( Tugu Peringatan Untuk Raja Kertanegara )
Sebagaimana tertulis dalam Negarakertagama, candi Singosari adalah tempat pendharmaan raja Kertanegara. Namun disini beliau diwujudkan dengan 3 arca perwujudan, melambangkan trikaya, yaitu sebagai Siwa-Budha dalam bentuk Bhairawa yang melambangkan nirmanakaya, sebagai ardhanari lambang sambhokaya, dan sebagai Jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangkan dharmakaya. Suatu bentuk perwujudan agung untuk seorang raja besar Kertanegara.
Candi Singosari terletak didesa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850) dengan pemberian nama/sebutan Candi Menara oleh orang Belanda.
Pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinding dibagian tubuhnya. Juga menurut laporan dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari, adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya didesa Candirenggo.
Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan bahwa Candi Singosari merupakan kompleks percandian yang luas.
Arca Perwujudan Raja Kertanegara
Didalam kompleks tersebut didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan disana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselematkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang kita sebut Candi Singosari.
Adapun arca-arcanya banyak yang dibawa ke Belanda, sedangkan arca-arca yang saat ini berada dihalaman Candi Singosari sekarang ini, berasal dari candi-candi yang sudah musnah itu.
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini).
Komplek percandian menempati areal 200m×400m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut dwarapala) dan posisi Gada (Senjata) menghadap kebawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya "RAKSASA" tapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya.
Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan.
Arca Resi Agastya
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujursangkar berukuran 14m×14m dan tinggi candi 15m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya).
Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan. Restorasi dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936. Meski terawat, kondisi beberapa arca yang ditata sepanjang jalan masuk sudah tak berkepala. Entah sudah hilang saat ditemukan atau memang dicuri.
Di ruang utama candi hanya ada satu arca Yoni, sedangkan pasangannya arca Lingga, ditempatkan di luar candi, berjejer dengan arca-arca yang lain. Candi ini mempunyai satu ruang utama dan 6 kolom dimana dari keenam kolom tersebut hanya satu kolom yang masih terisi arca. Sedangkan di sekeliling candi ditanam beberapa pohon Maja yang konon merupakan cikal bakal nama Majapahit.
Buah Maja seperti jeruk besar (jeruk bali) namun pahit jika dimakan, itulah sebabnya raden Wijaya menamai kerajaan yang baru dibuka di tengah hutan Maja dengan nama Majapahit.
Arca Prajnaparamita.
Bentuk bangunan Candi Singosari sendiri bisa dibilang istimewa, karena candi itu seolah-olah mempunyai dua tingkatan. Seharusnya bilik-bilik candi berada pada bagian badan candi, pada Candi Singosari justru terdapat pada kaki candi. Bilik-bilik tersebut pada awalnya juga terdapat arca didalamnya yakni disebelah utara berisi arca Durgamahisasuramardhini,
sebelah timur berisi arca Ganesha dan dibagian selatan terdapat arca Resi Guru yang biasa terkenal dengan sebutan Resi Agastya.
Namun saat ini hanya tinggal arca Resi Agastya saja, sedangkan arca lainnya telah dibawa ke Leidan - Belanda. Alasan mengapa arca resi Agastya tidak dibawa serta ke Belanda adalah mungkin dikarenakan kondisinya yang sudah rusak cukup parah, sehingga tidak layak dibawa sebagai hadiah kepada penguasa negeri belanda pada saat itu.
Hal lain yang menarik untuk diamati pada Candi Singosari ini adalah hiasan candi. Umumnya bangunan candi dihias dengan hiasan yang rata pada seluruh badan atau bagian candi. Pada Candi Singosari kita tidak mendapatkan hal yang demikian. Hiasan Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tapi kemudian ditinggalkan.
Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan dengan adanya peperangan, yaitu serangan dari raja Jayakatwang dari kerajaan Gelang-gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singhasari yang terjadi pada sekitar tahun 1292. Serangan raja Jayakatwang tersebut dapat menghancurkan kerajaan Singhasari. Raja Kertanegara beserta pengikutnya dibunuh. Diduga karena masa kehancuran (pralaya) kerajaan Singhasari itulah, maka Candi Singosari tidak terselesaikan dan akhirnya terbengkalai.
Arca Dewi Parwati
Ketidak selesaian bangunan candi ini bermanfaat juga bagi kita yang ingin mengetahui teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi. Tampak bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum diselesaikan.
Salah satu sudut candi
Dihalaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, beberapa diantaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki bagian kepala yang terlihat "aneh". nampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya.
Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan kembali. Pada waktu rekonstruksi ditemukan sebuah saluran air dari puncak candi menuju pusat ruang utama dan selanjutnya dialirkan keluar melalui muara kecil di bagian tengah teras sebelah utara. Dengan demikian air yang keluar dari candi tersebut, karena berasal dari langit dan menyentuh lingga sebagai esensi candi, menjadi suci.
Hal menarik dari struktur candi adalah letak ruang utama dan bilik-biliknya. Pada umumnya candi-candi di Jawa, ruang utama dan bilik-bilik tersebut terletak pada badan candi karena kaki candi berfungsi sebagai dasar candi. Namun pada candi Singosari kaki candi justru berfungsi sebagai tempat ruang utama dan bilik-biliknya. Sedangkan badan candi, walau tidak untuk menempatkan patung-patung utama, tetap diberi pola bilik-bilik kecil. Sementara atap candi, karena tidak dapat direkonstruksi seluruhnya, tidak dapat diketahui dengan pasti apakah menjulang tinggi seperti candi Jawi ataukah pendek datar seperti candi Kidal.
Komposisi ukir bangunan candi juga menarik perhatian. Bagian tengah keatas penuh dengan ukiran indah layaknya candi-candi pada umumnya, sedangkan bagian tengah kebawah terkesan polos. Hal ini terutama jelas terlihat pada hiasan kepala kala pada setiap bagain atas pintu ruang baik di kaki maupun badan candi. Tidak dapat diketahui dengan pasti mengapa dibuat demikian. Ada teori yang mengatakan bahwa itu menunjukkan pengaruh Hindu yang umumnya penuh hiasan ukir dan Budha yang polos atau sederhana.
Ada juga yang mengatakan bahwa memang dibuat demikian untuk mengenang raja Kertanegara yang cita-cita cakrawala mandala nusantaranya terputus ditengah jalan karena beliau dibunuh oleh raja saingannya. Ada pula teori yang mengatakan bahwa memang demikian keadaannya karena proses pembuatan candi yang terpaksa harus terhenti karena kerajaan Singosari diserbu oleh tentara Jayakatwang.
Disebelah barat candi terdapat sejumlah sisa-sisa patung peninggalan candi Singosari. Sayang banyak yang dalam keadaan rusak. Salah satu patung yang menarik adalah patung Pradnyaparamitha, Dewi kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan versi agama Budha, tanpa kepala. Di Jawa ini hanya ada 3 patung Pradnyaparamitha; yakni di candi Singosari, di candi Bayalangu – Tulungagung, dan yang paling indah di museum Nasional Jakarta. Patung Pradnyaparamitha di Jakarta tersebut terkenal dengan sebutan patung Kendedes.
Arca resi Agatya
Sekarang ini di candi Singosari hanya tersisa sebuah patung yang terletak dibilik sebelah selatan. Patung tersebut adalah Agastya atau mahaguru. Sesuai dengan iconogram candi-candi Hindu Jawa, ruang utama diperuntukkan dewa Siwa atau umumnya diwujudkan dalam bentuk lingga, bilik utara untuk Durgamahesasuramardini atau Sewi Durga, sebelah timur untuk Ganesha, dan sebelah selatan adalah Agastya. Ciri khas Agastya adalah berjanggut lebat, perut buncit, 4 tangannya masing-masing memegang kendi, tasbih, pecut semacam pengusir lalat, dan tombak. Sementara hiasan bunga teratai dekat telapak kaki dan menjulur melingkar keatas adalah ciri khas periode Singosari; jika teratai tersebut keluar dari vas bunga atau bonggol merupakan ciri periode Majapahit.
Seperti wujud candi Jawi yang melambangkan mandala alam raya, candi Singosari, tempat dimuliakannya Kertanegara, juga memiliki konsep yang sama. Dengan prinsip candi terdiri atas kaki, badan dan atap candi, maka bangunan candi aslinya terletak diatas sebuah batur teras. Teras tersebut melambangkan benua Jambudwipa (India) sebagai benua paling tengah dari alam raya, sedangkan candinya sendiri merupakan perwujudan gunung suci meru yang menjulang tinggi.
Oleh karena itu dataran disekeliling candi diumpamakan sebagai lautan luas. Semua itu melambangkan keutamaan sang raja Kertanegara pada perwujudan Siwa-Budha yang dimuliakan pada candi tersebut.
Candi Singhasari
Perumpamaan candi sebagai gunung Meru ini semakin dikuatkan dengan adanya 4 buah gundukan diatas masing-masing ruang candi.
Hal ini disesuaikan dengan topografi gunung Meru di India yang dikelilingi oleh 4 gunung kecil-kecil. Sama seperti gunung Penanggungan di Pandaan yang dianggap sebagai simbol puncak gunung Meru atau disebut Mahameru. Selain bentuk fisiknya yang sempurna kerucut, gunung Penanggungan juga dikelilingi oleh 4 buah gunung kecil-kecil di keempat arah mata angina
Dalam kitab kuno Tantu Panggelaran diceritakan bahwa suatu ketika gunung Meru di India, sebagai simbol pusat alam raya, harus dipindahkan ke Jawa (untuk mensahkan Jawa sebagai Jambudwipa baru). Dalam perjalanannya banyak bagian-bagian gunung Meru itu yang terjatuh berceceran sehingga membentuk rangkaian gunung-gunung mulai dari India, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Sumatera, dan Jawa seperti sekarang ini.
Gunung Meru di India selanjutnya berubah menjadi gunung Semeru, sementara puncaknya, gunung Pawitra atau Mahameru, diidentifikasikan sebagai gunung Penanggungan. Maka saat itu Jawa menjadi pusat alam raya dengan segala isi dan filosofinya, bukan lagi di India.
Candi Singosari dahulu memiliki beberapa nama; Candi Menara, Candi Cella, Candi Renggo, Candi Cungkup, hingga akhirnya diberi nama Candi Singosari. Candi Singosari memiliki corak Siwaisme, dahulu ada patung Kertanegara yang beragama Siwaisme dan Budhisme aliran Tantra. Juga ditemukan Arca Prajnaparamita yan terkenal karena keindahannya dan kehalusannya.
Arca Prajnaparamita yang ditemukan di Singosari adalah salah satu arca yang terindah. Wajahnya tampak sangat cantik tenang pebuh kedamaian, selain itu juga memiliki penampilan yang sangat luar biasa. Bagi orang yang memandangnya akan kagum dan memberikan rasa kesejukan. Arca ini pernah dibawa ke Belanda dan disimpan di Leiden sebagai benda yang berharga, namun pada tahun 1978 dikembalikan ke Indonesia dan di simpan di Musium Nasional.
Arca Prajnaparamita
Para ahli sejarah memperkirakan bahwa patung tersebut adalah Arca Pemakaman Ken Dedes. Wanita yang cantik yang menurunkan Raja-raja Wangsa Rajasa. Namun ada juga para ahli sejarah yang memperkirakan bahwa patung tersebut adalah Arca Pemakaman puteri Gayatri, puteri bungsu Kertanegara yang terkenal akan kecantikannya.
Prajnaparamita adalah adalah bagian dari ajaran Budhisme aliran Tantra mengenai kesempurnaan. Ajaran tersebut bertujuan untuk mencapai pembebasan (Kasunyatan). Ajaran ini menekankan peranan psikofisis, dengan tehnik yoga dan mantra yang terdapat di dalam tulisan Prajnaparanita menjadi sangat penting dan diwujudkan dalam pribadi seorang Dewi yang sempurna dalam kebijakan. Dengan demikian tidak mengherankan bila ekspresi patung ini akan meneghanyutkan dan menyejukkan bagi orang yang memandangnya.
Candi ini dibangun tinggi mirip menara dengan fondasi dasar yang tinggi, pintu masuk berornamen kala. Gaya Singosari konon terlihat jelas pengaruhnya di Kerajaan Minangkabau, pada Arca Bhairawa di Sungai Langsat (Bukit Tinggi). Sedangkan Arca Kendedes sebagai perwujutan Dewi Prajnaparamita yang sangat cantik jelita menawan melambangkan kebijaksanaan agung, sekarang berada di Museum Nasional
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Dedes adalah istri dari Raja Singhasari Sang Amurwabhumi atau populer dengan nama Ken Arok. Ken Dedes juga terkenal dengan kecantikannya, sehingga banyak fihak menganggap arca cantik Prajnaparamitha ini adalah identifikasi perwujudan dari putri Ken Dedes. disebutkan Ken Dedes adalah penganut agama Budha Tantrayana yang taat dan pandai ilmu agama sehingga pendapat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika mengacu pada ketaatan Dewi Prajnaparamitha yang merupakan salah satu Dewi dalam cerita Budha. Penemuan Arca yang aslinya terdapat di komplek candi Singhasari dan sekarang di simpan di Museum Nasional Jakarta ini membuktikan bahwa Malang memang merupakan pusat kerajaan besar di wilayah Jawa, yang menguasai daerah sekitarnya (Prasasti Mula-Malurung 1255 M).
Selain secara arkeologis ditemukan pathirthan (pemandian) yang kini disebut sendang Ken Dedes, di daerah Polowijen (Ponowijian), Singosari, daerah Polowijen (Ponowijian) juga merupakan tempat tinggal seorang biksuni Budha Tentrayana, Ken Dedes dan orang tuanya Mpu Purwa.
Candi Singhasari
Ken Dedes dalam kitab Nagara Kretagama disebut sebagai wanita Nareswari, seorang wanita yang akan menurunkan raja-raja, siapapun yang menikahinya akan menjadi raja.
Itulah sebabnya Ken Arok berusaha keras untuk menikahinya meskipun harus mengorbankan banyak nyawa. Keturunan Ken Dedes antara lain: Raja Anusapati (meninggal th 1248 M, dicandikan di Candi Kidal; Panji Tohjaya (meninggal th 1250M); Rangga Wuni ( Abhiseka Wisnuwardana meninggal th 1270 M dicandikan di Candi Jago); Mahesa Campaka (Bhatara Narasingamurti); Kertanegara (1254 M).
Candi Singosari bersifat campuran Siwa-Budha. Ini tidak mengherankan mengingat agama yang dianut oleh Kertanegara merupakan campuran Siwa dan Budha, bercorak Tantra. Brangkali bangunan itu antara lain memuat arca Brahma dan beberapa arca kecil yang terdapat pada lapangan percandian. Tidak jauh ke barat, di alun-alun, terdapat dua arca penjaga sangat besar. Arca-arca raksasa itu tidak dapat dipindahkan karena berat sekali dan tentunya berdiri di situ masih pada tempatnya yang asli,
sebagai menjaga jalan masuk ke percandian yang sangat luas di belakangnya. Tingginya 3,70 m dan satu di antaranya terpendam sampai ke pusatnya. Arca-arca ini mempunyai tali ular melilit pada bahannya; sedangkan kepalanya dihiasi dengan jamang ular dengan sejumlah tengkorak.Perkembangan Candi Singosari dapat dihubungkan dengan raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Bangunan ini kemungkinan didirikan bersamaan dengan waktu diadakan upacara sraddha (upacara untuk memperingati 12 tahun sesudah raja wafat) atau tahun 1304 M, masa pemerintahan Raden Wijaya, raja Majapahit Pertama. Kakawin Nagarakertagama karangan Prapanca, pupuh XLII-XLIII, menyebutkan bahwa Raja Kertanegara adalah seorang raja yang tiada bandingnya di antara raja-raja di masa lampau.
Ia menguasai segala macam ilmu pengetahuan seperti Sadguna (ilmu ketatanegaraan) Tatwopadeso (ilmu tentang hakikat), patuh pada hukum, teguh dalam menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan pemujaan Jina (apageh ing jinabrata), tekun berusaha dalam menjalankan prayogakrya (ritus-ritus tantra). Disebutkan pula bahwa sang raja jauh dari tingkah alpa dan congkak, tawakal dan bijak, menganut agama Budha Tantrayana.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan usaha untuk menyelamatkannya dengan membongkar sampai kepada baturnya, kemudian membangun kembali selapis demi selapis. Pembangunan kembali seluruhnya tidak memungkinkan, karena banyak bahan asli yang hilang, terutama dari puncak-puncak bilik samping. Candi dibangun kembali sampai kepada atap tingkat dua dan itu pun tidak lengkap. Pekerjaan pembangunan kembali selesai tahun 1936.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Singosari memegang peranan penting di masa lalu, maka peninggalan-peninggalannya yang tersisa patutlah dilestarikan sebagai benda cagar budaya seperti diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang antara lain berbunyi:
Upaya melestarikan benda cagar budaya dilaksanakan selain untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jatidiri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila, juga untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pemanfaatan lain dalam rangka kepentingan nasional.
Sebagaimana tertulis dalam Negarakertagama, candi Singosari adalah tempat pendharmaan raja Kertanegara. Namun disini beliau diwujudkan dengan 3 arca perwujudan, melambangkan trikaya, yaitu sebagai Siwa-Budha dalam bentuk Bhairawa yang melambangkan nirmanakaya, sebagai ardhanari lambang sambhokaya, dan sebagai Jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangkan dharmakaya. Suatu bentuk perwujudan agung untuk seorang raja besar Kertanegara.
Candi Singosari terletak didesa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850) dengan pemberian nama/sebutan Candi Menara oleh orang Belanda.
Pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinding dibagian tubuhnya. Juga menurut laporan dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari, adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya didesa Candirenggo.
Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan bahwa Candi Singosari merupakan kompleks percandian yang luas.
Arca Perwujudan Raja Kertanegara
Didalam kompleks tersebut didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan disana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselematkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang kita sebut Candi Singosari.
Adapun arca-arcanya banyak yang dibawa ke Belanda, sedangkan arca-arca yang saat ini berada dihalaman Candi Singosari sekarang ini, berasal dari candi-candi yang sudah musnah itu.
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini).
Komplek percandian menempati areal 200m×400m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut dwarapala) dan posisi Gada (Senjata) menghadap kebawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya "RAKSASA" tapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya.
Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan.
Arca Resi Agastya
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujursangkar berukuran 14m×14m dan tinggi candi 15m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya).
Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan. Restorasi dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936. Meski terawat, kondisi beberapa arca yang ditata sepanjang jalan masuk sudah tak berkepala. Entah sudah hilang saat ditemukan atau memang dicuri.
Di ruang utama candi hanya ada satu arca Yoni, sedangkan pasangannya arca Lingga, ditempatkan di luar candi, berjejer dengan arca-arca yang lain. Candi ini mempunyai satu ruang utama dan 6 kolom dimana dari keenam kolom tersebut hanya satu kolom yang masih terisi arca. Sedangkan di sekeliling candi ditanam beberapa pohon Maja yang konon merupakan cikal bakal nama Majapahit.
Buah Maja seperti jeruk besar (jeruk bali) namun pahit jika dimakan, itulah sebabnya raden Wijaya menamai kerajaan yang baru dibuka di tengah hutan Maja dengan nama Majapahit.
Arca Prajnaparamita.
Bentuk bangunan Candi Singosari sendiri bisa dibilang istimewa, karena candi itu seolah-olah mempunyai dua tingkatan. Seharusnya bilik-bilik candi berada pada bagian badan candi, pada Candi Singosari justru terdapat pada kaki candi. Bilik-bilik tersebut pada awalnya juga terdapat arca didalamnya yakni disebelah utara berisi arca Durgamahisasuramardhini,
sebelah timur berisi arca Ganesha dan dibagian selatan terdapat arca Resi Guru yang biasa terkenal dengan sebutan Resi Agastya.
Namun saat ini hanya tinggal arca Resi Agastya saja, sedangkan arca lainnya telah dibawa ke Leidan - Belanda. Alasan mengapa arca resi Agastya tidak dibawa serta ke Belanda adalah mungkin dikarenakan kondisinya yang sudah rusak cukup parah, sehingga tidak layak dibawa sebagai hadiah kepada penguasa negeri belanda pada saat itu.
Hal lain yang menarik untuk diamati pada Candi Singosari ini adalah hiasan candi. Umumnya bangunan candi dihias dengan hiasan yang rata pada seluruh badan atau bagian candi. Pada Candi Singosari kita tidak mendapatkan hal yang demikian. Hiasan Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tapi kemudian ditinggalkan.
Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan dengan adanya peperangan, yaitu serangan dari raja Jayakatwang dari kerajaan Gelang-gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singhasari yang terjadi pada sekitar tahun 1292. Serangan raja Jayakatwang tersebut dapat menghancurkan kerajaan Singhasari. Raja Kertanegara beserta pengikutnya dibunuh. Diduga karena masa kehancuran (pralaya) kerajaan Singhasari itulah, maka Candi Singosari tidak terselesaikan dan akhirnya terbengkalai.
Arca Dewi Parwati
Ketidak selesaian bangunan candi ini bermanfaat juga bagi kita yang ingin mengetahui teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi. Tampak bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum diselesaikan.
Salah satu sudut candi
Dihalaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, beberapa diantaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki bagian kepala yang terlihat "aneh". nampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya.
Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan kembali. Pada waktu rekonstruksi ditemukan sebuah saluran air dari puncak candi menuju pusat ruang utama dan selanjutnya dialirkan keluar melalui muara kecil di bagian tengah teras sebelah utara. Dengan demikian air yang keluar dari candi tersebut, karena berasal dari langit dan menyentuh lingga sebagai esensi candi, menjadi suci.
Hal menarik dari struktur candi adalah letak ruang utama dan bilik-biliknya. Pada umumnya candi-candi di Jawa, ruang utama dan bilik-bilik tersebut terletak pada badan candi karena kaki candi berfungsi sebagai dasar candi. Namun pada candi Singosari kaki candi justru berfungsi sebagai tempat ruang utama dan bilik-biliknya. Sedangkan badan candi, walau tidak untuk menempatkan patung-patung utama, tetap diberi pola bilik-bilik kecil. Sementara atap candi, karena tidak dapat direkonstruksi seluruhnya, tidak dapat diketahui dengan pasti apakah menjulang tinggi seperti candi Jawi ataukah pendek datar seperti candi Kidal.
Komposisi ukir bangunan candi juga menarik perhatian. Bagian tengah keatas penuh dengan ukiran indah layaknya candi-candi pada umumnya, sedangkan bagian tengah kebawah terkesan polos. Hal ini terutama jelas terlihat pada hiasan kepala kala pada setiap bagain atas pintu ruang baik di kaki maupun badan candi. Tidak dapat diketahui dengan pasti mengapa dibuat demikian. Ada teori yang mengatakan bahwa itu menunjukkan pengaruh Hindu yang umumnya penuh hiasan ukir dan Budha yang polos atau sederhana.
Ada juga yang mengatakan bahwa memang dibuat demikian untuk mengenang raja Kertanegara yang cita-cita cakrawala mandala nusantaranya terputus ditengah jalan karena beliau dibunuh oleh raja saingannya. Ada pula teori yang mengatakan bahwa memang demikian keadaannya karena proses pembuatan candi yang terpaksa harus terhenti karena kerajaan Singosari diserbu oleh tentara Jayakatwang.
Disebelah barat candi terdapat sejumlah sisa-sisa patung peninggalan candi Singosari. Sayang banyak yang dalam keadaan rusak. Salah satu patung yang menarik adalah patung Pradnyaparamitha, Dewi kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan versi agama Budha, tanpa kepala. Di Jawa ini hanya ada 3 patung Pradnyaparamitha; yakni di candi Singosari, di candi Bayalangu – Tulungagung, dan yang paling indah di museum Nasional Jakarta. Patung Pradnyaparamitha di Jakarta tersebut terkenal dengan sebutan patung Kendedes.
Arca resi Agatya
Sekarang ini di candi Singosari hanya tersisa sebuah patung yang terletak dibilik sebelah selatan. Patung tersebut adalah Agastya atau mahaguru. Sesuai dengan iconogram candi-candi Hindu Jawa, ruang utama diperuntukkan dewa Siwa atau umumnya diwujudkan dalam bentuk lingga, bilik utara untuk Durgamahesasuramardini atau Sewi Durga, sebelah timur untuk Ganesha, dan sebelah selatan adalah Agastya. Ciri khas Agastya adalah berjanggut lebat, perut buncit, 4 tangannya masing-masing memegang kendi, tasbih, pecut semacam pengusir lalat, dan tombak. Sementara hiasan bunga teratai dekat telapak kaki dan menjulur melingkar keatas adalah ciri khas periode Singosari; jika teratai tersebut keluar dari vas bunga atau bonggol merupakan ciri periode Majapahit.
Seperti wujud candi Jawi yang melambangkan mandala alam raya, candi Singosari, tempat dimuliakannya Kertanegara, juga memiliki konsep yang sama. Dengan prinsip candi terdiri atas kaki, badan dan atap candi, maka bangunan candi aslinya terletak diatas sebuah batur teras. Teras tersebut melambangkan benua Jambudwipa (India) sebagai benua paling tengah dari alam raya, sedangkan candinya sendiri merupakan perwujudan gunung suci meru yang menjulang tinggi.
Oleh karena itu dataran disekeliling candi diumpamakan sebagai lautan luas. Semua itu melambangkan keutamaan sang raja Kertanegara pada perwujudan Siwa-Budha yang dimuliakan pada candi tersebut.
Candi Singhasari
Perumpamaan candi sebagai gunung Meru ini semakin dikuatkan dengan adanya 4 buah gundukan diatas masing-masing ruang candi.
Hal ini disesuaikan dengan topografi gunung Meru di India yang dikelilingi oleh 4 gunung kecil-kecil. Sama seperti gunung Penanggungan di Pandaan yang dianggap sebagai simbol puncak gunung Meru atau disebut Mahameru. Selain bentuk fisiknya yang sempurna kerucut, gunung Penanggungan juga dikelilingi oleh 4 buah gunung kecil-kecil di keempat arah mata angina
Dalam kitab kuno Tantu Panggelaran diceritakan bahwa suatu ketika gunung Meru di India, sebagai simbol pusat alam raya, harus dipindahkan ke Jawa (untuk mensahkan Jawa sebagai Jambudwipa baru). Dalam perjalanannya banyak bagian-bagian gunung Meru itu yang terjatuh berceceran sehingga membentuk rangkaian gunung-gunung mulai dari India, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Sumatera, dan Jawa seperti sekarang ini.
Gunung Meru di India selanjutnya berubah menjadi gunung Semeru, sementara puncaknya, gunung Pawitra atau Mahameru, diidentifikasikan sebagai gunung Penanggungan. Maka saat itu Jawa menjadi pusat alam raya dengan segala isi dan filosofinya, bukan lagi di India.
Candi Singosari dahulu memiliki beberapa nama; Candi Menara, Candi Cella, Candi Renggo, Candi Cungkup, hingga akhirnya diberi nama Candi Singosari. Candi Singosari memiliki corak Siwaisme, dahulu ada patung Kertanegara yang beragama Siwaisme dan Budhisme aliran Tantra. Juga ditemukan Arca Prajnaparamita yan terkenal karena keindahannya dan kehalusannya.
Arca Prajnaparamita yang ditemukan di Singosari adalah salah satu arca yang terindah. Wajahnya tampak sangat cantik tenang pebuh kedamaian, selain itu juga memiliki penampilan yang sangat luar biasa. Bagi orang yang memandangnya akan kagum dan memberikan rasa kesejukan. Arca ini pernah dibawa ke Belanda dan disimpan di Leiden sebagai benda yang berharga, namun pada tahun 1978 dikembalikan ke Indonesia dan di simpan di Musium Nasional.
Arca Prajnaparamita
Para ahli sejarah memperkirakan bahwa patung tersebut adalah Arca Pemakaman Ken Dedes. Wanita yang cantik yang menurunkan Raja-raja Wangsa Rajasa. Namun ada juga para ahli sejarah yang memperkirakan bahwa patung tersebut adalah Arca Pemakaman puteri Gayatri, puteri bungsu Kertanegara yang terkenal akan kecantikannya.
Prajnaparamita adalah adalah bagian dari ajaran Budhisme aliran Tantra mengenai kesempurnaan. Ajaran tersebut bertujuan untuk mencapai pembebasan (Kasunyatan). Ajaran ini menekankan peranan psikofisis, dengan tehnik yoga dan mantra yang terdapat di dalam tulisan Prajnaparanita menjadi sangat penting dan diwujudkan dalam pribadi seorang Dewi yang sempurna dalam kebijakan. Dengan demikian tidak mengherankan bila ekspresi patung ini akan meneghanyutkan dan menyejukkan bagi orang yang memandangnya.
Candi ini dibangun tinggi mirip menara dengan fondasi dasar yang tinggi, pintu masuk berornamen kala. Gaya Singosari konon terlihat jelas pengaruhnya di Kerajaan Minangkabau, pada Arca Bhairawa di Sungai Langsat (Bukit Tinggi). Sedangkan Arca Kendedes sebagai perwujutan Dewi Prajnaparamita yang sangat cantik jelita menawan melambangkan kebijaksanaan agung, sekarang berada di Museum Nasional
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Dedes adalah istri dari Raja Singhasari Sang Amurwabhumi atau populer dengan nama Ken Arok. Ken Dedes juga terkenal dengan kecantikannya, sehingga banyak fihak menganggap arca cantik Prajnaparamitha ini adalah identifikasi perwujudan dari putri Ken Dedes. disebutkan Ken Dedes adalah penganut agama Budha Tantrayana yang taat dan pandai ilmu agama sehingga pendapat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika mengacu pada ketaatan Dewi Prajnaparamitha yang merupakan salah satu Dewi dalam cerita Budha. Penemuan Arca yang aslinya terdapat di komplek candi Singhasari dan sekarang di simpan di Museum Nasional Jakarta ini membuktikan bahwa Malang memang merupakan pusat kerajaan besar di wilayah Jawa, yang menguasai daerah sekitarnya (Prasasti Mula-Malurung 1255 M).
