Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 14 Februari 2011

POLITIK BELANDA


Bali dizaman itu mencapai kemakmuran yang tinggi, dikenal sebagai penghasil beras dan banyak dikunjungi pedagang-pedagang dunia internasional seperti Belanda, Portugis, dan Cina.

Pada catatan sejarah
yang ditulis oleh pelaut bernama Emanuel Roodenburch awak kapal Cornelis de Houtman dinyatakan bahwa para pedagang asing bersaing merebut simpati Dalem Waturenggong untuk diijinkan membuka kantor dagang dan memonopoli perdagangan beras di Bali.

Persaingan itu kemudian dimenangkan oleh Belanda pada tahun 1601 ketika Bali dipimpin oleh raja Gelgel bernama Dalem Pemayun. Dengan bujukan Laksamana Cornelis van Heemskerck Dalem Pemayun menulis surat kepada Raja Belanda bernama Pangeran Maurits berbunyi sebagai berikut :

  • ……… “Dengan karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa. 7 Juli 1601, Raja Bali menyampaikan salamnya kepada Raja Belanda. Laksamana Tuan Cornelis van Heemskerck menghadap saya dan membawa surat Yang Mulia dengan suatu permintaan untuk mengizinkan warga Belanda berdagang disini secara bebas sebagai dilakukan oleh warga Bali.
  • Oleh karenanya saya memberi izin kepada semua yang Tuan kirim ke mari untuk berdagang secara bebas sebagai dilakukan oleh rakyat saya apabila mereka mengunjungi negeri Belanda oleh karena Bali dan Holland adalah satu”
Gubernur Jendral Henrik Brouwer penguasa tertinggi Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu perusahaan dagang Belanda yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) pada tahun 1633 berhasil mendapat ijin Dalem Pemayun untuk membuka kantor dagang VOC di pantai Kuta.


Iring Iringan Raja Di Bali

Ijin itu diperoleh karena Dalem Pemayun merasa orang-orang Belanda lebih bersimpati kepada rakyat Bali dibanding dengan orang-orang Portugis. Rasa simpati terbesar yang dinilai sangat tinggi adalah sumbangan (haturan) Belanda kepada Dalem berupa seekor badak hidup untuk dijadikan kurban Yadnya di Besakih.

Sebelum itu para Pendeta di Bali mengetahui adanya badak hanya dari ceritra-ceritra dan lontar-lontar tentang Yadnya. Sebagian menganggap bahwa badak adalah binatang sorgawi, tidak ada di dunia. Masalah ini disampaikan oleh Heemskerck kepada Henrik Brouwer, yang kemudian dengan mudahnya menyuruh menangkap badak di Ujung Kulon dan dibawa hidup-hidup ke Bali untuk haturan (persembahan).

Persahabatan antara Bali dengan VOC sejak tahun 1633 sampai awal abad ke-19 adalah dalam bentuk hubungan perdagangan saja. VOC tidak secara resmi mewakili pemerintah Belanda. Barang-barang dagangan yang dibawa dari Indonesia bagian timur adalah cengkih, pala dan fuli, sedangkan dari Bali, beras dan budak.

VOC bersama pedagang-pedagang Cina memasukkan ke Bali keramik, tekstil, candu dan bedil. Rakyat Bali mulai mengenal barang-barang luar negeri seperti itu yang sedikit demi sedikit merubah pola konsumsi masyarakat. Candu digemari tidak hanya oleh raja-raja dan kaum elit saja, tetapi juga meluas ke rakyat jelata.

Raja di Bali menurut Rafles

Mereka yang “ke-canduan” atau disebut “madat” menjadi malas bekerja,
tenaganya melemah, badan kurus dan mudah terkena penyakit paru-paru antara lain tuberculosis (TBC). Bedil sangat diminati oleh raja-raja untuk menguatkan angkatan bersenjata masing-masing.

Sejak abad ke-18, perang antara kerajaan-kerajaan di Bali, atau dengan Jawa dan Lombok sudah menggunakan bedil selain senjata tradisionil seperti keris, tombak dan panah. Perdagangan makin ramai dan meluas keseluruh pulau Bali, dan rakyat hidup makmur dibawah pemerintahan rajanya masing-masing, namun tetap waspada dan siaga menghadapi kemungkinan serangan militer yang datang dari kerajaan-kerajaan tetangga.

Perang antara Mengwi dengan Badung, Buleleng dengan Jembrana, Bangli dengan Gianyar, dan Karangasem dengan Lombok secara kecil-kecilan masih terus berlanjut. Perubahan politik di Eropa menjelang akhir abad ke-18 membawa dampak ke Indonesia, khususnya Bali.

Pada tanggal 19 Januari 1795 Belanda diserang oleh Perancis dan penguasa Belanda dari keturunan Oranye Nassau lari ke Inggris. Maka pada tanggal 16 Mei 1795 di Belanda berdirilah Republik yang baru bernama “Bataafse Republiek” yang menguasai semua assets pemerintah lama, termasuk VOC.


Ketika itu VOC dianggap merugikan sehingga dibubarkan. Pada tahun 1806 Kaisar Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya Louis Napoleon sebagai penguasa Belanda. Selanjutnya pada tahun 1808 Louis Napoleon mengangkat Willem Herman Daendels sebagai Gubernur Jendral di Indonesia sampai tahun 1811.


Willem Herman Daendels


Ia digantikan oleh Jendral Jensens namun tidak bertahan lama karena Belanda dikalahkan Inggris. Sejak itu di Indonesia berkuasa Letnan Jendral Thomas Stamford Raffles.

Pada tahun 1816 dalam perjanjian yang diadakan di Wina, Inggris menyerahkan kembali daerah-daerah yang dahulunya dalam kekuasaan Belanda, termasuk Indonesia. Belanda menempatkan seorang “Komisaris” di Batavia bernama Van den Broek. Van den Broek adalah tokoh yang membawa perubahan hubungan Belanda-Bali dari era perdagangan menjadi era kepentingan politik. Pada tanggal 23 Januari 1818 ia berhasil mengadakan permufakatan dengan Raja Badung yaitu Gusti Ngurah Made Pemecutan.

Persetujuan itu mencakup kesediaan Belanda untuk membantu koalisi Badung, Tabanan, Gianyar dan Mengwi berperang melawan kerajaan-kerajaan Klungkung, Karangasem dan Lombok. Untuk melancarkan operasi militernya Belanda diijinkan membangun benteng, gudang senjata, pangkalan angkatan laut di Kuta, dan menempatkan pasukan-pasukan kavaleri yang dilengkapi dengan meriam ditempat-tempat strategis.

Van den Broek menugaskan bawahannya bernama R. van Eck untuk meneliti dan mempelajari tatanan pemerintahan dan tatanan sosial kehidupan masyarakat Bali. Ia membuat banyak laporan kepada pemerintah Belanda di Batavia, dimuat dalam bukunya : Schetsen van het eiland Bali, penerbitan TNI, VIII Nieuwe Serie I tahun 1879.

Ia menulis antara lain bahwa tatanan masyarakat di Bali adalah berkelompok dan berjenjang dalam bentuk “Casta stelsel” yaitu kaum Brahmana, Kesatria, Wesya dan Sudra. Kaum Brahmana yang tertinggi, kaum Kesatrya adalah raja dan rezimnya, kaum Wesya adalah pemilik modal dan lahan pertanian, dan kaum Sudra adalah kelas buruh, pelayan dan budak.

Kelas elit yaitu Brahmana dan Kesatrya menganggap dirinya bersaudara dengan panggilan satu sama lain sebagai “raka” dan “rai”. Peradilan di setiap kerajaan dilakukan oleh suatu majelis yang disebut “Kerta”. Majelis ini dipimpin oleh Pedanda dan keputusan-keputusan peradilan dinamakan “peswara”. Acuan peswara adalah keputusan-keputusan raja dan kitab-kitab hukum Hindu : Adi Agama, Purwadigama, dan Kutaramanawa Dharmasastra.

Majelis mengadili perkara-perkara perdata dan pidana. Hukuman terberat dikenakan atas hal-hal yang menyangkut kehormatan dan kewibawaan raja. Penentangnya dikenakan hukuman mati. Hukuman mati juga dikenakan bagi kasus-kasus perzinahan antara wanita yang berkasta lebih tinggi dengan lelaki yang berkasta lebih rendah.

Perkara dengan sangsi yang berat diputuskan oleh raja. Peradilan di zaman itu bukanlah peradilan yang sesuai dengan azas hukum bahwa kedudukan terdakwa sebelum dibuktikan kesalahannya sebagai tak bersalah. Azas-azas bahwa semua warga mempunyai kedudukan hukum yang sama dan sederajat, tidak berlaku.

Kaum Brahmana dan Kesatrya mendapat perlakuan hukum yang lebih lunak bahkan ada beberapa yang kebal hukum. Misalnya kaum Brahmana dan Kesatria tidak boleh dikenakan hukuman mati, apapun kesalahannya. Terpidana hanya dikenakan hukuman berupa penurunan tingkat kasta, dibuang ke Lombok atau Nusa Penida.

Perkawinan antara pasangan-pasangan yang berbeda kasta dimana wanitanya berkasta lebih tinggi dari lelaki, juga dihukum berupa pengusiran dari wilayah kerajaan. Mereka yang bernasib seperti ini banyak yang lari ke Buleleng. R. van Eck menyimpulkan bahwa raja adalah pemegang otoritas tunggal dan tertinggi, dan masyarakat terkotak-kotak dalam casta stelsel.

Disamping itu kerajaan-kerajaan di Bali saling mencurigai satu sama lain dan ada ambisi-ambisi untuk menyerang dan menguasai wilayah kerajaan lain. Laporan R. van Eck ini sangat berguna bagi penguasa Hindia Belanda di Batavia dalam merancang politik divide et impera yaitu memecah belah dan mengadu domba kerajaan-kerajaan di Bali untuk pada akhirnya menguasai Bali keseluruhan di bawah panji-panji Hindia Belanda.

Langkah pertama pemerintah Hindia Belanda di Batavia memecah belah Bali dan Lombok adalah dengan membantu I Gusti Ngurah Ketut Karangasem berperang melawan raja Karangasem. Lombok lepas dari wilayah Karangasem, dan didirikanlah kerajaan Selaparang pada tahun 1839.

Politik Hindia B
elanda menekan kerajaan-kerajaan di Bali dimulai ketika kapal Belanda bernama Overijsel pada tanggal 29 Juli 1841 karam di dekat pulau Serangan. Sesuai dengan hukum adat di Bali ketika itu yang disebut “hak tawan karang” maka barang-barang dari kapal yang karam boleh diambil oleh penduduk setempat.

Kapal Perang Belanda menuju Jagaraga
Belanda meng
anggap hal seperti itu sebagai pencurian, sedangkan raja I Gusti Gede Ngurah Kesiman dan rakyatnya merasa tidak bersalah. Dengan mendemonstrasikan kekuatan militernya, Gubernur Jendral Pieter Merkus kemudian berhasil menggertak raja-raja di Bali dan Lombok untuk membuat surat-surat perjanjian menghapuskan hak tawan karang.

Perjanjian
tertulis ini hanya diketahui oleh raja, tidak disampaikan ke rakyat. Rakyat tetap bersikap sesuai dengan warisan hak-hak adat yang diterima dari leluhurnya sejak berabad-abad bahwa hak tawan karang itu tetap berlaku. Raja-raja yang terpaksa menanda tangani perjanjian penghapusan hak tawan karang tidak mampu menentang tradisi adat itu.

Tekanan-tekanan politik Belanda terhadap raja-raja di Bali dan Lombok semakin kuat sampai terbitnya pernyataan-pernyataan tertulis raja-raja di Bali dan Lombok bahwa kerajaan mereka masing-masing bernaung dibawah pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Ketegangan hubungan antara Belanda dengan Bali terjadi ketika Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik, maha patih kerajaan Buleleng, pada tanggal 8 Mei 1845 secara terbuka dan berani menyatakan menentang otoritas Belanda di Buleleng. Pernyataan ini didukung oleh raja Karangasem dengan menghidupkan kembali hak tawan karang.

Ketika pada tahun 1845 sebuah kapal Belanda bernama “Atut Rachman” terdampar di pantai Karanganyar, rakyat mengambil barang-barang dari kapal itu dan raja Karangasem berdiam diri saja. Setelah peringatan-peringatan Belanda tidak diacuhkan maka pada tanggal 6 Pebruari 1846 Gubernur Jendral Jan Jacob Rochussen di Batavia menerbitkan surat keputusan pernyataan perang terhadap kerajaan Buleleng dan Karangasem.


Dengan kekuatan 3500 prajurit kavaleri yang dilengkapi meriam-meriam dan senjata artileri, pada tanggal 28 Juni 1846 Belanda mulai menggempur kota Singaraja. Pertempuran itu tidak berlangsung lama.

Pada tanggal 9 Juli 1846 raja Buleleng dan Karangasem masing-masing menanda tangani penyerahan kerajaan dan mengakui penghapusan hak tawan karang.

Pasukan Belanda dalam Perang Jagaraga

Belanda membangun benteng dan dermaga angkatan laut di pantai Singaraja. Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik tetap menentang kekuasaan Belanda, dan berhasil membangkitkan semangat juang dikalangan rakyat. Timbullah perang terbuka dan besar-besaran antara Belanda dengan Buleleng yang dikenal dengan Puputan Jagaraga dengan kekalahan di pihak Buleleng.

Penyerahan kekuasaan raja Buleleng kepada Belanda ditanda tangani tanggal 15 Juli 1849.Politik divide et impera Belanda membuahkan hasil dengan adanya permusuhan diantara kerajaan-kerajaan di Bali. Di awal abad ke-19 kerajaan-kerajaan di Bali ada delapan yaitu : Buleleng, Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Menguwi, Badung dan Jembrana.

Buleleng dan Karangasem bermusuhan dengan Jembrana, Menguwi dan Bangli. Badung, Gianyar dan Tabanan bermusuhan dengan Klungkung dan Karangasem. Dalam perang puputan Jagaraga, Belanda memanfaatkan laskar Bangli untuk memperkuat serangan dari pegunungan bagian selatan, sedangkan Belanda menggempur dari arah laut.

Setelah Buleleng jatuh dalam kekuasaan Belanda, raja Bangli I Dewa Gde Tangkeban meminta kepada Jendral Michiels agar daerah-daerah kerajaan Bangli yang dijajah Buleleng yaitu Sukawana, Kintamani, Batur, dan Tianyar dikembalikan kedalam wilayah kekuasaan Bangli.

Permintaan itu dikabulkan bahkan raja Bangli ditawari wilayah kerajaan Klungkung, bila bersedia turut membantu Belanda menggempur Klungkung. Permintaan ini ditolak oleh I Dewa Gde Tangkeban karena Bangli tidak bermusuhan dengan Klungkung, disamping itu I Dewa Gde Tangkeban masih menghormati kewibawaan raja Klungkung yang dianggap sebagai Susuhunan Bali dan Lombok walaupun dalam wujud sebagai pimpinan spiritual saja.

Ekspedisi militer Belanda di bawah pimpinan Jendral Michiels selanjutnya berencana menyerang Karangasem dengan alasan bahwa Karangasem memihak Buleleng ketika perang Jagaraga. Belanda mengetahui bahwa Karangasem selain bermusuhan dengan Gianyar, Badung dan Tabanan, juga bermusuhan dengan kerajaan Selaparang di Lombok.

Selain itu Adipati Agung Kerajaan Karangasem yang bernama Gusti Made Jungutan pada tanggal 16 Mei 1849 dihadapan Jendral Michiels yang bermarkas di Labuhan Amuk menyatakan membelot ke pihak Belanda dan bersedia turut membantu Belanda menggempur Karangasem.

Setelah memperhitungkan kekuatan militer dan memantapkan strategi, maka Belanda memutuskan menyerang kerajaan Karangasem pada tanggal 19 Mei 1849. Pasukan pembelot dibawah pimpinan Gusti Made Jungutan dan pasukan Selaparang dibawah pimpinan Gusti Gede Rai menyerang raja Karangasem lewat Ujung,

Sedangkan pasukan Belanda yang dipimpin Jendral Michiels langsung menyerang jantung pertahanan puri Karangasem. Perang tidak berlangsung lama, pada hari itu juga Karangasem jatuh ketangan Belanda, dan raja Karangasem Gusti Ngurah Gede Karangasem bersama anggauta keluarga dan rakyat yang setia gugur dalam perang puputan.

Setelah Karangasem dikuasai, Jendral Michiels merencanakan menyerang Klungkung dari arah Kusamba. Untuk itu ia memindahkan pasukannya dari Labuhan Amuk ke Padangbai. Ia juga meminta bantuan eskader Angkatan Laut Belanda dibawah pimpinan Laksamana Machielsen.

Alasan Belanda menyerang Klungkung karena Dewa Agung Putra, raja Klungkung mencela kiprah Belanda yang mencampuri hak-hak adat kerajaan-kerajaan di Bali antara lain hak tawan karang. Dewa Agung Putra dianggap membangkang dan perlu diberi pelajaran.

Serangan Belanda dimulai tanggal 25 Mei 1849, disambut oleh rakyat Klungkung dengan pertempuran hebat dan gagah berani. Pada tanggal 26 Mei 1849 Jendral Michiels berhasil ditembak oleh pasukan Klungkung dengan senjata pusaka Puri Klungkung bernama I Seliksik. Ia terluka parah dan akhirnya tewas di Kusamba pada tanggal 27 Mei 1849 kemudian jenazahnya diangkut ke Batavia dengan kapal perang Etna.

Jendral Michiels

Jendral Michiels digantikan Letnan Kolonel Van Swieten. Ia menarik pasukannya kembali ke Padangbai sambil memikirkan strategi berikutnya setelah kekalahan Belanda dalam perang Kusamba. Dewa Agung Putra raja Klungkung bersiap-siap menghadapi serangan Belanda yang kedua. Ia meminta bantuan raja-raja Tabanan, Badung dan Gianyar untuk mengirim pasukan dan persenjataan menghadapi Belanda. Raja Badung dan Tabanan menolak, karena disaat itu mereka sedang berperang dengan kerajaan Menguwi.

Hanya Dewa Pahang, raja Gianyar yang bisa mengirim pasukan dalam jumlah kecil ke Klungkung. Dewa Agung Putra tidak meminta bantuan ke Bangli, karena Bangli memihak Belanda. Juga tidak minta bantuan ke Buleleng karena Buleleng sudah dikalahkan Belanda.

Situasi ini dipelajari oleh Van Swieten, dan atas saran Gusti Gede Rai panglima pasukan Selaparang, Van Swieten mengirim surat kepada Dewa Agung Putra meminta agar Klungkung menyerah saja kepada Belanda, dengan janji bahwa kekuasaan dan kewibawaan Dewa Agung Putra akan tetap dilindungi Belanda, asalkan Klungkung mau mengakui kedaulatan Belanda sebagai penguasa Bali dan Lombok.

Surat ini diteruskan oleh Dewa Agung Putra kepada raja-raja Tabanan, Badung, Menguwi dan Gianyar. Timbul kemarahan keempat raja itu, karena merasa kewibawaan raja Klungkung direndahkan oleh Belanda. Selain itu ada pula berita bila Klungkung jatuh gelar Susuhunan Bali dan Lombok akan diberikan oleh Belanda kepada Dewa Tangkeban, raja Bangli.

Oleh karena itu Badung, Tabanan dan Menguwi menghentikan peperangan mereka, kemudian bersatu membantu Klungkung. Maka dalam waktu singkat terkumpullah 33.000 pasukan bersenjata yang sangat kuat di Klungkung terdiri dari laskar-laskar Tabanan 10.000, Badung 6.000, Menguwi 4.000, Gianyar 8.000 dan Klungkung 5.000.


Perwakilan Belanda di Kuta bernama Mads J. Lange segera menyampaikan informasi ini kepada Van Swieten dan menyarankan agar Van Swieten membatalkan serangan ke Klungkung.

Jika Belanda berkeras menyerang Klungkung, tidak mustahil kekalahan seperti yang dialami dalam perang Kusamba akan terulang, hal mana berdampak merugikan martabat militer Belanda.

Mads J Lange

Mads J. Lange juga menyarankan agar raja-raja Bali diundang menghadap Gubernur Jendral J.J. Rochussen di Batavia untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi membahas situasi politik di Bali dan perkembangannya dimasa depan. Usul ini disetujui oleh Van Swieten, dan Mads J. Lange diminta mengundang raja-raja Bali berangkat ke Batavia.

Raja-raja Bali khawatir pada taktik Belanda. Mereka lalu memutuskan hanya mengirim utusan saja. Hal ini disampaikan kepada Gubernur Jendral J.J. Rochussen, namun tidak disetujui karena akan merendahkan martabat kerajaan Belanda jika Gubernur Jendral mau menemui utusan atau perwakilan raja-raja Bali.

J.J. Rochusen kemudian mengangkat Panglima Angkatan Bersenjata yang baru bernama Karel Bernhard von Saxe Weimar. Ia ditugasi untuk datang ke Bali dan berunding langsung dengan raja-raja di Bali. Perundingan diadakan pada tanggal 25 Juni 1849 di atas kapal perang Etna di pelabuhan Pabean, Singaraja.
Hasilnya adalah :
  • Oleh karena Buleleng, Karangasem, dan Selaparang sudah kalah dalam perang terbuka dengan Belanda, maka Belanda berhak mengatur kekuasaan di wilayah itu.
  • Jembrana yang dijajah Buleleng merdeka dibawah panji-panji Belanda dan Gusti Putu Ngurah Jembrana diangkat sebagai raja Jembrana.
  • Kerajaan Buleleng digabung dengan Bangli dibawah panji-panji Belanda dengan rajanya Dewa Gede Tangkeban berkedudukan di Bangli.
  • Kerajaan Karangasem digabung dengan Selaparang dibawah panji-panji Belanda dengan raja baru bernama Anak Agung Ngurah Ketut Karangasem berkedudukan di Karangasem.

Langkah konsolidasi K.B. von Saxe Weimar sangat menguntungkan Belanda karena memperkuat dominasi Belanda di Bali dan sebaliknya mengisolir kekuatan Klungkung serta menghilangkan gelar Susuhan Bali dan Lombok yang disandang oleh Dewa Agung Putra.

Pada masa selanjutnya Belanda berhasil menjalin hubungan baik dengan raja Tabanan bernama Gusti Ngurah Agung dan raja Badung bernama Gusti Gede Ngurah Pemecutan dan Gusti Gede Ngurah Kesiman, sehingga diakhir tahun 1849 raja-raja yang masih setia kepada Klungkung hanyalah raja Gianyar, Dewa Pahang dan raja Menguwi Gusti Agung Ketut Agung.

Karena posisinya yang terdesak dan blokade ekonomi Belanda bersama sekutu-sekutunya terhadap kerajaan-kerajaan Klungkung, Gianyar dan Menguwi, maka akhirnya ketiga raja itupun menanda tangani kesepakatan perdamaian yang intinya tiada lain mengakui dominasi Belanda di seluruh pulau Bali dan Lombok.

Keadaan damai ini berlangsung sampai tahun 1858. Dewa Gde Tangkeban raja Bangli yang diberi wilayah kekuasaan baru oleh Belanda yaitu daerah kerajaan Buleleng, merasa tidak mampu menghadapi rakyat Buleleng yang bertemparamen keras dan bertindak kasar. Sangat berbeda dengan rakyat Bangli yang manut-manut kepada raja dan kerabatnya. Oleh karena itu ia memutuskan menyerahkan kembali Buleleng kepada Belanda.

Belanda menerima penyerahan itu pada tanggal 15 Juli 1849. Seorang pembekel dari Banjar Jawa Singaraja, bernama I Nyoman Gempol memberontak kepada Belanda, namun pada tanggal 10 Desember 1858 pemberontakan itu dapat dipadamkan.
Berdasarkan pengalaman itu pada tanggal 20 Desember 1860 Belanda memutuskan untuk mengangkat Gusti Ngurah Ketut Jelantik sebagai “regent” dengan gelar “Raja Buleleng”. Regent Buleleng berada dibawah perintah Asisten Residen Buleleng, dan selanjutnya dibawah Residen Banyuwangi yang juga bertindak sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Bali dan Lombok.

Dengan demikian Buleleng adalah kerajaan “boneka” Belanda yang pertama di Bali atau dengan kata lain penjajahan Belanda di Buleleng dimulai pada tanggal 20 Desember 1860. Sejak sat itu seluruh sistim administrasi pemerintahan dan politik Belanda dilaksanakan di Buleleng.

Untuk menguatkan penjajahannya di Bali maka pada tanggal 1 Juli 1882 Belanda menetapkan pembentukan Karesidenan Bali dan Lombok dikepalai seorang Residen bernama F.A. Liefrinck, berkedudukan di Singaraja. Kerajaan-kerajaan yang resmi menjadi wilayah jajahan Belanda ketika itu adalah Buleleng dan Jembrana, dimana ditempatkan masing-masing seorang Belanda sebagai Kontrolir sedangkan raja berada dibawah Kontrolir dengan jabatan Regent.


Mayor Jendral Rost Van Tonningen Memeriksa Pasukan

Karangasem yang secara de yure telah dikuasai Belanda sesuai dengan perundingan tanggal 25 Juni 1849 diatas kapal perang Etna, resmi menjadi jajahan Belanda pada tanggal 10 Juni 1896 dengan mengangkat raja boneka bernama Gusti Gede Jelantik dengan jabatan Stedehouder.

Selanjutnya pada tanggal 29 Nopember 1900 raja Gianyar bernama Dewa Gede Raka menyerahkan kerajaannya kepada Belanda, dan ia diangkat juga sebagai Stedehouder.

Dengan demikian maka diawal abad ke-19 kekuasaan Belanda di Bali secara de facto dan de yure meliputi : Buleleng, Jembrana, Karangasem dan Gianyar. Di empat kerajaan itu sudah berlaku azas “Pax Neerlandica” artinya bahwa di empat daerah itu kekuasan tertinggi berada pada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, dan semua peraturan-peraturan dan perundang-undangan Belanda diberlakukan secara mutlak.

Beberapa kaidah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Belanda masih diperkenankan berlaku, tetapi yang tidak sesuai dihapuskan. Kerajaan-kerajaan yang masih merdeka ketika itu : Bangli, Klungkung, Tabanan dan Badung (yang sudah menguasai Menguwi) masih menjunjung tinggi hukum adat masing-masing.


Hak tawan karang dianggap oleh penduduk setempat masih berlaku. Maka ketika pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal cina berbendera Belanda bernama Sri Kemala terdampar di pantai Sanur, penduduk melaksanakan hak tawan karang yaitu mengambil barang-barang muatan kapal itu senilai 7500 Gulden. Belanda menimpakan kesalahan ini kepada Raja Badung serta meminta ganti rugi.

Pasukan Belanda Melaksanakan Expedisi Militer ke Kerajaan Badung

Raja Badung bernama Gusti Gede Ngurah Denpasar menolak membayar ganti rugi. Oleh karena itu Belanda mengenakan sangsi blokade perdagangan terhadap Badung, kemudian disusul dengan pengenaan sangsi yang sama kepada Tabanan karena dianggap memihak Badung.

Blokade itu berjalan selama dua tahun dengan maksud melemahkan tekad raja Badung dan Tabanan, namun apa yang diharapkan Belanda itu tidak terjadi, kendatipun kedua kerajaan itu mengalami kemerosotan ekonomi akibat blokade Belanda.


Akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengambil keputusan drastis untuk mengerahkan kekuatan militer menaklukkan kerajaan Badung dan Tabanan.

Mayor Jendral Rost Van Tonningen

Ekspedisi militer Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Rost van Tonningen mendarat di pantai Sanur pada tanggal 14 September 1906. Enam hari kemudian yaitu tanggal 20 September 1906 terjadilah perang Puputan Badung yang mengorbankan raja Badung sekeluarga beserta rakyatnya yang setia sekitar 1500 orang.

Tabanan dikuasai Belanda pada tanggal 29 September 1906. Raja Tabanan bernama Gusti Ngurah Agung dan putra mahkotanya bernama Gusti Ngurah Anom wafat.


Pasukan Berkuda Belanda di Depan Puri Tabanan


Dengan jatuhnya Badung dan Tabanan ketangan Belanda maka diakhir tahun 1906, hanya tinggal dua kerajaan di Bali yang masih merdeka yaitu Bangli dan Klungkung.