( Pedarmaan Prabu Wisnuwardhana/ Ranggawuni )
Candi Jago, menurut Negarakretagama disebut Jajaghu, merupakan tempat pendharmaan raja Wisnuwardhana atau Ranggawuni yang dikatakan meninggal tahun 1190 C atau sekitar 1268 M. Sesungguhnya raja Wisnuwardhana dicandikan di 2 tempat yakni di Waleri (tidak ditemukan sampai sekarang) sebagai Siwa dan di Jago sebagai Budha.
Bathara Wisnu mulih ing curalaya pjah dinarma ta sire waleri swasimbha len sugtawimbha mungwin jajaghu (Nagarakretagama 41: 4)
Salah satu candi dengan relief yang begitu kompleks dan detail adalah candi Jago. Relief-relief tersebut dipahatkan hampir merata keseluruh sisa bangunan candi yang masih dapat kita lihat sekarang ini. Disini dipahatkan begitu banyak cerita-cerita moral baik dari unsur Jawa asli, Budhisme, dan Hinduisme. Suatu bentuk perpaduan dinamis yang jarang ditemui di candi-candi lain.
Dari ulasan pada Negarakretagama tersebut dapat dipahami bahwa Wisnuwardhana adalah penganut agama Siwa-Budha yaitu suatu keagamaan yang timbul sebagai akibat percampuran agama Siwa (Hindu) dan Budha. Saat itu percampuran agama Siwa-Budha berkembang cukup pesat di Singosari. Proses penyatuan 2 agama tersebut berkembang karena pemahaman mendalam serta kristalisasi perkembangan agama di Singosari dimana raja Wisnuwardhana menyadari bahwa 2 agama tersebut memiliki tujuan mulia yang sama. Dilain pihak sang raja berusaha memujudkan suasana tata tentrem kerta raharja tanpa adanya persaingan yang signifikan baik antara 2 agama tersebut serta diantara para penganutnya.
Candi Jago juga dimaksudkan sebagai penolak bala tuah keris Mpu Gandring yang dikatakan akan memakan tujuh keturunan Ken Arok. Wisnuwardahana juga mengangkat Narasingamurti yang masih saudara namun beda bapak sebagai pendamping utama dalam menjalankan pemerintahan sehingga periode pemerintahannya disebut dengan 2 naga kepala tunggal. Tujuannya adalah untuk mengakhiri jurang perpecahan antara para keturunan Ken Arok dan Kendedes.
Banyak bagian bangunan candi Jago yang rusak dan hilang. Sekarang yang terlihat masih utuh hanya bagian kaki candi yang terdiri atas 3 tingkatan dan sebagian kecil badan candi bagian depan yang ditunjukkan oleh adanya pintu. Ada dugaan kuat bahwa atap candi dulunya terbuat dari kayu dan ijuk yang tersusun tinggi seperti atap pura di Bali saat ini. Hal ini ditunjukkan pada potret candi yang dipahatkan pada relief Parthayadnya, teras ke-2, sebelah barat bagian tengah.
Didepan candi terdapat sebuah batu yoni besar berasal dari ruang tengah candi. Di Belanda disimpan sebuah patung Amogaphasa yang masih utuh dan diduga kuat berasal dari atas yoni ini. Arca yang merupakan salah satu bentuk perwujudan Avalokiteswara ini digambarkan bertangan 8, dikelilingi dewa-dewi, Dhyani Budha dan Tara, sikap tangan wara mudra (sikap memberi) dan abhaya mudra (menolak bala) ; sedang tangan-tangan yang lain memegang aksamala (tasbih), pasa (jerat), pustaka (kitab), padma (teratai), dan kamandalu (kendi). Amoghapasa biasanya dikelilingi 4 pengikutnya ; Sudhanakumara, Syamatara, Hayagriwa, dan Bherkuti dan sekarang masih tersimpan di museum Nasional – Jakarta.
Di halaman candi tergeletak sebuah patung tanpa kepala. Patung juga merupakan perwujudan Amoghapasa. Hal ini diketahui dari tulisan nagari yang dipahatkan sebelah atasnya serta atribut dan ciri khasnya. Terdapat juga sisa-sisa 3 kepala kala yang dulunya terletak diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. arca inilah yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai perwujudan dari Raja Wisnuwardhana. Disamping arca tersebut terdapat arca Bhairawa yang juga putus kepalanya dan beberapa arca kecil lainnya.
Hal menarik adalah kaki candi berbentuk bangunan berundak dan tersusun atas 3 tingkatan dan semakin keatas makin kecil serta agak menjorok kedalam. Pola ini memberikan suatu bidang cukup luas dibagian depan sehingga tepat sebagai tempat bersimpuh atau untuk melakukan ritual para pemujanya. Pada masing-masing tingkatan dihubungkan oleh 2 tangga dan masing-masing diapit oleh sepasang sandaran tangan besar dengan hiasan depan bermotif relief segitiga yang khas Jawa Timuran disebut tumpal.
Bentuk bangunan berundak ini juga merupakan elemen-elemen pra-sejarah Indonesia seperti bangunan dalam bentuk pemujaan yang diletakkan dilereng-lereng gunung. Sejak periode Singosari, terlihat adanya keinginan kuat untuk memunculkan ide-ide asli Jawa. Hal ini semakin dikuatkan dengan kemunculan tokoh punakawan pada relief Parthayadnya. Punakawan adalah batur pelawak yang selalu mendampingi tokoh utama dan hanya ada dalam dunia seni Jawa. Sampai sekarang tokoh ini dipertahankan dalam tradisi kesenian wayang baik wayang kulit maupun wayang orang.
Pada kaki candi inilah terpahatkan relief-relief yang memiliki nuansa agama berbeda. Pada tingkatan terbawah dipahatkan beberapa cerita Tantri (Jawa) seperti kura-kura dan anjing, lembu dan buaya, dan Anglingdarma, Kunjarakarna yang bernuansa agama Budha. Pada tingkat kedua dilukiskan cerita Parthayadnya, bagian dari Mahabarata, yang bernuansa agama Hindu; Begitu juga tingkat ketiga dengan cerita Arjunawiwaha.
Relief Candi Jago
Motif cerita Anglingdarma dan Kunjarakarna mengandung kesimpulan bahwa Wisnuwardhana adalah sang penyelamat. Sementara Parthayadnya dan Arjunawiwaha yang bertitik pangkal pada tokoh Arjuna dari bagian kitab Mahabharata, sebagai inkarnasi Wisnu, menggambarkan bahwa Arjuna adalah tokoh kunci kemenangan dari perang saudara antara Pandawa dan Kurawa hingga akhirnya yang ada hanyalah kebahagian dan perdamaian.
Sangat sesuai sekali dengan kondisi politik yang berkembang di Singosari saat itu akibat pertikaian politik saudara antara keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung serta Kendedes dan Ken Umang, sekaligus sebagai potret diri dari sang raja sendiri yang juga memakai nama Wisnu.
Perpaduan atau sinkretisme yang dianut oleh raja Wisnuwardhana adalah bukti sejarah yang sangat berharga dan diwujudkan pada candi Jago beserta relief-reliefnya. Candi Jago juga merupakan simbol toleransi keagamaan yang mengagumkan. Walaupun Wisnuwardhana menganut agama Hindu, sesuai namanya memakai Wisnu, tetapi dia sangat menghargai agama Budha. Masalah perbedaan agama ini sangat diperhatikan sebab dia jika tidak ditangani dengan serius akan menimbulkan wacana yang berbahaya.
Begitu peliknya dan sensitifnya masalah perbedaan agama ini, sampai-sampai harus dimuat dalam sebuah kakawin pada jaman Majapahit yang lebih kompleks situasi dan pemerintahan sesudahnya. Sebuah bait pendek dalam kitab Sutasoma (149 : 5) karangan Mpu Panuluh, yang berbunyi bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (berbeda tetap satu jua, tak ada ajaran yang mendua), menjadi kepatutan ketika diputuskan menjadi inspirasi negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri
atas berbagai suku, adapt, dan kepulauan.
Dalam kakawin Negarakertagama disinggung mengenai Raja Hayam Wuruk yang pernah melakukan kunjungan ziarah ke tempat pendharmaan leluhurnya yakni Maharaja Wisnuwardhana yang di candikan di Jayaghu (Jago). Walaupun Candi Jago diketahui sebagai tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana dari kerajaan Singasari, namun jika dilihat dari bentuk arsitektur dan ragam hiasnya maka situs ini berasal dari zaman Majapahit akhir.
Hal ini terkait dengan pemugaran atau perbaikan candi yang dilakukan oleh generasi-generasi selanjutnya sampai masa Majapahit akhir. Sebagai contoh, pada tahun 1272 S atau 1350 M Candi Jago pernah di perbaiki oleh Arya dewaraja pu aditya atau yang lebih dikenal dengan nama Adityawarman. Arca Wisynu Warddhana sebagai Amoghapasa dihalamn candi jago yang telah hilang bagian kepalanya
Dilihat dari ragam hias terutama reliefnya yang mengisahkan lakon kresnayana , parthayajna dan kunjarakarna, sangat diyakini bahwa candi Jago yang sekarang berdiri berasal dari masa akhir Majapahit. Karena kisah partayajna dan kunjarakarna, adalah kakawin yang ditulis Mpu Tanakung, beliau hidup pada masa akhir Majapahit. Pembacaan relief dengan cara kebalikan arah jarum jam atau mengirikan Candi (Prasawya). Adapun deskripsi cerita relief Tantris, Kunjarakarna, , Parthayajna+Arjunawiwaha dan Kresnayana pada teras Candi Jago sebagai berikut :
a. Tantri
Pada undak-undakan pertama, sudut Barat laut mulailah cerita relief-relief yang menggambarkan ceritera-ceritera binatang. Di sini terlukis ada dua ekor kura kura menggigit bilah kayu yang di bawa terbang oleh seekor angsa. Di tengah perjalanan mereka bertenu dengan sekelompok srigala yang menghina kura-kura. Karena kura-kura tak tahan dihina mereka membalas, akibatnya mereka terjatuh karena gigitan pada kayu mereka lepas demi membalas hinaan para srigala, akhirnya para srigala memangsa 2 ekor kura-kura tersebut.
b. Kunjarakarna
Disudut timur laut mulailah rangkaian relief cerita yang berlatar belakang agama Budha, yaitu menggambarkan riwayat Yaksa atau raksasa Kunjarakarna. Dilukiskan Yaksa Kunjarakarna menghadap kepada dewa tertinggi, Sang Wairocana untuk mempelajari agama Buda. Atas nasehatnya ia pergi keneraka, setelah tibas disana ia melihat siksaan-siksaan yang harus diderita oleh roh-roh makhluk yang berdosa di dunia. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa kancah penyiksaan yang berbentuk lembu itu dipersiapkan untuk menyiksa sahabatnya yang bernama Purnawijaya.
Dengan bergegas-gegas Kunjarakarna kembali kedunia untuk memberitahukan perjalanannya dineraka kepada Purnawijaya. Ia menasehati agar Purnawijaya ikut menghadap kepada Wairocana supaya mendapat ampunan atas kesesatannya dahulu. Setelah Purnawijaya menunjukkan bahwa ia betul-betul bertaubat maka diberilah ia keringanan hukuman oleh sang Wairocana.
Dan betullah setelah Purnawijaya turun keneraka untuk menjalani siksanya selama 10 hari dalam ketel, pecahlah ketel penyiksaan tersebut dan berubah menjadi telaga yang indah dg batang pohon dewata ditengahnya. Setelah ia pulang kedunia, maka ia memberikan puji-pujian kepada yang maha tinggi beserta istri dan pengikutnya. Cerita ini diselesaikan pada lapik undak undak kedua. Disini ceritera dimulai pada sudut barat laut dan mungkin berjalan terus sampai sudut tenggara, namun sayang bagian tersebut telah hilang.
c. Parthayajna+Arjunawiwaha
pada undak-undak pertama, sudut barat daya mulailah ceritera Parthayajna, yaitu cerita permainan judi yang dilakukan oleh para Pandawa dengan para Kurawa. Di ceritakan gara-gara permainan judi yang curang dari para Kurawa maka Pandawa kehilangan semua harta miliknya, kerajaannya dan Droupadi istri para pandawa. Selain itu para pandawa juga harus dibuang kedalam hutan selama 15 tahun. Atas nasehat sahabat mereka, Widura, maka Arjuna memisahkan diri dari keluarganya untuk bertapa di gunung Indrakila, supaya mendapat senjata sakti untuk memerangi para Kurawa kelak.
Dalam perjalanan ia mengalami berbagai kejadian; ia menginsafkan seorang gadis yang jatuh cinta kepadanya, juga bertemu dengan dewi Cri yang menambah semangat, dewa Kama, dan permaisurinya Rati di dekat sebuah danau, dan ditolong oleh mereka berperang melawan raksasa Nalamala yang keluar dari danau itu. Setelah ia berubah menjadi Mahadewa sebagai akibat pemujaannya, bertemu dengan pertapa Dwaipayana yang memberi pelajaran, lalu ia mendaki gunung indrakila.
