Candi ini menghadap Barat mempunyai tinggi 12,5 meter diperkirakan selesai pembangunannya sekitar tahun 1260. candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Ukuran tubuh candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi, sehingga menekankan kesan ramping. Atap candi terdiri atas tiga bagian dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna atau stupa. Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan . Konon katanya tiap pojok lapisan atap candi dulu tempat berlian kecil.
Hiasan kepala kala nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh. Mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya dua taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
dari usianya, Candi Kidal merupakan candi paling tua dari peninggalan candi-candi di Jawa Timur. Hal ini karena periode Airlangga (11-12 M) dan (Kediri (12-13 M) tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan dan Jolotundo yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pertirtaan. Bertitik tolak dari uraian diatas, dengan masih memiliki corak Jawa Tengahan dan mengandung unsur Jawa Timuran, maka Candi Kidal dibangun pada masa transisi dari kedua periode tersebut. Bahkan Candi Kidal disebut sebagai prototipe candi periode Jawa Timur-an.
Arca Mahakala dan Nandiswara yang terletak pada kaki anak tangga
Dilihat Nama Kidal sendiri sangat mungkin berasal dari bentuk ragam hias candi makam Anusapati yang tidak lazim, dimana umumnya ragam hias terutama relief-relief pada candi bersifat paradaksina (sansekerta = searah jarum jam, dari kanan ke kiri), tetapi Candi Kidal justru bersifat prasawya (sansekerta = berlawanan arah jarum jam, dari kiri ke kanan). Kidal sendiri dalam bahasa Jawa Kuno bermakna "kiri".
Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief garuda (garudeya) pada candi kidal ? Apa hbungannya dengan Anusapati ? Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak dicandi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, yang selalu menderita dan selama hidupnya belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam kesusasteraan Jawa kuno, terdapat cerita populer dikalangan rakyat yaitu Garudeya, yakni kisah perjalanan garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah dua bersaudara istri Resi Kesiapa. Kadru mempunyai anak angkat tiga ekor ular dan Winata memiliki anak angkat garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah mengurusi tiga anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang diantara semak-semak. Timbullah niat jahatnya Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada winata. Diajaklah Winata bertaruh pada warna ekor kuda putih Uccaihswara yang sering melewati rumah
mereka, dengan catatan yang kalah harus menuruti segala perintah pemenang. Kadru menganggap warnanya adalah hitam sedangkan Winata menganggap warnanya adalah putih. Relief Garudeya dengan air amerta, terletak disisi timur candi
Para ular tahu bahwa ibu mereka salah. Mereka memberi tahu Kadru, ibunya. Kadru kemudian membuat rencana agar anak-anaknya, para ular mengubah warna ekor kuda Uccaihswara dengan bisanya. Usaha ibu beranak itu berhasil, Winata kalah dan dijadikan budak oleh Kadru. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru dan mengasuh ketiga ular setiap hari. Winata selanjutnya meminta tolong pada Garudeya, anaknya utnuk membantu (relief pertama).
Ketika Garudeya tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia harus menjaga ketiga saudara angkatnya. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uccaihswara, maka Garudeya mengerti. Ditanyakanlah kepada ketiga ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa dan berasal dari lautan susu". Garudeya menyanggupi dan segera mohon ijin ibunya untuk berangkat ke kahyangan.
Motif hiasan yang berbentuk medalion yang dipenuhi beragam hias tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan dan sulur-suluran Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garudeya sehingga terjadi perkelahian. Namun para dewa dapat dikalahkan. Melihat hal ini Batara Wisnu turun tangan dan Garudeya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garudeya tentang keinginannya mendapatkan amerta, maka Batara Wisnu memeperbolehkan dengan syarat Garudeya harus mau jadi kendaraan tunggangannya. Garudeya menyetujui, sehingga bisa membawa air amerta kembali turun ke bumi (relief kedua).
Sejak saat itu pula Garudeya menjadi tunggangan Batara Wisnu. Dan dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garudeya dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garudeya dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak 2 taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas Kala corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi
Disekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an tersebut. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah diluar kompleks candi, nampak dataran asli candi Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter. Apakah dataran candi tersebut merupakan permukaan tanah sesungguhnya jaman dulu sementara tanah luarnya akibat dari bencana alam seperti banjir, gunung meletus, dsb ? tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya, candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur paska periode Jawa Tengah (abad ke 5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (10 M), Airlangga (11 M) dan Kediri (12 M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi yang masih utuh keberadaanya sampai sekarang, kecuali candi Belahan (di Gempol) dan Jolotundo (di Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pentirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Kagenengan yang menurut versi kitab Negarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah Anusapati,. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Bertitik tolak dari uraian diatas, dengan masih memiliki corak Jawa Tengahan dan mengandung unsur Jawa Timuran, maka candi Kidal dibangun pada masa transisi dari kedua periode tersebut. Bahkan candi Kidal disebut sebagai prototipe candi periode Jawa Timuran.
RUWATAN
Berbeda dengan candi-candi gaya Jawa Tengahan, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (memuliakan) raja, sementara candi-candi Jawa Tengah umunya dibangun untuk keagungan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi yang berkaitan erat dengan sejarah atau ide sang raja selama hidupnya. Contoh pada candi Jago dengan cerita Tantri, Parthayadnya, Arjunawiwaha, dan Krenayana, candi Surowono dengan cerita Arjunawiwaha, Bubuksah Gagang-Aking, dan Sri Tanjung, candi Tigowangi dengan cerita Sudamala, dll. Berkaitan dengan prinsip tersebut, serta sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai dewa Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa dipahatkan relief Garudeya pada candi Kidal ? Apa hubungannya dengan Anusapati ? Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dihiasi dengan cerita Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama walaupun dalam kitab Pararaton dia disebut sebagai Ardanareswari atau wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa yang cantik jelita tiada tara dari pedepokan Ponowijen di daerah Malang selatan. Kecantikan Kendedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai prameswarinya (istri utama). Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Kendedes pula menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya. Hal ini terjadi karena Ken Arok, ditaman Boboji kerajaan Tumapel, secara tak sengaja melihat ada bagian tubuh Kendedes yang memancarkan sinar kemilau. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe guru spiritualnya bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari yakni wanita yang mampu melahirkan trah raja-raja besar di Jawa dan sesuai dengan ambisi Ken Arok yang ingin menjadi raja maka diapun membunuh Tunggul Ametung dan memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, ternyata Ken Arok juga memiliki istri lain bernama Ken Umang. Dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi Ken Umang daripada Kendedes; Sehingga Kendedes terabaikan.
Berlandaskan uraian diatas maka pemberian cerita Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati tiada lain bertujuan untuk meruwat ibunya Kendedes yang cantik jelita namun nestapa selama hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita utama dan sempurna lepas dari penderitaan serta nestapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar