Hayam Wuruk adalah putera Tribhuwana Wijayatunggadewi, dilahirkan pada tahun 1334, yang konon bertepatan dengan gempa bumi di Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti "ayam yang masih muda". Hayam Wuruk naik takhta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah dengan Paduka Sori (Parameswari).
Hayam Wuruk mempunyai dua orang anak yaitu Nagarawardani/ Bhre Lasem yang lahir dari Paduka Sori dan Bhre Wirabumi yang lahir dari selir. Perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori yang masih saudara sepupu putri dari Bhre Prameswara yaitu Raja Wijayarajasa dari Wengker terjadi tahun saka 1279 yaitu setelah kegagalan perkawinannya dengan Dyah Pitaloka yaitu Putri Raja Linggabuana dari kerajaan Pasundan .
Candi Wringin Lawang diperkirakan sebagai Pintu Gerbang Majapahit
Pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto). Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya - Surakarta-.Di kecamatan ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit . Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Tionghoa dari abad ke-15
Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana. Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Bendasari.
- Rakyan Menteri Hino : Dyah Iswara
- Rakyan Menteri Halu : Dyah Ipo
- Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Kancing
- Rakyan Patih Majapahit : Pu Gajah Mada
- Rakyan Demung : Pu Alus
- Rakyan Kanuruhan : Pu Bajil
- Rakyan Rangga : Pu Roda
- Rakyan Tumenggung : Pu Lembi Nata
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi. Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya.
Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu.
Candi Kedaton merupakan salah satu bangunan di Majapahit
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.
Pejabat pemerintahan dibawah Raja yaitu Patih Amangkubumi (Patih Seluruh Negara) bertugas memberi perintah dan arahan tentang jalannya pemerintahan di Negara bawahan atau daerah. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa para patih Negara bawahan dan para pembesar lainnya berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada.
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
- Daha oleh Bhre Daha yaitu Dyah Wijat Sri Rajadewi yang merupakan adik kandung dari Tribhuwana Tunggadewi ibu dari Raja Hayam Wuruk.
- Wengher oleh Raja Wijayarajasa
- Matahun oleh Raja Rajasawardhana
- Lasem oleh Bhre Lasem
- Pajang oleh Bhre Pajang Paguhan oleh Raja Singawardhana
- Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.
- Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.
- Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.
- Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.
- Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.
- Jagaraga
- Kabalan
- Singhapura
Lain halnya dengan pemerintahan di seberang lautan yang merupakan wilayah Majapahit, Raja- Raja dan pembesar daerah bawahan berdaulat penuh, kewajiban utama daerah bawahan kepada Majapahit yaitu menyerahkan upeti tahunan dan menghadap Raja pada waktu yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit.
Kolam Segaran dulunya terdapat bangunan di tengahnya sebagai tempat jamuan tamu kerajaan Majapahit
Untuk mengawasi wilayah Majapahit yang begitu luas maka Majapahit memiliki Armada lautan yang sangat besar dan ditakuti oleh negara Negara lainnya. Armada ini ditempatkan di Lautan Teduh (Pasifik) dan dipantai utara pulau Jawa. Dan juga berusaha menjalin persahabatan dengan negara-negara tentangga yang diistilahkan Mitrekasatata yang berarti sahabat atau sahabat sehaluan atau hidup berdampingan secara damai.
Dalam Bilang Ekonomi & Perdagangan
Cetakan uang Bolong Majapahit
Pemerintahan Majapahit selalu berusaha meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau memelihara tanggul sepanjang sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu juga memperbaiki jalan-jalan jembatan untuk mempelancar lalu lintas perdagangan.
Komoditi perdagangan Majapahit adalah beras dan rempah-rempah. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga.
Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Di bidang perdagangan walaupun tidak semenonjol kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Majapahit berperan sebagai pedagang perantara.
Uang Bolong Alat Tukar jaman Majapahit
Menurut berita dari Cina, Majapahit telah memperdagangkan garam, beras, lada, intan, cengkeh, pala, kayu cendana dan gading. Banyak pedagang Cina yang membeli barang-barang tersebut dari pedagang Majapahit. Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina.
Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting artinya bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana. Dalam dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting, yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara.
Dalam Bidang Keagamaan
Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara keamanan rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus yaitu Dharmadhyaksa kasaiwan yang mengurus agama Syiwa Budha dan Dharmadhyaksa Kasogatan yang mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut Dharma Upapatti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Genta sebagai alat Persembahyangan
Banyaknya pejabat tersebut menunjukan keompleksnya permasalahan agama yang harus diatur. Dengan adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan dengan baik, bahkan tercipta toleransi. Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma-Huan tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Budha juga ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun. Dari berita Ma-Huan tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit.
Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di dalamnya ditemukan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika, TanHana Dharma mangrua”.Dalam Nagarakretagama pupuh 85 diuraikan bahwa tiap bulan Caitra (Maret-April) atau bulan pertama setiap tahun Raja Hayam Wuruk mengadakan pertemuan dengan para Menteri, perwira, pembantu baginda, kepala daerah, kepala desa dari luar kota untuk membahas tanggung jawab pemerintahan didaerahnya masing-masing.
Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:
- Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungan Solo dan Brantas
- Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri)
- Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih
- Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran)
- Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354)
- Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365)
- Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371
Wilayah Kekuasaan Majapahit Jaman Pemerintahan Hayam Wuruk
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China. Daerah-daerah diluar jawa yang dikuasai Majapahit pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk seperti diuraikan dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 antara lain :
- Di Sumatra : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan dan Lampung.
- Di Kalimantan : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei dan malano.
- Di Semenanjung Tanah Melayu : Pahang, Langkasuka, Kalantan, Saiwang, Nagir, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah dan Jerai. Sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung api, Seram, Hutan kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda) Amabon, Wanin, Seram dan Timor.
Setelah menyimak data tersebut, Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya. Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya. Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang, menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.
Perang Bubat (1357)
Candi Kedaton bekas Istana Majapahit
Tetapi di kala semua kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada dua kerajaan yang sangat dekat bahkan seperti di halaman rumah sendiri, belum menyatakan tunduk. Dua kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis), dan Sunda Pakuan yang terletak lebih ke arah barat. Kerajaan Sunda Galuh saat itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama prabu Lingga Buana. Di sebelah timur, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang sungai Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum.
Pandangan Gajah Mada untuk sesegera mungkin menyatukan kedua kerajaan Sunda tersebut ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit, bertentangan dengan pandangan kalangan istana. Baik ibu suri Tribhuana Tunggadewi maupun Dyah Wyjat berpendapat bahwa kerajaan Sunda adalah kerabat sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya, salah satu leluhurnya berasal dari bangsawan Sunda. Sementara sikap prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat lebih mendukung kedua ibu suri tersebut daripada Gajah Mada. Pada suatu waktu tibalah saatnya bagi prabu Hayam Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang akan mendampingi dirinya.
Maka dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri yang cantik dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga untuk kemudian diperlihatkan kepada sang prabu. Dengan harapan apabila ada salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu, maka tibalah saatnya bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri yang beruntung tersebut. Sudah sekian banyak juru gambar yang kembali membawa lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih belum berkenan menjatuhkan pilihannya.
Sampai tibalah saatnya dikirim juru gambar ke kerajaan Sunda Galuh untuk menggambar putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang kabar kecantikannya sudah terkenal ke mana-mana. Sementara itu, Gajah Mada melihat adanya kesempatan untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam utusan juru gambar Majapahit ke Sunda Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa orang bawahannya yaitu
- Gajah Enggon menjabat pimpinan utusan Khusus
- Ma Panji Elam menjabat sebagai Sang Arya Rajapakrama
- Pu Kapasa menjabat sebagai Arya Suradhiraja
- Pu Menur menjabat sebagai Sang Arya Wangsaprana
- dan Pu Kapat menjabat sebagai Sang Arya Patipati
Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan di mana pesta perkawinan antara raja dan putri akan dilangsungkan.
Setelah pinangan dari prabu Hayam Wuruk diterima akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana, permaisuri, dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan putri Dyah Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibu kota Majapahit. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah prabu Lingga Buana beserta rombongan ke Majapahit.
Tidak terlalu banyak pasukan yang mengiringi mereka mengingat maksud dan tujuan sang prabu ke Majapahit adalah untuk menikahkan putrinya, Dyah Pitaloka. Perjalanan jauh mereka tempuh dari Galuh (Ciamis) menuju ke ibu kota Majapahit (Trowulan). Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya.
Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya. Catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahi dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, Raja kerajaan Sunda.
Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Upacara pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki.
Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Prabu Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut.
Gerbang Pendopo tempat Gajah Mada mngucapkan sumpah Palapa
Berangkatlah Prabu Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit. Sepuluh hari telah berlalu akhirnya sampailan rombongan di Majapahit dan diterima oleh para pembesar Majapahit serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalah - Pahaman
Candi Tugu Batas wilayah Majapahit dan Pasundan
Namun kearifan hati sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut merasa marah dan dilecehkan. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Gugurnya Rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Para Pemimpin Sunda naik darah ketika mengetahui niat Gajah Mada tersebut, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang Pangulu, orang saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya melakukan perlawanan terhadap pasukan dari Majapahit.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi tidak terkendali. Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat.
Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak siap untuk berperang. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar di sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut ,melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu.
Dalam pertempuran tersebut Maharaja Linggabuana dan tuan Usus gugur terlebih dahulu. Pasukan Sunda kemudian menyerang kearah selatan , pasukan Majapahit dibuat kocar kacir oleh serangan tersebut. Serangan pasukan Sunda kemudian dapat dipatahkan oleh pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewis, Patih Teteg dan Jaran Baya. Para Menteri Arraman dan pasukan berkuda ganti menyerang tentara Pasundan, serangan tersebut berhasil meluluh lantakan pertahanan sehingga pasukan pasundan menyingkir kearah barat daya. Pasukan Pasundan akhirnya terkepung sehingga langsung berhadapan dengan pasukan pimpinan Gajah Mada.
Setiap pasukan Pasundan yang menghadang kereta Gajah Mada berhasil disingkirkan satu persatu sehingga peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Prabu Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (Darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda agar diambil hikmahnya.
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit. "Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.
Peristiwa Bubat dalam Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama.
Pupuh I
Terjemahannya Pupuh I
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Perang campuh lumangsung, ngabalukarkeun loba pisan prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir sadaya pasukan Sunda tiwas digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan, raja Kahuripan jeung Daha. Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda nu pura-pura tiwas di antara pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng anjeunna nepungan ratu jeung putri Sunda.
Aranjeunna kalintang ngarasa sedih, lajeng nelasan manéh, sedengkeun para istri perwira Sunda arangkat ka médan perang lajeng narelasan manéh hareupeun mayit para salakina.
Terjemahannya Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakan dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha.
Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk ngarasa hariwang nempo perang ieu. Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri Sunda, sarta mendakan putri Sunda geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa ku hayangna ngahiji jeung putri Sunda ieu. Satutasna ti éta, dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para arwah.
Teu lila ti kajadian ieu, Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu kacida. Sanggeus anjeunna dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé, paman-pamanna ngayakeun sawala. Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian ieu, sarta mutuskeun rék néwak sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna datang ka kapatihan, Gajah Mada geus sadar yén wancina geus datang.
Gajah Mada maké sagala upakara (kalengkepan) upacara lajeng milampah yoga samadi, sahingga anjeunna ngaleungit (moksa) ka (niskala). Raja Kahuripan jeung Daha, nu sarupa jeung “Siwa jeung Buda”, mulang ka nagarana séwang-séwangan, sabab mun cicing di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.
Terjemahannya Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharapta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu tambe yen antu.
Terjemahannya
Palar-palar?n ing j?mah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskr?ti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama l?ngl?ng amrati cita.
Analisis Kidung Sunda
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup.
Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada.
Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini. Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, sering kali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka. Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci , Wandan (Maluku), Tanjungpura (Banjarmasin) dan Sawakung (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut. Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.
Kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke Daerah DaerahDalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa.
Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo - Tengger - Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
Wafatnya Patih Gajah Mada
Arca Gajah Mada
Dalam rapat tersebut tidak dapat dikemukakan seseorang yang pantas untuk menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai patih Amangku Bumi. Rapat akhirnya memutuskan bahwa Gajah Mada tidak akan diganti. Untuk mengisi lowongnya posisi patih Amangku bumi Prabu Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.
- Empu Tandi terpilih sebagai Wreddhamantri
- Empu Nala dipilih sebagai tumenggung Mancanegara
- Srti nata Krertawardana dan Wikramawardhana dipilih sebagai Dharmadyaksa atau Ketua Mahkamah Agung
- Patih Dami dipilih sebagai Yuwamantri atau menteri muda yaitu sebagai kepala rumah tangga keraton.
- Empu Singa terpilih sebagai sekretaris Negara bertugas sebagai penyalur segala perintah Baginda
Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya. Demikianlah setelah patih Amangku Bumi Gajah Mada meninggal pada tahun saka 1286 atau Tahun Masehi 1364 Majapahit mengalami kemunduran, Kegemilangan kerajaan Majapahit yang gilang gemilang adalah sejarah kehidupan patih Gajah Mada.
Keadaan Kerajaan Majapahit seakan-akan semakin bertambah suram, sehubungan dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pembantu yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa kejayaan Majapahit.
Upacara Srada Upacara srada dilaksanakan oleh Prabu hayam Wuruk pada tahun saka 1254 untuk memperingati wafatnya Sri Rajapatni (Gayatri ) atas perintah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, dalam Nagarakretagama diuraikan dalam pupuh 63 sampai dengan 67. Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu hari.
Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut Nyadran. Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik.
Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca Sradhanya.
Sebagai patih Amangku Bumi Gajah Mada menyampaikan pesan kepada para Menteri dan Punggawa untuk turut menyumbang dalam upacara srada tersebut. Pada hari pertama upacara tersebut dimulai dengan pemujaan Budha. Upacara ini dipimpin oleh pendeta Stapaka dengan dibantu Empu dari paruh. Semua pendeta berdiri dalam lingkaran untuk menyaksikan pemujaan Budha oleh Sang Prabu. Kemudian menyusul doa untuk memanggil jiwa Rajapatni dari Budhaloka yang ditampung dalam arca bunga.
Pada malam berikutnya dilanjutkan pemujaan terhadap arca bunga yang telah terisi jiwa Rajapatni, pemujaan dipimpin oleh pendeta dengan samadi dan puji pujian. Paginya arca bunga dibawa keluar disambut dengan bunyi tambur dan genderang. Arca bunga kemudian didudukkan di Singgasana setinggi orang berdiri. Pemujaan dimulai dengan semua pendeta Budha kemudian dilanjutkan dengan Raja , permaisurinya dan putra putranya serta anggota keluarga lainnya. Pada hari ketujuh dipentaskan tari tarian dan kesenian lainnya dari berbagai wilayah Majapahit. Upacara srada akhirnya ditutup pada Hari Kedelapan,
Pagi pagi pendeta Budha berkumpul untuk melakukan pemujaan dengan lagu lagu pujaan yang diciptakan khusus untuk Rajapatni yang telah berpulang ke Budhaloka. Arca bunga kemudian diturunkan dari singgasana dengan upacara, semua sajian kemudian di bagikan habis ke semua undangan. Demikianlah upacara srada telah selesai dan dilanjutkan dengan perbaikan makam Rajapatni di Kamal Pandak.
Akhir Pemerintahan Hayam Wuruk
Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.
Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus.
Candi Ngetos sebagai Tempat Pemujaan untuk Raja Hayam Wuruk
salam hangat.
BalasHapussaya ingin menanyakan maksud kata dalam kalimat yang ada diposting blog ini:
"Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit".
dari mana asal muasal berita yang menyebutkan bahwa kerajaan pajajaran menjadi wilayah majapahit? padahal setau saya kerajaan pajajaran tidak pernah diambil kedaulatannya sama majapahit.tolong dijelaskan lebih detail dari mana sumbernya.makasih
mantap... blog_nya dan ini beberapa kepeng pada era majapahit http://djbennyhendric.blogspot.com/2011_03_01_archive.html
BalasHapuskeren bingit
BalasHapusGood job
BalasHapusterima kasih telah memberi ilmu baru , semoga bisa dilanjtkan dan diberi sumber agar bisa lebih dipercaya. sukses pada penulisannya )
BalasHapus