Pada undak-undak ketiga cerita arjuna itu dilanjutkan dengan relief cerita arjunawiwaha, dibaca mulai dari sudut barat daya. Cerita itu dimulai dengan persiapan para bidadari yang di utus dewa Indra untuk menguji Arjuna yang sedang bertapa. Setelah mencoba menggoda arjuna berkali-kali tapi tidak juga berhasil, merekapun kembali ke kayangan dewa indera. Sementara itu raja sekalian raksasa Niwatakawaca mengutus raksasa muka untuk membunuh Arjuna dalam bentuk seekor babi yang mengacau hutan-hutan disekitar pertapaan. Arjuna terkejut lalu memburu babi tersebut.
Disaat bersamaan dengan Arjuna, dewa Ciwa yang menyamar sebagai seorang pemburu melesatkan panahnya, kedua panah tersebut bersatu lalu terjadilah perselisihan antara kaduanya. Saat Arjuna hampir kalah memegang kaki lawannya, saat itulah pemburu tersebut berubah dalam bentuk Ciwa Ardhanariswara. Setelah itu Arjuna dianugerahi panah pusaka, Pasopati namanya. Setelah itu Arjuna menuju istana dewa indera di kayangan. Ia mendapat tugas menyusup ke istana raksasa Niwatakawaca untuk mengetahui kelemahannya bersama bidadari Suprabha yang di idamidamkan sang rajaraksasa. dengan tipu muslihat berhasillah ia, lalu raja raksasa itu bersama dengan pengikutnya tewas dalam pertempuran melawan para Dewa. Di akhir cerita digambarkan Arjuna di puji-pujin oleh para dewa.
d. Kresnyana
pada tubuh candi hanya sebagian kecil saja yang tersisa. Relief pada tubuh candi ini menggambarkan cerita Kresnayana. Digambarkan episode peperangan antara Kresna dengan raja raksasa Kalayawana. Kresna melarikan diri kedalam goa, dimana raja Mucukunda tertidur melepaslelah setelah peperangan bersama para dewa melawan para raksasa. Sebagai hadiah atas bantuannya itu ia memperoleh kesaktian dapat membakar siapa saja yang berani mengganggu tidurnya. Karena dikejar-kejar oleh Kalayawana,
Kresna masuk kedalam goa dan bersembunyi di belakang tempat tidur Mucukunda. Kalayawana yang tidak berhati-hasti itu menendang Mucukunda, karena disangka Krisna. Maka bersama dengan tentaranya ia terbakar oleh api yang keluar dari pandangan mata Mucukunda.
4. Latar Belakang Keagamaan
Dilihat dari relief cerita yang berlatar Budhis seperti Kunjarkarna, dan adanya pula relief cerita yang berlatarkan Hindu seperti Parthayajnya dan Kresnayana. Selain itu terdapatnya Panteon-panteon seperti arca Bhairawa dan arca Amoghapasa ini membuktikan bahwa latar keagamaan Candi Jago adalah Tantrayana atau aliran Ciwa-Bhuda
Semula ada arca Wishnuwardana berwujud Amoghapasya yang berlengan tangan delapan. Arca-arca lain yang mengelilinginya adalah Bhrkuti, Symatara, Sudanekumara dan Kayagriwa yang pada saat ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sekitar tahun 1986, konon Raja Kertanegara mengirim sebuah arca Candi Jago ini ke Jambi agar dipuja oleh rakyat Melayu dengan Rajanya Dharmasyraya pada saat itu.
Di halaman Candi Jago terdapat arca kecil Bhairawa yang mungkin adalah wujud Adityawarman ketika masih berstatus Maharajadiraja di kerajaan Majapahit. Setelah berstatus Maharajadiraja di Swarnadwipa, Raja Adityawarman kemudian membangun Arca Bhairawa yang besar di Jambi. Sebuah Arca Manjusri yang terdapat di Candi Jago menyebutkan nama Raja Adityawarman yang lahir dari keluarga Majapahit (Raja-Wanita).
Candi Jago yang masih ada sampai sekarang dapat diperankan sebagai sumber pengetahuan, yaitu selain dari segi seni pahat maupun ukir, juga ilmu bangunan dan filsafat, di samping sebagai suatu panorama keindahan di bidang obyek wisata karena keindahan alam di sekitar candi dan taman membuat daya tarik tersendiri.
Candi Jago, menurut Negarakretagama disebut Jajaghu, merupakan tempat pendharmaan raja Wisnuwardhana atau Ranggawuni yang dikatakan meninggal tahun 1190 C atau sekitar 1268 M. Sesungguhnya raja Wisnuwardhana dicandikan di 2 tempat yakni di Waleri (tidak ditemukan sampai sekarang) sebagai Siwa dan di Jago sebagai Budha.
Bathara Wisnu mulih ing curalaya pjah dinarma ta sire waleri swasimbha len sugtawimbha mungwin jajaghu (Nagarakretagama 41: 4)
Salah satu candi dengan relief yang begitu kompleks dan detail adalah candi Jago. Relief-relief tersebut dipahatkan hampir merata keseluruh sisa bangunan candi yang masih dapat kita lihat sekarang ini. Disini dipahatkan begitu banyak cerita-cerita moral baik dari unsur Jawa asli, Budhisme, dan Hinduisme. Suatu bentuk perpaduan dinamis yang jarang ditemui di candi-candi lain.
Dari ulasan pada Negarakretagama tersebut dapat dipahami bahwa Wisnuwardhana adalah penganut agama Siwa-Budha yaitu suatu keagamaan yang timbul sebagai akibat percampuran agama Siwa (Hindu) dan Budha. Saat itu percampuran agama Siwa-Budha berkembang cukup pesat di Singosari. Proses penyatuan 2 agama tersebut berkembang karena pemahaman mendalam serta kristalisasi perkembangan agama di Singosari dimana raja Wisnuwardhana menyadari bahwa 2 agama tersebut memiliki tujuan mulia yang sama. Dilain pihak sang raja berusaha memujudkan suasana tata tentrem kerta raharja tanpa adanya persaingan yang signifikan baik antara 2 agama tersebut serta diantara para penganutnya.
Candi Jago juga dimaksudkan sebagai penolak bala tuah keris Mpu Gandring yang dikatakan akan memakan tujuh keturunan Ken Arok. Wisnuwardahana juga mengangkat Narasingamurti yang masih saudara namun beda bapak sebagai pendamping utama dalam menjalankan pemerintahan sehingga periode pemerintahannya disebut dengan 2 naga kepala tunggal. Tujuannya adalah untuk mengakhiri jurang perpecahan antara para keturunan Ken Arok dan Kendedes.
Banyak bagian bangunan candi Jago yang rusak dan hilang. Sekarang yang terlihat masih utuh hanya bagian kaki candi yang terdiri atas 3 tingkatan dan sebagian kecil badan candi bagian depan yang ditunjukkan oleh adanya pintu. Ada dugaan kuat bahwa atap candi dulunya terbuat dari kayu dan ijuk yang tersusun tinggi seperti atap pura di Bali saat ini. Hal ini ditunjukkan pada potret candi yang dipahatkan pada relief Parthayadnya, teras ke-2, sebelah barat bagian tengah.
Didepan candi terdapat sebuah batu yoni besar berasal dari ruang tengah candi. Di Belanda disimpan sebuah patung Amogaphasa yang masih utuh dan diduga kuat berasal dari atas yoni ini. Arca yang merupakan salah satu bentuk perwujudan Avalokiteswara ini digambarkan bertangan 8, dikelilingi dewa-dewi, Dhyani Budha dan Tara, sikap tangan wara mudra (sikap memberi) dan abhaya mudra (menolak bala) ; sedang tangan-tangan yang lain memegang aksamala (tasbih), pasa (jerat), pustaka (kitab), padma (teratai), dan kamandalu (kendi). Amoghapasa biasanya dikelilingi 4 pengikutnya ; Sudhanakumara, Syamatara, Hayagriwa, dan Bherkuti dan sekarang masih tersimpan di museum Nasional – Jakarta.
Di halaman candi tergeletak sebuah patung tanpa kepala. Patung juga merupakan perwujudan Amoghapasa. Hal ini diketahui dari tulisan nagari yang dipahatkan sebelah atasnya serta atribut dan ciri khasnya. Terdapat juga sisa-sisa 3 kepala kala yang dulunya terletak diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. arca inilah yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai perwujudan dari Raja Wisnuwardhana. Disamping arca tersebut terdapat arca Bhairawa yang juga putus kepalanya dan beberapa arca kecil lainnya.
Hal menarik adalah kaki candi berbentuk bangunan berundak dan tersusun atas 3 tingkatan dan semakin keatas makin kecil serta agak menjorok kedalam. Pola ini memberikan suatu bidang cukup luas dibagian depan sehingga tepat sebagai tempat bersimpuh atau untuk melakukan ritual para pemujanya. Pada masing-masing tingkatan dihubungkan oleh 2 tangga dan masing-masing diapit oleh sepasang sandaran tangan besar dengan hiasan depan bermotif relief segitiga yang khas Jawa Timuran disebut tumpal.
Bentuk bangunan berundak ini juga merupakan elemen-elemen pra-sejarah Indonesia seperti bangunan dalam bentuk pemujaan yang diletakkan dilereng-lereng gunung. Sejak periode Singosari, terlihat adanya keinginan kuat untuk memunculkan ide-ide asli Jawa. Hal ini semakin dikuatkan dengan kemunculan tokoh punakawan pada relief Parthayadnya. Punakawan adalah batur pelawak yang selalu mendampingi tokoh utama dan hanya ada dalam dunia seni Jawa. Sampai sekarang tokoh ini dipertahankan dalam tradisi kesenian wayang baik wayang kulit maupun wayang orang.
Pada kaki candi inilah terpahatkan relief-relief yang memiliki nuansa agama berbeda. Pada tingkatan terbawah dipahatkan beberapa cerita Tantri (Jawa) seperti kura-kura dan anjing, lembu dan buaya, dan Anglingdarma, Kunjarakarna yang bernuansa agama Budha. Pada tingkat kedua dilukiskan cerita Parthayadnya, bagian dari Mahabarata, yang bernuansa agama Hindu; Begitu juga tingkat ketiga dengan cerita Arjunawiwaha.
Relief Candi Jago
Motif cerita Anglingdarma dan Kunjarakarna mengandung kesimpulan bahwa Wisnuwardhana adalah sang penyelamat. Sementara Parthayadnya dan Arjunawiwaha yang bertitik pangkal pada tokoh Arjuna dari bagian kitab Mahabharata, sebagai inkarnasi Wisnu, menggambarkan bahwa Arjuna adalah tokoh kunci kemenangan dari perang saudara antara Pandawa dan Kurawa hingga akhirnya yang ada hanyalah kebahagian dan perdamaian.
Sangat sesuai sekali dengan kondisi politik yang berkembang di Singosari saat itu akibat pertikaian politik saudara antara keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung serta Kendedes dan Ken Umang, sekaligus sebagai potret diri dari sang raja sendiri yang juga memakai nama Wisnu.
Perpaduan atau sinkretisme yang dianut oleh raja Wisnuwardhana adalah bukti sejarah yang sangat berharga dan diwujudkan pada candi Jago beserta relief-reliefnya. Candi Jago juga merupakan simbol toleransi keagamaan yang mengagumkan. Walaupun Wisnuwardhana menganut agama Hindu, sesuai namanya memakai Wisnu, tetapi dia sangat menghargai agama Budha. Masalah perbedaan agama ini sangat diperhatikan sebab dia jika tidak ditangani dengan serius akan menimbulkan wacana yang berbahaya.
Begitu peliknya dan sensitifnya masalah perbedaan agama ini, sampai-sampai harus dimuat dalam sebuah kakawin pada jaman Majapahit yang lebih kompleks situasi dan pemerintahan sesudahnya. Sebuah bait pendek dalam kitab Sutasoma (149 : 5) karangan Mpu Panuluh, yang berbunyi bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (berbeda tetap satu jua, tak ada ajaran yang mendua), menjadi kepatutan ketika diputuskan menjadi inspirasi negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri
atas berbagai suku, adapt, dan kepulauan.
Dalam kakawin Negarakertagama disinggung mengenai Raja Hayam Wuruk yang pernah melakukan kunjungan ziarah ke tempat pendharmaan leluhurnya yakni Maharaja Wisnuwardhana yang di candikan di Jayaghu (Jago). Walaupun Candi Jago diketahui sebagai tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana dari kerajaan Singasari, namun jika dilihat dari bentuk arsitektur dan ragam hiasnya maka situs ini berasal dari zaman Majapahit akhir.