Selain secara arkeologis ditemukan pathirthan (pemandian) yang kini disebut sendang Ken Dedes, di daerah Polowijen (Ponowijian), Singosari, daerah Polowijen (Ponowijian) juga merupakan tempat tinggal seorang biksuni Budha Tentrayana, Ken Dedes dan orang tuanya Mpu Purwa.
Candi Singhasari
Ken Dedes dalam kitab Nagara Kretagama disebut sebagai wanita Nareswari, seorang wanita yang akan menurunkan raja-raja, siapapun yang menikahinya akan menjadi raja.
Itulah sebabnya Ken Arok berusaha keras untuk menikahinya meskipun harus mengorbankan banyak nyawa. Keturunan Ken Dedes antara lain: Raja Anusapati (meninggal th 1248 M, dicandikan di Candi Kidal; Panji Tohjaya (meninggal th 1250M); Rangga Wuni ( Abhiseka Wisnuwardana meninggal th 1270 M dicandikan di Candi Jago); Mahesa Campaka (Bhatara Narasingamurti); Kertanegara (1254 M).
Candi Singosari bersifat campuran Siwa-Budha. Ini tidak mengherankan mengingat agama yang dianut oleh Kertanegara merupakan campuran Siwa dan Budha, bercorak Tantra. Brangkali bangunan itu antara lain memuat arca Brahma dan beberapa arca kecil yang terdapat pada lapangan percandian. Tidak jauh ke barat, di alun-alun, terdapat dua arca penjaga sangat besar. Arca-arca raksasa itu tidak dapat dipindahkan karena berat sekali dan tentunya berdiri di situ masih pada tempatnya yang asli,
sebagai menjaga jalan masuk ke percandian yang sangat luas di belakangnya. Tingginya 3,70 m dan satu di antaranya terpendam sampai ke pusatnya. Arca-arca ini mempunyai tali ular melilit pada bahannya; sedangkan kepalanya dihiasi dengan jamang ular dengan sejumlah tengkorak.Perkembangan Candi Singosari dapat dihubungkan dengan raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Bangunan ini kemungkinan didirikan bersamaan dengan waktu diadakan upacara sraddha (upacara untuk memperingati 12 tahun sesudah raja wafat) atau tahun 1304 M, masa pemerintahan Raden Wijaya, raja Majapahit Pertama. Kakawin Nagarakertagama karangan Prapanca, pupuh XLII-XLIII, menyebutkan bahwa Raja Kertanegara adalah seorang raja yang tiada bandingnya di antara raja-raja di masa lampau.
Ia menguasai segala macam ilmu pengetahuan seperti Sadguna (ilmu ketatanegaraan) Tatwopadeso (ilmu tentang hakikat), patuh pada hukum, teguh dalam menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan pemujaan Jina (apageh ing jinabrata), tekun berusaha dalam menjalankan prayogakrya (ritus-ritus tantra). Disebutkan pula bahwa sang raja jauh dari tingkah alpa dan congkak, tawakal dan bijak, menganut agama Budha Tantrayana.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan usaha untuk menyelamatkannya dengan membongkar sampai kepada baturnya, kemudian membangun kembali selapis demi selapis. Pembangunan kembali seluruhnya tidak memungkinkan, karena banyak bahan asli yang hilang, terutama dari puncak-puncak bilik samping. Candi dibangun kembali sampai kepada atap tingkat dua dan itu pun tidak lengkap. Pekerjaan pembangunan kembali selesai tahun 1936.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Singosari memegang peranan penting di masa lalu, maka peninggalan-peninggalannya yang tersisa patutlah dilestarikan sebagai benda cagar budaya seperti diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang antara lain berbunyi:
Upaya melestarikan benda cagar budaya dilaksanakan selain untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jatidiri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila, juga untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pemanfaatan lain dalam rangka kepentingan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar