit, ia bertemu dengan orang yang diharap harapkan yaitu Patih Nambi. Patih Nambi mengendarai kuda Brahma Cikur sedangkan Ranggalawe mengendai kuda Mega Lamat. Pertempuran kedua orang tersebut berjalan dengan hebatnya. Akhirnya kuda Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe namun Patih Nambi berhasil mengelak dan lari menyelamatkan diri kearah selatan. Ranggalawe bersama pasukannya kemudian melakukan pengejaran sampai di sungai Tambak Beras.

Ranggalawe berniat untuk menyeberangi sungai Tambak beras namun ditahan oleh para pengikutnya karena daerah diseberang sungai adalah wilayah Majapahit, lagi pula belum semua kekuatan tentara Majapahit dikerahkan ke medan perang, Ranggalawe akhirnya menurut. Pertempuran antara pasukan Majapahit dibawah Pimpinan Nambi dengan pasukan Ranggalawe terjadi didaerah Tosan, Kidang Glatik, Siddi, Cek Muringgang dan klabang curing berakhir sampai malam hari.

Berita kekalahan pasukan dari Majapahit kemudian disampaikan Hangsa Terik ke hadapan Raden Wijaya. Betapa kecewanya Raden Wijaya mendengar kabar tersebut dan bersumpah akan membumihanguskan Kota Majapahit jika tidak berhasil mengalahkan Ranggalawe. Segera beliau mengirim Kala Angerak, Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru Prakasa untuk memulihkan kembali kekuatan pasukan dari Majapahit yang telah tercerai berai dan menyelidiki sampai dimana kekuatan musuh.

Sementara keberangkatan 10.000 pasukan tambahan dari Majapahit telah dipersiapkan dipimpin sendiri oleh Prabu Kertarajasa, beliau mendapat laporan dari 4 orang mata mata yang dikirim ke medan pertempuran tentang kekuatan pasukan dari Ranggalawe. Akhirnya pertempuran pasukan tambahan yang dipimpin oleh Prabu kertarajasa dengan pasukan dari Ranggalawe berkobar kembali, pertempuran berjalan dengan sengit dimana korban berjatuhan diantara dikedua belah pihak. Sementara itu untuk menghindari makin banyaknya korban yang berjatuhan , Sora minta ijin kepada Prabu Kertarajasa untuk menghadapi Ranggalawe. Prabu Kertarajasa mengijinkan, akhirnya Ranggalawe dikepung dari tiga arah yaitu Kebo Anabrang dari arah timur, Gagak Sarkara dari arah barat dan Majang Mekar dari arah utara

Perkelahian sengit kemudian terjadi dari arah timur dimana kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Kuda tunggangan kebo Anabrang berhasil dilumpuhkan oleh Ranggalawe namun penunggannya berhasil menyelamatkan diri. Hari selanjutnya untuk kedua kalinya kembali Kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Pertempuran ini terjadi di seberang sungai Tambak Beras. Pertempuran berjalan dengan hebatnya dimana masing masing kedua belah pihak mengeluarkan ilmu kesaktiannya untuk melumpuhkan lawannya. Pertempuran kemudian dilanjutkan di dalam air dimana Ranggalawe berhasil mendesak kebo anabrang sampai ketengah sungai namun dengan sigap berhasil menikam kuda tunggangan Ranggalawe.

Didalam kidung Ranggalawe dikisahkan bahwa ikan ikan berlompatan dan air muncrat bagaikan hujan akibat perang tanding diantara kedua tokoh tersebut. Mereka bergulat, saling banting didalam air berusaha menenggelamkan lawannya. Sampai akhirnya Ranggalawe terpeleset dari batu tempat berpijaknya sehingga hal tersebut berhasil dimanfaatkan oleh Kebo Anabrang untuk menenggelamkannya di dalam air. Kepalanya terpiting dibawah ketiak Kebo Anabrang. Ranggalawe kehabisan napas dan mati lemas.

Melihat keponakannya mati ditangan Kobo Anabrang secara mengenaskan hati Sora menjadi panas sehingga dengan serta merta melompat ke dalam sungai untuk menikam Kebo Anabrang dengan keris dari belakang. Keris tersebut tembus sampai ke dada, mayat Kebo Anabrang kemudian mengapung diatas sungai. Pembunuhan terhadap rekan sepasukan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora tahun 1300. Demikianlah akhir hidup Ranggalawe dan Kebo Anabrang yang sama sama tewas di sungai Tambak Beras.

Jenasah Ranggalawe dan Kebo Anabrang kemudian dibawa ke Majapahit untuk diupacarakan secara terhormat , mengingat jasa besar kedua tokoh tersebut. Ranggalawe adalah seorang pahlawan pemberani yang siap mengorbankan seluruh jiwa raganya pada masa awal pembentukan Majapahit, sedangkan Kebo Anabrang adalah Panglima pasukan Singhasari yang sukses menaklukkan Melayu pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara yang terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu Tahun 1275. Kisah pemberontakan Ranggalawe tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Hal itu dapat dimaklumi mengingat Nagarakretagama merupakan kitab pujian tentang kebesaran Majapahit. Ranggalawe terkenal sebagai pahlawan, sehingga diperkirakan Mpu Prapanca tidak tega mengisahkan kematiannya sebagai pemberontak.

Kiranya setelah Ranggalawe gugur tahun 1295, Arya Wiraraja merasa sakit hati dan memutuskan untuk menghadap Prabu Kertarajasa untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menagih sang prabu semasa perjuangan, yaitu membagi wilayah kerajaan menjadi dua. Janji tersebut kemudian dipenuhi oleh Prabu kertarajasa sehingga kemudian memutuskan membagi wilayah kerajaan menjadi dua :

Bagian Timur terus keselatan sampai pantai diserahkan kepada Arya Wiraraja kemudian menjadi raja dengan ibukota Lumajang.
Bagian Barat masih dikuasai oleh Raja Kertarajasa dengan Ibukota Majapahit.
Sejak saat itulah Daerah Majapahit timur merupakan Negara merdeka dan lepas dari kekuasaan Majapahit. Bagi masyarakat Tuban, tokoh Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu. Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri. Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir).

Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang. Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi



· Peristiwa Ken Sora/ Andaka Sora

Lembu Sora atau Mpu Sora atau Ken Sora atau Andaka Sora adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam berdirinya Kerajaan Majapahit, namun mati sebagai pemberontak pada tahun 1300. Peristiwa sejarah ini terdapat dalam Kidung Sorandaka artinya Andaka Sora atau Lembu Sora.

Pararaton menyebut Sora sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia. Ia mengawal Raden Wijaya saat menghindari kejaran pasukan Jayakatwang tahun 1292, di mana ia menyediakan punggungnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat beristirahat, serta menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa.

Pada tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di Kadiri. Dalam perang itu, Sora menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh Patih Kadiri Kebo Mundarang. Menurut Pararaton, setelah kemenangan tersebut, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Lembu Sora diangkat sebagai Rakryan Patih Daha, atau patih bawahan di Kadiri. Keputusan tersebut memicu pemberontakan Ranggalawe tahun 1295. Menurut Ranggalawe, Lembu Sora lebih pantas menjabat sebagai Rakryan Patih Majapahit dari pada Nambi. Meskipun Ranggalawe adalah keponakan Sora, namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan Nambi sebagai patih Majapahit.

Dalam peristiwe pemberontakan Ranggalawe, Sora bertindak sebagai penasehat raja, dimana Sora memberikan nasehat kepada raja agar jangan sekali kali menuruti apa kemauan Ranggalawe serta dalam pertempuran bertindak sebagai senapati yang memberikan perintah untuk mengepung Ranggalawe dari 3 arah. Siasat ini berhasil sehingga pemberontakan Ranggalawe dapat dipadamkan. Berdasarkan fakta tersebut sudah sepantasnya Sora menjadi abdi kesayangan Raden Wijaya dan menduduki posisi yang terhormat dalam masa pemerintahan Raden Wijaya. Namun dalam perjalanan hidupnya selalu ada rintangan, ada yang iri hati dengan mengungkapkan segala kekurangan yang ia miliki kehadapan sang prabu.

Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Mahapati sebagai Menteri mempunyai ambisi yang sangat besar untuk menduduki posisi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit, Pada saat itu yang menduduki posisi tersebut adalah patih Nambi, namun untuk mencari kesalahan yang mengakibatkan jatuhnya kedudukan Nambi belum berhasil. Salah seorang tokoh yang mempunyai hubungan erat dengan sang Prabu dan berpengaruh besar yaitu Sora. Andaikata Nambi jatuh maka calon utama penggantinya pastilah Lembu Sora.

Demikianlah menurut rencananya Lembu Sora harus disingkirkan terlebih dahulu, untuk tujuan tersebut ia memperoleh tuduhan yang jitu yaitu pembunuhan Kebo Anabrang yang merupakan rekan sepasukan dalam peristiwa pemberontakan Ranggalawe. Sebelum menjalankan siasatnya Mahapati berusaha bersahabat dengan para Menteri lainnya sehingga ia dapat menjadi orang kepercayaan sang Prabu Kertarajasa.

Pembunuhan terhadap rekan sepasukan tersebut baru diungkit tahun 1300. Mahapati menghadap Raden Wijaya dan menceritakan bahwa para Menteri tidak puas dengan sikap sang Prabu terhadap Lembu Sora. Ketidakpuasan tersebut semakin meningkat karena seolah olah sang prabu membenarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Rupanya keluarga Kebo Anabrang segan menuntut hukuman karena Sora adalah abdi kesayangan Raden Wijaya. Suasana itu dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh licik yang mengincar jabatan patih. Ia menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama Mahisa Taruna supaya berani menuntut Sora. Ia juga menghasut Raden Wijaya bahwa para menteri resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Sora.

Raden Wijaya tersinggung dituduh tidak adil. Ia pun memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan selanjutnya. Mahapati pura pura mencegah tindakan sang Prabu yang serta merta tersebut dan memberi nasehat agar sang prabu mencari kesempatan yang baik untuk menyingkirkan Lembu Sora. Mahapati mengusulkan agar Lembu Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar. Raden Wijaya memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang ke Tulembang. Yakinlah Mahapati bahwa sekaranglah saatnya untuk menyingkirkan Lembu Sora.

Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu. Ia berniat ke ibu kota meminta hukuman mati dari pada harus diusir dari tanah airnya. Mahapati kemudian menghasut Nambi bahwa sang prabu telah mengambil keputusan untuk membebaskan Sora dari Tugasnya dan menggantinya dengan Mahesa Taruna (anak dari Kebo Anabrang). Terpikat oleh uraian yang disampaikan Mahapati, Patih Nambi kemudian menyiapkan orang orangnya untuk menghadap sang Prabu. Dengan tegas dikemukakannnya bahwa Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara licik dan kejam harus mendapat hukuman yang setimpal, juga para menteri yang terkena hasutan Mahapati sepakat bahwa Lembu Sora harus mendapat hukuman akibat dari perbuatannya.

Mahapati yang pandai menjalankan peranannya sekali lagi mengunjungi kediaman Lembu sora, dikatakannya bahwa ia telah berusaha keras untuk mencegah hukuman tersebut namun tidak berhasil, lagipula Nambi telah menyiapkan pasukannya. Sementara itu telah diputuskan mengingat jasa jasanya, Lembu Sora tidak akan dijatuhi hukuman mati tetapi di hukum buang ke Tulembang. Keputusan tersebut disampaikan langsung utusan Prabu kertarajasa dari Majapahit. Sora menolak keputusan tersebut, ia lebih baik mati daripada harus dihukum buang. Raja Kertarajasa masih cukup sabar menerima keputusan Nambi tersebut dan menyesalkan konflik yang telah terjadi antara dirinya dengan Lembu Sora yang merupakan abdi kesayangannya..

Mahapati pura pura membela Sora dan mengusulkan agar sang Prabu memberikan peringatan secara tertulis kepada Sora dan menunggu jawabannya. Segera Sang prabu mengutus Mahapati untuk menyampaikan surat tersebut langsung kepada Lembu Sora yang isinya bahwa menurut kitab Undang undang Kutaramanawa , Sora harus dihukum mati, namun dibebaskan dari hukuman tersebut dan sebagai gantinya ia akan di pindahkan ke Tulembang. Kutaramanawa yaitu kitab perundang undangan pada jaman Majapahit yang isinya menekankan susunan masyarakat yang terdiri dari empat warna demi kebaikan masyarakat. Kitab tersebut sekarang disimpan di Leiden Belanda.

Setelah membaca surat tersebut, Lembu Sora kemudian menyampaikan jawabannya bahwa ia masih menaruh cinta bakti kepada sang prabu dan akan menyerahkan jiwa dan raganya ke hadapan sang Prabu. Ia tidak akan membantah sekalipun akan diserahkan kepada Kebo Taruna. Lembu Sora merencanakan untuk menghadap langsung ke hadapan sang prabu. Mahapati yang mengingikan kematian Lembu Sora belum puas akan penyerahan jiwa raga yang disampaikan oleh Lembu Sora melaporkan kepada sang Prabu bahwa Lembu Sora tidak menerima keputusan tersebut dan akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas hukuman raja.

Setelah mendesak raja, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang datang bersama Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Sora dan kedua sahabatnya mati dikeroyok tentara Majapahit. Maka berhasillah siasat Mahapati. Kematian Sora pada tahun 1300 diceritakan singkat dalam Pararaton, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka.

Berbeda dengan kisah dalam Kidung Sorandaka di atas, Pararaton menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Keduanya tewas sebagai pemberontak pada pemerintahan Jayanegara putra Raden Wijaya.




Wafatnya Raden Wijaya
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanagara. Raden Wijaya dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura dalam kota Majapahit dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Simping (dekat Blitar) yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca.

Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanagara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan.

Selasa, 20 Oktober 2009

ARYA KENCENG

ARYA DAMAR

Sejarah Puri Pemecutan berkaitan erat dengan keberadaan Arya Damar yang datang sebagai panglima perang pasukan Majapahit pada waktu ekspedisi Majapahit ke Bali pada tahun 1343 M bersama dengan Patih Gajah Mada. Arya Damar merupakan leluhur dari Kerajaan Tabanan dan Kerajaan-Kerajaan di Denpasar

Sejarah Arya Damar

Adityawarman/ Arya Damar yang bergelar Udayadityawarman Prataparakramarajendra Mauliwarmadewa, adalah seorang panglima Majapahit abad ke-14 yang kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit untuk wilayah Sumatera. Dikatakan bahwa Arya Damar menjadi raja di Palembang, sebab penulis babad Jawa menganggap Palembang yang dulunya pusat Sriwijaya, mengacu pada Melayu atau Sumatera. Sebenarnya Arya Damar alias Adityawarman bukan menjadi raja di Palembang melainkan di Hulu Batang Hari Jambi, tepatnya di Kerajaan Darmasraya yang merupakan kerajaan kakeknya yaitu Prabu Mauliwarmadewa yang merupakan ayah dari Dara Jingga ibu dari Adityawarman.

Adityawarman adalah pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347, dan ia adalah seorang panglima Kerajaan Majapahit yang berdarah Melayu. Ia adalah anak dari Adwaya Brahman seorang kerabat Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari yang memangku jabatan sebagai Menteri Hino yaitu jabatan tertinggi setelah Raja pada masa pemerintahan Kerajaan Singhasari.

Dalam beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal dengan nama Arya Damar dan merupakan sepupu sedarah dari pihak ibu dengan raja Majapahit kedua, yaitu Sri Jayanagara atau Raden Kala Gemet. Nama Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya kurang lebih ialah "Yang berperisai matahari" (adhitya: matahari, varman: perisai). Adityawarman dibesarkan di lingkungan istana Majapahit, yang kemudian membuatnya memainkan peranan penting dalam politik dan ekspansi Majapahit. Hal ini antara lain terlihat bahwa setelah dewasa, ia diangkat menjadi Wrddhamantri atau menteri senior, bergelar "Arrya Dewaraja Pu Aditya".

Adanya prasasti pada Candi Jago di Malang (bertarikh 1265 Saka atau 1343 M), yang menyebutkan bahwa Adityawarman menempatkan arca Maňjuçrī (salah satu sosok bodhisattya) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha di Bumi Jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.


Asal-usul Adityawarman

Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275 dibawah pimpinan Mahesa Anabrang , Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa dua orang putri dari Prabu Sri Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa yaitu Dara Jingga dan Dara Petak dari kerajaam Damasraya. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah runtuh dan telah muncul kerajaan baru sebagai penerus kerajaan Singhasari yaitu kerajaan Majapahit. Raden Wijaya yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana adalah raja Majapahit pada waktu itu sehingga kedua putri tersebut diserahkan kepada Raden Wijaya. Oleh Raden Wijaya, Dara Petak kemudian diambil sebagai selir dengan gelar Indreswari. Dari perkawinan tersebut lahir Jayanegara yang menjadi Raja Majapahit ke dua.

Sedangkan Dara Jingga kemudian menikah dengan Adwaya Brahman seorang kerabat Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari yang memangku jabatan sebagai Menteri Hino yaitu jabatan tertinggi setelah Raja pada masa pemerintahan Kerajaan Singhasari. Dari pernikahan tersebut lahir putra yang bernama Adityawarman . Nama kecil Adityawarman yaitu “Tuhan Janaka“ atau Aji Mantrolot. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.

Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga dan juga Dara Petak adalah putri dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno Mandi.

Adityawarman lahir tepatnya di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Setelah dewasa Adityawarman kembali ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasana keraton Majapahit. Kesempatan yang didapatkan karena Adityawarnan masih bersaudara sepupu dengan Jayanegara yang merupakan Raja Majapahit pada waktu itu. Mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.

Adityawarman dididik ilmu perang dan ilmu kertatanegaraan oleh Majapahit sehingga di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Adityawarman mempunyai kedudukan yang setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih Gajah Mada. Karena itu Adityawarman adalah salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit.

Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman sebagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta.

Setelah Bali berhasil ditundukkan, Adityawarman akhirnya kembali ke Majapahit dan atas jasa-jasanya oleh Ratu Tribuana Wijaya Tunggadewi pada tahun 1347 Adityawarnan diangkat sebagai wakil (uparaja) Kerajaan Majapahit di Sumatra untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatra. Adityawarman memutuskan pergi ke Sumatra karena dengan lahir dan semakin dewasanya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman untuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat. Pada sisi lain, kedatangan Adityawarman ke Darmasraya selain menemui kakeknya, juga mempunyai tugas khusus yaitu merebut kembali daerah Lada Sungai Kuntu dan Sungai Kampar.

Dahulu sesudah “Pamalayu” menurut ceritanya, daerah kaya ini tunduk pada kekuasaan Singosari. Setelah Kerajaan Singosari runtuh dan Majapahit belum lagi begitu kuat, daerah-daerah Kuntu / Kampar tersebut dapat direbut oleh Kesultanan Aru-Barumun yang telah memeluk agama Islam.

Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama :

“Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja”

Adityawarman dididik dan dibesarkan di Majapahit dan pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, sehingga paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini dibuktikan pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.

Istana Pagaruyung

Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Pemerintahan Adityawarman Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya.

Adityawarman Penganut Budha Tantrayana
Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Budha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Bia­ro, Sumpur, dan Selo.

Adityawarman diperkirakan penganut yang taat dari agama sinkretis Buddha Tantrayana dan Hindu Siwa, sebagaimana yang banyak dianut oleh para bangsawan Singhasari dan Majapahit. Ia diperlambangkan dengan Arca Bhairawa Amoghapasa. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung, Adityawarman banyak mendirikan biaro (bahasa Minang, artinya Vihara) dan Candi sebagai tempat pemujaan Dewa Yang Agung. Sampai sekarang, masih dikenal nama tempat Parhyangan yang kemudian berubah tutur menjadi Pariangan, yaitu di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat

Arca Bhairawa memegang mangkuk dan belati

Arca Bhairawa Museum Nasional di Jakarta ditemukan di kawasan persawahan di tepi sungai di Padang Roco, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Arca Bhairawa dengan tinggi hampir 3 meter ini merupakan jenis arca Tantrayana. Arca Bhairawa tidak dalam kondisi utuh lagi, terutama sandarannya. Arca ini tidak banyak dijumpai di Jawa, karena berasal dari Sumatera. Sebelum ditemukan hanya sebagian saja dari arca ini yang menyeruak dari dalam tanah. Masyarakat setempat tidak menyadari bahwa itu merupakan bagian dari arca sehingga memanfaatkannya sebagai batu asah dan untuk menumbuk padi. Hal ini dapat dilihat pada kaki sebelah kirinya yang halus dan sisi dasar sebelah kiri arca yang berlubang.

Arca Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat. Namun arca di sini hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat, maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru/ ksetra. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual Matsya atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau kendaraan Syiwa dalam perwujudan sebagai Syiwa Bhairawa adalah serigala karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan pemakan mayat. Walaupun banyak di Sumatera, beberapa ditemukan juga di Jawa Timur dan Bali. Bhairawa merupakan Dewa Siwa dalam salah satu aspek perwujudannya. Bhairawa digambarkan bersifat ganas, memiliki taring, dan sangat besar seperti raksasa. Bhairawa yang berkategori ugra (ganas).


Siwa berdiri di atas mayat bayi korban dan tengkorak


Arca ini berdiri di atas mayat dengan singgasana dari tengkorak kepala. Arca Siwa Bhairawa ini konon merupakan arca perwujudan Raja Adithyawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347. Nama Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya kurang lebih ialah “Yang berperisai matahari” (adhitya: matahari, varman: perisai).


Di dekat Istano Basa, Batusangkar, ada sekelompok batu prasasti yang menceritakan tidak saja sejarah Minang, tapi sepenggal sejarah Nusantara secara utuh. Dari buku panduan disebutkan bahwa batu-batu prasasti yang disebut “Prasasti Adityawarman” itu menghubungkan Nusantara secara keseluruhan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit.


Bukit Siguntang

Bukit Siguntang dikeramatkan sejak jaman Sriwijaya Kemasyhuran Bukit Siguntang tidak hanya berkutat di Palembang, tetapi menyebar hingga ke seluruh Sumatera, Malaysia, dan Singapura. Kawasan perbukitan di Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, Sumatera Selatan, itu menjadi cikal bakal pertumbuhan Kerajaan Melayu. Hingga kini Bukit Siguntang merupakan cikal bakal Kerajaan Malaka. Bukit Siguntang pernah menjadi pusat Kerajaan Palembang yang dipimpin Parameswara, adipati di bawah Kerajaan Majapahit.Sekitar tahun 1511, Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan merantau ke Malaka. Di sana dia sempat bentrok dengan pasukan Portugis yang hendak menjajah Nusantara. Adipati itu menikah dengan putri penguasa Malaka, menjadi raja, dan menurunkan raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia, Singapura, dan Sumatera. Sekitar tahun 1554 muncul Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ing Suro, seorang pelarian Kerajaan Pajang, Jawa Tengah. Kerajaan ini juga mengeramatkan Bukit Siguntang dengan mengubur jenazah Panglima Bagus Sekuning dan Panglima Bagus Karang.

Situs Bukit Siguntang di Kelurahan Bukit Lama, Ilir Barat I, Palembang, tidak dilengkapi teks yang menjelaskan sejarah kompleks itu. Kondisi itu membuat sejarah keberadaan bukit yang dikenal pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Palembang itu kabur dan pengunjung kebingungan. Situs Bukit Siguntang merupakan kawasan perbukitan yang memiliki tujuh makam tokoh yang terkenal dalam cerita tutur rakyat. Ketujuh makam itu adalah Makam Raja Sigentar Alam, Panglima Tuan Djundjungan, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Pangeran Raja Batu Api, Panglima Bagus Sekuning, dan makam Panglima Bagus Karang. Makam-makam itu berbentuk bangunan makam dari tembok atau batu yang berada dalam rumah. Pada makam itu hanya diberi keterangan nama tokoh yang terkubur, tanpa satu teks yang menjelaskan siapa tokoh itu, riwayat hidupnya, dan perannya dalam sejarah Palembang. Sebagian besar pengunjung yang mendatangi situs kebingungan. Apalagi, beberapa juru kunci menceritakan versi sejarah yang berbeda-beda.

Kedua tokoh itu berjasa memimpin pasukan kerajaan saat menundukkan pasukan Kasultanan Banten yang menyerang Palembang. Sultan Banten, Sultan Hasanuddin, tewas dalam pertempuran sengit itu. Tetapi, ada juga versi sejarah yang menyebutkan, makam Bagus Sekuning yang sebenarnya justru ada di kawasan Bagus Kuning, di Plaju, Palembang. Jauh sebelum itu, Bukit Siguntang menjadi pusat keagamaan pada masa Kerajaan Sriwijaya yang berkembang sampai abad ke-14. Sejumlah peninggalan dari kerajaan yang didirikan Dapunta Hyang Srijayanasa itu ditemukan di sini. Ada kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di kaki bukit, ada arca Buhda Amarawati, dan prasasti Bukit Siguntang yang menjadi bukti penting keberadaan Sriwijaya. "Jadi, Bukit Siguntang itu memang kawasan yang dikeramatkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, pemerintahan perwakilan Majapahit, dan Kerajaan Palembang. Sampai sekarang pun bukit itu masih dikeramatkan dengan diziarahi banyak pengunjung,"

Sosok Adityawarman dari penerawangan beberapa sumber yang telah didatangi beliau dalam mimpinya, menyatakan bahwa Adityawarman berperawakan tinggi besar, berpakain serba hitam dan rambut panjang serta dikiri kanannya terselip pedang dengan ukuran panjang dan pendek. Dalam kaitannya dengan Adityawarman , Bukit siguntang diyakini sebagai tempat disimpannya salah satu senjata andalan beliau yaitu pecut yang selalu dibawa dalam setiap pertempuran yang dilaluinya. Pada hari hari tertentu paranormal banyak berdatangan ke daerah tersebut untuk memohon berkah dan berkeinginan memiliki senjata tersebut, namun untuk memilikinya bukan hal yang mudah karena dibutuhkan syarat syarat tertentu dan orang tersebut harus keturunan langsung dari Adityawarman. Adapun senjata pecut tersebut secara kasat mata tidak kelihatan namun bagi orang orang tertentu yang memiliki tingkat ilmu kebatinan yang tinggi pecut tersebut berwarna keemasan dan melingkar ditopang oleh dua buah penyangga. Pecut tersebut terakhir kali di pegang oleh Kyai Jambe Pule yang menjadi raja di Kerajaan Badung dan setelah beliau wafat pecut tersebut kembali lagi keasalnya yaitu Bukit Siguntang.


Penaklukan Bali

Nama Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343. Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara, sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama. Di dalam beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal dengan nama Arya Damar. Adityawarman turut serta dalam ekspansi Majapahit ke Bali pada tahun 1343 yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. Dalam catatan Babad Arya Tabanan, disebutkan bahwa Gajah Mada dibantu seorang Ksatria bernama Arya Damar, yang merupakan nama alias Adityawarman.
Dari uraian Kitab Purana Bali Dwipa dinyatakan " Perang Arya Dhamar saking kulwan anekani perang lan sutanire anama Arya Kenceng, Arya Dhalancang, arya Tan Wikan (Arya Belog) " yang artinnya bahwa pada waktu Adityawarman ke Bali ikut serta pura beliau yaitu
  • Arya Kenceng
  • Arya Dhalancang
  • Arya Tan Wikan ( Arya Belog )

Arya Damar diperkirakan lahir tahun 1294 M dan pada waktu ekspedisi Majapahit ke Bali tahun 1343 beliau diperkirakan berusia 50 tahunan sehingga sudah sewajarnya mempunyai putra yang sudah menginjak dewasa dan ikut serta berperang membantu ayahnya.

Kerajaan Bedahulu adalah kerajaan kuno yang berdiri sejak abad ke-8 sampai abad ke-14 di pulau Bali, dan diperintah oleh raja-raja keturunan wangsa Warmadewa. Ketika menyerang Bali, Raja Bali yang menguasai saat itu adalah seorang Bhairawis penganut ajaran Tantrayana. Untuk mengalahkan Raja Bali itu, maka Adityawarman juga menganut Bhairawis untuk mengimbangkan kekuatan.

Kembali ke sejarah Arya Damar dalam ekspedisi Majapahit Ke Bali, Setelah Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali maka terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima perang Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan. Dari Hasil perundingan tersebut diputuskan untuk menyerang bali dari 3 arah yang berbeda sebagai berikut :
  • Dari Arah Timur
    Penyerangan Bali dari arah timur akan dipimpin oleh Patih Gajah Mada bersama dengan para patih keturunan Mpu Witadarma, Krian Pemacekan, Ki Gajah Para, Krian getas akan mendarat di Toya Anyar
  • Dari Arah Utara
    Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Damar bersama dengan Arya Sentong dan Arya Kutawaringin akan mendarat di Ularan.
  • Dari Arah Selatan
  • Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Kenceng bersama dengan Arya Belog (Tan Wikan) Arya Pengalasan dan Arya Kanuruhan akan mendarat di pantai Kuta

Kedatangan prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali bagaikan bergetar, rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut kepada pangeran Sri Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali serta kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar laporan tersebut, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus putranya pangeran Sri Madatama untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Setelah memastikan kebenaran berita tersebut Krian Pasung Grigis beserta para patih lainnya segera punggawa menyiapkan pasukannya masing masing dengan membagi pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan pasukan dari Majapahit.

  • pertahanan di wilayah Utara dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana.
  • Pertahanan di wilayah Barat dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur.
  • Pertahanan di wilayah Timur dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru.

Pertempuran di Bali bagian utara tidak kalah serunya. Daerah Ularan dipertahankan oleh Ki Girikmana diserang oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Panglima Arya Damar. Terjadi pertempuran antara kedua pimpinan pasukan yaitu Arya Damar dengan Si Girikmana. Kedua pasukan yang tadinya bertempur menghentikan pertempuran untuk menyaksikan perang tanding ke dua tokoh tersebut.

Dalam perang tanding yang berlangsung sangat seru tersebut masing masing menunjukkan kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya, sampai akhirnya Si Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar sehingga gugur dalam pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak kerajaan Bali Krian Jembrana sebagai prajurit yuda. Pasukan Majapahit di wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng menggempur habis habisan, tiada henti hentinya mengurung pasukan musuh dari segala arah. Pasukan Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak mulai terdesak dan banyak yang mati terluka.

Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil mengalahkan Kyai Lurah Belambangan. Tubuhnya dilemparkan oleh Ki Tambyak sehingga terpelanting ke tempat yang agak jauh. Kyai Lurah Belambangan menghembuskan napasnya yang terakhir, gugur sebagai prawira yuda yang gagah berani. Melihat kawan seperjuangannya gugur, Arya Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan Kyai Banyuwangi maju bersamaan untuk mengimbangi kekuatan musuh.

Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya.

Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur. Dalam Pertempuran tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah oleh para Arya dari Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai ilmu yang sangat tinggi yaitu teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga para Arya mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Namun demikian walaupun tubuhnya tidak dapat terluka apabila terus menerus digempur dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur kehabisan tenaga dan sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit. Dengan Gugurnya Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh, Tralangu, Padang Sambian, Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba, Suwung, Sesetan, Tuban, Renon, Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba Kaba, Kapal, Tanah barak, Camagi, Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning, Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan, Keliting, Cengkik dan Kerambitan dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Kenceng.

Sisa sisa langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran menyelamatkan diri dan mengungsi ke daerah Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi, Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu, Manikliu, dan ada pula yang mengungsi ke daerah timur seperti Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Got, Garbawana, Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan, Hulakan, Sibetan, Asti, Watuwayang, Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah, Watidawa, Kutabayem Kemenangan Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh Arya Kenceng melengkapi kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih dahulu berhasil mengusai wilayah Utara dan Timur Pulau Bali sehingga praktis semua daerah pesisir Bali dapat dikuasai.

Sekarang tinggallah Krian Pasung Grigis yang bertahan di desa Tengkulak di wilayah Bali Bagian Tengah. Pertempuran yang terjadi berakhir dengan kekalahan Bedahulu, dan patih Bedahulu Kebo Iwa gugur sementara raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten pergi mengasingkan diri. Setelah Bali berhasil ditaklukan, Arya Damar kembali ke Majapahit. Sebagian kerabat Arya Damar ada yang menetap di Bali, dan di kemudian hari salah seorang keturunan dari Arya Damar mendirikan Puri Denpasar dan Puri Pemecutan di Denpasar.