Hal ini terkait dengan pemugaran atau perbaikan candi yang dilakukan oleh generasi-generasi selanjutnya sampai masa Majapahit akhir. Sebagai contoh, pada tahun 1272 S atau 1350 M Candi Jago pernah di perbaiki oleh Arya dewaraja pu aditya atau yang lebih dikenal dengan nama Adityawarman. Arca Wisynu Warddhana sebagai Amoghapasa dihalamn candi jago yang telah hilang bagian kepalanya
Dilihat dari ragam hias terutama reliefnya yang mengisahkan lakon kresnayana , parthayajna dan kunjarakarna, sangat diyakini bahwa candi Jago yang sekarang berdiri berasal dari masa akhir Majapahit. Karena kisah partayajna dan kunjarakarna, adalah kakawin yang ditulis Mpu Tanakung, beliau hidup pada masa akhir Majapahit. Pembacaan relief dengan cara kebalikan arah jarum jam atau mengirikan Candi (Prasawya). Adapun deskripsi cerita relief Tantris, Kunjarakarna, , Parthayajna+Arjunawiwaha dan Kresnayana pada teras Candi Jago sebagai berikut :
a. Tantri
Pada undak-undakan pertama, sudut Barat laut mulailah cerita relief-relief yang menggambarkan ceritera-ceritera binatang. Di sini terlukis ada dua ekor kura kura menggigit bilah kayu yang di bawa terbang oleh seekor angsa. Di tengah perjalanan mereka bertenu dengan sekelompok srigala yang menghina kura-kura. Karena kura-kura tak tahan dihina mereka membalas, akibatnya mereka terjatuh karena gigitan pada kayu mereka lepas demi membalas hinaan para srigala, akhirnya para srigala memangsa 2 ekor kura-kura tersebut.
b. Kunjarakarna
Disudut timur laut mulailah rangkaian relief cerita yang berlatar belakang agama Budha, yaitu menggambarkan riwayat Yaksa atau raksasa Kunjarakarna. Dilukiskan Yaksa Kunjarakarna menghadap kepada dewa tertinggi, Sang Wairocana untuk mempelajari agama Buda. Atas nasehatnya ia pergi keneraka, setelah tibas disana ia melihat siksaan-siksaan yang harus diderita oleh roh-roh makhluk yang berdosa di dunia. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa kancah penyiksaan yang berbentuk lembu itu dipersiapkan untuk menyiksa sahabatnya yang bernama Purnawijaya.
Dengan bergegas-gegas Kunjarakarna kembali kedunia untuk memberitahukan perjalanannya dineraka kepada Purnawijaya. Ia menasehati agar Purnawijaya ikut menghadap kepada Wairocana supaya mendapat ampunan atas kesesatannya dahulu. Setelah Purnawijaya menunjukkan bahwa ia betul-betul bertaubat maka diberilah ia keringanan hukuman oleh sang Wairocana.
Dan betullah setelah Purnawijaya turun keneraka untuk menjalani siksanya selama 10 hari dalam ketel, pecahlah ketel penyiksaan tersebut dan berubah menjadi telaga yang indah dg batang pohon dewata ditengahnya. Setelah ia pulang kedunia, maka ia memberikan puji-pujian kepada yang maha tinggi beserta istri dan pengikutnya. Cerita ini diselesaikan pada lapik undak undak kedua. Disini ceritera dimulai pada sudut barat laut dan mungkin berjalan terus sampai sudut tenggara, namun sayang bagian tersebut telah hilang.
c. Parthayajna+Arjunawiwaha
pada undak-undak pertama, sudut barat daya mulailah ceritera Parthayajna, yaitu cerita permainan judi yang dilakukan oleh para Pandawa dengan para Kurawa. Di ceritakan gara-gara permainan judi yang curang dari para Kurawa maka Pandawa kehilangan semua harta miliknya, kerajaannya dan Droupadi istri para pandawa. Selain itu para pandawa juga harus dibuang kedalam hutan selama 15 tahun. Atas nasehat sahabat mereka, Widura, maka Arjuna memisahkan diri dari keluarganya untuk bertapa di gunung Indrakila, supaya mendapat senjata sakti untuk memerangi para Kurawa kelak.
Dalam perjalanan ia mengalami berbagai kejadian; ia menginsafkan seorang gadis yang jatuh cinta kepadanya, juga bertemu dengan dewi Cri yang menambah semangat, dewa Kama, dan permaisurinya Rati di dekat sebuah danau, dan ditolong oleh mereka berperang melawan raksasa Nalamala yang keluar dari danau itu. Setelah ia berubah menjadi Mahadewa sebagai akibat pemujaannya, bertemu dengan pertapa Dwaipayana yang memberi pelajaran, lalu ia mendaki gunung indrakila.
Pada undak-undak ketiga cerita arjuna itu dilanjutkan dengan relief cerita arjunawiwaha, dibaca mulai dari sudut barat daya. Cerita itu dimulai dengan persiapan para bidadari yang di utus dewa Indra untuk menguji Arjuna yang sedang bertapa. Setelah mencoba menggoda arjuna berkali-kali tapi tidak juga berhasil, merekapun kembali ke kayangan dewa indera. Sementara itu raja sekalian raksasa Niwatakawaca mengutus raksasa muka untuk membunuh Arjuna dalam bentuk seekor babi yang mengacau hutan-hutan disekitar pertapaan. Arjuna terkejut lalu memburu babi tersebut.
Disaat bersamaan dengan Arjuna, dewa Ciwa yang menyamar sebagai seorang pemburu melesatkan panahnya, kedua panah tersebut bersatu lalu terjadilah perselisihan antara kaduanya. Saat Arjuna hampir kalah memegang kaki lawannya, saat itulah pemburu tersebut berubah dalam bentuk Ciwa Ardhanariswara. Setelah itu Arjuna dianugerahi panah pusaka, Pasopati namanya. Setelah itu Arjuna menuju istana dewa indera di kayangan. Ia mendapat tugas menyusup ke istana raksasa Niwatakawaca untuk mengetahui kelemahannya bersama bidadari Suprabha yang di idamidamkan sang rajaraksasa. dengan tipu muslihat berhasillah ia, lalu raja raksasa itu bersama dengan pengikutnya tewas dalam pertempuran melawan para Dewa. Di akhir cerita digambarkan Arjuna di puji-pujin oleh para dewa.
d. Kresnyana
pada tubuh candi hanya sebagian kecil saja yang tersisa. Relief pada tubuh candi ini menggambarkan cerita Kresnayana. Digambarkan episode peperangan antara Kresna dengan raja raksasa Kalayawana. Kresna melarikan diri kedalam goa, dimana raja Mucukunda tertidur melepaslelah setelah peperangan bersama para dewa melawan para raksasa. Sebagai hadiah atas bantuannya itu ia memperoleh kesaktian dapat membakar siapa saja yang berani mengganggu tidurnya. Karena dikejar-kejar oleh Kalayawana,
Kresna masuk kedalam goa dan bersembunyi di belakang tempat tidur Mucukunda. Kalayawana yang tidak berhati-hasti itu menendang Mucukunda, karena disangka Krisna. Maka bersama dengan tentaranya ia terbakar oleh api yang keluar dari pandangan mata Mucukunda.
4. Latar Belakang Keagamaan
Dilihat dari relief cerita yang berlatar Budhis seperti Kunjarkarna, dan adanya pula relief cerita yang berlatarkan Hindu seperti Parthayajnya dan Kresnayana. Selain itu terdapatnya Panteon-panteon seperti arca Bhairawa dan arca Amoghapasa ini membuktikan bahwa latar keagamaan Candi Jago adalah Tantrayana atau aliran Ciwa-Bhuda
Semula ada arca Wishnuwardana berwujud Amoghapasya yang berlengan tangan delapan. Arca-arca lain yang mengelilinginya adalah Bhrkuti, Symatara, Sudanekumara dan Kayagriwa yang pada saat ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Sekitar tahun 1986, konon Raja Kertanegara mengirim sebuah arca Candi Jago ini ke Jambi agar dipuja oleh rakyat Melayu dengan Rajanya Dharmasyraya pada saat itu.
Di halaman Candi Jago terdapat arca kecil Bhairawa yang mungkin adalah wujud Adityawarman ketika masih berstatus Maharajadiraja di kerajaan Majapahit. Setelah berstatus Maharajadiraja di Swarnadwipa, Raja Adityawarman kemudian membangun Arca Bhairawa yang besar di Jambi. Sebuah Arca Manjusri yang terdapat di Candi Jago menyebutkan nama Raja Adityawarman yang lahir dari keluarga Majapahit (Raja-Wanita).
Candi Jago yang masih ada sampai sekarang dapat diperankan sebagai sumber pengetahuan, yaitu selain dari segi seni pahat maupun ukir, juga ilmu bangunan dan filsafat, di samping sebagai suatu panorama keindahan di bidang obyek wisata karena keindahan alam di sekitar candi dan taman membuat daya tarik tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar