Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 10 Januari 2010

CANDI PENATARAN

Lambang Penataan Pemerintahan
Kerajaan di Jawa Timur



Candi Panataran adalah sebuah Candi berlatar belakang Hindhu (Siwaitis) yang terletak di Jawa Timur, tepatnya di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar. Kompleks candi ini merupakan yang terbesar di Jawa Timur. Candi ini mulai dibangun dari kerajaan Kadiri dan dipergunakan sampai dengan kerajaan Majapahit. Candi Penataran ini melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur.

Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan Nglegok, Blitar. Bangunan-bangunan Candi Penataran itu berada dianggap tanah yang suci karena mengandung kekuatan-kekuatan gaib. Tetapi yang dianggap paling suci ialah titik pusat tanah atau halaman Candi Penataran dimana segala macam tenaga gaib bersatu dan perpusat. Pusat ini dianggap sebegitu keramatnya sehingga bangunan Candi induk pun tidak diperkenankan menutupinya.

Riwayat Penemuan

Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha begitu saja di tinggalkan oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu di lupakan orang orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di sana sini. Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi lebih parah lagi. Batu - batu candinya di bingkar orang dari susunannya untuk keperluaan alas bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu bata yang di tumbuk untuk dijadikan semen merah.


Candi Penataran

Sejumlah batu-batu berhias dan juga arca-arca di ambil oleh sinder - sinder perkebunan. Keadaan yang menyedihkan ini berlangsung cukup lama, sampai datangnya para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Dengan keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan rekonstruksi dan pemugaran. Demikian juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu.


Candi Penataran di temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur jendral kolonial Inggris yang berkuasa di negara kita pada waktu itu. Raffles bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya yang cukup terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini kemudian di ikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan inventarisasi di komplek percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la Porte bersama dengan J. Knebel seorang asisten residen mengadakan penelitian atas Candi Panataran dan hasil penelitian di bukukan dalam bukunya yang terbit 1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.

Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama Oudheidkundige Dienst (biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka penanganan atas candi Penataran menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama dengan peninggalan kuno yang lainyang berada di Jawa Timur, Pemeliharaan, Perlindungan, Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.

Susunan Umum Komplek Percandian

Candi Panataran merupakan satu kompleks yang terdiri dari pelbagai unsur yaitu pagar, halaman, pemandian, candi-candi, lantai-lantai/batur bangunan, arca-arca, relief dan lain-lain. Kompleks candi yang luasnya hampir 1,5 ha itu terdiri atas tiga halaman. Seperti halnya Candi Sukuh di Jawa Tengah dan pura di Bali tiga halaman itu dalam formasi berbaris, yang satu di belakang yang lain. Bagian yang paling penting atau paling suci terletak pada baris paling belakang.
Arca Dwarapala

Sebelum memasuki halaman I pengunjung melewati gerbang masuk yang dihias sepasang arca dan raksasa penjaga pintu (Dwarapala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Bodo” dengan sikap mengancam dan berpahatkan angkat tahun 1242 Saka (1330 M). Di halaman I terdapat dua batur bangunan sejenis pendopo yang dindingnya berhias dan sebuah batur bangunan kecil. Bagian atas ketiganya itu sudah tiada lagi. Adanya umpak-umpak batu memberi petunjuk bahwa bangunan di atasnya dahulu bertiang kayu dan beratap dengan bahan mudah lapuk. Disamping itu terdapat candi yang relatif masih utuh, bentuknya khas gaya candi-candi Jawa Timur dengan atapnya yang berundak menjulang tinggi. Angka tahun 1291 Saka (1269 M), yang terpahat nyata di atas pintu menyebabkan candi ini disebut Candi Angka Tahun. Di halaman I ini juga terdapat sepasang candi kecil.

Pada halaman II kita jumpai lagi sepasang dwarapala yang berukuran lebih kecil. Pada halaman II ini ada dua batur bangunan berbentuk empat persegi panjang dan satu candi yang disebut Candi Naga. Candi ini telah dipugar tahun 1917-1918 dalam keadaan tidak beratap lagi, rupanya juga terbuat dari bahan yang mudah lapuk. Yang istimewa ialah hiasan naga yang melingkari tubuh candi disangga oleh sembilan tokoh Dewata. Naga ini sangat mungkin perwujudan Sang Hyang Basuki yang mengikat gunung Mandara (giri) mangaduk lautan susu dalam usaha para Dewa untuk mencari tirta amarta (air kehidupan abadi) dalam mitos Samudra-manthana. Karena menonjolnya tokoh naga itulah mengapa candi itu disebut Candi Naga.

Di halaman III terdapat candi induk atau candi utama diantara semua candi yang terdapat di kompleks itu. Keadaan sekarang tinggal bagian kaki saja, namun masih cukup rapi dan anggun berkat pemugaran tahun 1917-1918. Badannya yang masih menanti unsur-unsur kelengkapannya kini tertimbun di bawah dalam bentuk susunan percobaan. Kaki candi ini menyerupai punden berundak teridir atas tiga teras yang dihubungkan oleh tangga. Pada alas arca penjaga terdapat angka tahun 1239 Saka (1317 M). Candi induk ini kaya sekali akan hiasan berupa arca, relief, miniatur candi, lengkung-lengkung tepian tangga, hiasan sudut dan lain-lain. Reliefnya sendiri bermacam-macam, ada yang rangkaian cerita, panil-panil atau ragam penghias bidang. Ragam hias yang penting di sana adalah tumpal, binatang, sulur-sulur, medalion, garuda dan lain-lain. Relief manusia dan hewan umumnya tampak samping seperti wayang kulit, gaya seperti itu juga ciri khas periode Jawa Timur. Bagian ini memang asyik untuk dilihat, diresapi dan dihayati sebab semua hiasan ini ternyata kecuali indah juga mengandung makna simbolis-filosofis yang menunjang suasana dan makna candi ini seutuhnya sebagai suatu bangunan suci. Dari halaman III melalui jalan setapak kita dapat turun ke kolam dengan airnya yang jernih, yang pada dindingnya dipahatkan relief.



Relef Candi Penataran

Relief, apalagi yang berbentuk cerita, sungguh mengasyikkan sebab menyimpan ajaran moral seperti kepahlawanan, keikhlasan berkorban dan keagamaan. Salah satu batur bangunan di halaman I penuh hiasan relief mengelilingi seluruh dindingnya. Yang sudah dapat diidentifikasi oleh pakar kepurbakalaan ada tiga cerita, yaitu: Bubuksah dan Gagangaking, Sang Setyawan dan Seri Tanjung. Pada dinding candi induk antara lain terdapat relief epos Ramayana (episode Hanuman Obong hingga gugurnya Kumbakarna) pada teras pertama dan cerita Kresnayana pada teras kedua yakni tentang kisah-kisah Sri Kresna dan Rukmini sebagai penjelmaan Batara Wisnu dan Dewi Sri. Menonjolnya tokoh Rama Kresna yang keduanya penjelmaan Wisnu dan juga tokoh Garuda sebagai wahananya khusus (mungkin yang utama) pada candi ini. Pada dinding kolam dipahatkan ceritera binatang (fabel) dengan tokoh kura-kura, buaya, kerbau dan lain-lain.


Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek moyang kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi lagi oleh dinding yang membujur arah timur - barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya pondasi - pondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh, yang nampak sekarang adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling kekunaan. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah, sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya. Susunan komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lain berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan bangunan pura yang ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak paling belakang adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang paling belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung.

Di Jawa Timur perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman komplek percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat..

Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para sarjana berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran) di resmikan menjadi kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309 - 1328 Masehi. Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A. Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas bangunan yang hanya tinggal pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah.

Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi di keluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana berpendapat bahwa yang dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun. di bangun dari 1197 Masehi pada jaman kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman kerajaan Majapahit.

Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama runtuh. Masih ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya masih ada hubungannya dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut komplek percandian.

Candi penataran dibangun berhubung dengan adanya Gunung kelud yang selalu mengancam ketentraman kehidupan kerajaan. Karena itu Candi Penataran bersifat Candi Gunung, ialah Candi yang diperuntukkan bagi pemujaan Gunung atau untuk menghindarkan segala malapetaka yang dapat di sebabkan oleh gunung. Nama Penataran kemungkinan besar bukan nama Candinya tetapi nama Statusnya sebagai Candi di Pusat Kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan Penataran, misalnya Pura Panataransasih, Pura Panataran Besakih. Kata "natar" berarti pusat sehingga Penataran berarti Candi Pusat. Nama yang sebenarnya belum diketahui

Pada halaman tengah hadir Candi Naga sebagai bangunan yang paling dominan. Ada ular besar yang di pahat diatas tubuh candi ini. Kemudian hadir candi induk yang berarsitektur tiga tingkat. Pada tingkat pertama terdapat relief Ramayana dengan adegan Anoman mengamuk di Langka. Pada tingkat ke dua di ukir cerita Krishnayana, mengisahkan legenda Krisna dan Istrinya Rukmini. Di tingkat tiga hadir pahatan naga dan singa bersayap yang amat indah. Ada dua pemandian dengan angka 1337 Syaka (1415 M) di bagian halaman Timur dan Barat.Dibanding dengan candi-candi lainnya di Jawa Timur, Candi Panataran termasuk lengkap unsur-unsurnya dan meliputi kurun waktu yang cukup lama. Di samping itu, memang banyak hal yang menarik pada candi ini sehingga banyak dipelajari dan dikunjungi oleh orang.

Lintasan Sejarah

Prasasti yang ditemukan di halaman candi ini berangka tahun 1119 Saka (1197 M), memberitakan bahwa raja Kertajaya (Raja Kediri/Daha terakhir) setiap hari melakukan pemujaan kepada Batara di Palah. Nama Palah juga kita jumpai di halaman kita Nagarakartagama dari Majapahit yang menyebutkan bahwa raja Hayam Wuruk pada tahun 1283 Saka (1361 M) melakukan kunjungan ke Candi Palah dalam rangka perjalanan keliling di Jawa Timur. Jadi nama candi itu adalah Candi Palah. Setelah nama palah dilupakan orang, timbul nama Candi Panataran, sesuai dengan nama desanya.

Pada beberapa bagian candi ini terdapat angka tahun, seperti 1239 Saka/1317 M pada candi induk 1224 Saka/1330 M. Pada Candi Angka Tahun dan 1291 Saka/1369 M pada Dwarapala di gerbang pertama. Ini menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya antara akhir abad ke-12 hingga pertengahan abad 14 (1197-1369 M). Candi ini terus menerus berfungsi. Meskipun data bangunan maupun data sejarah candi ini masih diupayakan terus kelengkapannya, namun dibandingkan dengan candi-candi lain Candi Panataran sudah termasuk lebih lengkap.

Makna dan guna

Di Panataran tampak jelas bahwa secara geometris setiap bangunannya mirip dengan komplek candi Prambanan. Tiga bangunan candi ditengah dipisahkan satu sama lain dengan tembok batu dan terletak berdampingan. Sejauh yang bisa diperkirakan dari sisa sisa pondasi yang tertinggal, pada bagian pertama ada 2 bangunan dari kayu yang saat ini sudah tidak ada lagi. Dinding luar dari satu sisi teras seluruhnya diliputi oleh relief yang menceritakan mengenai kidung. Dibangian ini juga ada candi kecil yang bertahun Saka 1291 atau sama dengan 1369 M.

Kecuali penting karena letaknya yang strategis ini, Blitar juga penting artinya bagi agama di zaman kuno. Tidak kurang dari sepuluh bangunan suci tersebar di daerah Blitar. Diantara bangunan bangunan suci ini, maka bangunan suci di Penataranlah yang tersebar dan terpenting, karena candi Penataran itu merupakan candi di Negara (status tample) atau candi pusat kerjaan. Adanya Candi Penataran di mulai ketika Raja Kertajaya yang juga disebut Crengga mempersembahkan sima untuk pemujaan "sira paduka bhatara Palah". Prasasti ini dibubuhi angka tahun Caka 1119 (1197 M).

Ditanah
sima itu baru kemudian didirikan candi-candi seperti yang kita kenal sekarang. Memang, tempat di mana sesuatu bangunan suci itu akan didirikan sebenarnya mempunyai fungsi yang lebih penting daripada bangunan sucinya sendiri. Tempat itu harus mengandung kekuatan-kekuatan magis religius yang bersifat menyelamatkan. Dr. Soekmono dalam disertasinya "Candi, fungsi dan pengertiannya" menyatakan seperti berikut :


" Sesuatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri. Maka sesungguhnya, yang primer adalah tanahnya, sedangkan kuilnya hanya menduduki tempat nomer dua". Jelaslah disini bahwa tanah atau tempat dimana bangunan-bangunan Candi Penataran itu berada dianggap tanah yang suci karena mengandung kekuatan-kekuatan gaib. Tetapi yang dianggap paling suci ialah titik pusat tanah atau halaman Candi Penataran dimana segala macam tenaga gaib bersatu dan perpusat. Pusat ini dianggap sebegitu keramatnya sehingga bangunan candi induk pun tidak dipernankan menutupinya..

Akhirnya dapat ditambahkan disini bahwa daerah Blitar itu memegang peranan yang unik dalam sejarah, ialah tempat yang baik untuk mengundurkan diri (terugval-basis) bagi mereka yang ingin menyusun kembali kekuatanya. Letaknya sangat strategis. Dari Blitar baik dataran tinggi sebelah Timur maupun Barat gunung Kawi dapat diancam. Ken Arok mungkin tahu akan hal ini dan ia menjadi raja.
Candi sebagai bentuk kebudayaan, ternyata tak hanya menandai puncak-puncak kejayaan dan kekuasaan seorang raja di bumi Nusantara ini. Jika dicermati dan dikaitkan dengan perjalanan sejarah bangsa ini hingga sekarang, ternyata bisa menjadi cermin bagi alih kekuasaan di negeri ini.

5 komentar:

  1. candi penataran,sebuah candi yang penuh kharismatik..pesonanya yang indah menjadi kebanggaan oarang2 djawa timur dan seluruh indonesia.

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum
    mas, mohon shar ilmunya terkait estetika relief candi penataran, tehnik pelukisannya, terimakasih.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Kebudayaan besar yang hancur dengan kedatangan orang² dari padang pasir.

    BalasHapus